Senin, 26 Oktober 2009

bingkisan air mata untuk 1928, ketika para pemuda melupakan sumpahnya

Bukan kami yang mengucap sumpah 81 tahun yang lalu. Tetapi kakek tua renta yang duduk di seberang sana. Maka tidak ada ikatan apa pun bagi kami. Sungguh, Kek, apa yang kakek lakukan 81 tahun silam itu tidak berarti apa-apa bagi kami.

Mungkin bagi kakek, itu adalah sebuah bukti pengorbanan dan rasa cinta taah air bagi kakek. Namun bagi kami, disaat kini dimana cinta tanah air sudah tidak lagi populer dan dianggap sebagai sebuah fanatisme sempit dan tergeser oleh tatanan masyarakat global, apa yang kakek lakukan hanya tinggal coretan kata di buku pelajaran anak-anak yang masih memakai baju putih-merah.

Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia



Kek, aku ingin bertanya sesuatu. Apa itu tanah air? Kami pun tidak tahu. Sesungguhnya kami adalaha warga negara Indonesia. Kami hanya manusia yang bermukim di wilayah yang kebetulan merupakan bagian dari wilayah kedaulatan NKRI. Bukan berarti kami rela menumpahkan darah demi tempat tinggal kami. Sungguh jika kami mampu, maka kami akan lebih memilih tinggal di negara-negara Eropa sana untuk agar bisa memadu kasih di bayang-bayang keindahan Eiffel, berteriak kebebasan di atas Miss Liberty, atau tersesat di keramaian kota New York.

Hanya saja kami tidak mampu. Takdir mendamparkan kami di negeri yang masyarakatnya banyak di bawah garis kemiskinan atau tepat di garis kemiskinan tersebut. Negeri dengan ketimpangan ekonomi yang sangat besar. Dan sebuah negara besar yang bahkan tidak berkutik meski berulang kali diusik oleh tetangganya.

Jadi buat apa kami menumpahkan darah untuk tanah ini? Sungguh hanya orang-orang bodoh yang rela menumpahkan darah dan berperang hanya demi apa yang mereka sebut harga diri. Heran saja di zaman globalisasi ini masih ada orang yang fanatik sempit hanya untuk apa yang mereka sebut tanah air. Kami hanyalah warga negara, kami bukan penduduk. Tidak ada kewajiban bagi kami untuk membela apa yang disebut tanah air. Bahkan kami tidak mengerti apa itu.

Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia



Sadarlah, Kek. Jenral tersenyum itu tidak lagi berkuasa. Tidak ada lagi istilah menyatukan keragaman. Di masa sekarang ini yang sedang trend adalah upaya mempertahankan keragaman. Tidak perlulah kalian berbohong dengan berkata hanya ada satu bangsa di NKRI ini.

Bahkan secara nyata tampak dari dulu bahwa negara ini didiami oleh bermacam-macam bangsa yang berbeda baik itu pribumi maupun pendatang. Secara ilmiah, tidak ada apa itu yang kalian sebut sebagai Bangsa Indonesia. Selama 32 tahun Orde Baru istilah Bangsa Indonesia hanya digunakan orang-orang Jawa dalam upayanya menjajah daerah-daerah lain. Kini lihatlah mereka mulai sadar bahwa tidak ada Bangsa Indonesia, yang ada adalah Bangsa Jawa yang memaksakan bangsa-bangsa lain di NKRI ini untuk mengikuti mereka.

Jadi, Kek, kenapa kalian berbohong bahwa kalian itu sama? Kenapa kalian membuat sumpah palsu bahwa kalian itu satu? Bukankah pada kenyataannya kalian itu berbeda-beda dan itu tidak dapat dipungkiri lagi. Mungkin hanya satu kesamaan kalian pada waktu itu yaitu: sama-sama dijajah!

Kenapa pula Kakek bangga mengaku bagian dari mereka? Lihatlah mereka adalah sekumpulan orang-orang yang malas bekerja dan korup. Tidak ada yang membanggakan dari mereka. Lihatlah negara yang kaya ini hancur bukan karena orang lain, tetapi karena perilaku mereka sendiri. Lalu apa yang Kakek banggakan dengan mengaku bahwa kalian adalah satu: Bangsa Indonesia?

Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia



Kek, ingatkah adikku yang paling kecil kini bersekolah di Taman Kanak-Kanak? Disana dia tidak lagi diajari bahasa persatuan kalian itu. Ini era globalisasi. Maka kini Bahasa Persatuan kami adalah Bahasa Inggris. Bahasa Inggris lah yang menyatukan kami dengan negara-negara lain. Bahasa Inggris pula lah yang menunjukkan seberapa terpelajar kami di masayarakat kita ini.

Maka jangan heran jika kini orang tua kami lebih suka menyekolahkan anaknya di sekoah yang mengajarkan Bahasa Persatuan kami itu. Jangan heran pula jika kini kami lebih suka menggunakan isstilah asing dalam keseharian kami. Karena bahasa persatuan kami adalah Bahasa Inggris.

Cukuplah Bahasa Persatuan kalian itu dipelajari dalam sekolah-sekolah konvesional kami dari umur 5tahun hingga 18tahun, tidak lebih. Dan jangan berharap kami akan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari kami karena itu sangat memalukan. Mana mungkin di zaman globalisasi ini kami masih menggunakan bahasa konvensional itu??

Lihatlah buku-buku kami, dapatkah Kakek temukan Bahasa Persatuan kakek? Lihatlah selebaran-selebaran kami yang dipenuhi istilah-istilah Bahasa Persatuan kami. Lihatlah forum-forum terpelajar kami yang mulai meninggalkan Bahasa Persatuan kakek karena sudah ketinggalan zaman. Kek,kenapa 81 tahun yang lalu kalian tidak bersumpah saja menjunjung tinggi Bahasa Inggris?

Sekali lagi, Kek, kami sungguh tidak paham dengan kalian. Mengapa kalian membuat sumpah semacam itu 81 tahun yang lalu? Tidak tahukah kakek bahwa Sumpah dan Janji itu sangat sakral dan harus ditepati? Tapi untunglah, Kek, bukan kami yang bersumpah melainkan kalian.

Jumat, 23 Oktober 2009

Keluar istana bak pahlawan?

Pria kecil itu kini tak berada lagi disana. Kini kumis tipisnya tidak akan lagi terlihat di dalam bangunan putih tersebut. Dia keluar dengan senyum dan kembali menikmati kehidupannya sehari-hari. Sungguh seharunya dia bersyukur telah keluar gedung itu dengan senyum. Kini hanya ada satu matahari dalam tempat itu.

Empat puluh tiga tahun yang lalu sang orator itu diusir keluar dari tempat itu dan dikucilkan. Sebelas tahun lalu Jendral yang tersenyum itu juga keluar setelah diusir oleh ribuan orang dijalanan. Tak lama anak jenius itu juga keluar dengan hardikan. Delapan tahun lalu sang Kiai pun keluar hanya berkaos dalam dan celana pendek. Lima tahun yang lalu Srikandi pertama itu pun juga keluar dengan penuh aura perlawanan. Sungguh telah banyak orang keluar dari tempat itu dengan penuh luka coreng.

Namun apa yang terjadi padanya justru berbeda. Pria itu keluar bak pahlawan. Meski dia hanya bulan tetapi dia disamakan seakan matahari. Namanya dielu-elukan oleh semua orang, bahkan oleh mereka yang bukan bagian dari 13 pendukungnya saat Juni.

Hanya pada masa lelaki itu lah beringin raksasa tersebut mampu menjadi sebuah beringin, meski kini itu semua kandas karena beringin tersebut justru lebih suka menjadi tanaman rambat. Tetapi perlu kita akui seumur hidup, baru kali ini beringin itu berani untuk (bahkan hanya sekedar berpikir) tumbuh sendiri tanpa perlu merambat ke pohon lain.

Mungkin lelaki itu tidak tampan, tidak pula anggun dan pandai berkata-kata. Dirinya pun tidak fotogenik sehingga tidak banyak penggemarnya. Tapi sungguh, mereka yang mendukungnya melihat jauh ke dalam diri lelaki Makassar itu. Dirinyalah yang mereka kagumi. Meski mungkin lelaki berpeci itu bukanlah matahari yang seharusnya menyinari kami selama lima tahun ini, namun sinarnya jauh lebih terang daripada matahari itu sendiri. Dua yang bisa kami katakan saat kaki lelaki berlapis sepatu buatan Indonesia itu melangkah keluar: Selamat Jalan dan Terima Kasih. Lelaki itu sungguh lebih besar dari apa yang tampak oleh mata.

Selasa, 20 Oktober 2009

Jenis-jenis Pemimpin

Saya menulis note ini hanya sebagai bahan lelucon, jadi gag usah dipikir terlalu serius..^^
Ini dia beberapa kriteria pemimpin berdasarkan beberapa disiplin ilmu:

Ilmu Ekonomika dan Bisnis


Pemimpin adalah orang yang mampu mengatur dan mengkoordinir pengikutnya agar dapat meraih tujuannya secara efektif dan efisien

Ilmu Komunikasi


Pemimpin adalah orang yang dapat menginspirasi para pengikutnya melalui kata-katanya dan dapat menyampaikan segala yang dia pikirkan kepada pengikutnya dengan jelas

Ilmu Hukum


Pemimpin adalah orang yang dapat menegakkan keadilan dan memberikan persamaan hak kepada seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu

Ilmu Psikologi


Pemimpin adalah orang yang dapat memotivasi pengikutnya secara internal agar mereka mau bekerja dengan senang hati tanpa paksaan

Ilmu Budaya


Pemimpin adalah orang yang dapat menjaga dan mempertahankan nilai-nilai luhur dan budaya yang ada pada masyarakat

Ilmu Filsafat


Pemimpin adalah orang yang memiliki pikiran yang luas dan tidak memaksakan hanya ada satu kebenaran saja di dalam masyarakatnya

Ilmu Sosiologi


Pemimpin adalah orang yang memiliki banyak pengikut/pendukung dan memiliki hubungan yang baik dengan mereka

Ilmu Sejarah


Pemimpin adalah orang yang dapat menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh para pendahulunya

Ilmu Hubungan Internasional (HI)


Pemimpin adalah orang yang dapat menjaga hubungan baik dengan negara-negara lain dan berperan aktif dalam komunitas global serta mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat Internasional

Ilmu Agama


Pemimpin adalah orang yang dapat menegakkan hukum-hukum agama yang dianutnya dan menuntun pengikutnya kepada kebaikan

ada lagi yang mau menambahkan?^^

Senin, 05 Oktober 2009

ingin rasanya berhenti sejenak dan menengadahkan wajah ke atas..

Mungkin dia lelah berlari hingga ingin berhenti sejenak. Sungguh bukan karena dia tidak mau berlari, sama sekali tidak. Dia senang berlari dan dia menikmati tiap detiknya, tiap langkahnya, tiap detak jantung yang memompa darahnya ke seluruh tubuhnya hingga kuat berlari. Atau bahkan dia sama sekali belum lelah. Hanya saja sebuah kejadian mengingatkanya akan sesuatu yang selama ini telah dilupakannya yang membuatnya ingin berhenti sejenak.

Jangan pernah berkata pernah merasakan sebuah ketenangan yang hakiki sebelum pernah merasakan apa itu ketakutan. Tidak perlu menodongkan senjata dimukanya untuk merasakan sebuah ketakutan. Bahkan bunyi jarum jatuh pun telah cukup untuk membuatnya menggigil ketakutan.

Tapi dia sadar ke mana seharusnya dia beranjak. Dia tahu dimana mendapatkan ketenangan. Dan itulah yang membuatnya sadar apa yang selama ini telah dia lupakan. Bunyi jarum jatuh telah membuatnya mendongak ke atas dan merasakan apa yang telah lama tidak dia rasakan.

Perasaan yang bahkan tidak dia rasakan di hari-hari 29 dimana hujan deras menerpa tubuhnya. Saat dimana harusnya dia menggigil namun dirinya merasa kering. Tapi lebih dari itu, sebuah bunyi jarum jatuh telah membuatnya merasa seakan-akan dibenamkan dalam samudra yang dalam.

Dia menemukan yang selama ini dia cari. Sesuatu yang bahkan tidak dia dapatkan di hari-hari 29 itu. Dan dia temukan dari sebuah bunyi jarum dan sedikit rasa ketakutan. Benar kata orang, penguasa itu bersahabat dengan teror/ketakutan. Karena takut lah yang membuat kita mengingat siapa sebenarnya yang berkuasa dalam permainan ini.

Kini dia ingin berhenti sejenak untuk merasakan apa yang didapatnya dari teror itu lagi. Bukan terornya, tapi apa yang ada dibaliknya. Sesuatu yang menurutnya pantas dibayar dengan berhenti berlari. Karena mungkin dia terlalu asyik berlari sehingga tidak dapat merasakan air yang berada di tubuhnya.

Sabtu, 03 Oktober 2009

relativitas

kami bukan orang buta kawan. Sungguh kami bisa melihat semuanya. Bahkan mungkin justru pandangan kami lebih luas daripada kalian. Jika manusia dianugerahi dua mata di depan, maka kami bisa melihat dari semua mata manusia.

Kami bukan manusia antisosial yang tidak paham nilai dan norma di masyarakat. Bahkan kami sesungguhnya sangat memahaminya. Karena tiap hari kami bergerumul dengan itu semua. Kami juga bukanlah manusia pelangar batas yang menganggap peraturan hanya sebagai sampah penghias kertas ataupun sarana memperoleh nafkah. Kami taati peraturan. Tapi bagi kami tidak ada hitam dan putih.

Kami tidak berbeda dengan kalian? Itu mungkin saja. Tetapi kalian memiliki sesuatu yang kami inginkan. Kalian hanya memiliki dua mata, itu yang kami inginkan dari kalian. Kalian bisa membedakan mana kiri dan mana kanan denngan kedua mata tersebut. Sedangkan kami, mata kami lebih dari 360 derajat. Kiri di mata kami bisa menjadi kanan dari mata kami lainnya. Sehingga jangan heran jika suatu saat nanti kami cebok dengan tangan kanan dan makan dengan tangan kiri. Toh saat ini hal itu juga sudah wajar bahkan dikalangan masyarakat umum yang berpikiran maju.

Kawanku, jika kalian berpikir apa yang kami alami itu menyenangkan, maka pikirkanlah lagi. Memiliki banyak mata bukan hanya berarti bisa melihat dari segala sudut, akan tetapi kau juga bisa melihat duburmu disaat kau sedang makan. Dan itu sungguh bukan sesuatu yang menyenangkan.

Terkadang jika kita tahu bahwa sapi kita akan mati maka kita tidak akan repot-repot mencarikannya rumput. Tetapi darimana kita meminum susu jika semua sapi tidak kita beri rumput karena semua sapi pasti akan mati sedangkan jumlah kuda liar tidak cukup untuk memberi kita semua susu?

Itulah yang terjadi pada kami. Kami menjadi terlalu malas untuk mencari rumput karena tahu sapi pasti akan mati. Padahal banyak keasyikan yang bisa kami dapatkan dari mencari rumput. Keasyikan yang kami anggap itu hanya sebagai sebuah fenomena bodoh yang biasa saja hingga kami enggan menyentuhnya.

Mungkin kalian berpikir bahwa kami orang yang begitu tenang dan tidak mudah tersulut, mungkin hal itu benar. Atau mungkin juga salah. Bukan kami pandai mengendalikan emosi, tapi mungkin lebih tepatnya emosi kami hilang ditelan kumpulan saraf yang berkumpul dalam rongga kepala.

Jika Einstein penemu teori relativitas, maka kami adalah penganutnya. Kami bukan orang-orang yang mempelajari materi, sungguh. Bahkan apa yang kami pelajari sangat jauh dari materi. Melainkan suatu abstrak yang sulit didefinisikan. Tetapi relativitas kami resapi dalam menjalankan setiap detak jantung kami hingga meresap ke neuron-neuron kami.

Dalam hukum relativitas kami, kami berusaha untuk terus melihat bahwa tidak ada hitam dan putih. Mata kami melihat semuanya putih jika bahkan itu hitam. Karena kami yakin hitam dan putih tergantung dari mata mana yang melihatnya.

Saking terbiasa melihat putih, kini kami buta warna. Kami tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan salah. Semua kami anggap putih dengan teori relativitas. KAmi terlalu yakin bahwa semua warna pastilah memilki unsur putih sehingga bahkan hitam pun kami biarkan saja. Untungnya beberapa dari kami menyadari dan menamainya sebagai nihil-isme.

Bermain permainan tanpa hadiah mungkin terlihat bodoh bagi kami karena tidak memberikan apa-apa. Tetapi sesungguhnya kami bisa mendapatkan sesuatu dari proses permainan tersebut. Berbeda dengan kalian yang akan langsung bermain tanpa berpikir panjang karena mata kalian hanya dua. Itulah yang kami iri dari kalian.

sunahnya memperbanyak takbir

malam kami berkumpul
obor, lampu, dan tongkat tergenggam
bukan mencari maling
ataupun menggrebek warga
mau menjalankan sunah-Mu?

sunahnya memperbanyak takbir
ah Kau tau sendiri apa kami
gag rame gag asik!

Gag rame gag asik!
pukul saja gendang itu
Gag rame gag asik!
tabuh saja drum itu
Gag rame gag asik!
bunyikan saja klakson dan knalpot
Gag rame gag asik!
teguk saja sebotol arak
Gag rame gag asik!
bikin kerusuhan saja

takbir hilang ditelan masa
drum, peluit, klakson,
kini itu yang kami agungkan
takbiran??

orang kanan di sebelah kanan

tahukah kawan? selama ini kami dikenalkan pada sebuah dunia baru. Dunia dimana tidak ada yang benar maupun salah, yang ada hanyalah orang kanan berada di sebelah kanan (right man on the right place). Mungkiin sebagian orang telah menerimanya sebagai sebuah pemikiran modern yang menonjolkan nilai-nilai humanisme yang agung, tapi bagi sebagian orang yang dianggap kolot pemikiran seperti itu dianggap menafikkan kebenaran yang hakiki.

Bagi kami, kebenaran dan kesalahan tidak ditentukan oleh tindakan ataupun niat yang baik dan buruk, akan tetapi apakah orang orang yang seharusnya berada di kanan tetap pada posisinya atau justru tidak berada di posisinya. Meskipun dia orang kiri, jika berada di tempat ang kiri maka itu tidaklah menjadi sebuah masalah. AKan tetapi jika orang kanan berada di sebelah kiri atau sebaliknya, baru lah itu semua menjadi masalah. Semua kebenaran dipandang sebagai suatu relativitas tergantung keadaan yang berlaku.

Ambillah sebuah contoh kasus dimana seseorang yang gemar menyimpan uang. Di satu sisi kami bisa bilang bahwa dia orang yang pelit akan tetapi bolehlah kami namai juga dia sebagai seseorang yang hemat, betapa relatifnya kah sebuah label baik dan buruk?

Oke contoh lain adalah tentang pembohong. Mugkin bagi sebagian orang pembohong adalah suatu hal yang buruk, tetapi bagi kami tergantung dia berada di posisi mana. Kalau kami boleh bilang, para penulis cerita fiksi adalah mereka para pembohong terhebat. Hanya saja mereka beradadi tempat yang tepat hingga orang-orang tidak mempermasalahkannya. Masihkah berikir kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak?

Bagi kami segala perseteruan dan konflik yang ada hanyalah sebuah fenomena biasa dan tidak perlu diributkan. Kami tidak heran tentang pro kontra hukuman mati, bunuh saja sanak saudara mereka yang menolak hukuman mati maka mereka pasti akan berbalik medukung. Itu semua hanyalah konflik kepentingan egois yang dibungkus dengan nuansa nilai-nilai hebat. Begitu pula konflik lain antara mahasiswa dan penguasa, portal, partai, pemerintah, dsb.

Kawanku, maka jangan heran jika kalian melihat kami sebagai orang-orang apatis. Bukan karena kami tidak peduli, tapi karena kami terbiasa untuk menjaga jarak dan mengamati dari jarak yang cukup. Kami tidak mau terlibat dalam segala kebodohan itu baik sebagai pendukung atau penolak. Kalaupun kalian berkata kami apatis, maka kami pun hanya akan tertawa melihat semua yang terjadi dan apa yang kalian katakan. Mungkin kami memang orang yang sesat.

Islam dan Penguasa

Beberapa saat yang lalu, ketika televisi sedang gencar-gencarnya memberitakan drama penggrebekan di Temanggung dan mengatakan bahwa Nordin M. Top terbunuh, saya langsung tidak percaya. Bukan karena apa, tapi saya punya teori tersendiri bahwa meskipun Nordin M. Top memang benar-benar terbunuh, pasti pemerintah akan merahasiakannya karena sebenarnya Nordin M. Top adalah senjata rahasia yang bisa digunakan pemerintah untuk kepentingannya.

Pemerintah dan Penguasa


Saya pernah berpikir apa sih sebenarnya fungsi dari negara di zaman modern ini? Kemudian saya mencoba berpikir merenung dari zaman masa lalu awal mula adanya suatu Negara. Zaman dimana masih berbentuk kerajaan.

Mengapa masyarakat membutuhkan atau tunduk pada raja? Menurut saya bukan jawaban yang idealis yang bisa menjawabnya. Mudah saja, salah satu dosen saya pernah berkata bahwa Penguasa itu bersahabat dengan teror. Zaman dahulu masyarakat tunduk pada raja mereka agar mereka dilindungi oleh Raja mereka dari terror-teror maupun serangan-serangan. Jadi jawabannya adalah masalah keamanan. Dan saya rasa memang itulah pentingnya suatu Negara yaitu untuk memberi keamanan.

Zaman dahulu tentunya permasalahan keamanan adalah sesuatu yang sangat penting karena begitu banyaknya perang di dunia ini. AKan tetapi, di zaman sekarang ini dimana dunia relatif damai dan peperangan yang terjadi bukanlah perang fisik tetapi pperang ekonomi, maka peran pemerintah mulai dipertanyakan.

Sedangkan campur tangang pemerintah dalam bidang ekonomi pun juga dipertanyakan. Maka wajar jika zaman sekarang muncul ide-ide penyatuan dunia dalam sebuah pemerintahan bersama atau kemerdekaan dari para penguasa itu sendiri. Maka bukan hal yang aneh jika suatu Negara bersahabat dengan terror, karena terror itulah yang membuat Negara masihberdiri dan dibutuhkan oleh rakyatnya.

Masa Orde Baru


Pada masa orde baru, pemerintah sengaja memelihara sebuah teror yang bernama PKI. Dengan alas an PKI itulah pemerintah bebas menahan dan menghukum pihak-pihak kontra pemerintah dan mereka yang dianggap tidak sejalan denngan pemerintah serta mengganngu stabilitas.

Segala bentuk pengamanan ini dilakukan oleh ABRI. Makan bukan suatu hal yang mengherankan ketika orang-orang menghilang dan mati secara tiba-tiba. Jangan heran juga jika dalam setiap kutbah dan seminar intelejen berkeliaran dalam ruangan dan tiba-tiba pembicara diculik dan tidak pernaah kembali. Itu semua dianggap sebagai suatu hal yang wajar oleh masyarakat karena mereka berpikir itu semua juga demi keamanan mereka.

Demokrasi dan Islam


Pasca lengsernya Soeharto, Islam di Indonesia berkembang semakin pesat. Apalagi dengan adanya dalih demokrasi yang digembor-gemborkan sendiri oleh pemerintah kita. Dan perkembangan ini bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang makin menngkhawatirkan. Maka tidak heran ketika dosen saya pernah berkata bahwa Islam saat ini adalah Islam yang cukup agresif. Umat Islam kini bebas mengatakan setuju dan tidak setuju terhadap suatu hal tanpa perlu takut diberangus lagi.

Pergerakan Islam pun semakin pesat, tidak hanya sekedar dalam forum-forum pengajian, tetapi sudah masuk ke semua sektor ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, dsb. Pergerakan-pergerakan pun makin banyak macamnya mulai dari yang lembut hingga yang keras. Dan pemerintah pun tidak bisa mengatur perkembangan ini karena telah termakan oleh demokrasi yang telah mereka ciptakan sendiri.

Angin segar muncul ketika terorisme menjadi tren tersendiri. Semenjak penyerangan WTC oleh Osama bin Laden maka kata terorisme menjadi komoditi tersendiri bagi seluruh Negara di dunia. Salah satunya di Indonesia semenjak tragedi bom bali. Dan beberapa saat yang lalu tren ini muncul kembali dengan adanya kejadian bom Marriot jilid 2.

Ustad Abu Bakar Ba’asyir pernah mengatakan bahwa sesungguhnya terorisme adalah sesuatu yang diciptakan untuk memberangus pergerakan Islam saat ini. Dan kini hal itu makin nampak masuk akal. Semenjak kejadian Bom Marriot jilid 2 mulai tampak kegiatan pemerintah memperketat pengawasan perkembangan Islam. Mulai dari isu penggunaan outbound oleh Saefudin Jaelani sebagai bentuk perekrutan teroris, anjuran dari TNI agar melaporkan pendatang yang menggunakan sorban (apdahal para teroris justru tidak menggunakan sorban dalam penyamaran mereka), hingga yang terakhir ini adalah dimulainya lagi kegiatan intelejen dalam setiap kutbah-kutbah di masjid oleh pihak kepolisian.

Sekarang coba bandingkan dengan zaman orde baru, saya rasa hampir sama. Bedanya jika dahulu pekerjaan ini dilakukan oleh ABRI aka sekarang dilakukan oleh Polisi. Jika dahulu pemerintah tidak perlu repot-repot memberikan alasan kepada masyarakat maka kini cukuplah terorisme untuk melakukan tindakan-tindakan yang dirasa perlu.

Penutup


Tulisan ini bukan bermaksud mendukung terorisme atau menjelek-jelekkan pemerintah, hanya saja ketika pemerintah menggembor-gemborkan demokrasi maka kami umat Islam juga menuntut hal yang sama. Jika terorisme bisa dilakukan oleh siapa saja mengapa hanya kami umat Islam yang diawasi? Mengapa seminar-seminar dan kutbah-kutbah di gereja atau pun Pura tidak diawasi? Ataukah memang terorisme adalah sebutan lain bagi kami umat Islam? La khaula wa la kuwata illa bi illah.

64 tahun penjajahan Indonesia (sebuah sindiran sosial)

Genap sudah 8windu bangsa ini dijajah oleh Indonesia. Andai saja pada pagi di bulan puasa tepat 64 tahun yang lalu itu para pendiri Indonesia tidak berbuat ulah dengan mengibarkan rajutan benang merah dan putih itu, tentunya tidak akan jadi begini nasib kita. Lihatlah Malaysia, lihatlah Singapura, mereka bukanlah orang-orang yang suka berulah dan kini negeri mereka aman dan makmur.

Jangan heran kepada kami. Bagi kami harga diri adalah bualan orang-orang tidak berpendidikan. Yang ada hanyalah realitas dan berpikir masuk akal. Tidak perlulah kalian berkata tentang harga diri itu. Yang penting kita untung, tidak peduli dengan yang lainnya.

Maka jangan heran pula jika kami suka menjual kekayaan kami kepada asing. Bukan menjual, itu hanya sekedar investasi. Toh dalam kitab pendidikan kami mengajarkan memang seperti itulah seharusnya. Tidak perlulah kita berpikir kekayaan itu dikuasai siapa, yang penting kita untung. Daripada dikuasai kita sendiri namun merugi? Maka lebih baik kami serahkan ke asing toh nantinya kami juga bakalan kecipratan nol koma sekian persen dari jutaan trilyun tersebut, toh itu tetap saja jumlah yang besar dan tidak sanggup kami habiskan hingga anak cucu kami. Maka jangan heran pula jika kami kini berpikir untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah perseroan terbatas, karena selama 64tahun ini tampaknya Negara ini terus merugi. Mungkin bila pihak asing yang menangani bisa saja Negara ini menjadi untung kembali.

Yang penting adalah kita mendapatkan keuntungan. Itulah yang diajarkan dalam sekolah-sekolah kami yang lebih banyak berbicara tentang tangan ajaib milik Adam Smith dibanding Koperasi Hatta. Karena dalam sekolah kami, Negara-negara di Barat jauh sana bak sebuah nabi dan sauri teladan yang baik. Sebisa mungkin tirulah mereka hingga bagaimana cara mereka buang air besar.

Maka jangan heran ketika sekolah-sekolah kami kini menggunakan bahasa asing yang bahkan tidak kami mengerti. Peduli anjing tentang pendidikan, yang kami tahu pendidikan dengan bahasa Inggris itulah yang baik. Bahkan ketika perut kami sakit karena kebanyakan makan, kami pun enggan menginjakkan kaki ke klinik dimana bahasa pribumi digunakan. Pokoknya harus bahasa asing yang terdengar dalam telinga kami meskipun kami juga tidak paham maksudnya. Jadi jangan heran jika sering terjadi mal praktek akibat adanya mis komunikasi diantara pasien dan dokter.

Bagi kami, sertifikasi internasional jauh lebih berharga daripada lebel halal. Karena kau tahu? Segala sesuatu yang baik itu datangnya dari luar, dari Barat jauh sana, bukan dari diri kita sendiri. Lihatlah apa yang melekat pada diri kami. Jika kau temukan sepatu yang awet dan tahan lama, maka itu pastilah berasal dari Amerika. Sedang jika sepatumu gampang rusak, maka pastilah itu produk lokal. Suami dan istri yang baik pun adalah yang dari luar, atau minimal mereka adalah blasteran yang bukan murni darah lokal. Seperti yang kau lihat di layar tivi kami dimana blasteran Barat jauh mendominasi apa yang kami kategorikan sebagai cantik.

Seburuk-buruk penjajah adalah Indonesia. Di saat awal Negara ini menjajah kami mereka dengan bodohnya justru bekerja sama dengan kaum Timur sosialis dan bermusuhan dengan Negara-negara Barat Jauh. Bahkan mereka menolak mentah-mentah investor dari Belanda yang berniat membangun bangsa ini di akhir tahun 2605. Tak bisakah kalian melihat bahwa apa yang kalian musuhi adalah mereka yang kaya dan memiliki segalanya?

Itulah kebodohan terbesar Indonesia. Andai saja kita terima Belanda dan sekutunya untuk berinvestasi di negeri ini, tentu saat ini kita sudah seperti mereka. Tetapi kalian sibuk berteriak dengan apa yang kalian sebut sebagai harga diri. Dan lihatlah ketika kini harga diri sudah tidak lagi ngetrend maka itu semua menjadi penyesalan tiada akhir.

Nasionalisme adalah sebuah bentuk chauvinisme lain yang diperlembut. Itu semua tidak lebih dari sebuah bentuk fanatisme kelompok. Kita sekarang hidup di zaman globalisasi, Bung! Nasionalisme kini tidaklah lebih dari penghalang kehidupan sejahtera. Maka kami heran ketika masih ada saja Negara yang melindungi warganya dengan subsidi, proteksi, bea cukai dan sebagainya yang menghalangi globalisasi.

Maka cukuplah bagi kami mengenal kata Indonesia dan Nasionalisme dua kali, yaitu saat pemilu dimana para pemegang saham Negara ini menjadi dekat dengan kami dan saat tanggal 17 bulan 8. Dan cukuplah orang-orang yang bau tanah itu yang mengenang apa yang mereka sebut sebagai kemerdekaan. Biarkan mereka bertirakat pada malam sebelumnya dan menangis terharu. Bagi kami tidak ada yang perlu direnungi karena tidak ada satu pun saudara kandung kami ataupun teman kami yang mati dalam pertempuran konyol mereka. Sedangkan anak-anak kami terpaksa mengikuti upacara sebagai formalitas saja. Ah biarlah, satu atau dua tahun lagi anak-anak kami pasti tidak perlu kepanasan di pagi hari libur itu.

Romantisme perjuangan dan kejayaan masa lalu yang diajarkan dalam sejarah bangsa kami adalah sesuatu yang harus kami lupakan seiring berjalannnya waktu, bukan sesuatu yang harus kami wujudkan kembali. Karena bagi kami itu semua hanyalah tinggal utopia yang hanya akan menghambat kami untuk berpikir realistiis. Jadi wajar jika kini Pancasila telah kami gantikan dengan konsensus Washington karena bagi kami Pancasila adalah produk masa lalu yang sudah ketinggalan zaman.

Cukuplah Pancasila berada dalam arsip sejarah nasional kami, tidak lebih. Bersama dengan lagu-lagu indah tentang Indonesia yang konon katanya dari Sabang sampai Merauke. Padahal tahukah kalian bahwa Indonesia tidak lain hanyalah sebuah bentuk penjajahan Jakarta terhadap daerah-daerah lain? Pemerintah menganggap Indonesia hanyalah Jakarta, sedang daerah lain tidak lebih dari sumber pemasukan tambahan dari apa yang dapat mereka hasilkan untuk Jakarta. Maka wajarlah ketika Jakarta sibuk berburu blackberry maka kami yang berada di Timur sana menderita beri-beri karena buruknya apa yang kami makan.

Marilah kawan, sekarang sudah bukan zamannya lagi berbicara yang namanya harga diri. Salah kita sendirilah bila barang kita hilang dicuri orang. Itulah salah satu cara berpikir kami. Segala sesuatu yang baik itu datangnya dari luar. Maka kita orang-orang bodoh ini sebaiknya menurut saja lah pada Barat jauh sana. Raga kami pribumi namun pikiran kami adalah Barat jauh. Bukan dicuci otak oleh mereka, tetapi oleh industri pendidikan kalian sendiri. Enam puluh empat tahun Negara ini dijajah oleh Indonesia, dan kami yakin tidak lama lagi kami akan merdeka dari Indonesia melihat sejauh ini kami telah berhasil.

*) terinspirasi oleh 107 Tahun Bung Hatta ; Begini Inilah Kami, Bung! oleh ES ITO

Militer di mata saya

Bermula ketika semester satu saya mengambil mata kuliah kewarganegaraan dimana saya mendapat tugas dengan tema civil society. Dari situlah saya mengenal adanya yang disebut sebagai masyarakat sipil dan masyarakat militer. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa perlu adanya pemisahan antara masyarakat sipil dan militer.

Militer, manusia yang berbeda


Siapa yang tidak mengenal istilah-istilah koleris, sanguinis, melankolis, dan pregmatis? Sudah ribuan buku psikologi popular yang menjajakan tes-tes mainan tersebut kepada masyarakat awam. Namun tahukah anda bahwa tipe tes psikologi ini juga pernah menjadi andalan di militer pada saat perang dunia?

Ada sebuah sejarah yang menarik dimana pada saat perang dunia Negara-negara Eropa menggunakan tes ini sebagai seleksi tentara mereka. Dan mungkin anda sekalian juga bisa menebak bahwa tentu saja orang dengan tipe koleris lah yang mereka cari untuk dijadikan tentara.

Koleris aalah tipe manusia dimana secara gampangnya mereka disebut sebagai orang-orang yang gampag marah. Tentunya kita tahu bahwa tidak mungkin menggunakan orang-orang sanguinis, melankolis, dan pregmatis di dalam perang karena mereka dorongan dari dalam diri mereka untuk balas menyerang ketika mereka diserang tidak akan sebesar orang-orang tipe koleris. Kita tidak membutuhkan kegembiraan dalam berperang, kita juga tidak punya waktu untuk meratapi peperangan. Dan tentunya kita tidak bisa hanya bersabar ketika musuh menodongkan senjata kepada kita.

Oleh karena itulah ada sebuah tempat yang disebut sebagai barak militer yang salah satu fungsinya adalah menjauhkan mereka dari masyarakat sipil agar tidak terjadi konflik. Bahkan beberapa Negara seperti Amerika Serikat misalnya mereka terus menerus menciptakan perang dan tentunya salah satu tujuan lainnya adalah menyalurkan hasrat masyarakat militer agar nantinya hasrat tersebut tidak disalurkan ke negeri mereka sendiri.

Dalam masyarakat militer, perasaan marah dan kekerasan disalurkan dalam bentuk yang tepat sehingga menguntungkan mereka.

Kita sebagai warga sipil, pernahkah terpikir bahwa ada makhluk lain yang menyerupai kita dari segi jasmani. Mereka juga makhluk hidup dominan seperti kita. Akan tetapi mereka memiliki struktur kehidupan dan masyarakat yang berbeda?

Sekarang bayangkan sebuah masyarakat dimana penuh dengan orang-orang yang cenderung lebih mudah marah dan lebih dekat dengan kekerasan. Dalam masyarakat militer hal itu justru dipupuk dan diolah dengan baik. Sedangkan dalam masyarakat kita itu semua adalah hal yang tabu. Maka adalah sebuah tindakan yang bodoh ketika kita mempermasalahkan kekerasan yang terjadi di militer.

Jika kita sebagai masyarakat sipil digerakkan oleh opini masyarakat maka mereka digerakkan oleh perintah dari orang di atas mereka. Mereka tidak mengenal demokrasi seperti halnya kita memuja-mujanya, karena demokrasi hanya akan menghancurkan keteraturan dalam masyarakat mereka. Mereka tidak mengenal HAM seperti kita mengagung-agungkannya. Karena bagi mereka HAM hanyalah mainan orang-orang cengeng.

Pikiran mereka dipenuhi hanya dengan satu versi kebenaran saja: melakukan apa saja demi tanah air. Dan memang sejak kecil mereka dididik unntuk cinta kepada tanah air mereka melebihi apapun. Yang mereka tahu hanyalah menjalankan perintah sebaik-baiknya demi tanah air mereka.

Masyarakat mereka sungguh berbeda dengan kita. Sehingga menurut saya adalah konyol memaksakan pemikiran-pemikiran kita kepada mereka. Adalah bodoh memaksakan demokrasi ke dalam sistem komando. Dan bagaimana kita bisa membentuk militer yang tangguh jika sedikit-sedikit mereka berbicara tentang HAM?

Jangan berpikir itu semua tidak manusiawi dan kita mengasihani mereka. Justru merekalah yang kasihan kepada kita. Yang perlu kita lakukan adalah menghargai mereka dan memperlakukan mereka sebagaimana seharusnya.

Militer di Indonesia


Di Indonesia sendiri, terjadi perubahan yang cukup besar dalam struktur masyarakat sipil dan militer beberapa tahun terakhir ini. Dimulai dari orde baru dimana pemerintah bertumpu kepada militer. Namun pasca tumbangnya orde baru muncul sebuah phobia masyarakat sipil terhadap masyarakat militer.

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, persenjataan yang selama ini hanya dikuasai oleh masyarakat militer yang diwadahi dalam ABRI (pasca reformasimasi menjadi TNI-Polri), kini masyarakat sipil pun diberi persenjataan dengan adanya pemisahan Polri dari masyarakat militer menjadi masyarakat sipil. Sehingga kini bisa dibilang persenjataan tidak hanya dimonopoli oleh masyarakat militer namun masyarakat sipil juga berhak.

Bukan hanya itu, phobia anti orde baru dan juga ani militer tidak hanya merubah struktur persenjataan. Jika anda cermati maka militer kian lama kian dikebiri dari berbagai sektor. Pemerintah juga mulai beralih kepada polisi (masyarakat sipil) dibanding kepada TNI (masyarakat militer) karena polisi dianggap lebih ramah lingkungan.

Salah satu indikasinya adalah kasus pengeboman. Untuk mengatasi kasus ini pemerintah sampai perlu repot-repot membentuk detasemen khusus dibawah POLRI padahal dalam struktur TNI sendiri sudah ada detasemen tersendiri untuk mengatasi apa yang sekarang biasa disebut terorisme. Dan sepak terjang detasemen anti teror milik TNI tersebut juga sudah teruji di mata Internasional. Bahkan telah berhasil menduduki peringkat kedua di dunia setelah Jerman. Namun pemerintah lebih suka meanfaatkan Polisi (sipil) dan membentuk detasemen baru karena dianggap lebih ramah lingkungan.

Dan keberalihan pemerintah dari masyarakat militer ke sipil itu juga berpengaruh kepada kesejahteraan masyarakat militer kita yang kian lama kian menurun. Salah satu yang bisa kita cermati adalah jatuhnya pesawat-pesawat militer beberapa tahun terakhir ini.

Selain itu, dosen saya pernah bercerita tentang sebuah penilitian yang menarik tentang kesejahteraan TNI dan Polri. Penelitian dilakukan dengan mendata sampah-sampah dari kedua sampel masyarakat tersebut. Dan hasilnya tentu tidak mengherankan ketika ditemukan bahwa masyarakat Polri (sipil) jauh lebih sejahtera dibandingkan dengan TNI (militer). Ini menunjukkan keberkurangan perhatian pemerintah kepada masyarakat militer dan beralih kepada masyarakat sipil.

Penutup


Apa yang saya tuliskan bukanlah sesuatu yang bermaaksud menjelek-jelekkan atau membeda-bedakan antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Yang saya harapkan adalah bahwa kita menyadari adanya perbedaan antara sipil dan militer. Perbedaan tersebut hendaknya disikapi secara bijaksana. Tidak perlu ada phobia dari masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Apalagi perlakuan diskriminasi satu dengan lainnya.

Hal lai yang menjadi keprihatinan saya adalah adanya kecenderungan untuk terus mengebiri kesejahteraan masyarakat militer di Indonesia. Bagaimanapun juga mereka tetaplah manusia dan bagian dari NKRI dan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengurusinya. Bagi saya, mereka adalah para patriot sejati dibanding kita masyarakat sipil. Dan semoga seiring bertambah majunya kesejahteraan masyarakat sipil maka masyarakat militer kita kembali Berjaya menjadi macan Asia, atau bahkan macan dunia. NKRI Jayamahe!

Nasionalisme Kecil

mereka yang menjual
kepada kami
nasionalisme kecil merah putih

aku tahu mungkin kau tak peduli
apa yang kau tawarkan
bagimu
itu hanya penyambung nafas
atau memang kau menjual nasionalisme

Dua ribu
itu yang kau tawarkan pada kami
dua ribu harga untuk berhenti
namun itu terlalu mahal untuk nasionalisme
dua ribu harga segelas es teh
namun itu terlalu mahal untuk nasionalisme

ah mungkin kau yang salah menawarkan
nasionalisme telah terhapus dari kamus kami
tak ada artinya lagi bagi kami kata itu

terserah apa kata orang lain
kamu tetap orang yang baik
minimal lebih sekedar peminta di perempatan
tapi tetap saja
dua ribu terlalu mahal untuk sebuah nasionalisme kecil
bahkan pada tanggal 17 Agustus