Senin, 28 Desember 2009

efektif dan efisien: sebuah budaya baru dalam bekerja


sebuah cerita awal


"Berkerjalah dengan efektif dan efisien" atau "Belajarlah dengan efektif dan efisien", ntah kenapa kedua kata itu kini cukup populer untuk digunakan. Entah sejak kapan kini kita tidak lagi disuruh bekerja dengan benar dan baik tetapi budaya yang muncul mengajarkan kita untuk belajar dan bekerja dengan efektif dan efisien.

Dan parahnya lagi, budaya efektif dan efisien telah meresap ke syaraf-syaraf pemikiran kita. Banyak sekali kebijakan-kebijakan yang diambil efektif dan efisien, namun terkadang seolah bertentangan dengan norma, nilai, dan filosofis yang ada. Apakah itu benar?

siapa itu mereka sebenarnya


Efektif adalah sejauh mana langkah yang kita ambil sesuai untuk mencapai tujuan kita. Sedangkan efisiensi adalah rasio input dibandingkan dengan output dalam mencapai suatu tujuan. Semakin kecil input yang kita lakukan namun dapat mengeluarkan output yang semakin besar, maka semakin efisiensi-lah yang kita lakukan.

Yang menarik adalah kata ini tidak dapat anda temukan di Rusia. Di negeri dingin tersebut tidak ditemukan padanan kata effective. Jika kita telaah lebih dalam, kata-kata ini sering digunakan dalam konteks-konteks perekonomian secara garis besar. Dan kita tahu bahwa Rusia pada awalnya menganut sistem ekonomi sosialis. Jadi biarkanlah saya menuduh kedua kata ini sebagai anak kandung dari budaya eropa yang menganut sistem ekonomi Liberalis-Kapitalis.

Mungkin bagi beberapa orang itu dianggap terlalu berlebihan, tapi percayalah bahwa bahasa merupakan cerminan budaya dari suatu bangsa.

Bagaimana di Indonesia?


Di Indonesia sendiri pun tidak ada kata yang menyamai kata effective. Kata efektif yang biasa kita gunakan pun itu merupakan serapan dari bahasa asing yaitu effective. Begitu pula dengan kata yang satunya. Jadi bisa saya katakan bahwa efektif dan efisien merupakan pendatang dalam budaya kita.

Saya mencoba mencari kata asli yang memiliki arti menyerupai kata tersebut namun belum berhasil menemukannya. Yang saya temukan paling mendekati adalah kata tepat namun itupun memiliki arti yang cukup berbeda. Jadi bisa saya katakan bahwa bangsa kita sebelumnya tidak mengenal konsep efektif dan efisien. Baru ketika pengaruh asing mulai masuk kita kemudian mengenalnya.

Bekerja yuk..


Supaya tidak melebar kemana-mana, sebenarnya saya hanya mengaitkan kedua kata ini dalam budaya etos kerja bangsa kita. Seperti telah dibahas sebelumnya, kini kata-kata populer yang biasa muncul dalam etos atau nasihat kita adalah "bekerjalah dengan efektif dan efisien".

Jika kita mencoba mengingat-ingat lagi, kata-kata itu sebelumnya jarang muncul. Dalam bahasa Indonesia sebelumnya, kata yang biasa kita dengar adalah "Bekerjalah dengan baik dan benar". Sedangkan dalam budaya yang lebih tua lagi (misal budaya Jawa) kata-kata yang muncul adalah "Nyambut gawe sing pener" (Bekerjalah dengan pener).

Apa bedanya?


Dari gambaran di atas terdapat tiga etos kerja yang berbeda yaitu efektif dan efisien; baik dan benar; serta pener. Kita akan bahas satu per satu ketiga etos kerja tersebut.

Efektif dan Efisien. Kedua kata ini mengandung dimensi tujuan dan pengorbanan. Bekerja yang efektif dan efisien adalah bagaimana kita bisa melakukan sesuatu yang tepat untuk meraih tujuan kita dengan pengorbanan seminimal mungkin. Ini menunjukkan suatu etos kerja yang berfokus pada pencapaian tujuan.

Baik dan Benar. Kedua kata ini mengandung dimensi proses saja. Bekerja dengan baik dan benar adalah bagaimana kita bekerja sesuai dengan aturan yang ada dan tidak melanggarnya. Ini menunjukkan suatu etos kerja yang berfokus pada proses yang baik.

Pener. Mungkin sebagian orang heran mengapa saya tidak menyamakan saja arti kata ini dengan kata baik dan benar. Memang banyak orang yang memberikan arti yang sama pada kata-kata tersebut, nemun menurut saya, kata pener itu sendiri lebih dari sekedar baik/benar/tepat. Kata tersebut selain memiliki makna benar, baik, dan tepat, juga memiliki satu dimensi spriritual dimana yang dimaksud benar disini bukan hanya pada menaati aturan tetapi memiliki dimensi spiritualitas dan menjaga nilai-nilai keluhuran.

Oke saya bingung, terus bagaimana?


Kita beri satu contoh saja mengenai privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Dalam dimensi pertama, langkah tersebut dinilai efektif dan efisien karena pada kenyataannya bentuk perusahaan terbuka (PT) justru dapat menghasilkan nilai jual yang lebih dan keuntungan lebih banyak. Secara aturan apakah langkah tersebut sesuai dengan UU dan aturan yang ada? Apakah hal itu diperbolehkan? Pertanyaan-pertanyaan ini mengandung dimensi baik dan benar. Apakah kebijakan yang kita ambil ini benar sesuai aturan dan baik bagi negara ini?

Namun ada satu hal yang luput dari kedua hal tersebut yang diampu oleh etos ketiga. Apakah langkah tersebut sesuai dengan filosofi para pendahulu kita? Lalu dimana letak kemandirian dan kedaulatan? Bukankah para pendahulu kita mengamanatkan agar sektor-sektor penting dikuasai oleh negara?

Beri saya satu contoh lagi


Oke baiklah kali ini tentang portal UGM. Beberapa orang berpendapat bahwa jika sistem ini diserahkan pada pihak swasta maka ini akan lebih efektif dan efisien (etos yang pertama). Lalu kita kaji lebih mendalam apakah hal itu memang yang terbaik bagi UGM dan tidak bertentangan dengan aturan yang ada (etos kedua). Tetapi secara filosofis, terus apa gunanya SKKK? Kenapa tidak sekalian kita pecat aja semua SKKK dan kita serahkan keamanan pada pihak swasta? (etos ketiga).

Untuk bonusnya saya beri satu contoh lagi tentang sistem outsourcing. Ditinjau dari efektif dan efisien ternyata memang benar sistem ini menghasilkan kinerja yang lebih bagus dan lebih efisien. Lalu dari segi baik dan benar apakah memang sistem ini baik untuk digunakan dan memang seperti ini seharusnya? Sedangkan ditinjau dari segi pener maka dimana tanggung jawab moral anda sebagai pengambil kebijakan menyiksa orang lain dalam ketidakpastian? Maukah anda menjadi pegawai outsourcing?

Bukan bermaksud bijak, tetapi ini sedikit nasihat


Jika anda cermat dalam membaca buku Organizational Behavior (Robbins, 2003), maka anda akan temukan kekurangan dalam dunia saat ini yaitu aspek spiritual. Etos kerja yang pertama dan yang saat ini sedang populer, yaitu efektif dan efisien, hanya menngandung dimensi pencapaian tujuan sehingga yang terjadi saat ini adalah the end justify the mean.

Namun jika kita mau menggali lebih dalam keluhuran nilai-nilai bangsa kita sendiri, maka anda akan menemukan bahwa para leluhur kita jauh-jauh hari telah berpesan untuk memikirkan proses (baik dan benar) serta berfokus pada nilai-bilai luhur spiritual (pener). Dan subhanallah, ternyata dalam Islam hal serupa juga ada dimana hasil (pencapaian tujuan) adalah milik Allah, sedangkan kewajiban kita hanya berusaha (proses). Maka nyambut gawea sing pener. Jamane jaman edan, ra edan ra keduman. Tapi po kowe rep dadi wong edan men keduman?

Kamis, 03 Desember 2009

Hanya Satu Soekarno..

Mungkin memang hanya satu Soekarno yang memerdekakan Indonesia. Hanya satu Mahatma Gandhi yang mengajarkan untuk melawan keburukan dengan kebaikan. Dan hanya satu Nelson Mandela untuk membuat perubahan tentang apa arti hitam dan putih di dunia ini.

Tetapi kawan tahukah engkau bahwa mereka tidak dapat melakukannya sendirian? Apa yang akan dilakukan Soekarno saat pembacaan Proklamasi tanpa adanya merah putih yang berkibar? Di saat itulah Fatmawati mengambil perannya. Apakah Soekarno akan mantap mendeklarasikan Proklamasi tanpa adanya barisan pemuda di belakangnya yang siap mendukung dia untuk segera melakukan proklamasi?

Apa pula arti Mahatma Gandhi dan Nelson Mandella tanpa masyarakat yang menyorotinya dan mengamalkan pemikiran mereka? Apakah Nelson Mandela berhasil mengubah arti hitam dan putih di dunia ini sendirian? Tentu tidak.

Kawan, mungkin memang hanya dibutuhkan seorang pemimpin untuk mengarahkan dan menunjukkan perubahan dan kebenaran. Namun butuh banyak pengikut yang mau dipimpin untuk membuat sebuah perubahan dan menegakkan sebuah kebenaran.

Kita tidak bisa berharap kepada Presiden untuk membersihkan sampah yang terbuang sembarangan karena Presiden bukanlah tukang sapu. Perubahan terletak di kedua tangan kita. Kita lah yang membuat perubahan, bukan dia, kamu, kami, ataupun mereka.