Rabu, 27 Oktober 2010

memahami mbah marijan


“Ojo melu-melu aku, manuto karo wong pinter kae. Aku nang kene muk kon jogo.”
Belum pulih terhadap duka Wasior, Indonesia dihantam tsunami tepatnya di sekitar kepulaua Mentawai. Gelombang tsunami ini menyebabkan ratusan orang meninggal dunia dan ratusan lainnya hilang tanpa kabar. Presiden beserta jajarannya langsung mengirim tenaga bantuan untuk membantu melakukan rekonstruksi.

Namun sekali lagi manusia memang tidak bisa berbuat apa-apa jika alam sudah bertindak. Belum sempat tim rekonstruksi berangkat ke Mentawai sudah ada musibah lain yang datang menghampiri. Letusan Merapi datang membawa korban jiwa. Salah satunya adalah tokoh fenomenal yang akrab disapa Mbah Marijan.

Banyak yang berduka atas kepergiannya. Namun ironisnya ada juga sebagian masyarakat yang justru gembira dan menumpahkan kekesalannya kepada almarhum. Sebagian mereka menganggap almarhum bersalah atas kematian warga lainnya. Sungguh miris, jika mereka mengenal sosok almarhum yang sesunguhnya pasti mereka akan menangisi diri mereka sendiri. Kita sering mendengar berita tentang almarhum, namun apakah kita benar-benar memahami almarhum?

Mbah Marijan yang saya kenal

“Ojo difoto yo, Mbah isin. Mbah udu artis.”
Saya pertama kali mengetahui sosok almarhum melalui media massa. Saat itu tahun 2008 dimana Merapi tampaknya akan meletus dan Mbah Marijan enggan mengungsi. Apa yang saya pikirkan tentang almarhum saat itu mungkin sama dengan angapan sebagian masyarakat saat ini.

Sebagai seorang juru kunci keraton, saya membayangkan sosok almarhum sebagai seseorang yang sangat kejawen dan jauh dari ajaran Islam. Memiliki banyak benda pusaka, sering bersemedi dan bertapa meminta wangsit, dan sebagainya. Terlebih lagi media massa menggambarkan sosok almarhum sebagai seorang juru kunci yang sakti.

Hal kedua yang saya pikirkan saat itu adalah sosok yang angkuh, sombong, keras kepala dan kuat. Terlebih lagi dalam iklan sebuah produk digambarkan almarhum sebagai sosok yang kuat dan keras. Penolakannya terhadap ajakan untuk mengungsi juga seolah menggambarkan almarhum sebagai sosok yang angkuh.

Namun pada akhirnya saya berkesempatan langsung bertemu dengan beliau. Saya yakin mereka yang telah bertemu dengan beliau pasti akan langsung berubah pikirannya tentang sosok almarhum. Sosok almarhum yang sesungguhnya sangat berbeda dengan anggapan saya sebelumnya.

Mbah Marijan adalah seorang kakek tua pemalu lugu yang hidup sederhana. Jauh dari kesan kuat ataupun keras kepala, maka almarhum sesungguhnya termasuk orang yang pemalu dan lugu. Sosok yang seringkali menolak waktu diambil gambarnya dan seringkali menutupi wajahnya ini adalah gambaran masyarakat pedesaan yang masih lugu, jauh dari masyarakat modern yang penuh prasangka dan curiga saat ini.

Sosok Mbah Marijan begitu lembut dan menyenangkan. Belia begitu ramah kepada orang asing dengan dibumbui sedikit rasa malu. Pribadi sederhana yang tidak macam-macam. Pribadi yang sulit saya jumpai di perkotaan.

Sewaktu saya sampai di rumanya dan melihat kesehariannya saya melhat Mbah Marijan jauh dari hal-hal yang berbau syirik. Tidak seperti apa yang saya duga selama ini. Kemampuanya melihat kejadian alam bukan karena kekuatan magis mistik namun semata-mata hanya dari ilmu titen yaitu dengan memperhatikan fenomena alam yang biasa terjadi.

Mbah Marijan adalah sosok sederhana yang sering ke masjid. Bahkan konon katanya penghasilannya sebagai bintang iklan untuk sebuah produk dihabiskannya hanya untuk membangun masjid dan lingkungan desanya, tidak untuk dirinya sendiri. Di masjid pun biasanya almarhum tidak menjadi imam. Benar-benar sosok pemimpin yang rendah hati.

Juru Kunci

Sebagai seorang pemuda desa yang sederhana, diberi amanah oleh seorang Raja dalam hal ini Sultan Hamengku Buwono IX sebagai seorang juru kunci tentu sebuah kehormatan yang sangat besar. Bayangkan saja jika seseorang yang sangat anda sayangi atau anda kagumi menyapa anda, tentu anda sudah akan bahagia setengah mati. Namun ini tidak hanya tentang sapaan, ini sebuah amanah.

Sebagai seorang yang sederhana, saya memahami jika almarhum menjunjung tinggi amanah yang diberikan kepadanya sebagai juru kunci merapi. Dalam artian bahwa almarhum harus sealu berada dekat dengan merapi dan menjadi yang terdepan. Anggaplah sebagai seorang duta besar Keraton untuk Merapi.

Sebagai seorang duta besar yang baik, tentunya harus selalu berada dekat dengan negara yang diamanahkan kepada kita. Kita memiliki tugas untuk erus menjaga hubungan baik antara negara kita dengan negara lain apapun yang terjadi. Keberadaannya sebagai bentuk penghoratan bagi negara lain.

Begitu juga dengan almarhum. Sejak awal almarhum memang mengabdikan hidup dan matinya untuk menjaga Merapi apapun yang terjadi. Sebuah kesetiaan dalam menjunjung tinggi amanah meski harus dihargai dengan nyawa. Kesetiaan yang dalam masyarakat modern hanya dianggap sebagai kekonyolan yang pantas untuk ditertawakan.

Almarhum juga tidak pernah memiliki keinginan masyarakat percaya kepada dirinya. Berkali-kali almarhum berkata untuk jangan percaya kepadanya, percayalah kepada para ahli. Lamarhum juga sudah menganjurkan masyarakat untuk ikut mengungsi.

Namun kasih sayang masyarakat dan orang-orang yang telah mengenal almarhum jauh lebih besar daripada nyawa. Kasih sayang yang meyebabkan sebagian besar masyarakat tetap memilih tinggal bersama almarhum dan berulangkali membujuk almarhumuntuk turun.

Akan tetapi bagi almarhum hanya ada satu pilihan: hidup mati akan tetap menjaga amanah yang telah diberikan seorang Sultan kepadanya.

Antara Fitnah dan Ghibah

“Janganlah kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu ketahui”
Rasulullah pernah mengingatkan kepad salah seorang sahabat untuk tidak membicaakan keburukan orang lain. Lalu sahabat bertanya, “Bagaimana jika keburukan itu memag nyata adanya”. Maka Rasulullah berkata bahwa jika benar adanya maka itu yang disebut ghibah dan jika tidak benar maka itu disebut fitnah.

Ghibah adalah salah satu perbuatan terkutuk dimana Allah SWT menyamakan perbuatan tersebut dengan memakan bangkai saudaranya sendiri. Sedangkan fitnah adalah perbuatan terkutuk lainnya dimana Rasulullah bersabda bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.

Maka siapa pun yang menjelek-jelekkan orang lain atau mengatakan hal-hal buruk tentang orang lain maka baginya hanya ada dua pilihan: memakan bangkai saudaranya sendiri atau lebih kejam daripada membunuh.
Jika ada yang pantas menutupi mukanya adalah kita, sebagaimana almarhum menutupi mukanya dari kamera maka kita seharusnya lebih malu dihadapan Allah SWT nantinya. Kita yang telah melupakan nilai-nilai luhur yang almarhum pegang teguh hingga akhir hayatnya. Kita yang menertawakan apa yang almarhum perjuangkan

Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya. Terimalah amal ibadahnya dan mudahkanlah jalannya. Ampuni kami yang telah berbuat dzalim. Sadarkanlah kami akan kesalahan kami dan semoga kami tidak mengulangi kesalahan tersebut. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemaaf dan Maha Penerima Taubat. Amin.

Selasa, 26 Oktober 2010

Orde Baru dan Agresivitas Masyarakat

Pasca jatuhnya rezim orde baru, terjadi perubahan dinamika sosial yang terjadi secara mencolok dalam masyarakat. Salah satu betuk kongkritnya adalah meningkatnya agresivitas dan tidak kekerasan dalam masyarakat.


Kini seringkali kita melihat berita-berita tentang kekerasan baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Seolah-olah hukum tidak lagi memiliki arti. Mulai dari aksi anarkisme demonstran, tawuran, perampokan bersenjata, hingga aksi terorisme dan separatisme. Berita-berita yang jarang kita lihat di media massa selama masa orde baru.


Sebenarnya apa yang menyebabkan meningkatnya agresifitas dan kekerasan dalam masyarakat? Menurut teori psikoanalisa menyatakan bahwa individu pada dasarnya memiliki dua insting (Aronson, Wilson, & Akert, 2007). Insting yang pertama adalah insting hidup yang disebut sebagai eros. Insting ini yang memotivasi segala bentuk tindakan prososial yang mengarah kepada kehidupan. Sedangkan insting kedua disebut sebagai thanatos mengarah kepada kematian dan kehancuran. Thanatos inilah yang menjadi sumber dari tindakan agresi dan kekerasan.


Faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat agresivitas seseorang adalah suhu udara (Jamridafrizal, 2010). Terlebih lagi di Indonesia yang merupakan negara tropis, maka potensi agresivitas di Indonesia cenderung lebih tinggi.


Jadi pada dasarnya dalam diri individu memiliki potensi untuk melakukan tindakan agresivitas dan kekerasan Namun apa yang menyebabkan meningkatnya kekerasan dan agresivitas pasca jatuhnya rezim orde baru?


Salah satu penyebab munculnya agresivitas adalah frustasi (Passer & Smith, 2007). Berbagai macam tekanan dan stress dalam hidup, terlebih lagi yang muncul dalam era modern ini yang diduga turut memicu bentuk agresi dan kekeran dalam masyarakat. Masyarakat kini semakin banyak dibebani oleh berbagai macam hal dan permasalahan. Terlebih lagi di era demokrasi ini dimana semua hal menjadi layak diperbincangkan secara tidak langsung menambah frustasi dalam diri masyarakat.


Berbeda dengan zaman orde baru dimana media dibatasi dan hanya berita-berita bernada positif yang boleh disebarluaskan, berita-berita yang muncul akhir-akhir ini hampir semuanya bernada negatif. Hal ini menambah frustasi yang ada dalam masyarakat sehingga memicu tindakan agresi (Aronson, Wilson, & Akert, 2007). Terlebih lagi jika tidak ada sarana penyaluran yang tepat.


Dalam psikoanalisis dikenal istilah catharsis (Passer & Smith, 2007) dimana penyaluran suatu bentuk agresi akan mengurangi kecenderungan kita untuk melakukan suatu bentuk agresivitas. Penyaluran energi ini dapat dilakukan dalam berbagai hal positif misalnya saja olahraga. Namun perkembangan kota akhir-akhir ini kurang memperhatikan adanya public space yang memadai. Contoh nyatanya adalah makin sedikitnya lapangan olahraga yang tersedia. Padahal keberadaan lapangan olahraga ini dapat menjadi sarana untuk mengurangi perilaku agresif dalam masyarakat.


Faktor lain yang mempengaruhi munculnya agresivitas pasca rezim orde baru adalah hilangnya kepatuhan sosial. Salah satu kunci agar tercipta sebuah kepatuhan adalah dengan adanya ketakutan (Skaff, 2010) dan juga teror (Piven, 2007). Pada masa orde baru masyarakat memiliki kepatuhan yang tinggi karena adanya ketakutan terhadap pihak yang berkuasa. Pihak pemerintah memiliki kekuatan yang dominan dalam mempengaruhi masyarakat.


Sedangkan pasca jatuhnya rezim orde baru pihak pemerintah justru menjadi bulan-bulanan oleh masyarakat. Sesuai degan teori bandul dimana suatu keadaan ekstrim berpindah ke keadaan ekstrim berikutnya yang berlawanan. Jika pada masa orde baru aparat hukum memiki kewibawaan dan kekuatan yang besar di masyarakat maka kini kewibawaan dan kekuatan itu hilang seiring tumbangnya masa orde baru. Kini masyarakat bisa melakukan tindakan agresif pada polisi tanpa adanya lagi rasa takut.


Ketidakadaan wibawa pada aparat penegak hukum ini tentu sangat berpengaruh pada munculnya ketidakpatuhan dalam masyarakat. Karena kepatuhan juga berhubungan dengan background dari pemberi perintah itu sendiri (Milgram, 1965). Pada masa orde baru pihak berwenang memiliki tingkat kebiwaan tingi sehingga masyarakat memiliki kecenderungan untuk mematuhi perintah yang ada. Berbeda dengan kondisi saat ini yang justru sebaliknya.


Agresivitas juga bisa merupakan efek dari modelling (Jamridafrizal, 2010). Bisa jadi segala bentuk agresi yang terjadi pada masyarakat saat ini merupakan bentuk modelling perilaku yang sebelum-sebelumnya. Keberhasilan mahasiswa melawan otoritas dan menumbangkan suatu rezim misalnya dapat menjadi inspirasi bagi kelompok-kelompok masyarakat lain untuk melawan otoritas.


Jadi ada berbagai faktor dan tinjauan mengenai perilaku agresi yang terjadi akhir-akhir ini dalam masyarakat. Dari pengalaman pribadi saya, kebanyakan mereka yang melakukan tindakan agresi (misal: tawuran) adalah sebagai sarana chatarsis. Berbagai macam permasalahan yang nampak menyeruak pasca masa orde baru boleh jadi menjadi penyebab semua itu. Ditambah lagi media yang terkadang kurang dewasa dalam melakukan pemberitaan serta tidak adanya sarana chatarsis yang memadai turut memperkuat potensi agresi yang sudah tinggi di masyarakat yang tinggal di daerah khatulistiwa ini. Terlebih lagi tidak adanya pihak pemegang kekuasaan yang berwibawa menyebabkan munculnya ketidakpatuhan sosial.





DAFTAR PUSTAKA
Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2007). Social Psychology. New Jersey: Pearson Education.

Jamridafrizal. (2010, september 18). Agresivitas dan kecemasan. Retrieved october 26, 2010, from Scribd: http://www.scribd.com/doc/17376693/Agresivitas-Dan-Kecemasan
Milgram, S. (1965). Some conditions of obedience and disobedience to authority. Human Relations , 57-76.

Passer, M. W., & Smith, R. E. (2007). Psychology: The Science of mind and behavior. New York: McGraw-Hill.

Piven, J. S. (2007, january 8). Terror, Sexual Arousal, and Torture: The Question of Obedience or Ecstasy among Perpetrators. Retrieved october 26, 2010, from UMass Boston: http://omega.cc.umb.edu/~sociology/journal/Vol81PDFS/25482412.pdf

Skaff, R. R. (2010, january 31). The Terror Card: Fear is the Key to Obedience. Retrieved october 2010, 2010, from Global Research: http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=17299

*) ditulis sebagai tugas mata kuliah Fenomenologi

Senin, 18 Oktober 2010

Dosa Revolusi, Dosa Pemuda?

Revolusi sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat biasanya dianggap sebagai suatu hal yang dibangga-banggakan dan diagung-agungkan. Banyak tokoh atau sosok lahir karena kemampuannya dalam menciptakan sebuah revolusi. Sebut saja misalnya Che Guevara, Mahatma Gandhi, dsb. Nama mereka langsung melejit karena revolusi yang mereka lakukan.

Revolusi ini sendiri ada berbagai macam bentuknya. Mulai dari revolusi ekonomi seperti yang terjadi di Rusia misalnya, revolusi industri, politik, dan tidak jarang diantaranya revolusi fisik dengan jalan peperangan. Namun apapun yang terjadi revolusi adalah revolusi.

Revolusi adalah sebuah proses perubahan yang cepat dari suatu keadaan ke keadaan yang lainnya. Di Indonesia sendiri tercatat setidaknya telahmengalami tiga kali revolusi. Revolusi pertama dalah revolusi kemerdekaan 1945. Revolusi-revolusi berikutnya terjadi bersamaan dengan jatuhnya suatu rezim. Sebut saja kejatuhan Soekarno dan Reformasi 1998 yang melengserkan Soeharto.

Dan dibalik ketiga revolusi tersebut adalah generasi pemuda, dalam konteks kekinian adalah mahasiswa. Ketiga revolusi ini selalu digembor-gemborkan sebagai suatu prestasi yang luar biasa yang telah dilakukan oleh para pemuda.

Namun secara tidak sadar, juga turut menciptakan suatu kekacauan sosial. Sebagaimana mie instan dan segala makanan instan lainnya yang idak baik untuk kesehatan, perubahan yang terjadi secara instan (baca: revolusi) tentunya juga tidak baik bagi kesehatan.

Revolusi bukan hanya sekedar menghancurkan suatu keadaan yang lama, tetapi juga tentang membangun suatu keadaan yang baru.
Dalam proses itu norma-norma serta peraturan-peraturan lama yang dianggap feodal atau kolonial dijebol dengan maksud untuk diganti dengan norma-norma dan peraturan yang baru. Namun biasanya fungsi semula dari anjuran-anjuran supaya meninggalkan norma-norma lama itu menjadi kabur; penjebolan norma-norma itu sendiri menjadi yang utama, dan norma-norma serta peraturan-peraturan baru tak dibina dan disusun. (Koentjaraningrat, 1974)
 Negara ini telah mengalami tiga kali revolusi, namun sudahkah kita belajar dari revolusi-revolusi sebelumnya?

Revolusi yang pertama menjebol norma-norma feodalisme. Namun yang terjadi adalah adanya sentimen anti bangsa Eropa terutama negara dunia pertama. Dimana kemudian Soekarno menciptakan NEFO sebagai suatu cita-cita untuk memunculkan negara dunia ketiga melawan dominasi dunia pertama dan kedua. Meskipun pada prakteknya yang terjadi justru kita menjadi bagian dari negara dunia kedua.

Revolusi ini mengalami hambatan yang berarti karena tidak adanya pemahaman akan pentingnya reformasi itu sendiri. Kita hanya menuntut merdeka tanpa memikirkan secara masak-masak mau seperti apa setelah merdeka. Namun meskipun terseok-seok, revolusi ini berhasil dalam beberapa bidang namun masih gagal menghancurkan beberapa bagian.

Revolusi kedua terjadi karena ketidakpuasan terhadap pemerintaahan yang cenderung pada penunjukkan jati diri dan gagal dalam mengatasi perut. Masyarakat menuntut adanya perubahan akan pentingnya urusan manusiawi dibanding hanya sekedar pembangunan monumen-monumen.

Puncaknya pada Supersemar terjadi peralihan kekuasaan dimana juga terjadinya revolusi ideologi. Indonesia yang sebelumnya cenderung ke arah kiri sosialis dibawa menuju ke arah kanan liberalis kapitalis. Pada revolusi ini norma lama dijebol (tidak sepenuhnya) tanpa mempersiapkan norma apa yang akan diusung selanjutnya sehingga justru terjadi sebuah keadaan membingungkan yang pada akhirnya kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Soeharto.

Tahun 1998 terjadilah sebuah revolusi yang lain yang kita sebut sebagai reformasi. Kita berusaha menggulingkan rezim orde baru, lalu apa? Kita tidak pernah melangkah ke sebuah tahapan menciptakan rezim yang baru. Kita sibuk membongkar sana-sini tanpa tersadar bahwa telah banyak waktu yang kita gunakan untuk membongkar dan kini kita kebingungan mencari sebuah bangunan.

Mungkin dosa terbesar pemuda ada pada revolusi ini. Golongan mahasiswa sibuk menjebol norma-norma lama tanpa mempersiapkan norma-norma yang baru. Pada akibatnya adalah munculnya banyak kekacauan sosial-politik yang terjadi hingga saat ini. Dua belas tahun setelah revolusi dan norma baru belum terbentuk. Kita masih sibuk memperdebatkan norma yang akan kita gunakan padahal masyarakat sudah tidak sabar lagi berada dalam kepastian.

Maka kita sebagai generasi muda mahasiswa yang turut menanggung dosa warisan tersebut seharusnya berfokus dalam bagaimana menciptakan sebuah norma yang baru. Namun pada prakteknya yang terjadi seringkali kita justru disibukkan dengan menciptakan revolusi baru, yang berarti juga sebuah kekacauan baru.

Ini semua bukan tentang siapa yang lebih hebat, siapa yang dapat menciptakan sebuah revolusi. Adalah sebuah omong kosong ketika kita membanggakan revolusi yang kita lakukan tanpa menyadari kehancuran yang telah kita ciptakan. Kita yang menghancurkan, maka kita yang membangun. Itu adalah sebuah tanggung jawab sosial yang harus kita lakukan. Sekali lagi, revolusi bukanlah tentang apa yang telah kita hancurkan, tetapi tentang apa yang akan kita bangun.