Sabtu, 17 April 2010

jurnalisme anti penguasa

Hehe..entah kenapa saya sedang senang mengkritik para jurnalis akhir-akhir ini. Setelah sebelumnya menulis the journalist can do no wrong? yang berisi tentang kekhawatiran jurnalisme yang semakin menjadi dewa tak bermoral, kini saya ingin melanjutkan kekhawatiran yang saya rasakan terhadap dunia jurnalisme di Indonesia.

Akhir-akhir ini layar televisi, komputer (yang nyambung internet), radio (gak ada layarnya tapi ada suaranya), surat kabar, dan media massa lain sibuk memberitakan bentrok berdarah yang terjadi di Koja. Saya akan membahas bentrokan ini dari sudut pandang psikologi lain waktu, namun saat ini ada sebuah cuplikan gambar yang menarik bagi saya. Yaitu cuplikan adegan satpol PP menghajar warga yang diputar di televisi berulang-ulang dengan sangat jelas.

Bukan masalah siapa yang salah, yang menarik juga adalah adanya cuplikan adegan massa yang kalap menghajar satpol PP yang tidak berdaya hingga sekarat. Namun anehnya, cuplikan adegan tersebut sengaja diburamkan.

Ada semacam kejanggalan disini. Jika memang adegan menghakimi satpol PP diburamkan karena adegan kekerasan yang takutnya nanti ditiru oleh anak-anak, tetapi mengapa adegan satpol PP memukuli warga ditampilkan dengan gamblang?

Jika kita melihat data di lapangan, ternyata sebagian korban terluka dan meninggal justru dari pihak satpol PP itu sendiri. Itu berarti ada lebih banyak adegan massa menghajar satpol PP dibanding adegan satpol PP menghajar warga. Namun mengapa yang selalu ditampilkan dan digembor-gemborkan adalah adegan satpol PP menghajar warga? Apakah karena mereka bagian dari pemerintah dan karena mereka aparat?

Media massa memang merupakan media propaganda dan kita tahu itu. Namun sebenarnya apa yang mereka propagandakan itu yang menjadi sebuah pertanyaan tersendiri.

Jika kita cermati lagi, entah mengapa media massa sangat sekali tertarik dengan isu pemerintahan, terutama isu negatifnya. Seringkali kita melihat headline berita dipenuhi dengan isu-isu negatif tentang pemerintah. Bahkan dalam berita bencana alam pun tak luput menyertakan kekurangan pemerintah.

Entah sekecil apapun itu, saya melihat kecenderungan ini memang ada. Saya sendiri mencoba berpikir mencari jawaban atas hal ini. Dalam tulisan ini saya akan bercerita tentang dua sekenario gila tentang apa yang terjadi di dunia jurnalisme saat ini yaitu jurnalisme balas dendam dan jurnalisme bayaran.

Jurnalisme Balas Dendam
Kita semua tahu bahwa pada zaman orde baru, dunia jurnalisme cukup terkekang. Salah tulis sedikit bisa-bisa kita pergi tak kembali. Media massa dikuasai pemerintah secara berlebihan. Pendapat dikekang dengan sangat kuat bahkan untuk sekedar meludah pun harus tengok kiri-kanan.

Kondisi sebaliknya terjadi ketika 1998 pasca lengsernya orde baru. Euforia Demokrasi terasa sampai kesendi-sendinya. Saatnya kini jurnalis bebas berbicara tentang apa yang selama ini mereka takut untuk dibicarakan.

Sesuai teori bandul, maka ketika suatu keadaan beralih dari ekstrim kiri maka akan berlaih menuju ekstrim kanan ibarat bandul yang diayunkan. Bagitu pula dengan jurnalisme.

Ketika sebelumnya berbicara tentang pemerintah saja dianggap sebagai sebuah hal yang tabu, maka ketika bandul dilepaskan yang terjadi adalah masa dimana jurnalis bebas mencaci maki pemerintahan.

Dan kita bisa melihat hal itu memang benar adanya pada era reformasi 1998. Hal ini tidak terjadi hanya pada dunia jurnalisme, tetapi terjadi hampir semua sektor beralih menjadi golongan anti kekuasaan.

Jika sebelumnya menyanjung pun takut salah kini mencaci maki menjadi hal yang biasa. Yang sebelumnya patuh pada aturan kini beralih menjadi tidak mau terikat peraturan. Dan sebagainya.

Yang menakutkan adalah jka semangat ini mengakar dan tertanam dengan erat di dunia jurnalisme Indonesia. Yang terjadi adalah pemberitaan dan propaganda yang tidak sehat. Propaganda tidak sehat ini tentunnya juga akan berpengaruh pada masyarakat dan menular ke berbagi sektor lain.

Jadi ada kemungkinan pola propaganda jurnalisme saat ini merupakan benntuk balas dendam atas kesewenang-wenangan penguasa pada era sebelumnya yang mengakar dan menjadi budaya hingga saat ini. Propaganda yang ada ditujukan memunculkan sentimen anti-penguasa sebagai sebuah bentuk balas dendam dari era sebelumnya.

Jurnalisme Bayaran
Prinsip utama dari ekonomi adalah keuntungan. Di Indonesia istilah kerja identik dengan uang. Inilah yang menjadi poin utama dari semua ini.

Jurnalisme dan media massa merupakan salah satu sektor pekerjaan yang ada di Indonesia. Itu juga mengapa jurnalisme dan media massa tidak bisa terlepas dari uang. Meskipun saya lebih suka ide tentang jurnalisme balas dendam yang seolah-olah penuh propaganda terselubung, tetapi tampaknya skenario ini yang lebih masuk akal.

Apa yang terjadi di dunia jurnalisme saat ini tidak lepas dari pengaruh uang. Apa yang menjadi berita bukan karena masalah propaganda ke arah mana, tetapi hanya semata-mata untuk meraih keuntungan.

Seorang teman saya yang berkecimpung di dunia jurnalistik mahasiswa pernah berkata bahwa dunia jurnalisme saat ini kehilangan idealisme dan hanya semata-mata dipandang dan digunakan sebagai sarana memperoleh keuntungan.

Jadi jikalau selama ini media massa dan dunia jurnalisme seolah-olah selalu memojokkan pemerintah sebenarnya itu hanyalah upaya untuk menjual isu yang hangat dengan menyirami minyak tanah ke api unggun. Dan boleh dibilang masyarakat saat ini memang sedang hobi mengkritik dan menjelek-jelekkan pemerintah jadi itu yang dijual.

Jika masyarakat memukuli satpol PP tentu itu akan dilihat sebelah mata, namun jika satpol PP memukuli masyarakat apalagi masih anak-anak tentu itu akan lebih menarik dan menjual. Itulah analogi yang terjadi.

Penutup
Apa yang saya tulis disini hanyalah dua buah buah skenario ngawur yang mengkritisi dunia jurnalisme di Indonesia saat ini. Saya tidak akan berkata bahwa inilah yang sesungguhnya terjadi, tetapi inilah pendapat saya. Anda boleh percaya atau tidak.

Media massa merupakan salah satu alat yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan masyarakat dan merubah peradaban saat ini. Mengutip kata-kata dalam film Spiderman, "great power, great responsibility." Kekuasaan yang besar menuntut tanggung jawab yang besar. Saya sungguh berharap bahwa media massa dapat mendidik masyarakat kita menjadi lebih baik.

Rabu, 14 April 2010

analisis psikologi: film Antwone Fisher

Film Antwone Fisher bercerita tentang pengalaman hidup seorang Marinir AS yang mengalami kejadian pahit di masa lalu. Antwone Fisher memiliki kepribadian yang mudah marah dan sulit mengendalikan diri namun pemalu terhadap lawan jenis. Sifat mudah marahnya muncul terutama jika berkaitan dengan dirinya sebagai warga kulit hitam, wanita, ditinggalkan teman, dan tentang dirinya.

Dalam film diceritakan sifat mudah marahnya tersebut membuat dirinya sering berkelahi dengan temannya sesama Marinir AS. Hingga suatu hari dirinya mendapatkan hukuman dan diharuskan untuk berkonsultasi kepada psikolog tentara AS.

Disini psikolog berusaha mencari tahu apa masalah sebenarnya yang dihadapi Fisher sehingga dia memiliki perilaku seperti itu. Ternyata ini semua berkaitan dengan kejadian yang dialaminya di masa kecil.

Hal ini serupa dengan teori Psikoanalisa yang dikemukakan oleh Sigmud Freud. Dimana masa kecil dianggap sebagai masa yang paling berharga dalam hidup yang menentukan perilaku individu nantinya.

Apa yang dialami di masa kecil menentukan seperti apa karakter individu tersebut. Dalam hal ini pengalaman-pengalaman atau konflik-konflik yang tidak menyenangkan akan menimbulkan sebuah trauma tersendiri yang berpengaruh pada diri individu tersebut.

Konflik yang tidak menyenangkan tersebut pada awalnya akan berusaha ditekan oleh diri sendiri ke dalam alam bawah sadar yang secara tidak kasat mata akan membentuk karakter individu tersebut.

Konflik-konflik tersebut nantinya juga akan muncul sendiri secara otomatis dalam berbagai bentuk. Bisa diubah menjadi sebuah perasaan lain yang justru bertolak belakang dari perasaan yang seharusnya, disalurkan kepada orang lain, dan sebagainya.

Dalam film ini diceritakan Fisher yang marah-marah karena temannya berusaha mengajaknya berbicara namun Fisher menganggapnya itu sebuah ejekan bagi warga kulut hitam seperti dirinya.

Fisher kecil ayahnya tewas ditembak oleh salah satu pacar ayahnya. Sedangkan ibunya dipenjara sehingga Fisher terpaksa dilahrikan di dalam penjara. Fisher kemudian dibawa ke panti sosial untuk dipelihara oleh pemerintah untuk sementara waktu hingga ibunya bebas dari penjara.

Namun hingga dewasa ibunya tidak pernah muncul menjemputnya. Kemudian Fisher dipelihara oleh seorang pendeta bersama istrinya. Fisher dipelihara bersama dua anak yatim lainnya.

Namun Istri pendeta tersebut cukup membenci orang kulit hitam meski dirinya sendiri juga merupakan orang kulit hitam. Istri pendeta tersebut sangat sering menyinggung-nyinggung masalah perbedaan warna dan sering meneror atau mengancam anak-anak asuh mereka.

Salah satunya adalah menanamkan pada mereka bahwa kulit hitam merupakan suatu hal yang kurang baik dan memperlakukan salah satu dari tiga anak asuh mereka yang merupakan campuran kulit putih dengan spesial karena masalah rasial tersebut.

Hal inilah yang kemudian ditekan oleh Fisher kecil ke dalam alam bawah sadarnya. Ketika Fisher tumbuh dewasa maka konflik tersebut keluar lagi dalam bentuk displacement yaitu mengalihkan perasaan tersebut pada orang lain. Sehingga Fisher dewasa frustasi dan menjadi mudah marah ketika disinggung mengenai warna kulit maupun dirinya secara fisik.

Fisher juga mengalami masalah mengenai hubungan personal dengan lawan jenis. Dirinya juga mendapatkan sebuah trauma masa kecil dimana dirinya seringkali dipaksa oleh pembantu dari Pendeta tersebut yang kebetulan seorang wanita yang lebih dewasa.

Pembantu tersebut seringkali memaksa Fisher yang masih SD untuk berbuat mesum dengan dirinya. Pengalaman ini cukup membuat Fisher mengalami trauma sehingga menjaga jarak dengan lawan jenis dan kurang berhasil dalam menjalin hubungan.

Peristiwa ini sendiri juga tertekan ke dalam alam bawah sadar Fisher dan muncul dalam bentuk displacement ketika dirinya disinggung mengenai hubungannya dengan lawan jenis.

Masalah lain yang cukup mendalam dan utama adalah ketiadaannya figur utama atau figur lekat sebagai tempat bersandar bagi dirinya. Fisher kecil yang yang tidak pernah bertemu dengan orang tuanya semenjak kecil tentu sangat kekurangan kasih sayang. Apalagi keluarga angkat tempatnya diasuh tidak dapat memberikan hal tersebut.

Satu-satunya orang yang dekat dengan dirinya adalah temannya sewaktu kecil. Namun hubungan pertemanannya tersebut juga mendapat penolakan dari keluarga angkatnya tersebut. Dan juga kematian temannya ketika ditembak karena merampok sebuah toko juga terjadi padanya. Sehingga Fisher mengalami trauma kehlangan figur yang dekat dengannya.

Trauma ini kembali terungkit ketika psikolog tersebut berusaha melepaskan diri dari Fisher agar tidak terlalu bergantung padanya. Fisher yang merasa psikolog tersebut merupakan satu-satunya figur yang dekat dengan dirinya merasa ditinggalkan dan mengalami frustasi dan marah-marah.

Kemudian untuk menyembuhkan Fisher maka dirinya mencari keluarganya yang masih tersisa. Penemuan kembali keluarganya cukup mengobati penyakit psikologis yang dialami oleh Fisher dan dirinya berhasil memaafkan ibunya yang membuangnya ketika dirinya masih kecil serta saudara-saudaranya dari keluarga ayahnya.

*) ditulis sebagai tugas mata kuliah Psikologi Klinis

analisis strategi manajemen: Yamaha vs Honda

Honda sebagai pemegang pangsa pasar utama dalam keadaan pertumbuhan pasar yang relatif rendah jika dilihat dengan matriks BCG berada dalam kondisi cash cows. Dalam keadaan ini Honda menggunakan strategi Growth Strategy tingkat sedang dengan mempertahankan keadaannya saat ini dan tidak terlalu banyak melakukan perubahan terhadap produknya yang sudah dikenal masyarakat.

Hal ini sangat tepat mengingat langkah ini akan menghasilkan laba yang banyak tanpa harus mengeluarkan biaya yang banyak untuk melakukan banyak inovasi dan tetap bisa mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin.

Berbeda dengan Yamaha yang berada di posisi kedua. Agar tidak kalah dari Honda secara mutlak maka Yamaha menggunakan Differentation Strategy (Porter’s) dengan menciptakan gambaran keunggulan motor Yamaha yang berbeda dari motor Honda yaitu sebagai kendaraan yang lebih cowok dengan mengandalkan performa kecepatan dan desainnya yang lebih sporty. Hal ini terlihat dari bagimana Yamaha mencoba mengiklankan motornya menggunakan pembalap-pembalap Internasional sedangkan Honda menciptakan gambaran keadaan motornya sebagai motor yang irit, awet, dan nyaman dikendarai.

Namun disisi lain Yamaha berusaha untuk mengalahkan Honda dan merebut posisi kedua dalam pangsa pasar di Indonesia. Untuk itu Yamaha menggunakan Analyzer Strategy (Miles&Snow) agar tetap dapat mempertahankan posisinya di pasar Indonesia terhadap serbuan motor China sambil menganalisis pasar untuk mencari celah mengalahkan Honda.

Ketika Yamaha melihat peluang dari motor matic, Yamaha berusaha meraih peluang tersebut dengan mengeluarkan produk Nouvo yang kemudian disempurnakan dengan Mio. Pada awalnya strategy yang digunakan dalam pemasaran Mio adalah Focused-Differentation Strategy (Porter’s) dengan hanya berfokus pada pasar pengguna sepeda motor wanita dan berusaha menonjolkan perbedaan produknya (motor matic) dibandingkan produk sepeda motor saat itu.

Ternyata munculnya produk ini sukses besar. Produk Mio berhasil mendapatkan pangsa pasar yang besar dan mengubah pertumbuhan pasar yang ada sehingga menempatkan Mio dalam posisi Stars (Matriks BCG) dan mengubah strateginya menjadi Growth Strategy atau Differentation Strategy (Porter’s) dengan meluaskan pangsa pasarnya yang semula hanya fokus pada perempuan menjadi untuk semua jenis kelamin dengan mengembangkan produk baru yaitu Mio Soul yang disainnya lebih menarik untuk laki-laki.

Honda yang merasa posisinya terancam kemudian juga berusaha mengembangkan sepeda motor matic dengan tetap mengandalkan produk yang awet, irit, nyaman dan elegan sementara Yamaha terus mengembangkan produknya yang performa kecepatannya lebih tinggi dan disain yang lebih sporty.

Adanya persaingan ini membuat pertumbuhan pasar sepeda motor di Indonesia menjadi tinggi dalam keadaan pangsa pasar sepeda motor yang tinggi sehingga mau tidak mau menempatkan kedua perusahaan ini dalam posisi stars dan menggunakan Growth Strategy dengan tetap berpegang pada Differentation Strategy dan mengembangkan keunggulan produk mereka masing-masing.

*) ditulis sebagai tugas kelompok prasyarat UTS mata Kuliah Prinsip-Prinsip Manajemen bersama Ajie L.P., M. Noor A., dan Ahmad S.A.

Selasa, 13 April 2010

gender dan pergeseran budaya

Gender sebagai sebuah peran sosial, tentunya tidak lepas dari konteks budaya dimana masyarakat itu hidup. Di Indonesia sendiri khususnya di Jawa, terdapat perbedaan tugas dan tuntutan terhadap laki-laki dan perempuan.

Dalam pembentukan karakter dimana laki-laki dituntut untuk superior dan bisa mengatasi semua permasalahan yang ada. Sangat tabu bagi laki-laki untuk mengeluh atau menangis (meski dalam kebudayaan Jawa sendiri mengeluh adalah suatu hal yang mendekati tabu bagi laki-laki maupun perempuan). Laki-laki boleh bertindak keras unntuk menunjukkan superioritasnya, namun disisi lain laki-laki juga dituntut untuk selalu memperlakukan wanita (dan juga orang tua/tokoh masyarakat) dengan lemah lembut. Laki-laki hanya boleh menunjukkan superioritasnya di kalangan laki-laki itu sendiri. Laki-laki sendiri memiliki tuntutan untuk bisa bertindak memuliakan perempuan.

Hal ini menunjukkan bahwa wanita memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi daripada laki-laki dalam hal tertentu. Dimana perbuatan kasar atau tidak berlaku lemah lembut terhadap wanita merupakan sebuah tindakan yang dianggap tidak terpuji oleh masyarakat sama halnya dengan orang tua atau tokoh masyarakat.

Sedangkan wanita dituntut untuk lemah lembut kepada siapa saja. Wanita dididik untuk menjadi individu yang penurut berbeda dengan laki-laki yang diperbolehkan untuk membangkang dalam kondisi-kondisi tertentu. Wanita memiliki tuntutan yang lebih dalam hal tertentu (terutama sopan santun dan adat istiadat) dibanding laki-laki dimana perempuan sebisa mungkin harus dapat memikat laki-laki dan menyenangkan laki-laki.

Setiap tuntutan psikologis yang diterima oleh laki-laki tersebut menimbulkan konsekuensi tersendiri dimana antara laki-laki dan perempuan nantinya akan saling ketergantungan satu dengan lainnya.
Dalam pembagian tugas, perempuan memiliki peran untuk mengelola nafkah (domestik) dan keluarga sedangkan laki-laki menempati peran mencari nafkah (publik). Dimana dalam keluarga, laki-laki fokus untuk mencari makan bagi keluarga dan perempuan bertugas untuk mengolah makanan dan mengasuh anak.

Pembagian ini bukan sebagai sebuah bentuk diskriminasi tapi semata-mata hanya sebatas pembagian tugas saja. Pembagian peran ini sendiri baru muncul setelah anak tumbuh agak dewasa. Pada masa anak-anak laki-laki maupun perempuan memiliki peran yang hampir sama. Dimana pada intinya anak-anak yang lebih kecil (baik laki-laki maupun perempuan) biasa membantu ibunya untuk mengurusi tugas domestik misalnya membantu memasak, mencuci, mengasuh adik, dsb. Sedangkan untuk anak yang sudah agak dewasa disini mulai tampak ada pembagian tugas tersendiri dimana perempuan lebih ke domestik dan laki-laki menuju sektor publik dengan membantu ayahnya bekerja.

Namun pembagian peran ini sendiri tidak bersifat mutlak. Dalam kasus-kasus tertentu anak laki-laki yang sudah agak dewasa tetap mengambil peran domestik dalam keluarga membantu ibunya. Atau bahkan dalam situasi tertentu anak tersebut mengambil kedua peran sekaligus.

Dalam kasus panen dan tandur misalnya dimana perempuan juga dilibatkan dalam sektor publik untuk membantu laki-laki dalam menanam dan memanen padi. Namun dalam proses secara keseluruhan tetap saja laki-laki yang harus bertanggung jawab.

Dari hal ini dapat kita lihat bahwa sebenarnya pembagian peran bersifat tidak mutlak tergantung pada kemampuan masing-masing individu dalam keluarga. Namun tetap ada tuntutan sosial dimana perempuan lebih harus bertanggung jawab dalam urusan domestik kerumahtanggaan dan laki-laki harus lebih bertanggung jawab dalam hal publik mencari nafkah.

Meskipun demikian laki-laki mendapat tuntutan tambahan yaitu sebagai kepala rumah tangga bagaimana bisa mengatur organisasi yang ada dalam rumah tangga tersebut. Konsekuensinya adalah segala ketidakberesan dalam hal rumah tangga maka yang akan mendapat hukuman dari masyarakat adalah kepala rumah tangga (laki-laki) dan laki-laki juga memiliki hak untuk menghukum anak dan istrinya. Ibarat sebuah perusahaan yang gagal maka yang akan menerima dampak dan kerugian terbesar adalah manajernya. Namun disisi lain manajer juga berhak memberi hukuman kepada pegawainya karena tidak melaksanakan perintahnya sehingga perusahaan tersebut gagal.

Hal ini sering disalah artikan bahwa laki-laki semena-mena namun jika dicermati lebih dalam sebenarnya baik laki-laki maupun perempuan sama saja akan mendapat hukuman dan laki-laki justru yang dipersalahkan paling utama dalam masyarakat.

Pembagian peran dimana laki-laki mencari nafkah dan perempuan mengelola nafkah yang ada tersebut pada akhirnya menimbulkan suatu situasi yang makin rumit. Dimana segala fasilitas yang berkaitan untuk mencari nafkah diutamakan untuk laki-laki dan segala fasilitas yang kaitannya mengelola nafkah diutamakan untuk perempuan.

Salah satu kasus yang dianggap sebagai perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh kesetaraan gender adalah kasus dari Kartini yang hingga kini menginspirasi pergerakan kaum perempuan di Indonesia. Poin utama dalam kasus ini adalah dimana Kartini sebagai seorang perempuan juga menuntut untuk sama-sama dapat memperoleh pendidikan seperti halnya kaum laki-laki.

Mengapa hal ini menjadi masalah? Karena pendidikan diasosiasikan sebagai sebuah sarana untuk memperoleh nafkah. Pada masa itu pendidikan adalah suatu hal yang sifatnya sangat terbatas. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, segala hal yang berkaitan dengan sektor publik diutamakan kepada laki-laki karena laki-laki memiliki tuntutan untuk memberi nafkah keluarganya sehingga urgensi dari perempuan untuk memperoleh pendidikan dirasa kurang. Lalu terjadilah diskriminasi dalam hal pendidikan antara laki-laki dan perempuan.

Diskriminasi ini nantinya juga merembet ke hal-hal lain. Dalam sektor industry misalnya dimana seringkali laki-laki lebih diutamakan untuk memperoleh kenaikan jabatan atau karir yang lebih cemerlang. Selain itu seringkali laki-laki diberi upah lebih tinggi daripada wanita.

Hal ini semata-mata merupakan bentuk kompleks dimana sektor publik lebih diutamakan unntuk laki-laki karena mereka memiliki tuntutan tersendiri dalam hal ini. Sedangkan perempuan yang bekerja dianggap hanya sebagai tenaga sekunder yang sifatnya membantu dalam perekonomian keluarganya.

Akan tetapi di masa sekarang ini dimana pendidikan sudah bukan lagi merupakan sesuatu yang sifatnya terbatas, diskriminasi gender semacam itu dianggap sebagai suatu hal yang keterlaluan. Dari hal inilah kemudian berangkat pemikiran mengapa laki-laki harus memerankan peran semacam itu dan perempuan harus memerankan peran semacam ini.

Pemikiran-pemikiran semacam inilah yang memulai akar permasalahan gender. Sektor publik yang dianggap sebagai kunci utama kehidupan dianggap telah dimonopoli oleh laki-laki. Perempuan mulai menuntut agar bisa memasuki sektor publik dan diperlakukan sama dengan laki-laki.

Hal ini bukan karena tuntutan budaya semata, akan tetapi juga karena tuntutan ekonomi dimana laki-laki gagal memenuhi kewajibannya untuk menafkahi keluarga seutuhnya sehingga perempuan harus ikut membantu.

Permasalahannya adalah fokus perhatian kita yang ada hanya pada masalah sektor publik dan melupakan sektor domestik. Masuknya perempuan ke dalam sektor publik tidak diimbagi dengan masuknya laki-laki dalam sektor domestik sehingga yang terjadi adalah sektor domestik menjadi terbengkalai.

Menurut tradisi yang ada, sektor domestik menjadi tanggung jawab utama perempuan. Namun disisi lain menjadi sebuah ironi tersendiri karena penyebab terbengkalainya sektor publik akibat laki-laki tidak dapat menjalankan perannya secara maksimal.

Oleh karena itu perlunya redefinisi kembali tentang peran gender dalam masyarakat modern. Mengingat peran gender yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa tradisional dimana sektor domestik siurusi sepenuhnya oleh perempuan dan sektor publik sepenuhnya menjadi tanggung jawab laki-laki sudah tidak dapat lagi diterapkan secara sepenuhnya sehingga menimbulkan sebuah permasalahan baru.

*) ditulis sebagai tugas prasyarat UTS mata kuliah Psikologi Gender dengan mengubah judul

fenomena obat kuat

Keadaan Lapangan


Obat kuat sebenarnya telah lama dikenal dalam budaya Indonesia. Jika kita telisik lebih dalam, sejak zaman dahulu sudah ada makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh masyarakat karena khasiatnya menambah vitalitas atau kejantanan. Misalnya saja berbagai jenis jamu-jamuan dan makanan-makanan yang tidak biasa (misal darah ular, tongseng biawak, sate kelelawar, dsb). Makanan dan minuman tersebut tetap dikonsumsi oleh masyarakat meskipun terkesan aneh dan tidak normal karena dipercaya khasiatnya akan hal tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia sejak awal memang cukup menaruh perhatian tersendiri terhadap masalah ini.

Namun akhir-akhir ini fenomena ini makin menguat dengan bentuk yang berbeda. Kini muncul toko-toko yang menjual obat-obatan semacam ini yang berasal dari luar negeri (terutama dari China). Toko-toko semacam ini meskipun bukan hanya menjual produk obat kuat dan obat-obatan semacamnya yang berkaitan dengan masalah seksual, namun obat kuat tetap menjadi jualan utama mereka dan penjualan obat ini relatif stabil dalam pasar.

Laki-laki dan Obat Kuat


Jika kita cermati lebih mendalam, mereka yang mengkonsumsi obat-obatan tersebut rata-rata merupakan laki-laki. Hal ini senada juga diungkapkan para pedagang obat tersebut. Padahal meskipun jarang dijumpai namun obat semacam ini yang diperuntukkan perempuan sebenarnya juga ada (misalnya Somadryl). Akan tetapi penggunaan obat kuat untuk pria (misal Viagra) jauh lebih populer.

Menjadi suatu fenomena tersendiri mengapa laki-laki terkesan lebih memiliki ketertarikan terhadap hal semacam ini. Padahal secara biologis tentu laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki ketertarikan terhadap hubungan seksual.

Secara peran gender sendiri dalam masyarakat Jawa, laki-laki menduduki posisi yang harus serba bisa. Sejak kecil laki-laki dididik untuk tidak mengeluh namun harus bisa melakukan apa saja serta menunjukkan bahwa dirinya superior. Laki-laki yang mudah mengeluh dan tidak superior akan dianggap sebagai banci dan kurang bisa menjalankan perannya dengan baik.

Dibalik itu laki-laki juga dituntut untuk harus bisa memberikan segala sesuatunya untuk perempuan. Mungkin tanggung jawab inilah yang kemudian ditafsirkan oleh laki-laki untuk bisa memuaskan dan membuat istrinya kagum akan kehebatannya.

Tentu bagi mereka yang merasa superior dalam hal seksual atau memang superior tidak masalah. Namun bagi mereka yang mungkin merasa kurang (tidak percaya diri) atau tidak mampu akan membutuhkan sebuah bantuan yaitu berupa obat-obatan, jamu, dsb.

Obat Kuat secara Medis


Secara medis menurut Gerard Paat dalam http://ipb.ac.id, apa yang biasa disebut obat kuat ini sebenarnya adalah obat yang merangsang produksi hormon. Hormon inilah yang membuat laki-laki menjadi semakin meningkat gairah seksnya. Namun ternyata gairah seks untuk perempuan tidak dipengaruhi oleh hormonnya sendiri melainkan oleh hormon laki-laki.

Ini menjelaskan mengapa kebanyakan obat kuat diciptakan untuk laki-laki. Sedangkan apa yang selama ini dianggap sebagai obat kuat untuk perempuan sebenarnya bukan seperti obat kuat pada laki-laki. Somadryl misalnya, sebenarnya obat tersebut merupakan obat pengurang rasa nyeri. Sedangkan obat-obatan yang biasa dijual untuk dikonsumsi perempuan dalam hal ini biasanya sebatas obat perangsang.

Viagra sendiri diciptakan untuk mereka yang mengalami disfungsi ereksi. Gangguan ini sebenarnya bias disebabkan faktor fisik maupun psikologis. Secara fisik, penyakit-penyakit seperti diabetes, prostat, dsb ternyata dapat menjadi penyebab gangguan ini. Sedangkan secara psikologis gangguan ini dapat disebabkan oleh stres, depresi, ketidak harmonisan, dsb.

Konsumsi Meningkat?


Masih ada satu bagian yang belum terjawab. Pertanyaannya adalah ketika toko-toko penjual obat semacam ini semakin marak, tentu hal tersebut berkorelasi dengan kebutuhan masayrakat yang semakin meningkat.

Ada dua kemungkinan jawaban dari pertanyaan ini. Pertama, bahwa sebenarnya konsumen tidak meningkat hanya saja masyarakat yang sebelumnya menggunakan pendekatan tradisional (jamu, makanan ekstrim, dsb) beralih ke pendekatan yang lebih modern yaitu obat-obatan sehingga penjualan obat semakin meningkat. Kedua, karena perhatian atau konsumsi masyarakat semakin meningkat akan hal ini.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, fenomena ini bisa jadi akibat dari menurunnya kemampuan laki-laki dan perempuan untuk bisa bergairah. Penurunan ini bisa disebabkan oleh konsumsi makanan atau pola hidup masyarakat modern yang semakin jauh dari kesehatan.

Pola hidup masyarakat modern yang tidak sehat menyebabkan makin maraknya penderita penyakit-penyakit diabetes, prostat, dsb yang seperti kita ketahui penyakit seperti ini jarang diderita oleh masyarakat Indonesia.

Semakin kompleksnya masyarakat modern juga menimbulkan berbagai macam penyakit psikologis semacam depresi, stress, dsb yang memang dalam masyarakat pedesaan atau masyarakat yang relative sederhana gangguan semacam ini jarang ditemukan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya penyakit-penyakit semacam ini baik fisik maupun psikologis turut berpengaruh pada timbulnya gangguan disfungsi ereksi sehingga kebutuhan akan obat kuat meningkat seiring meningkatnya penyakit-penyakit semacam ini.

Maraknya film porno yang seolah-olah nyata tersebut juga makin menambah beban bagi laki-laki. Dimana dalam film semacam itu biasanya digambarkan bagaimana bisa berhubungan seksual dalam jangka waktu yang lama (bahkan hingga hitungan jam) padahal itu semua hanya rekayasa.

Hubungan seksual yang juga merupakan ruang privat tentu tidak akan sembaranga dibicarakan dengan orang lain apalagi hal ini menyangkut tentang harga diri. Sehingga masyarakat mencari rujukan pada sumber-sumber lain (internet dan video porno misalnya).

Gambaran hubungan seksual yang dilebih-lebihkan tersebut tertanam dalam masyarakat sehingga mereka berpikir bahwa mereka juga harus bisa minimal seperti apa yang mereka lihat tersebut padahal itu semua hanya rekayasa dan pada kenyataannya tidak demikian.

Laki-laki yang merasa mempunyai tanggung jawab lebih tersebut maka akan melakukan cara-cara tersendiri untuk tetap bisa menunjukkan superioritasnya. Salah satunya dengan meggunakan obat kuat, obat perangsang, atau semacamnya. Hal ini menjelaskan mengapa di masyarakat modern khususnya di perkotaan terjadi fenomena munculnya toko-toko semacam ini.


*) ditulis sebagai tugas kelompok prasyarat UTS mata kuliah Psikologi Gender bersama Zadok, Insan R. Adiwibowo, dan Firdaus A.K.

Senin, 12 April 2010

the journalist can do no wrong?

Jika dahulu kala kita sering mendengar ada istilah The King can do no wrong mungkin istilah tersebut tidak berlaku lagi saat ini. Di zaman yang konon katanya kita bebas berpendapat ini media massa menjadi salah satu kekuatan terbesar.

Bagaimana tidak kita dapat melihat bagaimana media memberikan kepada kita informasi-informasi dan cekokan  secara tidak langsung mengenai apa yang benar dan apa yang salah.
Namun yang patut menjadi perhatian apakah apa yang selama ini kita terima merupakan kebenaran yang sebenar-benarnya atau tipuan dari mata kita sendiri. Apakah informasi yang kita terima itu berimbang sehingga kita dapat menentukan kebenaran yang ada dengan objektif atau hanya berat sebelah.

Kita dapat lihat bagaimana media massa membela diri ketika tersangkut kasus Luna Maya beberapa waktu yang lalu. Namun bolehlah kita bertanya apakah media massa memberikan porsi yang sama kepada Luna Maya untuk melihat kasus tersebut dari sudut pandangnya?

Ketika media massa lebih suka memuat berita tentang perusakan pagar oleh Mahasiswa dibanding memberitakan aspirasi mahasiswa untuk Indonesia yang lebih baik, maka kita patut bertanya apakah maksud dari pemberitaan tersebut.

Kami hanya mengabarkan fakta yang ada di lapangan. Ya memang itu mungkin sebuah fakta. Tapi fakta tersebut hanyalah sebuah fakta tidak penting yang mungkin masih multitafsir dibanding fakta lain yang lebih penting yang tidak dikabarkan.

kesalahan media bukan pada apa yang mereka sampaikan, tetapi pada apa yang tidak mereka sampaikan

Bukan hal yang aneh juga ketika sebuah televisi menayangkan sebuah doalog tentang pembunuhan yang mencengangkan. Dan ketika narasumber berkata bahwa mungkin penyebabnya adalah karena belajar dari apa yang ada di media massa maka presenter acara tersebut manggut-manggut. Dan setelah itu kembali menayangkan reka ulang alias tips&trik membunuh yang ditonton oleh anak-anak dan masyarakat lain.

Sadar atau tidak, media massa bukan hanya menjadi sekedar sarana penyaluran informasi. Namun juga sarana pendidikan dan pembentukan budaya. Dengan media massa masyarakat bisa menjadi senang, bahagia, atau bahkan muak dan membenci terhadap suatu hal tertentu.

Hal inilah yang terkadang kurang disadari. Bahwa media massa sebagai sarana pendidikan memiliki tanggung jawab kepada masyarakat bukan hanya sekedar menginformasikan fakta, tetapi mendidik masyarakat dengan fakta-fakta tersebut. Jangan menjadi orang bodoh yang menyampaikan cerita seram kepada anak kecil yang penakut dan berkata, “Memang itu kenyataannya” sehingga anak tersebut tidak bisa tidur dan mengompol.

Bagaimanapun juga kita tidak dapat memenjarakan sebuah senapan karena benda itu telah membunuh orang. Yang dapat kita persalahkan adalah orang yang menggunakan senapan tersebut. Senapan hanyalah alat, tergantung dari siapa yang menggunakannya. Begitu pula dengan media massa. Media hanya sebuah alat. Namun saya yakin sebagian dari mereka masih memiliki apa yang mereka sebut idealisme dan itu menjadi sebuah harapan akan dunia yang lebih baik.

*) ditulis untuk Buletin SIKLUS yang diterbitkan oleh Psikomedia edisi bulan April dan sebagai kado untuk mereka yang menyebarkan berita

Sabtu, 10 April 2010

benarkah kita ingin seperti mereka

Ah, orang Indonesia memang pemalas. Coba lihat di jam kerja seperti ini banyak pegawai yang hanya duduk-duduk saja mengobrol dengan teman sebelahnya. Herannya lagi, hal seperti ini berlangsung setiap saat dari pagi hingga pagi lagi.

Kita yang dalam bekerja pun tidak maksimal. Kerja hanya setengah-setengah yang penting selesai. Etos kerja yang sangat rendah. Datang terlambat, istirahat molor, pulang duluan. Di kantor pun tak tahu apa yang dikerjakan. Bekerja dengan sangat cepat bagai kura-kura. Bekerja segan, nganggur pun tak mau. Meremehkan pekerjaan kita, dan meremehkan masalah yang ada. Terlambat menjadi nama julukan yang telah meresap ke sendi-sendi.

Kerja bagi kita hanya berbatas pada uang bukan ambisi atau cita-cita. Tak ada kah semangat dari dalam diri kita untuk bekerja sepenuh hati mengorbankan, jiwa, raga, harta, dan waktu demi pekerjan kita?

Pelajar dan mahasiswa pun sama saja. Kita di kelas yang sibuk bermain hape dan tidak memperhatikan apa yang dijelaskan. Kita yang belajar hanya semalam sebelum ujian dan karena ujian,bukan karena mereka ingin tahu. Kita yang mencari angka-angka dalam selembar kertas dan bukan pengetahuan. Kita yang rela membolos untuk urusan kita di luar sementara tidak rela masuk untuk menuntut ilmu.

Begitu pula kita yang mengerjakan tugas sehari sebelum dikumpulkan. Tidak ada keinginan dan ketertarikan sama sekali dalam diri mereka. Tugas adalah beban. Itu saja. Dan hasil dari pendidikan semacam ini ya pegawai semacam itu.

Hukum pun dianggap sebagai sebuah formalitas dan bukan kesepakatan bersama demi kebaikan bersama. Kita memakai helm karena takut kena tilang. Menerobos lampu merah pun tak apa asal jalanan sepi. Polisi pun menilang berdasar tanggal di kalender.

Tata tertib dianggap sebagai banyolan. Hukum ada untuk dilanggar menjadi slogan dimana-mana bahkan di kalangan aparat hukum. Bahkan kalangan terpelajar pun menjadi golongan anti-sistem.

Andai orang Indonesia itu memiliki toalitas dalam bekerja dan belajar, tentu negara ini tidak akan jauh berbeda dari negara-negara Barat dan Amerika. Ah coba kita seperti mereka.

Benarkah kita ingin seperti mereka?

Coba kita lihat. Mereka bekerja keras, dari pagi hingga malam penuh totalitas. Lalu siapa yang mengurus anak-anak mereka jika pagi hingga malam mereka bekerja? Lalu untuk apa suami istri tinggal serumah jika tidak pernah bertemu? Lalu untuk apa keluarga?

Mereka membangun rumah-rumah indah untuk pembantu mereka. Mereka melahirkan putra-putri mereka untuk diasuh oleh sekolah. Itu biasa saja sebenarnya, tapi apakah kita memang ingin demikian?

Mereka bekerja sangat keras. Belajar dengan penuh pengorbanan. Menaati aturan dengan kaku. Stress mejadi makanan sehari-hari mereka. Masalah menebabkan mereka bunuh diri. Dan hari libur mereka habiskan untuk mabuk-mabukan melepaskan segala masalah yang hinggap dikepala mereka. Mereka yang menjalani hidup seperti dikejar setan. Hidup mereka dihabiskan untuk masalah-masalah yang mereka besar-besarkan sendiri. Sedangkan kita melihat masalah hanya sebagai lalat terbang di antara indahnya pemandangan alam dengan usus yang panjang. Benarkah kita ingin seperti mereka itu?

Meyer Friedman berkata bahwa mereka orang tipe A, kita tipe B. Mereka hidup untuk bekerja. Kita hidup untuk menikmatinya. Lalu kamu hidup untuk apa? Jadi orang pragmatis emang lebih enak daripada jadi orang perfeksionis.