Selasa, 26 Mei 2009

"bangsa Indonesia", sebuah mitos yang misterius



24 mei 2009. Pagi yang dingin itu aku sudah berada di kampus. Sebuah seminar nasional dengan tema "psychology of Nation", itulah yang membuatku datang sepagi itu. Saya tidak akan membicarakan tetntang seminar itu, hanya sedikit saja.

Ada sebuah hal yang menarik yang dikatakan oleh Margret Rueffler, narasumber keturunan AS-Jerman yang telah mendalami ilmu ini selama 25 tahun mengatakan sebuah hal yang menarik: "for me, INDONESIA IS A COUNTRY, NOT A NATION. INDONESIA CONSIST OF MANY NATIONS".

Sejak kecil kita sering sekali mendengar apa yanng disebut dengan "BANGSA INDONESIA", akan tetapi ternyata keberadaannya sendiri pun patut dipertanyakan. Benarkah apa yang selama ini kita sebut sebagai bangsa Indonesia itu adalah benar-benar bangsa Indonesia?

Bangsa adalah sekumpulan orang-orang dengan ideologi yang sama. Maka kita bertanya, Indonnesia dengan keberagamannya apakah memiliki satu ideologi yang sama? Dari Sabang sampe Merauke terdapat banyak sekali suku dan masyarakat yang tak terhitung jumlahnya. Apakah ideologi mereka sama?

Pada masa pemerintahan Soeharto pernah terjadi sebuah usaha penyamaan ideologi (namun sayangnya dengan cara yang salah), saya rasa itu pun bukan tindakan yang bijaksana memaksakan suatu ideologi tertentu kepada seseorang, biarkanlah beragam ideologi menjadi warna warni.

Jika benar, maka sulit sekali mengatakan keberadaan bangsa Indonesia, seringkali selama ini kita salah mengartikan orang-orang jawa, sumatra, papua, maluku, Islam, dsb sebagai sebuah bangsa yang kita sebut sebagai BANGSA INDONESIA. Padahal mereka memiliki ideologi yang berbeda-beda, pantaskah mereka kita sebut sebagai satu bangsa?

Sekali lagi, ini sangatlah relatif. Jika memang BANGSA INDONESIA adalah sebuah mitos, maka saya akan mempercayainya!

sebuah dosa reformasi: antara cara lama dan new style (tanggapan terhadap isu neoliberal)


Negara ini negara apa sih?? Katanya sih bukan liberal, bukan sosialis, dan bukan Islam. Mereka berkata negara ini negara Pancasila. Namun seperti apakah negara Pancasila itu??

Negara ini adalah negara "banci", negara yang tidak jelas asal usulnya. Negara ini menolak Liberalis, namun ketika dikatakan bahwa negara ini cenderung ke sosialis sebagian masyarakat kiota berteriak.
Percaya atau tidak, yakin atau tidak, saya sendiri berpendapat Pancasila sendiri adalah kata lain dari "sosialis-Islam". Namun karena bangsa ini terlalu majemuki, maka konsep sosialis-Islam tersebut dijabarkan ke dalam poin-poin bahasa humanis, maka lahirlah PANCASILA. Namun sayangnya bahasa tersebut terlalu abstrak, maka kini yang terjadi adalah merekaa mencoba menjabarkannya sesuai keinginan mereka. Dan justru saat ini negara ini buukan cenderung ke sosialis maupun Islam, melainkan cenderung ke liberal.

Adalah sebuah kata yang diteriakkan pada 1998 mengubah arah bangsa ini, REFORMASI. Jika boleh dibilang, maka itu adalah sebuah kudeta tak terkonsep. Sebuah kudeta yang sebenarnya bukan bertujuan memperbaiki bangsa ini, namun hanya dikarenakan dendam personal yang digeneralisir. Coba anda lihat kseperti apa bangsa ini pasca reformasi, dimana bangsa kita berbicara dengan sok englis dan melupakan sumpah pemuda (sumpah kita sendiri); dimana tentara kita yang macan Asia kini mulai berkurang kekuatannya, bahkan kesejahteraan hanya karena sebuah phobia; dimana media massa membicarakan hal-hal yang tidak pantas dibicarakan dengan mengatasnamakan demokrasi; dimana kapitalis-kapiitalis mulai tumbuh dengan berlabelkan globalisasi; dan dimana terjadi peniruan budaya Barat dengan melupakan budaya sendiri dengan dalih modernisasi.

Teringat sebuah pertanyaan yang mengganjal, apakah budaya itu? budaya adalah hasil karya manusia. BUkan itu, apakah budaya adalah sesuatu yang stagnan atau terus berkembang? Budaya terus berkembang seiring perkembangan manusia. Pertanyaan yang utma adalah, ketika budaya baru muncul seiring perkembangan zaman, lalu dikemanakan budaya yang lama??

Yang terjadi adalah: selamat datang budaya baru, selamat tinggal budaya lama (hapus). Silahkan direnungkan sendiri, dimana hutan-hutan kita yang menghilang berganti bangunan kotak tinggi menjulang atas nama modernisasi? Dimana lagu-lagu dangdut, gamelan, musik tradisional, tari, yang kurang diminati dibanding lagu-lagu Barat, modern dance, gitar elektrik, dsb?

Ketika zaman dahulu negara kita dikenal salah satunya oleh karena militernya, kini seperti apa yang telah saya katakan, selamat datang budaya baru dan selamat tinggal masa lalu. Anggaran militer terus dipangkas, perusahaan-perusahaan dan yayasan-yayasan milik TNI juga dihapus. Sehingga yang terjadi adalah kesejahteraan yang kurang dan peralatan yang rusak. Atas nama apa itu semua? kekerasan sudah tidak zaman lagi. Padahal itu semua hanya karena sebuah phobia.

Oke bung, yang ingin saya katakan adalah tidak ada mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk antara cara lama dan new style. Semua sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan, Dan seperti yang telah saya katakan: saya lebih suka dengan cara lama, karena itu adalah cara kita sendiri dan bukan mencontek dari orang lain.

Sabtu, 09 Mei 2009

cerita tentang gula

Bagi warga Jogja mungkin saat ini agak sulit mencari gula pasir putih di pasaran. tetapi mungkin beberapa orang tidak akan menyadarinya. Bagi mereka selama minuman mereka massih manis mereka tidak peduli tentang hal itu. Toh ada pembanntu yang sudah siap menyediakan segalanya dan ada toko supermarket 24jam yang selalu lengkap. Tetapi percaya atau tidak, anda cari di beberapa toko besar pun anda akan kesulitan menemukan gula pasir putih.

Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah Indonesia saat ini sedang kekurangan gula? Saya teringat cerita seseorang tetangga saya yang kebetulan berjualan sembako. Sebenarnya bukannya tidak ada, melainkan tidak boleh dijual. tetangga saya tersebut berniat membeli gula untuk "kulakan" akan tetapi dia diperingatkan untuk tidak boleh menjualnya.

Mengapa? Apakah ini akal-akal para pedagang?Jawabannya mungkin tidak. Karena jika menjual ancamannnya adalah hukum pidana. Berarti ini entah ulah dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Saya teringat artikel beberapa hari yang lalu di suatu surat kabar di Jogjakarta (sebut saja KR) yang memberitakan bahwa sebuah pabrik gula yang cukup terkenal di Jogjakarta (sebut saja Madukismo) akan memulai penggilingan. Jika dugaan saya benar, maka hilangnya gula pasir putih dari pasaran mungkin adalah tindakan protektif dari pemerintah kepada industri gula nasional (karena gula buatan Madukismo berwarna agak kelabu).

Jika dugaan saya tersebut benar dan semoga saja benar, sungguh berbahagia sekali saya mendengar berita itu. karena memang sudah sepantasnya pemerintah melindungi pengusaha dalam negeri agar mereka bisa mempertahankan dan mengembangkan usahanya. Kalo perlu, embargo aja negara ini dari luar negeri agar pengusaha dalam negeri giat mengembanngkan usahanya dan masyarakat lebih menghargai produk negeri sendiri.

Lihatlah Iran, setelah mereka di embargo oleh Amerika justru mereka menjadi semakin mandiri. Kini mereka bisa membangun reaktor nuklir kita sendiri, mobil buatan mereka sendiri, dan sebagainya. Mungkin sudah saatnya kita embargo negara kita sendiri. Hentikan impor produk yang bisa kita produksi, dan yakinlah akan kekuatan the power of kepepet!!!

Kamis, 07 Mei 2009

Psychology of Nation



“Kehebatan suatu bangsa bukanlah dinilai oleh diri sendiri, tetapi merupakan hasil dari penilaian orang lain”
Oleh karena itu Fakultas Psikologi UGM bersama dengan Lembaga Mahasiswa Psikologi Fak. Psikologi UGM menyelenggarakan seminar nasional dengan tema: Psychology of Nation
Menjelang Pemilihan Presiden pada bulan Juli mendatang, politik menjadi sesuatu yang hangat dibicaraka. Menjadi sebuah daya tarik tersendiri untuk mengetahui bagaimana sebenarnya keadaan bangsa dan negara ini dari sudut pandang dalam dan luar negeri. Terlebih lagi dilihat dari kacamata ilmu Psikologi terutama Psikologi Politik yang jarang diperbincangkan oleh masyarakat umum.
Seminar ini mendatangkan Dr. Margaret Rueffer seorang ahli Psikologi Politik dari Peace Institute Switzerland sebagai pembicara utama. Beliau akan memberikan materi tentang Psikologi Politik dan pandangannya terhadap Indonesia dari sudut pandang luar negeri. Selain itu hadir pula sebagai pembicara adalah Prof. Djamaludin Ancok, Ph.D (Guru Besar fakultas Psikologi UGM), Prof. Dr. Faturrochman, MA (dekan fakultas Psikologi UGM), dan Dr. Parni Hadi (Presiden Direktur RRI).
Acara ini akan diselenggarakan pada:
hari/tanggal : ahad, 24 Mei 2009
pukul : 07.30 - 13.00 WIB
tempat : Auditorium Fakultas Psikologi UGM
acara : seminar nasional "psychology of Nation"

Untuk pendaftaran dibuka mulai tanggal 10-23 Mei 2009 di sekretariat Lembaga Mahasiswa Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Fasilitas yang tersedia berupa snack, seminar kit, sertifikat, dan makan siang. Untuk informasi lebih lanjut dapat mengirim email ke gagdongemail@yahoo.com atau menghubungi A'am (0857-2966-4447).

tambahan: bagi yang berminat untuk menjadi sponsor atau donatur bisa menghubungi Dyah (0899-5065-813) atau email ke gagdongemail@yahoo.com

Jumat, 01 Mei 2009

Mari kita hidup untuk “bermain”


Berawal dari sebuah mata kuliah di siang hari yang panas di bulan April. Dalam ruangan segi empat dimana kami disuruh memahami pendapat orang lain tersebut (pada saat itu pendapat Murray). Saat itulah saya menyadari bahwa hidup kita yang sebenarnya adalah untuk bermain, bukan bekerja.

Apa perbedaan utama dari bekerja dan bermain? Jawabannya adalah antara hasil dan proses. Bekerja adalah melakukan sesuatu yang berorientasi pada hasil akhir. Misalnya adalah ketika kita bekerja siang dan malam untuk mendapatkan nafkah. Ketika kita melakukan sesuatu kita berorientasi pada hasil akhir. Jika kita tidak mendapatkan hasil akhir tentunya kita tidak akan bekerja.

Sedangkan bermain lebih menekankan pada proses. Ntah seperti apa hasilnya, yang penting adalah prosesnya. Dalam kehidupann sehari-hari yang disebut proses dalam bermain adalah sesuatu yang menyenangkan. Padahal tidak harus seperti itu. Ketika anda fokus pada proses maka bisa disebut kita sedang bermain.

Sayangnya selama ini seringkali masyarakat menyamakan bermain dengan sesuatu hal yang tidak berguna dan kurang bermanfaat sedangkan bekerja adalah sesuatu yang positif dan sangat berguna. Benarkah demikian?

Mari kita pikirkan sejenak mengenai melakukan sesuatu di dunia ini. Seberapa jauhkah kemampuan kita di dunia ini? Bagi orang Islam kita hanya diwajibkan untuk berusaha semaksimal mungkin, sedangkan hasil adalah urusan Sang Penguasa. Lalu buat apa kita fokus atau repot-repot memikirkan sesuatu yang di luar kemampuan kita?

Yang terburuk adalah, ketika manusia terlalu memikirkan tujuan sehinngga mereka melupakan jalan untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka tidak lagi peduli melewati jalan yang mana, yang terpenting adalah mencapai tujuan tersebut. Orang-orang ini lah yang menghalalkan segala cara (the end justifies the mean). Merka jugalah yang sering kita lihat adalah orang-orang yang haus kekuasaan dan harta yang ada di sekitar kita.

Mereka adalah penyembah materi, perebut genggaman, manusia tidak berjiwa, dan golongan akhir. Namun sayangnya, orang-orang seperti mereka inilah yang terkadang kita puja dan kita samakan dengan manusia modern. Kita salut atas benda-benda nyata milik mereka, pemikiran-pemikiran mereka yang dipenuhi dengan materi, genggaman mereka atas dunia, dan sebagainya.

Sekali lagi, bukan berarti kita tidak boleh memiliki tujuan, tetapi utamakanlah proses. Karena sebenarnya kewajiban dan kemampuan kita hanyalah terbatas pada proses. Hasil sebenarnya hanyalah sebuah mimpi abstrak yang tidak kita ketahui akankah menjadi kenyataan atau tidak. Sekali lagi, marilah kita hidup untuk bermain, hidup untuk prises, bukan tujuan.