Rabu, 16 Juni 2010

cerita sebuah bangsa dan hierarki Maslow

Ini adalah cerita dari sebuah bangsa yang terhinakan oleh waktu. Bangsa yang besar, bangsa yang telah mencapai puncak dan terpelanting ke bawah kembali ke dasar.

Bangsa ini begitu dimanja dengan alamnya yang kaya raya. Alamnya yang indah mempesona bagai surga, yang menyediakan kebutuhan mereka sehari-hari tanpa perlu bersusah payah dalam berusaha. Bangsa yang kebutuhan fisiologinya selalu tercukupi tanpa perlu khawatir.

Sesuai dengan kata Maslow, mereka yang telah terpenuhi kebutuhannya akan suatu hal akan melanjutkan ke kebutuhannya yang lain. Bagi bangsa ini, kebutuhan fisiologi bukanlah suatu hal yang sulit sehingga mereka bisa beranjak ke level berikutnya tanpa perlu bersusah payah.

Karena kebutuhan-kebutuhan dasar mereka telah terpenuhi, kehidupan mereka telah berfokus pada kebutuhan-kebutuhan lainnya. Mereka belajar tentang kebersamaan dan cinta. Mereka belajar tentang penerimaan diri (self esteem). Mereka belajar ilmu, seni, hingga mencapai kebermaknaan hidup mereka. Semua itu terangkum dalam kebudayaan mereka.

Mereka telah memahami itu ratusan tahun lalu. Jauh sebelum psikologi tumbuh dan memahami pentingnya hal-hal ini. Mereka telah maju ratusan tahun dibanding bangsa lain. Mereka telah memahami nilai-nilai ini ketika bangsa lain masih sibuk memenuhi kebutuhan mereka yang paling dasar. Bangsa ini telah berada jauh di depan, bahkan saat ini pun bangsa lain mungkin belum bisa mengejarnya.

Namun waktu berkata berbeda. Waktu memaksa mereka untuk berubah. Seiring berjalannya waktu, alam pun tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan mereka yang paling dasar. Mereka tidak bisa lagi mengandalkan alam mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Mereka bingung dan panik. Selama ini mereka belum pernah dihadapkan persoalan semacam ini. Selama ini mereka sibuk mempelajari tentang seluk beluk kebutuhan-kebutuhan tingkat atas mereka. Mereka tidak terbiasa mengatasi persoalan-persoalan pemenuhan kebutuhan tingkat bawah mereka.

Kini mereka terhinakan oleh bangsa lain. Ketika bangsa lain telah berhasil mengatasi kebutuhan tingkat bawah mereka, bangsa ini bingung mengatasinya. Bangsa ini telah tertinggal jauh dalam hal kebutuhan tingkat bawah. Bangsa ini terpuruk.

Jadilah mereka dalam kebingungan. Mereka mulai tidak percaya dengan kebudayaan mereka yang dahulu karena tidak bisa memecahkan masalah yang mereka hadapi saat ini. Mereka frustasi, dan mulailah mereka belajar dari bangsa lain.

Mereka merasa semakin rendah diri ketika melihat apa yang dapat dilakukan bangsa lain dalam memenuhi kebutuhan fisiologi mereka. Mereka menjadi takjub akan kekuatan bangsa lain dan merendah terhadap diri sendiri. Mereka merasa tidak memiliki sesuatu yang dapat diunggulkan.

Tetapi tahukah mereka? Jauh dibalik kehinaan mereka, bangsa lain takjub terhadap mereka yang telah berhasil mencapai tingkat tertinggi dalam piramida Maslow. Nilai-nilai tersebut jauh tertanam dalam budaya mereka yng kini mulai mereka tinggalkan. Budaya yang mereka buang, namun bangsa lain justru sedang berusaha menciptakannya.


Mungkin bangsa ini tidak begitu paham tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan yang paling dasar. Tetapi bangsa ini sangat paham bagaimana cara memenuhi kebutuhan tingkat atas. Waktu yang membuat bangsa ini terhinakan, waktu juga yang akan membuat dunia sadar bahwa bangsa ini telah jauh lebih unggul daripada bangsa lain.

Selasa, 15 Juni 2010

menjadi sebuah bangsa yang besar

Bangsa ini adalah sebuah bangsa besar, namun sayangnya namanya belum sebesar yang diharapkan. Masih banyak kekurangan di berbagai tempat. Bahkan jati diri bangsa pun mulai hilang. Padahal bangsa-bangsa besar yang ada saat ini tumbuh dengan jati dirinya.

Orang bilang Amerika dan Eropa adalah bangsa yang besar. Bangsa yang giat bekerja keras membangun bangsanya. Apa yang menyebabkan mereka bisa menjadi bangsa yang besar? Pikirku kebesaran mereka adalah karena kesendirian masyarakatnya.

Masyarakat yang individualis dan kurang dekat dengan orang lain. Sehingga mereka harus bekerja keras agar bisa mandiri dan menciptakan keamanan bagi diri mereka sendiri. Mereka bekerja untuk membuktikan bahwa diri mereka mampu. Mereka bekerja untuk membuktikan kepada orang lain bahwa mereka mampu dan hebat. Seperti itulah mereka.

Begitu pula Jepang, mereka bangsa yang besar. Mereka mampu bangkit dan berkembang dengan pesat. Apa yang menyebabkan mereka menjadi bangsa yang besar? Pikirku kehormatan adalah semangat utama mereka.

Jepang dengan power distance yang tinggi dan pengaruh atasan yang kuat mampu memanfaatkan kondisi tersebut untuk membangun bangsa mereka. Rakyat mereka mengabdi penuh kepada atasan mereka. Kerja keras mereka adalah demi harga diri mereka di masyarakat. Kehormatan dan semangat mengabdi menjadi kunci utama kesuksesan mereka.

Bagaimana dengan China? Mereka juga bangsa yang besar dengan jumlah penduduknya. Kini mereka mulai merangsek menjadi negara super power. Apa yang membuat mereka menjadi bangsa yang besar? Pikirku adalah disiplin dan kerja keras.

Disiplin dan kerja keras yang ditanamkan sejak mereka kecil. Bukan untuk sebuah pengabdian ataupun pembuktian diri, tetapi karena kebiasaan yang telah tertanam sejak kecil. Semangat kerja keras dan berbisnis yang mulai ditanamkan dari lingkungan keluarga. Kepatuhan dan hukum yang keras sebagai bentuk disiplin agar bangsa yang besar tersebut tetap terarah. Disiplin yang ditanamkan dengan kuat, itulah kunci kesuksesan mereka.

Lalu apa yang harus kita tanamkan pada bangsa kita? Kita pernah mencoba menanamkan disiplin dan aturan yang ketat seperti China. Namun seiring berjalannya waktu gerakan anti penguasa makin menguat. Disiplin dalam keluarga dianggap sebagai bentuk kekerasan yang melanggar hak anak.

Kita memiliki power distance yang tinggi seperti Jepang, namun dalam masyarakat kita yang tertinggi bukanlah pemimpin melainkan ketua atau orang yang dituakan. Orang yang dimintai kebijaksanaan untuk masyarakat, bukan orang yang mengatur dan menyuruh rakyatnya. Orang yang menjadi penengah dan bukan pucuk pimpinan.

Kita mencoba menanamkan kemandirian dan kesendirian seperti Amerika dan Eropa. Namun ini bertentangan dengan budaya kolektivisme yang telah lama tertanam jauh sebelum kita mengenal Amerika. Alih-alih kerja keras yang kita tiru malahan budaya konsumerisme mereka yang kita tiru. Gejolak sosial pun kiat menguat seiring perubahan yang terjadi dari kolektivisme menjadi individualisme. Bukan membangun, justru urut memperkeruh keadaan.



Mari kita renungkan kembali jati diri bangsa ini. Kita punya budaya kita sendiri, kita punya cara hidup kita sendiri, kita punya potensi kita sendiri, mengapa harus menggunakan cara orang lain? Kita cari jati diri kita dan kita manfaatkan potensi yang ada agar kita bisa menjadi bangsa yang besar.

Sabtu, 12 Juni 2010

kampusku yang semakin "merakyat"

Ini adalah sebuah kegalauan seorang mahasiswa yang melihat fenomena yang terjadi di kampusnya. Akhir-akhir ini muncul isu hangat tentang mulainya pemberlakuan tarif masuk UGM. Yang dimaksud tarif masuk disini bukanlah biaya kuliah, melainkan biaya yang harus dikeluarkan ketika kita mau masuk lingkungan kampus untuk kuliah.

Saya ingat sekali waktu pertama kalinya portal dipasang di depan fakultas kami. Kemudian waktu itu ada diskusi di lapangan rumput mengenai keberadaan portal tersebut. Saat itu rektorat berdalih pemasangan portal adalah untuk masalah keamanan. Selain itu rektorat berjanji bahwa mahasiswa tidak akan dikenai biaya masuk. Masalah karcis parkir pun akan segera digantikan dengan KIK untuk mengurangi pemborosan kertas.

Isuk dele, sore tempe. Ternyata proses fermentasi tidak hanya berlaku pada kedelai yang telah diberi ragi. Bahkan pikiran para cendekiawan pun turut menjamur meski tidak diberi ragi. Mungkin ini efek samping karena kita terlalu banyak makan tempe.

Pada bulan April 2010 pihak rektorat kembali melakukan sosialisasi. Kali ini tidak lagi mengangkat isu keamanan tetapi isu educopolis. Bahwa UGM haruslah ramah lingkungan alam (tetapi tidak ramah terhadap lingkungan sosial). KIK akan mulai diberlakukan pada tahun 2010 tanpa menyebut kepastian bulan dan tanggal. Ternyata seiring berjalannya waktu tujuan pun bisa berubah agar tidak ketinggalan zaman. Alangkah aneh.

Rektorat meminta masukan terhadap konsep mereka. Masukan pun diberikan, tetapi entah didengarkan atau tidak. Tiba-tiba saja bulan Mei kita dihebohkan dengan blangko KIK. Selain itu muncul informasi bahwa KIK akan diberlakukan pada bulan Juli. Muncul pertanyaan apakah nantinya seluruh mahasiswa sudah memiliki KIK pada tahun ajaran baru pada umumnya dan bulan Juli pada khususnya.

Lebih mengagetkan lagi ketika membaca Kompas (11/6/2010) dimana disebutkan bahwa mahasiswa baru angkatan 2010 ternyata tidak mendapat jatah KIK gratis dan mereka diharuskan membayar untuk masuk ke kampus mereka.

miris
Sebenarnya apa sih maunya para cendekiawan itu? Dahulu bilang masalah keamanan sekarang bilang educopolis. Dahulu bilang gratis sekarang bilang bayar.

Kalau zaman dahulu ada istilah bahwa semakin pintar seseorang maka semakin sulit kata-katanya dipahami, maka kini anda telah membuktikan kepintaran Bapak. Terbukti dari ketidakmampuan kami memahami kata-kata Bapak.

Jika memang tujuannya untuk mengusir orang-orang yang tidak berkepentingan dari lingkungan kampus UGM, saya rasa dengan keberadaan portal tanpa berbayar pun itu sudah cukup. Terbukti portal sendiri telah menjadi semacam tembok psikologis yang membuat banyak orang memutar balik kendaraannya di jalan humaniora karena adanya portal tersebut. Lalu buat apa harus meminta tarif berlebih?

Bahkan mahasiswa baru pun ikut kena getahnya. Mereka harus membayar ketika ingin kuliah di kampus mereka sendiri. Lalu apakah bisa disebut rumah kita jika kita masih harus membayar untuk tidur di kamar kita sendiri. Tampaknya mulai tahun 2010 ini UGM tidak lagi memiliki mahasiswa baru. Karena jikalau mereka memang mahasiswa UGM mengapa mereka harus membayar hanya untuk kuliah di kampus mereka sendiri?

Kalaupun ada tarif, maka saya bertanya tarif apakah itu. Jika itu memang retribusi, berarti tentu sebagian dana tersebut akan mengalir ke keuangan pemda. Namun tampaknya tidak. Berarti ini bukan retribusi.

Jika ini tarif yang dibayarkan atas suatu jasa, maka seharusnnya ada sebuah bentuk keuntungan yang diberikan kepada kita dari pemilik jasa. Misalnya saja segala bentuk kehilangan kendaraan bermotor di area kampus akan menjadi tanggung jawab pengelola. Jika memang demikian tentu luar biasa.

Asalkan saja ini bukan tarif yang sama yang dibayarkan ketika kita memasuki kompleks Pasar Kembang yang biasa disebut uang kebersihan yang tidak jelas rimbanya kemana. Jika memang demikian apa bedanya UGM yang konon katanya tempat para cendekiawan dengan kompleks Pasar Kembang yang konon katanya penuh dengan para pelacur dan freeman?

Kampus kerakyatan tidak hanya ditandai oleh warna jasnya yang konon katanya merakyat, tetapi juga dengan pikirannnya. Ketika salah seorang teman saya berkata bahwa Jogja itu Kota Parkir beberapa saat yang lalu, maka tampaknya UGM pun tidak mau ketinggalan untuk turut berpartisipasi dalam hal ini agar lebih merakyat. Maka pantaslah jika UGM menyandang gelar kampus kerakyatan.

Sabtu, 05 Juni 2010

Analisis film dokumenter BBC: Phobia Burung

Review Film
Jacqueline Kelly (Jackie) sudah sangat lama takut pada burung dan bulu. Sudah bertahun-tahun dirinya mencoba untuk mengobati phobia yang dialaminya. Dirinya pernah suatu kali bertanya pada dokter tentang apa yang dialaminya namun justru dirinya dianggap gila. Dia disuruh untuk membaca-baca buku tentang burung dan membuat rumah burung di halaman rumahnya. Sebenarnya dia pernah mencoba hal tersebut namun tidak berhasil menghilangkan phobia yang dialaminya.

Jackie bersedia menjadikan dirinya sebagai subjek sebuah penelitian dimana dirinya dipasangi alat tertentu untuk mengetahui kondisi dirinya ketika mendapati stimulus tertentu yang menyebabkan phobia. Ketika dirinya ditunjukkan sebuah stimulus berupa gambar bulu burung, detak jantungnya meningkat dari rata-rata yang hanya 80 menjadi 135. dari kamera termografik dapat dilihat juga bahwa perubahan ssuhu tubuhnya. Kulitnya terutama di kepala menjadi semakin panas.

Pengidap phobia sangat terganggu dengan ketakutannya. Jackie menjadi sangat jarang keluar rumah sehingga jarang bermain dengan anaknya di luar meskipun dia ingin melakukannya. Dirinya takut jikalau nanti di luar bertemu dengan burung. Bahkan suatu saat dirinya pernah mengajak putrinya berlibur ke pantai namun karena tiba-tiba muncul seekor burung dirinya langsung lari ketakutan dan meninggalkan anaknya. Ini menjadikan dirinya menjadi sangat menyesal atas ketakutannya tersebut.

Menurut Paul Salkovis seorang Psikolog Klinis dari Universitas Oxford, bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi phobia yang dialami Jackie adalah dengan menghadapinya. Penghindaran tidak akan menghasilkan apapun.

Pada awalnya Jackie mencoba mengobati phobianya dengan sebuah metode Hipnosis yang dilakukan oleh Costa Lambrias. Jackie sendiri mengakui bahwa ketakutannya tersebut sangat tidak rasional. Menurut Costa, Jackie mengalami suatu peristiwa yang sangat traumatis pada masa kecilnya yang berpengaruh pada dirinya saat ini. Insiden ini secara tidak langsung tertanam dalam alah bawah sadar Jackie. Dengan metode hypnosis, Costa mencoba mengkondisikan kembali alam bawah sadar Jackie.

Pada sesi ketiga terapi Jackie mendapat sebuah gambaran sekilas tentang suatu ingatan di masa kecilnya tentang seekor burung yang terjebak di rumah neneknya. Kemudian dirinya mencoba menemui neneknya untuk memastikan hal ini dan ternyata memang benar. Peristiwa inilah yang diperkirakan menjadi awal mula penyebab phobia burung pada Jackie.

Pada akhir sesi, Jackie bisa melihat burung dalam jarak tertentu tanpa merasa ketakutan. Namun secara tiba-tiba setelah beberapa saat rasa takut tersebut muncul kembali ketiki dirinya melihat burung lain dalam jarak yang lebih dekat. Dirinya sempat merasa menyerah terhadap apa yang dihadapinya.

Pada akhirnya Jackie memutuskan untuk melakukan terapi perilaku untuk mengatasi phobianya. dirinya menemui seorang psikolog klinis yaitu Profesor Paul Salkovis yang merupakan spesialis terapi perilaku. Terapi yang diberikan berupa menghadapkan klien terhadap stimulus yang menyebakan phobia secara bertahap. Mulai dari menunjukkan bulu burung dengan ukuran kecil dari jarak tertentu yang cukup jauh hingga secara perlahan mendekati klien kemudian beralih ke bulu dengan ukuran yang lebih besar. Pada akhir sesi Jackie berhasil mengatasi ketakutannya pada bulu.

Analisis Phobia
Phobia adalah penolakan dan ketakutan yang tidak rasional terhadap situasi, objek, atau aktifitas tertentu dimana memiliki konsekuensi penolakan yang kuat atau menyebabkan tekanan (VandenBos, 2007).
Dalam DSM-IV, phobia sendiri diklasifikasikan dalam beberapa jenis. Salah satunya adalah phobia spesifik dimana pasien memiliki phobia terhadap suatu objek tertentu yang spesifik. Phobia ini sendiri dibagi menjadi beberapa subtype (APA, 1994) yaitu:
  1. Animal Type
  2. Natural Environtment Type
  3. Blood-Injection-Injury Type
  4. Situational Type
  5. Other Type

Dalam kasus ini apa yang dialami oleh Jackie termasuk dalam Specific Phobia animal type yaitu ketakutan terhadap burung dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hal tersebut (dalam kasus ini pada bulu). Para pasien penderita specific phobia memiliki kriteria diagnostik (APA, 1994) sebagai berikut:
  1. Ketakutan yang tidak beralasan yang kuat ditandai oleh munculnya atau antisipasi terhadap suatu objek atau situasi tertentu
  2. Kemunculan stimulus phobia hampir selalu menimbulkan respon kecemasan yang tiba-tiba yang pada akhirnya dapat menimbulkan serangan panik
  3. Klien/pasien menyadari bahwa ketakutannya tersebut tidak beralasan
  4. Situasi phobia akan selalu dihindari jika tidak akan memunculkan kecemasan yang intensif atau distress
  5. Penghindaran, antisipasi kecemasan, atau distress terhadap situasi yang menakutkan tersebut mengganggu rutinitas harian secara signifikan
  6. Bagi individu yang berumur kurang dari 18 tahun, gejala yang dialami ini minimal selama enam bulan
  7. Kecemasan, serangan panik, phobia yang berhubungan dengan objek atau situasi tertentu tidak perlu dihubungkan dengan kelainan mental lainnya.

Apa yang terjadi pada Jackie memenuhi seluruh kriteria tersebut. Setiap kali Jackie melihat stimulus berupa bulu burung ataupun burung itu sendiri maka akan menimbulkan suatu respon kecemasan yang intensif yang memunculkan penghindaran. Jackie sendiri menyadari ketakutannya tersebut tidak rasional dan mengganggu rutinitas hariannya.


Analisis Terapi
Terapi Hipnosis dan Psikoanalisis
Hypnosis adalah suatu kondisi psikologis dimana individu biasanya menjadi sangat mudah untuk menerima sugesti tertentu (Santrock, 2003). Metode hypnosis erat kaitannya dengan pendekatan psikoanalisis.
Poin utama dari terapi psikoanalisis adalah menghilangkan represi agar ego dapat tumbuh menjadi individu dewasa yang sehat. Psikopatologi sendiri merupakan akibat dari konflik tidak sadar yang terjadi dalam individu (Davison&Neale, 2001).

Dalam hal ini kejadian di masa lalu yang menimbulkan suatu konflik tidak sadar yang berakibat pada individu di masa kini. Terapinya adalah dengan cara melakukan katarsis atau melepaskan emosi yang terjadi pada masa lalu agar dapat menjadi individu yang sehat. Kelemahan dari terapi ini adalah sangat bergantung pada munculnya insight dalam individu tersebut.

Costa mencoba melakukan metode hypnosis pada Jackie untuk mengkondisikan kembali alam bawah sadar Jackie. Metode yang dilakukannya dengan cara menyuruh Jackie berada dalam posisi rileks sehingga mudah terhipnosis. Langkah-langkah tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Santrock (2003) yaitu:
  1. meminimalkan gangguan sehingga klien yang dihipnosis merasa nyaman
  2. orang yang melakukan hipnotis memerintahkan klien agar konsentrasi pada suatu hal yang spesifik misalnya membayangkan suatu pemandangan tertentu
  3. orang yang melakukan hipnotis memerintahkan klien agar semakin dalam memasuki alam bawah sadarnya
  4. orang yang melakukan hipnotis memberikan sugesti keppada kliennya untuk melakukan hal-hal tertentu

Phobia yang dialami Jackie diperkirakan Cossta juga berkaitan dengan sesuatu yang terjadi di masa lalu. Untuk itu Jackie mencoba mencari tahu apa yang terjadi di masa lalunya. Jackie mendapatkan informasi tentang kejadian di masa lalunya melalui cerita neneknya tentang sebuah pengalaman yang terjadi pada masa kecilnya namun telah dilupakannya.

Akan tetapi ternyata Jackie tidak berhasil mendapatkan insight dari pengalamannya tersebut sehingga terapi ini gagal menyembuhkan phobia yang dialaminya. Namun terapi hypnosis terbukti cukup berpengaruh pada Jackie terbukti bahwa Jackie sempat berhasil melawan phobianya pada burung sebelum akhirnya hal tersebut muncul kembali.

Kegagalan terapi hypnosis dan psikoanalisis ini bisa disebabkan beberapa faktor. Misalnya saja tidak tercapainya insight pada klien ketika menemukan peristiwa penyebab phobianya tersebut. Selain itu klien sendiri mungkin termasuk orang yang tidak terlalu terpengaruh oleh hypnosis. Hypnosis sendiri bergantung pada seberapa besar klien percaya pada orang yang melakukan hipnotis. Selain itu penelitian menunjukkan bahwa beberapa orang lebih susah untuk dihipnotis dibanding orang-orang lainnya (Santrock, 2003).

Terapi Behavioral
Terapi perilaku menggunakan prinsip belajar untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku maladaptive. Salah satu metode yang paling sering digunakan adalah systematic desensitization. Yaitu sebuah metode dalam terapi perilaku yang berdasarkan pada teori classical conditioning dengan cara melawan kecemasan dengan melatih individu agar lebih santai dalam menghadapi suatu stimulus secara bertahap (Santrock, 2003).

Cara inilah yang digunakan Prof. Salkovis untuk mengatasi phobia yang dialami Jackie. Secara bertahap, Jackie dihadapkan pada situasi yang ditakutinya dan diajarkan untuk berusaha santai dalam menghadapinya. Pertama Jackie dihadapkan pada sebuah bulu kecil dari jarak yang lumayan jauh dan diajarkan untuk berusaha tidak takut menghadapinya. Setelah Jackie berhasil mengatasinya maka intensitas stimulus tersebut diperbesar dengan mendekatkan bulu tersebut kepada dirinya dan disuruh untuk berusaha santai dalam menghadapinya. Begitu seterusnya hingga akhir sesi. Pada akhirnya cara ini terbukti berhasil pada Jackie untuk mengurangi phobia yang dialaminya.

Daftar Pustaka:
__________. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder: DSM-IV 4th edition. Washington DC: APA.

Davison, G.C. & Neale, J.M. 2001. Abnormal Psychology 8th edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Santrock, J.W. 2003. Psychology 7th edition. New York: McGraw-Hill.

VandenBos, G.R. 2007. APA Dictionary of Psychology. Washington DC: APA.

*) ditulis sebagai tugas mata kuliah Psikologi Klinis Fakultas Psikologi UGM

Selasa, 01 Juni 2010

memimpikan pendidikan

Ayah, aku pergi dulu yah untuk menuntut ilmu.
Loh, nak,emang ilmu punya salah apa sama kamu kok pakai dituntut segala?

Ada sebuah cerita menarik. Seseorang yang tinggal di suatu wilayah di Indonesia merasa dirinya mengalami masalah dengan pendengaran dan penglihatannya. Kemudian dia memeriksakan dirinya ke seorang dokter umum. Setelah diperiksa secara seksama dokter tersebut tidak bisa menemukan penyakit pasien tersebut hingga dirujuklah ke dokter THT. Pasien tersebut beralih ke menemui dokter THT, namun tetap saja dokter tersebut tidak dapat menemukan penyakit yang diderita pasien tersebut hingga kemudian dirujuklah ke dokter spesialis mata. Sialnya meskipun telah diperiksa dengan berbagai peralatan canggih, dokter mata pun tidak bisa menemukan penyakit yang diderita pasien tersebut. Hingga suatu saat pasien tersebut putus asa. Kemudian dirinya oseng menceritakan penyakitnya ini kepada temannya. Akan tetapi temannya tersebut justru malah tertawa. “Aku tahu masalahmu, Kawan. Di negeri ini memang apa yang kau lihat tidak pernah sama dengan apa yang kau dengar.”

Ketika SD, saya sering kali diberitahu bahwa kita harus berhenti ketika lampu merah. Namun mata saya melihat bahwa tiap harinya pengendara motor tetap saja berjalan meski lampu berwarna merah. Bagi anak yang normal mungkin saya akan berpikir bahwa pengendara motor tersebut buta warna atau tidak pernah sekolah di SD.

Apa yang kita dengar memang jarang sekali kita lihat. Guru kita mengajarkan akan sebuah makhluk bernama Myrmeleon sp. Namun mungkin kita tidak akan pernah menjumpainya dalam hidup kita. Karena dalam kehidupan kita menyebutnya undur-undur.

Kalau saya boleh bermimpi, saya ingin pendidikan kita nantinya adalah mengajarkan apa yang ada di sekeliling kita dan berhubungan langsung dengan kita sehingga tidak ada lagi orang yang sakit mata dan telinga seperti cerita di atas.

Ajarkanlah anak-anak petani itu bagaimana bertani yang baik dan benar dalam sekolah formal mereka sehingga mereka nantinya bisa ikut membangun kesuksesan keluarga mereka. Ajarkanlah anak-anak nelayan itu tentang laut, alam, cuaca, ikan dan sebagainya bukan tentang kecepatan cahaya dimana perahu-perahu mereka tidak akan lebih cepat dari 20 knots.

Ajarkanlah pada anak-anak bagaimana cara mereka mencari ilmu dan mengamalkannya, bukan sekedar menuntut ilmu dan mendiskusikannya tanpa pernah dilakukan. Negeri ini sudah cukup pintar dalam berdiskusi namun belum cukup pintar dalam mengamalkan. Jika apa yang telah mereka diskusikan mereka lakukan niscaya negeri ini sudah menjadi negeri super power.

Ajarkan juga tentang budaya kita dan harga diri. Sehingga para akademisi nantinya bukan hanya berisi orang-orang yang mencacimaki negerinya sendiri dan menyanjung-nyanjung negeri orang lain. Bukan kumpulan orang yang gemar membanding-bandingkan untuk mencari kejelekan negeri sendiri.


*) ditulis untuk Departemen Akademi dan Profesi LM Psi 2010 untuk diterbitkan di buletin PERSONA edisi bulan Mei 2010