Minggu, 27 Februari 2011

Perang

Kita sedang berperang kawan. Dan sayangnya, kita sedang diambang kekalahan. Satu per satu pertahanan kita dihancurkan oleh musuh. Sementara kita masih sibuk mereka-reka apa penyebab dari semua ini. Padahal semua kehidupan berjalan sebagaimana mestinya tanpa halangan yang pasti.

Tapi entahlah, bagi kita yang benar-benar paham. Kita bisa melihat bahwa kita sedang diserang. Apa yang telah kita bangun bersama selama ini dihancurkan musuh. Dan parahnya itu semua terjadi di belakang garis pertahanan kita.

Aku pun merasakan kekalahan. Aku berdiam di salah satu pertahanan kita yang masih tersisa. Pos penjagaan siaga selama 24 jam bak supermarket yang sedang menjamur. Begitu pula pintu masuk dipenuhi pemeriksaan barang seperti mau masuk sebuah kampus saja yang harus dilalui dengan membayar karcis parkir.

Tidak ada celah, setidaknya itu yang aku ketahui, untuk musuh dapat masuk. Para penjaga pun sudah paham benar siapa musuh kita: pragmatis. Namun anehnya beberapa hari ini satu persatu tradisi kita hancur dengan sendirinya. Tradisi yang telah kita bangun selama puluhan tahun roboh satu per satu tanpa ada yang tahu penyebabnya. Padahal para penjaga sangat yakin tidak ada satu pun musuh yang memasuki garis pertahanan kita.

Namun malam itu aku menyadarinya. Terdengar raungan dari truk tua bertuliskan "Cintaku lebih berat dari muatanku" memasuki pos pemeriksaan. Asap kenalpot kehitaman menutupi jejak roda yang sudah mulai gundul. Seperti biasa para penjaga memeriksa truk tua pengangkut bahan makanan penyambung hidup kita sembari bercanda dengan supir truk itu.

Aku kenal pemuda itu, usianya tak lebih dari dua puluh tahun dengan dandanan rapi seperti sales saja. Namanya adalah efektif. Pemuda itu setiap harinya hilir mudik ke bentang pertahanan ini memberikan makanan penyambung nyawa. Dan pada saat yang sama satu tradisi kita hancur dengan sendirinya.

Kini akhirnya aku menyadari apa yang terjadi sebenarnya. Efektif adalah pragmatis itu sendiri yang telah menyamar. Aku mencoba berteriak-teriak memberitahukan pada teman-temanku bahwa dialah pragmatis yang selama ini kita cari-cari.

Namun semua orang hanya tertawa. Mereka menertawakan kebodohanku karena telah mengatakan hal semacam itu. Tidak ada satu orang pun percaya apa yang aku katakan dan kini justru aku yang dicurigai sebagai pengkhianat. Efektif telah menjadi bagian dari hidup kita, dan tanpa kita sadari dia jugalah yang merobohkan satu per satu tradisi yang berusaha kita pertahankan.

Dan satu lagi tradisi yang hancur ketika telingaku dipenuhi suara tawa dari semua orang.

###

Aku membuka mataku dan yang kulihat pertama kali adalah sebuah poster band metal yang baru-baru ini mengunjungi Indonesia. Selintas aku teringat temanku yang begitu mengidolakannya namun sayangnya dia gagal menonton konser tersebut karena suatu hal, ah kasihan. Aku baru menyadari bahwa semua itu ternyata hanya mimpi belaka.

Aku memulai rutinitas pagiku sebelum berangkat ke kampus meraih asa. Dan ketika aku keluar dari kamar kosku, kulihat bapak pemilik kos yang sudah tua itu menggerutu tentang mahasiswa sekarang yang katanya tidak tahu sopan santun. Namun bagiku, mereka adalah sosok ideal yang efektif dalam bekerja dan tidak bertele-tele.

Sabtu, 26 Februari 2011

Mengejar Hidung Sendiri

Konon katanya, seluruh permasalahan di dunia ini hanya berkutat antara das sein dan das sollen. Das sollen adalah apa yang sebaiknya terjadi, ini berupa pengharapan akan suatu hal yang sifatnya ideal. Sedangkan das sein adalah apa yang sesungguhnya terjadi. Segala bentuk kenyataan yang kita alami selama ini.

Itu jugalah yang menjadi alasan ilmu itu lahir. Ilmu berusaha menyatukan das sein dengan das sollen. Dalam kata lain mencoba membuat kenyataan menjadi seperti seharusnya. Permainan semacam inilah yang hampir setiap saat dilakukan manusia. Yaitu bagaimana manusia berusaha mengubah das sein agar bisa menyerupai das sollen.

Mimpi
Apa yang bisa diharapakan dari manusia? (Peksojandhu, 2011)
Kata lain dari das sollen adalah mimpi. Das sollen merupakan gambaran imajiner kita tentang suatu realita yang seharusnya terjadi. Jadi pada prakteknya, kita sendiri yang menciptakan mimpi itu dan kita sendiri yang akan mati-matian mengejarnya. Bukankah manusia selalu menciptakan suatu pengharapan dan dia sendirilah yang akan mati-matian menepatinya?

Gordon Allport (1897-1967) menciptakan suatu konsep dinamika manusia. Dimana manusia yang sehat hidupnya akan terus menerus digunakan untuk mengejar impiannya sendiri. Namun Allport juga mengatakan bahwa impiannya tersebut sebenarnya tidak nyata dan tidak akan pernah tercapai. Sehingga menurut Allport manusia seumur hidupnya hanya akan berusaha terus menerus mencoba menyatukan das sollen dengan das sein, meski das sollen pada prakteknya tidak akan pernah tercapai.

Mimpi dan harapan memberi warna pada kehidupan manusia. Hal ini membuat dunia jadi lebih menarik untuk ditinggali. Bayangkan ketika kamu berada di rumah tanpa satu tujuan yang jelas, maka yang akan menyambutmu hanyalah kebosanan yang kelamaan mencekikmu. Maka manusia bermimpi, dia menciptakan permainannya sendiri. Seperti seorang anak kecil yang bermain seolah dirinya adalah seorang agen rahasia atau Superman yang harus melawan penjahat. Namun lebih dari itu mimpi juga lah yang mampu membuat manusia bertindak kejam dan saling membunuh.

Nrimo ing Pandum
Jika memang permasalahan utama manusia hanyalah tentang menyatukan das sein dan das sollen dan kita memang berharap ini segera berakhir, maka saatnya kita mengubah paradigma. Selama ini kita mencoba membawa kenyataan (das sein) pada hal yang seharusnya (das sollen). Padahal ada satu cara lagi untuk menyatukan keduanya.

Untuk menyatukan keduanya kita dapat menggunakan konsep sebaliknya yang jauh lebih mudah. Yaitu membawa das sollen kepada das sein. Mengapa kita manusia selalu berharap akan ini itu? Kenapa kita tidak mensyukuri saja apa yang telah kita miliki dan memanfaatkan yang ada.

Dalam artian mengapa kita selalu mengharapakan sesuatu yang tidak ada pada kenyataannya. Pada prakteknya bukan das sein yang jauh dari das sollen, tetapi kita lah yang menciptakan suatu das sollen yang jauh dari kenyataan. Kita sebagai manusia seringkali berharap suatu hal yang tidak benar-benar kita miliki.

Jika kita mau menengok ke belakang, sebenarnya permasalahan das sein dan das sollen ini telah lama dipecahkan oleh nenek moyang kita dalam konsep yang biasa kita sebut sebagai syukur atau nrimo ing pandum. Jika memang permasalahan utama di dunia ini adalah tentang menyatukan das sein dan das sollen, maka cara terbaik dan termudah melakukannya adalah dengan mendekatkan das sollen dengan das sein, bukan sebaliknya.

Jika Ki Ageng Suryo Mentaram (1892-1962) mengatakan bahwasanya kebahagiaan itu pada dasarnya adalah interaksi antara keinginan dengan ketercapaian harapan itu sendiri. Maka cara paling mudah untuk mendapatkan kebahagiaan adalah dengan tidak terlalu berharap banyak dan mensyukuri apa yang telah kita miliki.

Bersyukurlah
Manusia memang hidup dalam tuntutan. Manusia selalu diharapakan untuk seperti ini dan itu. Tuntutan ini berasal diri sendiri yang berupa mim atau pengharapan maupun dari orang lain. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa manusia memerlukan mimpi dan harapan untuk dapat mewarnai kehidupannya.

Yang menjadi masalah adalah terkadang kita lupa mensyukuri apa yang telah kita miliki karena kita berharap terlalu banyak pada dunia ini. Bahkan terkadang justru menyalahkan Tuhan atas harapan yang kita ciptakan dan tidak berhasil kita raih.

Maka bermimpilah, karena untuk itulah kita hidup. Dan bersyukurlah, pahami bahwa ini semua merupakan anugerah atau sebuah pemberian.

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni'mat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus. (108: 1-3)

Senin, 21 Februari 2011

Kota Mata Angin

“Anda berjalan saja terus ke timur, lalu setelah perempatan kedua anda belok ke utara. Rumahnya berwarna kuning di kanan jalan menghadap ke Barat.” 

Mungkin hal ini terasa familiar di telinga kita.Ini adalah gambaran ketika kita menanyakan suatu alamat, lokasi, atau membutuhkan petunjuk jalan kepada masyarakat sekitar . Sekilas ini mungkin tampak biasa saja dan tidak ada yang aneh. Terlebih bagi warga masyarakat Jogjakarta itu sendiri. 

Namun bagi mereka yang berasal dari luar Jogja mungkin justru akan merasa kesulitan. Karena hal seperti ini sebenarnya tidak biasa. Di kota lain, jarang sekali memberikan petunjuk jalan dengan arah mata angin sebagai patokan. Umumnya menggunakan arah kiri-kanan-lurus dan bukan timur-selatan-barat-utara seperti halnya di Jogjakarta ini. Atau dalam kasus lain seperti di Jakarta misalnya, menggunakan arah kota misalnya “ambil jalan menuju Depok terus belok ke kiri setelah Gerbang tol”. 

Bagi masyarakat Jogja sendiri, penggunaan arah mata angin sebagai patokan jauh lebih nyaman dan lebih mudah dipahami. Namun bagi mereka yang buta arah atau berasal dari luar kota justru harus melakukan banyak adaptasi menghadapai hal ini. Tulisan ini mencoba membahas beberapa teori tentang kemungkinan asal muasal mengapa Jogja bisa menjadi Kota Mata Angin dengan mencoba merekonstruksi cara berpikir masyarakat. 




Segi Empat 

Ada sebuah anekdot yang mengatakan di Jogja jika berbelok sebanyak empat kali akan kembali ke tempat semula. Anekdot ini sebenarnya merupakan bahasa lain yang mengatakan bahwa jalanan di Jogja seolah-olah berbentuk segi empat-segi empat yang tertata rapi. Sehingga memudahkan masyarakat untuk mencari jalan alternatif. 

Anekdot lain adalah jika kita tersasar di kota Yogyakarta, jalan saja ke utara/timur/selatan/barat terus hingga bertemu ringroad, barulah kita akan menyadari jalan pulang kita. Jika kita cermati, ternyata Kota Yogyakarta termasuk kota yang dibangun secara rapi. Jalan-jalan yang mendekati tegak lurus dan sejajar satu sama lain. Serta penataan rumah-rumah yang terkesan membentuk blok-blok segi empat. 

Bisa jadi ini semua merupakan peninggalan pembangunan Belanda, mengingat dari dahulu Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota besar pada masa lalu. Namun bisa jadi persepsi masyarakat tentang Jogja itu sendirilah yang membuat kota ini seolah hanya memiliki dua jalan, yaitu utara-selatan dan timur-barat. Meski pada prakteknya tidak teoat membentuk garis sejajar dan menghadap ke utara selatan atau timur barat secara persis. 




Sawah-Sawah 

Teman dalam sebuah diskusi berpendapat bahwa bentuk kota Yogyakarta yang cenderung kotak-kotak ini dipengaruhi oleh mata pencaharian masyarakatnya yaitu bertani. Di Jogja, selain tanahnya relatif subur, daerahnya juga termasuk landai meski ada kecenderungan miring ke selatan. 

Kondisi tersebut membuat masyarakat membuat sawah dengan ukuran segi empat sempurna, berbeda dengan di daerah aliran sungai yang sawahnya mengikuti alur sungai atau di pegunungan yang bentuk sawahnya mengikuti alur tanah di pegunungan yang tidak rata. 

Kemudian seiring berjalannya waktu, tanah-tanah pertanian tersebut beralih fungsi menjadi pemukiman.Namun dengan tidak mengubah bentuk petak-petak yang ada, maka pemukiman yang dibangun pada akhirnya mengikuti pola sawah yang berpetak-petak dengan bentuk persegi. Hingga akhirnya terbentuklah jalanan dan pemukiman di Jogja yang relatif membentuk persegi. 




Gugon Tuhon 

Di masyarakat Jogjakarta, terdapat sebuah mitos dimana kita tidak boleh membangun rumah menghadap utara. Ada yang mengatakan agar tidak menyamai Keraton, sebagian lainnya mengatakan agar tidak menghadap Merapi karena nanti dianggap menentang. 

Bisa jadi, mitos inilah yang turut mendorong masyarakat menciptakan kota mata angin ini. Berdasar kepercayaan untuk tidak membuat rumah menghadap utara, maka dalam membangun rumahnya masyarakat benar-benar memperhatikan aspek arah dengan seksama. Akibatnya rumah-rumah yang dibangun misalnya menghadap timur atau barat tepat (tidak miring). 

Dari rumah-rumah yang menghadap ke arah mata angin secara tepat tersebut lalu muncul pula jalanan di depan pemukiman-pemukiman tersebut yang nantinya mengarah secara tepat pula ke selatan-utara atau timur-barat. 

Selain itu kepercayaan masyarakat tentang adanya garis imajiner antara pantai selatan, keraton, dan Gunung Merapi yang ditandai oleh Tugu Jogja dan Panggung Krapyak. Garis imajiner tersebut membentuk sebuah jalan utama dengan arah utara- selatan. Kemudian jalan tersebut menginspirasi untuk membuat jalan-jalan lain yang juga sejajar dengan garis tersebut sehingga membentuk jalanan yang rapi. 




Gunung Merapi 

Kemungkinan lainnya adalah semua ini merupakan pengaruh dari keberadaan Gunung Merapi itu sendiri. Bukan secara mistis, tetapi hal ini dapat dijelaskan dengan teori Psikologi dari Edward C. Tolman (1886-1959). Penelitian Tolman menggunakan tikus dan labirin menghasilkan konsep yang biasa disebut dengan place learning dan response learning. Penelitian tersebut menghasilkan suatu konsep yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. 

Secara umum dapat dikatakan bahwa makhluk hidup lebih mudah memahami lokasi suatu tempat apabila ada petunjuk tertentu. Dalam hal ini Gunung Merapi yang bisa terlihat dari hampir seluruh wilayah Yogyakarta menjadi semacam landmark atau ikon untuk menunjukkan arah utara. 

Setelah adanya patokan yan pasti tentang arah utara, maka masyarakat merasa penunjukan arah melalui arah mata angin jauh lebih akurat dibanding dengan petunjuk kiri-kanan karena mata angin sifatnya tetap dan tidak relatif. Selain itu masyarakat kemudian juga mengasumsikan bahwa jalanan yang mengarah ke Merapi otomatis menghadap ke utara dan begitu pula jalanan yang sejajar dianggap mengarah ke timur-barat meski pada prakteknya tidak sepenuhnya benar. 




Penutup 

Ini semua merupakan asumsi-asumsi atau kemungkinan-kemungkinan penyebab terjadinya fenomena Yogyakarta sebagai kota mata angin. Namun bagaimanapun juga, penggunaan mata angin jauh lebih akurat dalam menunjukkan lokasi dibanding instruksi-instruksi yang bersifat relatif. Fenomena menarik ini mungkin bisa lebih didalami dan apabila memungkinkan, diterapkan dalam pembangunan kota-kota di masa mendatang.

Selasa, 15 Februari 2011

Arus Massa dan Proyeksi Otoritas

Rabu 14 April 2010 terjadi bentrokan berdarah di Tanjung Priok. Puluhan kendaraan dibakar oleh massa. Tercatat 134 orang luka dan tiga orang tewas dalam bentrokan antara massa dengan aparat Satpol PP tersebut (VivaNews, 2010). Bentrokan itu dipicu masalah salah paham tentang rencana pembangunan di daerah sekitar makam tersebut.

Selain itu masih banyak lagi bentrokan antar massa yang sering terjadi di Indonesia. Sebut saja bentrokan antar supporter, bentrokan antar warga, dan sebagainya. Bahkan juga sering sekali terjadi perkelahian antar sekolah.

Bentrokan itu sebenarnya dipicu hal-hal yang sepele, namun entah mengapa massa sangat mudah terpengaruh. Satu pemantik kecil saja langsung dapat menyebabkan suatu bentrokan.

Pada masa reformasi 1998 dahulu kita sering mendengar istilah provokator. Provokator didefinisikan sebagai orang yang melakukan provokasi. Sedangkan provokasi itu sendiri berarti perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasut; pancingan (Pusat Bahasa, 2008).

Provokator biasa muncul dalam massa yang sedang kacau balau. Dengan hasutannya, seorang provokator dapat membuat massa melakukan suatu tindakan tertentu yang mungkin tindakan tersebut bahkan tidak disetujui oleh individu-individu dalam massa tersebut.

Pertanyaannya adalah bagaimana seseorang sapat mempengaruhi banyak orang sekaligus untuk melakukan suatu tindakan tertentu dalam waktu yang singkat? Tulisan ini akan mencoba membahas fenomena tersebut dengan menggunakan pendekatan Psikologis.

Proyeksi Otoritas 
Dalam pendekatan Psikoanalisis dari Sigmund Freud dikenal istilah proyeksi. Proyeksi merupakan sebuah bentuk defense mechanism yang berfungsi menstabilkan diri kita dari tekanan-tekanan yang ada. Proyeksi merupakan bentuk pelampiasan-pelampiasan secara tidak sadar sebagai proses defensive.

Konsep ini mendapat perluasan dari Bellak yang kemudian mengemukakan konsep apperceptive distortion. Apersepsi merupakan sebuah bentuk persepsi yang dikaitkan dengan pengalaman dan subjektivitas individu. Jadi secara umum distorsi apersepsi dijelaskan sebagai intepretasi secara subjektif yang menyimpang dari kenyataan.

Kembali pada kasus massa tersebut, Freud berpendapat bahwa setiap individu akan mengintrojeksikan massa atau kelompok sebagai faktor transitory di salam ego dan super ego sehingga individu tersebut melihat dari kacamata massa. Dalam keadaan suatu individu berada dalam suatu kelompok massa, maka segala perbuatan yang dilakukan oleh massa dilihat sebagai suatu kebenaran yang sesungguhnya. Massa dianggap sebagai figur otoritas yang harus dituruti dan diikuti.

Konsep ini mirip dengan apa yang terjadi dalam kasus hipnotis, dimana menurut Ferenczi orang yang kesadarannya menurun akan menganggap penghipnotis sebagai figur otoritas dalam hal ini sosok ibu. Sehingga segala macam suggesti yang ada akan dianggap sebagai seorang perintah ibu kepada anaknya yang harus diikuti.

Apa yang terjadi dalam massa adalah suggesti atau provokasi yang ada dianggap sebagai sebuah pendapat massa yang dianggap sebagai kebenaran bagi individu dalam massa tersebut dan dituruti. Hal itu dikarenakan massa dianggap sebagai figur otoritas dari individu yang ada.

Padahal pendapat massa tersebut bisa jadi hanya pendapat seseorang. Orang yang mempengaruhi dan pendapatnya dianggap sebagai pendapat massa inilah yang dianggap sebagai provokator.

Jadi dari konsep ini dijelaskan bahwa massa dapat bertindak anarkis dan tidak manusiawi dikarenakan adanya proyeksi bahwa massa dianggap sebagai figur otoritas oleh individu yang harus diikuti. Padahal pendapat massa belum tentu benar. Karena massa memiliki otoritas maka massa dapat memaksa suatu individu untuk melakukan apa yang dianggap benar oleh massa tersebut.

Maka wajar jika di Indonesia hasutan massa sangat mudah terjadi. Berbagai bentrokan dan perkelahian begitu mudah terjadi karena massa dianggap sebagai figur otoritas. Terlebih lagi Indonesia memiliki Power Distance yang tinggi (Hofstede) dimana pemegang otoritas cenderung sangat dituruti dan diikuti. Berbeda dengan negara yang memiliki Poer Distance rendah dimana figur otoritas tidak begitu penting untuk diikuti.

Pendekatan Lain 
Fenomena ini juga sering terjadi tidak hanya dalam massa, tetapi bahkan juga dalam kelompok kecil. Sebuah pendapat dianggap sebagai kebenaran bersama padahal bisa jadi masing-masing individu dalam kelompok tersebut tidak setuju dengan pendapat tersebut.

Konsep tersebut biasa disebut sebagai groupthink, yaitu sebuah pemikiran yang menganggap bahwa kohesivitas dan solidaritas kelompok dianggap lebih utama daripada kebenaran itu sendiri (Aronson, Wilson, & Akert, 2007). sehingga pendapat kelompok akan selalu dituruti meski tidak sesuai dengan kebenaran.

Menggunakan konsep ini, tindakan massa yang terkadang beringas dan di luar batas diakibatkan karena individu merasa bahwa kohesivitas kelompok lebih utama, sehingga apapun tindakan kelompok harus diikuti agar kelompok tetap utuh dan tidak terpecah meskipun individu itu sendiri tidak setuju terhadapnya.

Fenomena ini juga dijelaskan dalam konsep deindividuation. Deindividuation adalah hilangnya konsep perilaku normal ketika individu tidak dapat diidentifikasi. Ketika seseorang berada dalam massa maka tidak lagi akan dilihat sebagai seorang individu melainkan massa itu sendiri, sehingga individu merasa lebih bebas melakukan apapun karena tidak diketahui oleh orang lain. Oleh karena itu individu tersebut menjadi seolah lepas kontrol dan melakukan berbagai perbuatan yang di luar batas-batas kewajaran.

Kesimpulan 
Ketika seorang individu berada di dalam massa atau sekelompok orang, maka terkadang akan bertindak sesuai dengan keinginan massa tersebut. Hal itu karena massa dianggap sebagai figur otoritas yang harus dituruti.

Selain itu terkadang timbul pemikiran bahwa kepentingan dan keutuhan kelompok harus diutamakan, sehingga tindakan kelompok tetap akan diikuti meski individu itu sendiri tidak setuju akan hal tersebut. Terlebih lagi ketika berada di dalam massa identitas individu tersebut akan terhapus dan tergantikan oleh identitas massa sehingga individu lebih bebas dalam bertindak.

Bibliography 

Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2007). Social Psychology. New Jersey: Pearson Education.

Hofstede, G. (n.d.). Geert Hofstede™ Cultural Dimensions. Retrieved januari 18, 2011, from ITIM International: http://www.geert-hofstede.com/hofstede_indonesia.shtml

Pusat Bahasa. (2008). Provokasi. Retrieved Januari 18, 2011, from Kamus Besar Bahasa Indonesia: http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

VivaNews. (2010, April 15). Korban Tewas Bentrok Makam Mbah Priok Jadi Tiga Orang. Retrieved Januari 18, 2011, from TvOne: http://jabodetabek.tvone.co.id/berita/view/36733/2010/04/15/korban_tewas_bentrok_makam_mbah_priok_jadi_tiga_orang/

Senin, 14 Februari 2011

Batin dan Rasa: Dimensi yang Hilang

Pendahuluan 

Latar Belakang Masalah 

Masihkah ada orang beragama? Kita sebagai masyarakat Indonesia pasti secara mudah akan menjawab masih. Meskipun tentu saja ketika diharuskan menjelaskan tentang apa itu agama akan mengalami kesulitan. Tetapi apakah hal ini juga berlaku di semua negara di dunia? 

Seorang teman sepulangnya pergi dari Australia untuk sebuah konferensi keagaamaan mengatakan bahwa salah jika beranggapan orang-orang eropa, australia, dan AS adalah orang-orang kristen karena mereka sebenarnya atheis. Dewasa ini di barat pertanyaan semisal “apa agamamu?” adalah sebuah pertanyaan menggelikan yang dianggap bodoh di Barat (Prama, 2007). 

Agama dianggap sebagai sebuah mitos masa lalu yang tidak sesuai dengan budaya saat ini yang cenderung ke arah materialisme. Dimana segala sesuatu harus ditakar secara objektif, logis dan nyata. Sehingga hal-hal yang sifatnya subjektif dan abstrak akan ditolak kebenarannya. Intelektualitas dipandang sebagai sesuatu yang ut 

Hal ini tentu memiliki dampak yang besar dalam dunia psikologi. Psikologi yang penuh berisi hal-hal abstrak berusaha dikongkritkan. Subjektivitas dihapuskan dan digantikan objektivitas. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana mendeskripsikan sesuatu yang abstrak menjadi kongkrit? 

Akibatnya adalah banyak dimensi-dimensi yang hilang atau luput dalam pembahasan psikologi. Aspek religiusitas misalnya, psikologi terkadang justru meremehkannya padahal agama sangat memiliki pengaruh yang besar dalam coping (Pargament, 1997). 

Tidak haya berkaitan dengan agama, aspek-aspek lain yang sifatnya abstrak dan sulit untuk dikongkritkan secara perlahan tapi pasti cenderung dihindari dan diabaikan. Perkembangan Psikologi dewasa ini cenderung lebih tertarik kepada hal-hal yang sifatnya nyata dan dapat terukur secara pasti. Sehingga banyak sekali aspek-aspek yang sebenarnya penting namun terlewatkan. 

Gawatnya, hampir seluruh ilmu kita bersumber dari Psikologi Barat yang telah kehilangan aspek-aspek tersebut. Misalnya saja aspek rasa (Mawardi, 2010). Padahal dalam kebudayaan Jawa misalnya, rasa adalah sebuah dimensi yang sangat dominan berpengaruh dalam kebudayaan dan individu masyarakatnya. 


Deskripsi Gejala 

Di Indonesia, gejala-gejala tersebut sudah mulai nampak. Mulai dari pergeseran nilai dan budaya yang berdampak pada perubahan-perubahan perilaku di masyarakat. Masyarakat saat ini yang lebih mengutamakan kebenaran intelektual dibandingkan perasaan-perasaan. 

Kritik yang disampaikan secara berlebihan. Tindakan-tindakan yang dianggap di luar batas nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati. Asertivitas yang tidak mengenal sopan santun. Objektivitas berlebihan yang mengarah kepada materialisme. Dimana segala sesuatu diukur dari sebuah bentuk nyata tanpa mempedulikan bentuk-bentuk abstrak. 

Korupsi, mencuri, dan sebagainya merupakan contoh perilaku orang-orang yang kehilangan rasa dan batin mereka. Mereka mencari materi dan cenderung mengabaikan konsep-konsep abstrak semisal norma, aturan, nilai, dan sebagainya. 

Contoh nyata lain misalnya kasus RUUK DIY dimana sebagian orang lebih mementingkan kemajuan ekonomi yang nyata dibandingkan aspek-aspek ketentraman dan kedamaian. Mereka yang memilih penetapan berasumsi bahwa dengan dipimpin seorang Sultan maka DIY akan lebih aman dan tentram. Sebaliknya, mereka yang berbeda pendapat mengingkan agar DIY dipimpin oleh orang yang cakap dan mampu membawa kemajuan. 

Dampak sistematis berikutnya adalah agama yang mulai ditinggalkan karena tidak bisa memberikan hasil-hasil berupa materi yang nyata. Orang tidak lagi memperdulikan bentuk-bentuk rasa dan batin semisal kedamaian, ketentraman, dan sebagainya. 


Pertanyaan Penelitian 

Dari gambaran tersebut penulis mencoba menjawab pertanyaan mengapa dimensi-dimensi abstrak tersebut (misalnya batin dan rasa) terkadang diabaikan oleh ilmu Psikologi dewasa ini. Mengapa ilmpu Psikologi lebih tertarik kepada dimensi-dimensi yang sifatnya lebih kongkrit dan mudah untuk dideteksi dibanding dimensi-dimensi abstrak yang sebenarnya juga berpengaruh dalam perilaku manusia. 


Analisis Gejala 

Sebenarnya mengapa ada sebuah kecenderungan untuk memisahkan antara dunia ilmu pengetahuan yang logis empirik dengan hal-hal yang sifatnya batin seperti agama dan semacamnya? Kemungkinan hal ini disebabkan oleh trauma sejarah. 

Sejarah Eropa mencatat beberapa kali terjadi konflik antara dunia pengetahuan dengan agama, dalam hal ini adalah Gereja. Eropa pernah mengalami masa kegelapan (Dark Age) di bawah kepemimpinan gereja pada masa itu. Bahkan periode-periode setelahnya sebelum munculnya renaissance banyak sekali pembatasan-pembatasan terhadap ilmu pengetahuan oleh Gereja. Apa yang terjadi pada Galileo Galilei merupakan sebuah contoh nyata dimana seringkali para ilmuwan tidak dapat mengembangkan pengetahuannya karena batasan-batasan dari Gereja. 

Yang terjadi berikutnya adalah seperti dalam teori bandul dimana suatu keadaan ekstrim akan beralih ke titik ekstrim yang berlawanan. Ketika sebelumnya agama (dalam hal ini Gereja) berpengaruh kuat dan memiliki otoritas yang sangat tinggi, apa yang berikutnya terjadi justru agama mulai dihindari dan dianggap sebagai sesuatu yang kurang pantas. Sama halnya ketika pada masa Orde Baru kita mengagung-agungkan otoritas dan kekuasaan, kini di masa reformasi kita justru mencaci-makinya. 

Rangkaian peristiwa tersebut menciptakan sentimen tidak percaya terhadap hal-hal yang berbau agama dan mengagung-agungkan rasionalitas. Akibatnya muncul budaya logis-empirik yang kita kenal saat ini. 

Terlebih lagi dalam perkembangannya aliran positivisme yang diusung Auguste Comte (1798-1857) menjadi primadona dalam perkembangan ilmu pengetahuan berikutnya. Hal ini juga diikuti oleh ilmu Psikologi. 

Psikologi yang pada dasarnya mempelajari hal-hal yang sifatnya abstrak dipaksa untuk dileburkan dengan paham positivisme dimana segala sesuatu harus bisa diterima dan dirasakan oleh inderawi kita serta anti terhadap hal-hal yang sifatnya metafisika. 

Padahal psikologi banyak mengandung hal-hal abstrak yang sulit diterima oleh inderawi kita. Rasa misalnya, tidak dapat diterima oleh organ inderawi kita. Hal ini justru mengebiri ilmu psikologi itu sendiri menjadi terbatas pada hal-hal yang bisa diterima oleh inderawi kita. 

Terlebih lagi dewasa ini perkembangan ilmu Psikologi berpusat pada Amerika Serikat yang merupakan pengembangan dari Willhelm Wundt (1832–1920) yang menggunakan pendekatan positivisme. Semua ini menyebabkan perkembangan Psikologi berikutnya lebih berfokus pada hal-hal yang sifatnya dapat dirasakan oleh organ inderawi kita. 

Jadi wajar jika teori Psikologi dewasa ini cenderung mengabaikan konsep batin dan rasa. Menurut pendekatan behavioris misalnya. Pendekatan ini berfokus pada aturan bahwa lingkungan luar akan berpengaruh terhadap perilaku kita (Passer & Smith, 2007). Pendekatan ini lebih menekankan bahwa suatu stimulus akan direspon dengan cara tertentu oleh individu. Dari semua aliran psikologi, behavioris-lah yang paling kongkrit. 

Meskipun dalam pendekatan ini dikenal pula istilah black box dimana dalam memproses suatu stimulus indvidu memiliki caranya tersendiri. Namun black box sendiri kurang begitu diperhatikan atau dibahas dalam perkembangannya karena sangat sulit untuk dikongkritkan. 

Dalam konsep psikoanalisis dikenal istilah-istilah ketidak sadaran. Menurut Freud, pikiran manusia dibagi menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama disebut conscious yang berisi tentang ide, nilai dan pengetahuan yang sedang kita sadari. Preconscious yang berada di luar kesadaran dan namun dapat dengan mudah dipanggil kembali. Unconscious yang tidak dapat disadari dalam keadaan normal (Passer & Smith, 2007). 

Namun dalam konsep ini juga kebatinan dan rasa tidak memperoleh porsi tersendiri. Segala tindakan merupakan dorongan alam bawah sadar (id) yang kemudian dibatasi oleh lingkungan (superego). Batasan-batasan dalam diri merupakan sebuah bentuk tekanan-tekanan yang sifatnya terpaksa yang kemudian menjadi sebuah bentuk defense mechanism (Hall & Lindzey, 1993). 

Kekurangan ini bisa dijelaskan mengunakan teori Kepribadian Jen dari Francis L.K. Hsu (Fudyartanto, 2003). Menurut Hsu, manusia membutuhkan daerah isi jiwa tambahan. Dalam teorinya daerah ini digambarkan dalam lingkaran lima yaitu lingkaran lapisan kesadaran jiwa yang tidak dinyatakan. Isinya berisi pikiran-pikiran atau gagasan yang disadari namun tidak disampaikan. 

Gagasan-gagasan ini tidak disampaikan karena berbagai alasan. Misalnya saja di Jawa kita mengenal istiah pakewuh atau sungkan dalam bahasa Indonesia. Bisa juga karena gagasan tersebut jika disampaikan akan menyebabkan suatu hal yang buruk. Disampaikan atau tidak suatu gagasan dipengaruhi oleh rasa. Berbebeda dengan konsep-konsep Barat yang seolah-olah semua gagasan harus disampaikan tanpa memperdulikan rasa. 

Lingkaran ke lima inilah yang digambarkan sebagai konsep batin dalam kebudayaan Jawa. Batin berarti di dalam manusia itu sendiri (Subagya, 1976). Lingkaran kelima ini juga menunjukkan ciri tersendiri dimana Psikologi Timur lebih dapat mengapresiasi hal-hal yang sifatnya abstrak (misal batin) dalam teorinya. 

Batin adalah sebuah keadaan sadar namun tidak dinyatakan. Bagian ini kurang mendapat bahasan dalam teori-teori Barat karena masyarakat Eropa yang cenderung asertif dimana biasa mengungkapkan segala sesuatu yang ada. Berbeda dengan masyarakat kita yang terkadang menyimpan sesuatu atau disebut dibatin (b.Jawa). 

Batin ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang kurang rasional dan tidak logis, namun hal ini ternyata memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat terutama di daerah Asia. Batin ini memiliki kaitan erat dengan rasa. 

Rasa sendiri sangat susah untuk diwujudkan dalam sesuatu yang kongrit. Misalnya saja rasa tentram, damai, dan sebagainya. Hal itu ada namun sulit untuk diwujudkan dan dijelaskan. Terlebih lagi jika kita menggunakan patokan lima indera utama dalam tubuh kita, hal itu tidak akan dirasakan oleh kelima indera tersebut. Damai tidak dirasakan oleh mata, telinga, hidung, kulit, ataupun mulut. Oleh sebab itulah rasa sulit untuk diterima dalam dunia psikologi modern. 

Jadi sangat wajar jika stereotype bahwa masyarakat Timur cenderung emosional dan kurang logis dibanding masyarakat Barat. Dimana semakin logis seseorang dalam berpikir dan bertindak maka semakin beradab suatu masayarakat. Akibatnya masyarakat Timur dianggap kurang beradab dan dipandang miring oleh masyarakat Barat. 

Hal ini juga berfek dalam teori-teori yang muncul, tentang tolong menolong misalnya atau yang biasa disebut sebagai prosocial behavior. Banyak ilmuwan mencoba menjelaskan mengenai munculnya fenomena ini. Salah satu penjelasan yang ditemukan adalah konsep yang disebut sebagai norm of reprocity (Aronson, Wilson, & Akert, 2007) dimana kita melakukan suatu tindakan menolong dengan harapan akan mendapat perlakuan yang sama di masa mendatang. Konsep ini dianggap sebagai sebuah jawaban logis. 

Namun konsep ini justru bersinggungan dengan konsep pamrih dalam budaya Indonesia yang dianggap sebagai suatu hal yang buruk. Jika memang demikian maka konsep norm of reprocity tersebut gugur. 

Lalu apa yang yang sebenarnya menyebabkan munculnya perilaku tolong menolong? Jawaban kita yang paling sederhana adalah karena kasihan. Namun jawaban semacam ini dianggap tidak logis karena kasihan sendiri adalah sesuatu yang sifatnya abstrak dan sulit diterima oleh inderawi kita. 

Itu juga yang menyebabkan konsep-konsep semisal keimanan, ketentraman, dan sebagainya kurang dapat diterima oleh masyarakat ilmuwan psikologi saat ini. Hal itu dikarenakan aliran positivisme yang mengakar kuat pada perkembangan Psikologi dewasa ini dan keterbatasan definisi inderawi itu sendiri yang hanya dibatasi oleh lima indera utama. 

Keimanan misalnya, adalah sebuah konsep yang tidak dapat diterima oleh organ inderawi manapun. Keimanan juga sulit dijelaskan dengan hal-hal yang logis. Bahkan mungkin keimanan justru bertolak belakang dengan logika (mustaqim, 2009). 

Keterbatasan ini karena dalam pengembangannya ilmuwan Psikologi selalu dituntut untuk mengkongkritkan hal-hal abstrak terbatas pada pemahaman-pemahaman yang telah ada. Padahal pemahaman-pemahaman tersebut sifatnya masih terbatas dan sangat kurang dalam membahas dimensi-dimensi tertentu yang sifatnya abstrak. 


Rekomendasi 

Dari tulisan ini terlihat bahwa perkembangan Psikologi dewasa ini sangat terbatas pada dimensi-dimensi yang sifatnya kongkrit. Hal itu justru terkadang mereduksi psikologi itu sendiri yang pada awalnya merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa dan manusia itu sendiri. 

Ke depan ilmu psikologi harus lebih mengangkat sesuatu secara apa adanya dan tidak bersikap anti terhadap hal-hal yang sifatnya abstrak dan tidak kongkrit. Psikologi harus bisa memahami dinamika manusia termasuk didalamnya adalah aspek rasa. Mengapa seseorang tetap melakukan suatu tindakan yang bahkan itu sifatnya tidak logis. 

Sesuatu yang tidak logis tersebut jangan dipandang sebagai suatu hal yang miring namun seharusnya diterima secara apa adanya dan dianggap sebagai sebuah fakta ilmiah. Psikologi harus bisa lebih menggali aspek perasaan, terutama di bagi masyarakat Asia yang cenderung kurang rasional dan tidak logis. 

Bibliography 
Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2007). Social Psychology. New Jersey: Pearson Education.

Fudyartanto, K. (2003). Psikologi Kepribadian Timur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hall, C. S., & Lindzey, G. (1993). Theories of Personality (edisi terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.

Mawardi, B. (2010, oktober 23). Kita yang kehilangan "rasa". Retrieved desember 30, 2010, from kompas.com: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/23/04303119/kita.yang.kehilangan.rasa

Mustaqim, K. (2009, April 3). memahami sebuah kepercayaan. Retrieved Januari 10, 2011, from sudut pandang berbeda: http://berpikirberbeda.blogspot.com/2009/04/memahami-sebuah-kepercayaan.html

Pargament, K. I. (1997). The Psychology of Religion and Coping. New York: Guilford Press.

Passer, M. W., & Smith, R. E. (2007). Psychology: The Science of Mind and Behavior. New York: McGraw-Hill.

Prama, G. (2007). Cinta, Kedamaian, Pencerahan. Jakarta: SKH Kompas.

Subagya, R. (1976). Kepercayaan kebatinan kerohanian kejiwaan dan agama. Yogyakarta: Kanisius.

Kamis, 10 Februari 2011

logika yang membunuh logika

Sungguh bukan karena aku terlalu pengecut untuk memikirkannya. Bukan pula terlalu takut untuk menerima kenyataan yang menyebabkan diriku gila. Aku sudah mencobanya.

Hanya saja aku menemukan sesuatu yang meruntuhkan semuanya. Aku takut logikaku hanya akan membunuh dan mengkerdilkanNya. Logika sama yang pernah menipu manusia tentang dunia ini yang datar dan sebagai pusat tata surya.

Apakah cara pandang Allah (SWT) terhadap kita sama dengan cara kita memandang anak-anak yang sedang bermain itu ya, Mas? Mereka sangat senang akan apa yang mereka lakukan, sedang kita melihatnya hanya sebagai permainan yang tak berguna.          -Ali Imron kepada Amrozi, “Long Road to Heaven”-

Yeah, kita tidak akan pernah tahu bagaimana Dia berpikir. Selama ini kita mencoba mereka-reka dengan mengatakan diriNya Maha Iseng atau Bekerja dengan cara yang misterius. Semua itu hanya untuk menutupi kedangkalan logika kita.

InsyaAllah jika sudah waktuku suatu saat nanti, akan kutanyakan padaNya tentang semua ini. Dia pasti memiliki jawabannya karena Dia lah yang Maha Mengetahui. Untuk saat ini kerjakan saja apa yang menjadi urusanku, aku sangat yakin Dia pasti mampu mengerjakan apa yang menjadi urusanNya jadi buat apa aku ikut campur. Aku hanya memohon agar kegilaan ini segera berakhir. Amin.

Rabu, 09 Februari 2011

masyarakat "daging babi"

ham : kb. 1 daging (paha) babi (yang biasanya diasinkan). 2 Sl.: pemain sandiwara yang jelek. 3 Sl.: pelayan radio amatir. -kkt. (hammed) Sl.: to h. it up bermain berlebih-lebihan.

Pasca reformasi 1998, istilah HAM tiba-tiba saja melejit. Terutama akibat sinyalir adanya banyak pelanggara HAM yang terjadi pada masa orde baru. HAM dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya universal dan kebenaran mutlak. HAM dianggap sebagai sesuatu yang harus dijunjung paling tinggi dalam kehidupan manusia.

Namun pada prakteknya, konsep HAM ini seringkali justru bertabrakan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. HAM yang sebegitu baik dan dipuja-puja bahkan dianggap sebagai kebenaran mutlak dalam masyarakat ternyata tidak semudah itu dalam penerapannya. Banyak permasalahan muncul justru karena masuknya konsep ini ke dalam masyarakat.

Mengenal Daging Babi
Masyarakat Eropa pada masa lalu hidup dalam bentuk kerajaan-kerajaan. Dimana dalam film-film dan buku sejarah mereka sering menggambarkan masa itu dengan masa penuh kekejaman, dimana penguasa berhak bertindak sesuka hatinya dan sewenang-wenang kepada masyarakat.

Pengekangan-pengekangan itu menimbulkan penolakan yang berkibat munculnya semangat kebebasan, yaitu bebas dari penguasa atau seseorang yang memiliki kekuatan di atas diri kita. Dalam perjalanannya sumber ini menimbulkan produk-produki semisal slogan liberte, egalite, freternite di Perancis atau paham liberal di AS dan Eropa.

Hal itu sangat terlihat terutama dalam sejarah AS, dimana pada awalnya mereka dipaksa tunduk kepada Inggris namun mereka memperjuangkan kebebasan mereka. Boston Tea Party menjadi salah satu saksi bisu adanya semangat tersebut. Hingga pada akhirnya masyarakat AS mencantumkan konsep-konsep HAM dalam deklarasi kemerdekaan mereka.

Namun para ahli berpendapat bahwa piagam Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris lah yang menjadi cikal bakal lahirnya HAM, baru setalah itu deklarasi kemerdekaan AS yang menempati urutan kedua. Piagam ini berisi perjanjian dimana Raja tidak boleh bertindak sewenang-wenang dan dapat dihukum jika melakukan kesalahan.

Kemudian muncul berbagai peristiwa lain misalnya French Declaration tahun 1789. Hingga pada akhirnya pasca Perang Dunia II berasal dari kejadian pembantaian massal oleh Hitler, muncul The Universal Declaration of Human Rights oleh PBB pada tahun 1948.

Jadi secara ringkas, saya menyimpulkan bahwa HAM lahir dari masyarakat yang dulunya merasa diperlakukan semena-mena hingga muncul semacam konsensus untuk melindungi hak-hak dasar manusia. Dalam artian masyarakat ini memandang manusia sebagai sautu individu yang perlu dilindungi dan dipertahankan hak-haknya. Sebenarnya HAM hanyalah salah satu produk saja yang timbul dari pemikiran tersebut. Produk-produk lainnya isalnya adalah hak cipta, kemudian paham kapitalis, liberalis, dsb seperti yang telah diuraikan atas.

Sepatu Hitam Itu
Saya ingat waktu pertama kali masuk SD, saya diharuskan membeli sepatu berwarna hitam seharga kira-kira lima bulan uang saku saya saat itu yang besarnya Rp 200/hari. Sebuah praktek yang saat ini dianggap sebagai kosupsi atau apapun itu namanya. Kejadian yang hampir sama juga terjadi sewaktu saya SMP, mulai dari ikat pinggang hingga minimal warna sepatu berusaha diseragamkan. Prektek yang saat ini ditolak mentah-mentah oleh para aktivis HAM dan semacamnya.

Namun dibalik itu semua saya menyadari suatu hal bahwa hal-hal semacam inilah yang menimbun jurang keadilan sosial. Dalam lingkungan semacam itu kita tidak pernah tahu (dan mungkin tidak perlu tahu) siapa si miskin dan siapa si kaya karena semua sama. Berbeda dengan saat ini dimana sekolah menjadi panggungfashion show dan ajang pamer kekayaan atas nama kebebasan dan Hak Asasi.

Ternyata ini semua bukan hanya tentang bentuk dan warna sepatu, tetapi efeknya lebih dari itu. Seorang anak SMP rela menjual diri hanya untuk membeli Blackberry, seorang pelajar SMA rela mencuri uang orang tuanya sambil memaki-maki hanya untuk hangout bersama teman-temannya, atau bahkan anak SD yang gantung diri karena tidak kuat mendengar celaan teman-temannya karena memakai seragam usang.

Saya pernah mengobrol dengan teman-teman saya, apakah di Indonesia ini HAM merupakan kebenaran yang paling mutlak? Tidak juga. Seperti yang pernah diajarkan guru SD kita, bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada hak yaitu adalah kewajiban. Bahkan dalam beberapa versi disebutkan bahwa hak baru akan diberikan setelah kita melaksanakan kewajiban.

Mengapa demikian? Karena di Indonesia seorang manusia tidak dilihat sebagai satu individu yang beridiri sendiri, namun dilihat sebagai bagian dari sebuah kelompok. Sehingga individu tersebut harus memenuhi kewajibannya sebagai anggota kelompok dan itulah yang utama yaitu menjaga keharmonisan kelompok. Bukan tentang hal seorang individu dari individu lainnya.

Maka ketika dihadapkan dalam sebuah peristiwa antara hak dan kewajiban maka ini menjadi masalah prioritas dan pilihan.

Ketika sebuah kampus membangun gedung tinggi dan menjulang memang itu haknya, tetapi jangan lupa mereka juga memiliki kewajiban untuk menjaga perasaan dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah kampus yang membangun gedung mewah dengan alasan kekurangan tempat kuliah mahasiswanya yang terus menerus bertambah sementara di sebelahnya kampus lain hendak ditutup karena kekurangan mahasiswa, maka sekali lagi ini adalah masalah pilihan. Sama seperti halnya sebuah kampus yang berhak mengatur lingkungannya, tetapi alangkah dalam mengatur tersebut kita tetap ingat kepada kewajiban kita kepada lingkungan.

Wajar pula jika sex bebas dianggap sebagai urusan pribadi sehingga pornografi yang dilakukan untuk pribadi dianggap dilindungi oleh HAM, sementara di sisi lain ada norma dan nilai di masyarakat yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan gay, lesbian, banci, dsb yang menuntut hak mereka. Tapi terkadang mereka lupa ada kewajiban yang perlu dipenuhi yaitu menjunjung tinggi nilai dan norma kelompok. Maka sekali lagi ini adalah sebuah pilihan.

Memang hak kita untuk menggunakan segala yang kita miliki seperti perhiasan, baju yang bagus, dan sebagainya. Namun sekali lagi adalah haruskan kita selalu mengambil apa yang menjadi hak kita? Mengapa kita enggan mengikhlaskan apa yang menjadi hak kita demi orang lain, atau kewajiban kita menjaga perasaan orang lain?

Kebingungan
Konsep HAM yang yang telah diratifikasi oleh sebagian masyarakat yang dianggap sebagai perwakilan dunia ternyata tidak semudah itu dalam prakteknya. Karena konsep HAM ini lahir dari sebuah masyarakat yang memandang manusia sebagai suatu individu tersendiri. Padahal dalam beberapa masyarakat seperti di Indonesia misalnya, menganggap manusia sebagai bagian dari kelompok.

Konsep-konsep inilah yang pada akhirnya menimbulkan banyak pertentangan. Mulai dari batas mana masyarakat dapat mempengaruhi suatu individu dan sebaliknya. Sekali lagi perlu kita pikirkan apa sebenarnya HAM dan latar belakangnya itu. Karena dalam masyarakat kolektif, terkadang kita harus mengobankan hak kita demi kewajiban yang kita emban.

Maka sekali lagi ini adalah masalah pilihan dan kesadaran. Saya masih teringat guru SD saya yang mengatakan bahwa kewajiban lah yang harus diutamakan. Dan bagaimanapun juga bagi saya, daging babi memang haram untuk dimakan.