Jumat, 31 Desember 2010

kutipan

Dia lahir dari negeri yang jauh. Dimana orang-orangnya tumbuh dengan perasaan ingin tahu. Sejak kecil mereka diajari untuk menciptakan pengeahuan mereka sendiri. Berbeda dengan dunia kita yang mengangap itu sebagai sebuah hal yang merepotkan. Kita yang pragmatis lebih suka memberitahukan bahwa air yang tumpah sama banyaknya dengan benda yang masuk daripada harus menciptakan Archimedes-archimedes baru. Padahal inti dari itu semua adalah bagaimana menemukan pengetahuan baru, bukan sekedar mengerti pengetahuan itu sendiri.

Mereka orang-orang yang egois. Melihat segala seuatunya sebagai miliknya. Sedangkan kia hidup dalam dunia penuh syukur. DImana apa yang digenggaman kita adalah sebuah pemberian dan karunia, sesuatu yang memang sudah seharusnya menjadi milik bersama bukan milik segelintir saja.

Maka disanalah dia diciptakan. Dia diciptakan untuk menunjukkan siapa pemiliknya, sehingga tidak ada orang egois lain yang merebutnya. Namun disini dia berubah wujud. Dia diperlakukan sebegitu agung bahkan disembah.

Disini, dia menunjukkan tingkat kepadaian seseorang. Mereka yang banyak menggunakan dirnya dalam iap katakata dan tulisannya, adalah orang-orang yang dianggap sebagai generasi cendekiawan. Mungkin cendekiawan berasal dari kata cendawan (jamur) yang mendapa sisipan –eki-. Begitulah mengapa penyakit itu cepat menyebar.

Disini, dia menunjukkan legalitas dan keilmiahan suatu karya. Mereka yang banyak mencantumkan dirinya dianggap sebagai sebuah kebenaran objektif. Apa-apa yang menggunakan dirinya lebih mudah dianggap sebagai kebenaran dibanding apa yang mereka lihat dengan mata kepala mereka.

Sungguh ironis, bukankah buku tidak lebih dari sebuah potret? Buku hanyalah cerminan dari kenyataan yang kita lihat di tempat tertentu dan waktu tertentu. Buku bukanlah kebenaran, tetapi buku hanyalah sebuah dokumentasi kebenaran. Dokumentasi yang dibatasi oeh dimensi ruang dan waktu.

Namun disini juga, mereka yang diam adalah yang bijaksana. Jika aku cukup bijaksana, mungkin tidak seharusnya aku menulis ini.

Rabu, 29 Desember 2010

dunia kutipan

Kita hidup dalam dunia kutipan. Dimana kutipan dan angka-angka sangat dipuja sebagai sebuah kebenaran. lupakan orisinalitas, ilmiah adalah sebuah istilah pembenaran semu yang bahkan tidak benar-benar dianut oleh para pembuat istilah tersebut.

Sadar bung! Dunia tidak sebulat angka-angka desimalmu. Kebenaran tidak dibatasi kutipan-kutipan dalam lembaran kertas. Buka mata, buka hati, tapi jangan buka baju. Buka pikiranmu dan rasakan angin kebebasan. Bakar buku-bukumu jika itu hanya membuatmu semakin bodoh.

Ketika para tetua mengatakan bahwa apa yang kita pelajari selama ini salah. Namun mereka terus memaksakan masuk ke dalam rongga-rongga otak kita. Ketika kita memuat kebenaran namun ditepis oleh kutipan-kutipan sakral, maka jadilah orang bodoh. Karena kitab-kitab sucimu ditulis oleh Tuhan yang berbeda.

Ah bicara apa aku, kita kan cuma mahasiswa S1

Senin, 20 Desember 2010

sisa untuk masyarakat


Dia memang bukan siapa-siapa, angka-angka funtastis yang teronggok dalam rapotnya hanya menjadi sebuah kenangan indah tentang masa lalunya. DI masa mudanya ini dia menghabiskan waktunya untuk menyambung nafas, bukan mencari ilmu seperti yang diimpikannya.

Tentu dia dulu merupakan anak yang tidak bodoh. Nilai-nilainya yang funtastis ketika duduk di bangku SMA membuat kagum seluruh warga sekolah dan warga di kampungnya. Namun sayangnya di dunia ini bukan hanya sekedar tentang kecerdasan atau usaha, tetapi juga keberuntungan. Malangnya, dia termasuk orang yang tidak beruntung itu.

Perguruan tinggi megah itu telah dicita-citakannya sejak kecil. Dalam mimpinya dia ingin meneruskan pendidikannya hingga bergelar profesor dan kemudian membagi ilmunya kepada generasi penerusnya. Namun ibarat hendak memeluk gunung, tentu tangannya pun tak sampai. Sesungguhnya dia juga orang yang tau diri. Ayahnya yang sudah meninggal dan ibunya yang menjadi pedagang kaki lima tentu tidak sanggup untuk membantunya mencapai cita-citanya.

Tapi dia juga bukan orang yang berpangku tangan. Dia tetap pantang menyerah dan tidak putus asa. Namun sekali lagi dia hanya tidak beruntung. Memang bisa dikatakan peluangnya sangat kecil. Memang ada seribu jalan menuju Roma, seribu jalan juga menuju UGM. Tapi berapa jalan yang tersisa untuknya?

Dia mencoba beberapa PB untuk dia yang tidak mampu atau dia yang berprestasi, namun tentu bukan suatu hal yang mustahil jika ditolak namun sangat luyar biasa jika diterima. Karena dari 200 mahasiswa baru misalnya, hanya dua orang saja yang bisa meraihnya. terlebih di fakultas yang penuh berhamburan uang yang dia cita-citakan. Dia ingin mencoba ujian tertulis namun mitos dimasyarakat membuatnya putus semangat. Benteng psikologis itu ada meskipun tidak nyata.

Satu-satunya jalur lain yang memunculkan harapan adalah seleksi nasional yang tergolong merakyat. Yang tentunya, di kala itu hanya memperebutkan sangat sedikit kursi yang tersisa. Dan dia pun juga gagal.

Namun semangat dan cita-citanya tidak dia kuburkan begitu saja. Dia bertekad untuk terus mencobanya lagi selama masih ada kesempatan. Kini tiap hari setelah membantu ibunya berjualan di daerah kaliurang dia sempatkan mampir melewati kampus idamannya tersebut untuk sekedar mengaguminya sembari berdoa kelak suatu saat dia akan berada disana.

Uangnya pun sedikit demi sedikit dia sisihkan, namun langsung ludes dalam sehari. Namun baginya tidak masalah karena ilmu tidak ada harganya. Dia senang menghabiskan uangnya untuk kegiatan-kegiatan menambah ilmu yang diselenggarakan mahasiswa-mahasiswa kampus itu. Meski ironis juga, ketika mereka berteriak tentang pendidikan gratis dan pengabdian, mereka justru memalak orang-orang dalam tiap kegiatan mereka. Entah apa yang ada dalam benak mereka.

Baginya hari minggu adalah hari yang ditunggu-tunggu. Karena di pagi hari setelah subuh dia akan berlari-lari sekedar meluruskan otot dan mengobati rindunya terhadap kampus tersebut. Setelah itu dia akan membantu ibunya berjualan di jalanan berkonblok disana.Mungkin itulah yang tersisa bagi orang sepertinya.

Dikendarainya sepeda motor bututnya itu kencang-kencang di pagi itu. Bagai hendak bertemu kekasih lamannya, dia sangat bersemangat sekali. Namun dirinya terperanjak, tempat orang tuanya menyambung nafas itu kian lama kian tergesar keluar dari kampus yang ia banggakan itu. Lebih terperanjak lagi melihat pengumuman per satu januari dirinya tidak akan lagi bebas memasuki tempat tersebut untuk mengobati rasa rindunya.

Dan hari itu tepat saat perguruan tinggi itu bertambah usia. Pagi yang cerah itu mendadak mendung. Dia terdiam terpaku di atas sepeda motornya tanpa bisa berkata apapun. Di hari jadi UGM tersebut, entah apa yang tersisa bagi orang-orang sepertinya.