Rabu, 30 Maret 2011

Kebijakan Educopolis

Akhir-akhir ini kampus Gadjah tempat saya menimba ilmu sedang dilanda perseteruan. Bagai dunia persilatan yang penuh persaingan maupun dunia politik yang penuh intrik, satu sama lain saling menjatuhkan argumen satu dengan lainnya. Mulai dari diskusi-diskusi publik hingga debat kusir tanpa akhir, semua mempertahankan pendapat masing-masing dengan berbekal kepercayaan akan sebuah kebenaran dalam genggaman masing-masing pihak (lebay).

Intinya, kebenaran adalah tergantung pada kacamata yang kita gunakan. Kita akan selalu melihat kegelapan bila menggunakan kacamata hitam. Maka seharusnya kita saling bertukar kacamata untuk saling memahami, bukankah Tuhan menciptakan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenali dan bukan bermusuhan?

Pro
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka karena sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa (Al-Hujurat:12)
Lalu Lintas
Pengaturan adalah suatu keharusan. Itulah mengapa manusia cenderung menciptakan tatanan sosial agar tercipta aturan. Karena dalam hidup ini kita juga hidup dengan orang lain. Maka diciptakanlah aturan demi kepentingan bersama.

Begitu juga dengan wilayah UGM sebagai sebuah kampus yang terletak di tengah kota. Dengan semakin banyaknya penduduk Jogja dan kepadatan lalu lintas maka pengaturan adalah sebuah keharusan bukan hanya dalam lingkup UGM tetapi juga di level propinsi, nasional, maupun dunia.

Salah satu isu yang menyeruak saat ini adalah kepadatan lalu lintas. Bukan hanya dalam lingkup kampus tetapi ini menjadi masalah penting di tingkat propinsi karena kepadatan lalu lintas di Jogjakarta sudah mulai mengkhawatirkan. Maka wajar pula jika UGM mengeluarkan kebijakan pengaturan lalu lintas di wilayahnya salah satunya dengan kebijakan educopolisnya yang berusaha mengurangi kepadatan lalu lintas di wilayah kampus.

Kalau boleh jujur, ini cukup berhasil. Jika kita amati daerah sekitar Boulevard dan kompleks sosio-humaniora sudah cukup lenggang tidak sepadat dahulu sebelum kebijakan ini diterapkan. Maka saya pikir sudah tepat dengan adanya regulasi untuk mengatur kepadatan lalu lintas di UGM.

Keamanan
Saya ingat betul beberapa tahun lalu UGM bukanlah kawasan yang benar-benar ramah bagi masyarakat. Mulai dari mobil goyang di daerah lembah dan kompleks perumahan sosio-humaniora. Selain itu banyak terjadi pemalakan di daerah-daerah kampus yang rawan (misal sekitaran maskam). Parkir liar pun menjamur dengan tarif bisa berkali-kali lipat dari tarif normal. Hingga tawuran pelajar yang tidak jarang juga terjadi di lingkungan UGM sendiri.

Perlu diakui juga sejak diberlakukannya kebijakan ini mobil goyang, tawuran, dan pemalakan sudah mulai berkurang di sekitaran wilayah sosio-humaniora. Kampus menjadi relatif lebih tertib dan aman. Tawuran juga tidak sebanyak dahulu.

Di sisi lain parkir liar juga mulai menghilang. Dalam acara wisuda misalnya seringkali muncul parkir liar yang harganya bisa mencapai lima ribu rupiah. Bandingkan dengan sekarang dengan kebijakan ini hanya membayar dua ribu rupiah untuk mobil dan penjagaannya relatif lebih meyakinkan dibanding parkir liar yang biasa muncul.

Maka wajar jika sebagian pihak tidak keberatan dengan tarif yang diberlakukan karena menggunakan perbandingan keadaan sekitar. Seperti halnya yang dikatakan dalam teori deprivasi relatif dimana orang akan merasa adil atau tidak dengan cara membandingkan. Dalam hal ini para pengendara membandingkan tarif yang dibayarkan untuk memasuki wilayah UGM dengan tarif parkir. Dalam kondisi harga yang sama dan jaminan keamanan yang lebih meyakinkan (saya tidak mengatakan lebih baik) maka hal ini dianggap wajar.

Mahasiswa Bayar?
Salah satu argumen yang mengemuka adalah bahwa mahasiswa harus membayar untuk memasuki kampusnya sendiri, tidak adil bukan? Bukankah ini sama tidak adilnya dengan ketika saya mau ke Parangtritis saya harus membayar tiket masuk, membayar parkir, kamar mandi, dsb. Padahal saya sejak kecil lahir di Jogja dan punya KTP Jogja, kenapa untuk masuk ke pantai di daerah saya sendiri saya juga harus membayar?

Karena semua ada aturannya. Mahasiswa sebenarnya digratiskan dengan membuat KIK. Jadi siapa bilang mahasiswa membayar? Mereka yang membayar adalah mereka yang tidak memiliki KIK. Sama seperti halnya ketika kita tidak memiliki SIM kita juga harus membayar denda. Sehingga argumen menolak KIK karena mahasiswa harus membayar menurut saya kurang tepat.

Bagaimana dengan Tamu?
Salah satu alasan penolakan lainnya adalah bahwa tamu kampus juga harus membayar. Sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena UGM juga mengeluarkan kupon KIK gratis. Kupon ini bisa diperoleh di masing-masing fakultas (beberapa BKM di Gelanggang juga konon katanya memperoleh). Sehingga ketika meninggalkan kampus setelah urusannya selesai, tamu tersebut cukup menunjukkan kupon tersebut tanpa harus membayar. Jadi klaim tersebut untuk menolak kebijakan ini saya rasa kurang tepat.

Komersialisasi?
Salah satu alasan lain dalam penolakan KIK adalah karena dianggap sebagai bentuk komersialisasi. Saya pribadi kurang setuju terhadap hal ini. Selain karena definisi komersialisasi itu sendiri, tetapi juga karena saya sebagai mahasiswa psikologi melihat tarif disinsentif itu sendiri dengan cara berbeda (terlebih setelah mendapat penjelasan dari pihak pembuat kebijakan).

Insentif sendiri berarti perangsang atau penambah gairah. Sedangkan disinsentif adalah sebaliknya atau pengurang gairah. Dalam teori modifikasi perilaku (pendekatan behavioris) dikenal istilah punishment yaitu suatu bentuk konsekuensi yang diberikan atas suatu perilaku tertentu dengan tujuan mengurangi atau menghilangkan perilaku tersebut.

Dalam hal ini tarif tersebut bukan dimaksudkan untuk mencari keuntungan (saya yakin UGM bisa lebih pintar dalam mencari uang daripada sekedar dengan uang parkir), tetapi agar perilaku masyarakat mondar-mandir di wilayah UGM dengan kendaraaan pribadi bisa berkurang. Syukur-syukur masyarakat kemudian beralih ke sepeda atau kendaraan umum. Hal ini sejalan dengan konsep educopolis yang bertujuan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan beralih ke kendaraan umum atau sepeda.


Kontra
Orang yang Berkepentingan
Satu hal yang membuat saya kurang setuju adalah bagaimana pihak pembuat kebijakan mendefinisikan pihak yang berkepentingan itu sendiri. Seringkali pihak yang berkepentinngan ini didefinisikan hanya sebatas tamu akademisi dan orang-orang yang berkepentingan dengan UGM sebagai sebuah institusi pendidikan. Menurut saya pendefinisian semacam ini sangat egois.

Padahal menurut saya mereka yang ke wilayah kampus hanya sekedar jalan-jalan, berolahraga, berwisata, dan sebagainya juga termasuk orang yang berkepentingan. Kepentingan dalam hal wilayah kampus sebagai wilayah public space yang kondusif untuk sekedar refreshing. Maka tidak seharusnya mereka ini dikenai tarif disinsentif.

Punishment
Jika memang itu tarif disinsentif sebagai sebuah bentuk punishment, maka pertanyaan berikutnya efektifkah? Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian pro di atas, bahwa tarif tersebut tidak memiliki efek jera pada masyarakat karena tarif seperti itu telah dianggap biasa (toh di Jogja mau beli rokok sebatang juga harus parkir dahulu membayar seribu rupiah). Itu berarti bentuk punishment semacam ini tidak efektif.

Maka satu-satunya alasan atas keberadaan tarif tersebut telah gugur. Punishment semacam itu tidak efektif. Bisa saja berdalih dengan jika tanpa adanya tarif maka masyarakat yang tidak berkepentingan akan bersliweran dan usaha untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di wilayah UGM akan gagal.

Benarkah? Tidak juga. Karena keberadaaan portal sendiri sudah cukup menciptakan tembok psikologis dimana mereka yang tidak benar-benar berniat memasuki wilayah UGM akan menyingkir dengan sendirinya. Sehingga menurut saya keberadaan portal saja sudah cukup tanpa harus menerapkan tarif disinsentif.

Pengabdian
Tiga pilar utama perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian dan pengabdian. Namun sayangnya pengabdian seringkali mengalami penyempitan makna menjadi sebatas KKN, proyek fakultas, dan sebagainya. Padahal ada satu hal yang bisa dilakukan UGM tanpa harus mengeluarkan dana yang cukup banyak yaitu menyediakan public space.

Di tengah pembangunan kota tanpa perencanaan dan public space yang memadai, keberadaan UGM sebagai sebuah ruang terbuka untuk umum tentunya akan sangat berarti. Kampus bukan hanya untuk mereka yang menuntut ilmu, tetapi juga untuk berbagi dengan masyarakat. Bukankah ilmu kita juga digunakan dalam masyarakat.

Pembatasan secara berlebihan dan menjadikan UGM sebagai ruang privat justru menjauhkan akademisi dari laboratorium sosial terbesar mereka. Terlebih di tengah kurikulum pendidikan kita yang semakin sibuk sehingga kesempatan untuk berinteraksi dengan masyarakat semakin berkurang. Suatu hal yang kontras dengan kebudayaan masyarakat Indonesia.

Membuka Mata
Mau tidak mau kita juga harus melihat dari kedua sisi. Di satu sisi adalah munculnya berbagai permasalahan yang menuntut diselesaikan sehingga memunculkan kebijakan. Kita tidak bisa menolak begitu saja suatu kebijakan dan mengabaikan permasalahan yang ada. Tetapi yang harus kita lakukan adalah bagaimana menyelesaikan masalah yang ada tanpa perlu menimbulkan masalah baru.

Di satu sisi kebijakan yang dibuat pihak rektorat kurang memperhatikan faktor-faktor tentang good governance yang meliputi:
  1. Partisipasi: dimana seharusnya setiap kebijakan dibuat dengan partisipasi dari seluruh pihak dengan mengutamakan asas demokrasi dan kebersamaan. Yang terjadi justru rektorat menciptakan kebijakan tanpa pertimbangan pihak lain misalnya mahasiswa sebagai warga terbesar dan bahkan pihak fakultas sendiri (itu yang saya pahami ketika berbagi pikiran dengan dekan saya yang mengatakan tidak mendapatkan sosialisasi apapun). Perwakilan mahasiswa hanya diberitahukan sebagai sebuah bentuk sosialisasi dan dimintai pertimbangan, namun kelanjutannya mengenai penerapannya tidak jelas.
  2. Akuntabilitas: dimana setiap kebijakan yang ada seharusnya memiliki perhitungan-perhitungan yang rasional dan terukur. Tidak bisa begitu saja menciptakan suatu kebijakan tanpa perhitungan yang tepat.
  3. Transparansi: dimana ada kejujuran dari masing-masing pihak dan kontrol bersama atas kebijakan tersebut. Selama ini kurang adanya sosialisasi yang jelas atas kebijakan tersebut dan statement dari pihak-pihak terkait yang seringkali bertentangan. Ini menimbulkan munculnya rumor yang memiliki tingkat kepercayaan yang lebih tinggi.
  4. Keadilan: dimana pemerataan kebijakan dan kesejahteraan bersama diutamakan.
  5. Landasan Hukum: adanya sebuah lanndasan hukum atas setiap kebijakan yang diciptakan.
Faktor partisipasi dan transparansi inilah yang menjadi masalah. Tidak adanya keterlibatan dalam pengambilan kebijakan dan transparansi akan kebijakan itu sendiri menyebabkan timbulnya penolakan. Kebijakan Educopolis ini baru setengah atau mungkin seperempat jalan. Perlu adanya kepastian rencana yang secara rinci atas penerapan kebijakan tersebut.

Tentu harus kita akui kebijakan tidak ada yang sempurna, selalu ada yang cenderung dirugikan dan diuntungkan. Tetapi yang utama adalah bagaimana kebijakan tersebut dapat diterima semua pihak demi kepentingan bersama. Singkirkan ego dan emosi masing-masing, berpikir jernih dalam menyelesaikan masalah yang ada.

Solusi
Bukan tentang sanggup atau tidak sanggup, bukan tentang bisa atau tidak bisa, mau atau tidak mau, tetapi tentang apakah kita mau melakukannya atau tidak, itulah moral. Pihak yang cenderung dirugikan pasti selalu ada. Tetapi bagaimana supaya kerugian itu tidak diderita oleh orang lain itulah pengorbanan. Jika kita mampu memberikan yang terbaik untuk kepentingan orang lain mengapa tidak?

Buntu
Pihak rektorat menginginkan bentuk penataan kampus yang ideal dimana masyarakat umum tidak lalu lalang begitu saja di wilayah kempus. Bentuk idaman ini seringkali diidentikan kampus UI depok, UII, UNY, dsb. Namun seringkali kita lupa bahwa kampus kita tidak sama dengan kampus-kampus tersebut. Sialnya (atau untungnya?) kampus kita tepat berada di tengan perkotaan sehingga menjadi jalur perjalanan.

Salah satu ide yang saya tawarkan adalah dengan menutup jalan-jalan di sekitar sosio-humaniora dan hanya membuka jalan dari arah bunderan UGM. Ini akan menciptakan jalan buntu sehingga masyarakat yang tidak berkepentingan akan menghindari jalan tersebut. Untuk kluster lain semisal teknik, hukum, dsb saya rasa telah menjadi jalan buntu yang dihindari masyarakat.

Kampus Bebas Kendaraan
Ide lainnya adalah dengan menerapkan peraturan pelarangan kendaraan bermotor memasuki portal-portal. Namun tentunya dengan konsekuensi bahwa pihak kampus menyediakan parkir gratis semisal di lembah atau semacamnya. Pelarangan ini bukan hanya sebatas tarif disinsentif namun kebijakan yang tegas. Mungkin bisa dimulai dengan pelarangan kendaraan roda empat yang kemudian dilanjutkan kendaraan bermotor roda dua dan tiga (kecuali kendaraan operasional kampus).

Kebijakan ini bukan hanya mengurangi kepadatan di wilayah kampus, tetapi dalam jangka panjang juga berdampak pada kebijakan transportasi di Indonesia. Kebijakan ini akan menciptkan budaya berjalan kaki dan bersepeda (tidak seperti saat ini jarak seratus meter pun menggunakan kendaraan bermotor). Bagi mereka yang gemar meneriakkan isu-isu lingkungan saya pikir ini seharusnya dapat diterima. Setelah budaya jalan kaki muncul, maka budaya penggunaan model transportasi umum pun akan lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Aku menjamin sebuah rumah di surga paling bawah bagi siapa yang meninggalkan debat meskipun ia benar, sebuah rumah di surga yang tengah bagi siapa yang meninggalkan dusta meskipun bergurau, dan sebuah rumah di surga paling tinggi bagi siapa saja yang berakhlak baik (HR. Abu Dawud)

Ada berbagai kebijakan yang bisa dipikirkan bersama. Mari kita berdiskusi bersama dan menghindari ego dan prasangka-prasangka buruk atas masing-masing pihak. Jangan berdebat dan mempertahankan kebenaran subjektif kita masing-masing, tetapi berdiskusilah untuk kepentingan bersama.

Sabtu, 26 Maret 2011

Rel Kehidupan

"Kasihan ya kereta"
"Maksudmu?"
"Ya seumur hidupnya gitu-gitu aja, jalan di tempat yang sama"
"..."
"Meski badannya kokoh besar tidak ada yang berani menantangnya, tetap saja hidupnya diatur lurus seperti itu saja tidak pernah berubah"
"Lalu bagaimana dengan kita?"
"Maksudmu? Kita kan berbeda, kita berjalan atas kemauan kita sendiri"
"Tapi bukankah ada takdir? Bagaimana jika hidup yang kita jalani selama ini ternyata sudah ada yang mengatur. Apa yang selama ini kita kira kita lakukan atas kemauan kita ternyata sudah di atur oleh Tuhan?"
"..."
"Bukankah kita sama saja dengan kereta itu? Berjalan di atas rel kita masing-masing. Sadar atau tidak."

Jumat, 25 Maret 2011

Kritik

Kritik akan menjadi sangat berharga dalam dunia yang sempurna. Dan usaha akan menjadi sangat berharga pula dalam dunia yang hancur.


Ini bukan tentang posisi, tetapi adalah tentang harmoni dan frekuensi. Dan janganlah berlebih-lebihan.

Kamis, 24 Maret 2011

Jane Elliott's Experiment: Stereotype & Prejudice


Jane Elliot (1983) adalah seorang guru dan juga seorang aktivis anti-rasis di Amerika Serikat. Dian menciptakan sebuah eksperimen yang kemudian dikenal dengan nama Blue Eyes Brown Eyes Exercise yang bertujuan mendidik masyarakat untuk tidak melakukan rasisme (Elliott, 2003). Permainan ini pertama kali dilakukan pada anak didiknya di SD dengan menerapkan aturan permainan dimana pada hari pertama mereka yang bermata biru mendapatkan perlakukan khusus dan superioritas dan mereka yang bermata coklat mendapat diskriminasi. Kemudian hari berikutnya aturan menjadi sebaliknya. 

Permainan ini sendiri telah banyak diadaptasi dalam berbagai bentuk permainan lainnya misalnya saja Alpha Victoria yang biasa digunakan dalam pembelajaran antar kelompok. Inti dari permainan ini adalah bagaimana peserta bisa memahami tidak hanya secara kognitif tetapi juga secara emosi tentang adanya diskriminasi dan memahami apa yang terjadi pada kelompok lain agar tercipta saling pengertian akan perbedaaan. Dalam bahasa singkat adalah untuk menghapus prasangka (judgement) negatif terhadap orang di luar kelompok kita (outgroup). 

Namun sebenarnya bagaimana prasangka bisa terbentuk? Sistem kognitif kita seringkali menciptakan sejenis shortcut untuk memudahkan sistem kerjanya dan overload terhadap informasi berlebihan. Salah satu bentuknya adalah apa yang biasa kita sebut sebagai stereotype, yaitu generalisasi terhadao sekelompokorang yang terlihat memiliki ciri yang sama dan mengabaikan perbedaan antar individu yang ada dalam kelompok tersebut (Aronson, 2007). 

Stereotype ini sendiri berfungsi untuk membantu kita mendapatkan gambaran tentang seseorang yang belum kita kenal. Misalnya kita telah memiliki stereotype tertentu tentang orang dari suku Sunda, maka ketika kita bertemu orang sunda kita akan langsung menempatkan stereotype tersebut pada dirinya untuk membantu mengenali orang tersebut. Stereotype ini sendiri tidak sepenuhnya salah, bahkan kemungkinan benarnya sangat besar (Kanazawa, 2011). 

Stereotype ini sendiri sebenarnya bersifat netral. Namun selain memiliki mekanisme ini, sistem kognisi kita juga memiliki defense mechanism yang membuat diri kita selalu merasa benar. Salah satu caranya adalah adanya kecenderungan untuk menilai secara negatif orang-orang yang berada di luar kelompok kita (outgroup). 

Dalam permainan Alpha Victoria misalnya ada kecenderungan untuk selalu menilai perbedaan dari kelompok lain secara negatif. Sehingga stereotype kita terhadap kelompok lain biasanya juga bernilai secara negatif. Padahal tiap sifat sebenarnya memiliki dua sisi positif dan negatif. Perilaku menyimpan uang misalnya, dalam bahasa positif kita menyebutnya sebagai hemat sedangkan dalam bahasa negatif kita menyebutnya pelit. 

Inilah yang menyebabkan munculnya prasangka negatif yang kemudian berujung pada rasisme. Misalnya suku Jawa yang lelet dan malas dalam bekerja, suku Sunda yang suka materi, suku Batak yang kasar, dan sebagainya. Padahal kita bisa menilainya secara positif dengan mengatakan suku Jawa yang sabar dan tenang, suku Sunda yang pandai berdandan dan berpenampilan menarik, suku Batak yang tegas dan beraani, dsb. 

Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa begitu saja menghapus stereotype yang kita miliki karena sistem kognisi kita memang membutuhkannya. Yang sebaiknya kita lakukan adalah bagaimana memahami perbedaan yang ada tersebut. Kita seharusnya bisa memandang setiap permasalahan dalam dua sisi yang berbeda. 

Bentuk pelatihan seperti permainan Alpha Victoria atau Blue Eyes Brown Eyes Exercise termasuk cukup efektif dalam membantu kita memahami perbedaan. Karena program semacam ini tidak hanya menggunakan sistem kognisi dalam menciptakan suatu pemahaman tetapi juga emosi. Dengan mengalami sendiri apa yang terjadi akan membantu kita dalam memahami perbedaan. 

[49:13] Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. 


Bibliography 
Aronson, E. W. (2007). Social Psychology. New Jersey: Pearson Education. 

Elliott, J. (2003). Retrieved March 24, 2011, from Jane Elliott's Blue Eyes Brown Eyes Exercise: http://www.janeelliott.com/ 

Kanazawa, S. (2011, March 13). Criminals Look Different From Noncriminals. Retrieved March 2011, 2011, from psychologytoday.com: http://www.psychologytoday.com/blog/the-scientific-fundamentalist/201103/criminals-look-different-noncriminals

*) ditulis sebagai tugas mata kuliah kesehatan mental

Kebenaran

Pencarianku akan kebenaran hingga saat ini menunjukkan bahwa kebenaran tidak berada dimana pun. Karena kebenaran terletak pada kacamata kita untuk melihat.

Namun keimananku mengatakan bahwa ada satu kacamata yang paling jernih lensanya, itulah yang menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya.


Rabu, 23 Maret 2011

Pragmatisme dan Masalah

prag·ma·tis a 1 bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan); mengenai atau bersangkutan dng nilai-nilai praktis; 2 mengenai atau bersangkutan dng pragmatism 

Pragmatis seringkali dianggap memiliki konotasi negatif. Pragmatisme sering diidentikan dengan bentuk penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan. Penghalalan ini seringkali bertentangan dengan nilai moral, budaya, dan adat sehingga dianggap sebagai musuh bersama sebuah kebudayaan. 

Padahal pragmatis sendiri adalah suatu hal yang sifatnya netral. Tergantung sejauh mana pragmatis itu sendiri diterapkan dan dalam konteks apa. Pragmatis bisa menjadi positif, negatif, dan netral tergantung pada konteksnya. 

Dalam konteks tertentu misalnya, pragmatis dianggap sebagai salah satu unsur kebijaksanaan. Dimana dengan bertindak pragmatis kita dapat menyelesaikan sebuah permasalahan dengan tepat tanpa harus berbelit-belit. Misalnya cerita tentang astronot AS yang sibuk menciptakan ballpoint yang mampu bertahan di luar angkasa sedangkan para astronot Rusia cukup menggunakan pansil untuk mengatasi masalah tersebut adalah sebuah contoh bentuk pragmatis yang bersifat positif. 

Bentuk lain dari pragmatis yang memiliki konotasi positif adalah efektif dan efisien. Efektif adalah sejauh mana langkah yang kita ambil sesuai untuk mencapai tujuan kita. Sedangkan efisiensi adalah rasio input dibandingkan dengan output dalam mencapai suatu tujuan. Semakin kecil input yang kita lakukan namun dapat mengeluarkan output yang semakin besar, maka semakin efisiensi-lah yang kita lakukan. 

Ketika pragmatis merupakan bentuk pengutamaan tindakan berdasarkan asas kemanfaatan maka pertanyaan berikutnya adalah kemanfaatan bagi siapa? Disinilah pragmatis berbenturan dengan nilai moral karena pada prakteknya yang dimaksud kemanfaatan adalah bagi individu atau kelompok pengambil kebijakan itu sendiri. Terlebih dalam budaya kita yang menanamkan untuk tidak egois dan selalu mengutamakan orang lain maka disinilah terjadi persinggungan yang keras terhadap pragmatis. 

Maka kini kita menghadapi sebuah dilema, ketika dunia menuntut kita semakin efektif dan efisien dalam bertindak maka pragmatis menjadi jalan keluar terbaik. Di sisi lain kita masih memiliki ikatan moral dan budaya, ikatan yang dianggap sebagai sebuah halusinasi dalam dunia yang menagung-agungkan logika. 

Efeknya adalah muncul kebijakan-kebijakan yang sifatnya efektif dan efisien, namun memiliki tingkat penolakan tinggi dari masyarakat. Sedangkan kebijakan-kebijakan yang seringkali mudah diterima memiliki tingkat efektivitas dan efisiensi yang rendah. 

Maka kita harus membuka mata lebih lebar. Kemanfaatan tidak boleh hanya diukur dari segi individu ataupun kelompok tertentu. Ada sebuah tanggung jawab sosial dimana kita juga harus memikirkan kemanfaatan terhadap orang lain, bahkan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan diri kita. 

Kebijakan yang dilihat harus diambil dengan langkah pragmatis bersama, yaitu mengutamakan kemanfaatan bersama dan bukan hanya golongan tertentu. Jika ini diterapkan maka tidak ada lagi penggusuran PKL secara sepihak tanpa solusi yang kongkrit ataupun pemagaran wilayah-wilayah terntentu dengan dalih private space sementara banyak pihak lain yang juga memiliki kepentingan di daerah tersebut meski bukan pemilik legalnya. 

Kebijakan-kebijakan seperti ini memang terkesan kurang efektif secara langsung, tetapi memiliki asas kebermanfaatan dan nilai moral yang lebih besar. Hal ini mejadi penting karena moral merupakan warisan budaya berharga. Meski kini warisan ini mulai dilupakan karena dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan masalah.

Pragmatisme Pendidikan

prag·ma·tis a 1 bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan); mengenai atau bersangkutan dng nilai-nilai praktis; 2 mengenai atau bersangkutan dng pragmatism 

Dunia saat ini terasa semakin cepat berputar. Perkembangan zaman yang semakin cepat tentu juga memberikan pengaruh pada penduduk dunia. Saat ini semua hal semakin dituntut untuk serba cepat, sehingga kinerja harus semakin efektif dan efisien. Oleh karena itu kita menjadi semakin pragmatis dalam menghadapi masalah yang ada. 

Pragmatis sendiri jangan selalu dikonotasikan dalam hal yang sifatnya negatif. Pragmatis berarti kita melakukan sesuatu secara praktis, dalam bahasa lain disebut sebagai efektif dan efisien. Pragmatis sendiri juga banyak membantu manusia dalam memecahkan masalah-masalah yang rumit. 

Namun seringkali pragmatis menerobos nilai-nilai norma dan budaya yang ada. Sehingga terkadang dianggap sebagai sebuah bentuk penghalalan segala cara. Hal lain yang dipertanyakan adalah kebermanfaatan itu untuk siapa. Yang terjadi justru adalah kebermanfaat untuk diri sendiri atau kelompok tertentu sehingga membentuk masyarakat pragmatis-egois.

Tuntutan Pendidikan 
Akhir-akhir ini institusi pendidikan semakin dituntut untuk menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas. Pertanyaannya adalah apa indikator dari kualitas itu sendiri? Seringkali berkualitas didefiniskan sebagai sesuai dengan kebutuhan pasar. Jadi masyarakat dididik untuk menjadi individu yang siap dimanfaatkan oleh pasar. 

Penilaian masyarakat dan pengguna sumber daya manusia ini pada dasarnya sama, perguruan tinggi dituntut memberikan ilmu-ilmu yang sifatnya praktis dan langsung berguna dalam menyelesaikan masalah yang ada. Dalam kata lain institusi pendidikan dituntut semakin pragmatis. Karena menurut mereka lulusan SMA dan Sarjana saat ini memiliki kemampuan sumber daya yang kurang dalam menerapkan ilmu-ilmu demi kepentingan pasar. 

Maka yang menjadi momok dari semua ini adalah perguruan tinggi. Karena pamor lulusan sekloah menengah atas sudah mulai turun di pasar perusahaan kelas elit. Para lulusan perguruan tinggi baik itu sarjana maupun diploma diharapkan bisa diterima oleh pasar dan sesuai kebutuhan dengan baik. 

Tuntutan in sendiri bukan hanya berasal dari pengguna sumber daya yang bersangkutan, tetapi juga dari masyarakat sendiri. Dalam kata lain masyarakat semakin menuntut agar perguruan tinggi semakin pragmatis. 

Terkadang ini justru mencederai ilmu itu sendiri. Ilmu-ilmu menjadi disederhanakan dan berkurang nilainya karena hanya dituntut menemukan cara-cara praktis tanpa benar-benar memahami esensi dan konsekuensi dari tindakannya tersebut. Ilmu juga dikembangkan dan dipelihara sebatas kemanfaatan secara langsung dari ilmu itu sendiri, bukan atas dasar pencarian kebenaran. 

Maka kini pengelola perguruan tinggi menghadapi sebuah dilematis. Mereka berada di tengah keputusan untuk menentukan mana yang lebih utama: ilmu-ilmu yang sifatnya praktik atau justru yang sifatnya esensial kebenaran.Semua keputusan tersebut nantinya dirumuskan dalam bentuk kurikulum.

Salah Kaprah 
Di Indonesia, dikenal tiga macam bentuk sekolah menengah atas. Yang pertama adalah SMA yang bertujuan menyiapkan sumber daya manusia yang siap meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kedua adalah SMK, sekolah menengah yang bertujuan menyiapkan sumber daya manusia siap kerja yang terampil, dan yang terakhir adalah MAN yang mendidik sumber daya manusia dengan menekankan pada nilai moral keagamaan. 

Perguruan Tinggi pun memiliki berbagai macam program, beberapa diantaranya adalah Program Sarjana dan Diploma. Seperti halnya SMA, program Sarjana bertujuan menyiapkan sumber daya manusia yang siap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan Diploma disiapkan sebagai tenaga kerja terampil bagi pasar. 

Seringkali masyarakat tidak menyadari akan hal ini sehingga menjadi salah kaprah. Masyarakat mulai menilai kurikulum pendidikan SMA dan Sarjana terlalu teoritis dan pragmatis serta kurang bermanfaat dalam dunia kerja. Berbeda dengan kurikulum SMK dan Diploma. Namun di sisi lain paara pemilik modal cenderung lebih suka memanfaatkan tenaga kerja dengan ijazah Sarjana karena menganggap strata mereka lebih tinggi. 

Terlebih dari itu yang perlu dicermati bukanlah strata atau kedudukan, melainkan nilai kegunaan. Jika memang menginginkan sumber daya siap kerja seharusnya para pemilik modal lebih merekrut lulusan Diploma atau SMK karena mereka memang disiapkan untuk itu. Sedangkan Sarjana dan SMA sendiri memang dari awal tidak disiapkan untuk bekerja. 

Ibarat kata Sarjana dan Diploma memiliki cara yang berbeda dalam menyikapi ilmu. Mereka yang berada di jalur Diploma atau SMK misalnya, adalah orang-orang yang memanfaatkan ilmu untuk kebermanfaatan atau nilai-nilai praktis yang langsung berguna. Sedangkan mereka yang berada di jalan Sarjana atau SMA adalah mereka yang haus akan ilmu pengetahuan, mereka mencari ilmu bukan hanya sekedar pemanfaatan secara praktis namun mencari esensi dari kebenaran itu sendiri. 

Memang terkadang pencarian kebenaran ini lebih bersifat teoritik dan bukan praktis. Oleh karena itu dibutuhkan sinergitas antara Sarjana dalam mengembangkan ilmu yang ada dengan Diploma yang bertugas menerapkan ilmu yang telah ada ke dalam bentuk nyata. 

Semua telah memiliki tempatnya masing-masing tinggal bagaimana penempatannya. Akan menjadi sebuah masalah bila adanya kesalahpahaman tentang ini semua sehingga menimbulkan penempatan yang salah. Sarjana dan Diploma hanya dinilai sebatas strata pendidikan dan sosial bukan karena kemanfaatannya. 

Akibatnya orang berbondong-bondong mencapai satu tujuan yaitu Sarjana tanpa benar-benar memahami fungsi dari masing-masing. Ketika Program Sarjana tidak menghasilkan produk seperti yang mereka harapkan lalu Perguruan Tinggi dituntut untuk menerapkan nilai kepraktisan dalam kurikulumnya. 

Jika ini dibiarkan, maka ke depan ilmu hanya akan berkembang sesuai kebutuhan para pemilik modal (kapitalis) dan bukan atas pencarian kebenaran itu sendiri. Prgoram Sarjana dan Diploma hanya masalah strata sosial dan bukan kekhususan. Pada akhirnya semuanya hanya akan melebur menjadi satu program yaitu program pendidikan berasas pragmatisme.

Selasa, 22 Maret 2011

Pagar

Orang gila tidak pernah benar-benar mengakui dan menyadari bahwa dirinya gila. Lalu kenapa aku merasa normal dan orang lain gila?


Bagaimana jika pagar rumah sakit jiwa bukanlah untuk menjaga orang gila agar tidak keluar, tetapi agar orang gila tidak masuk? Bayangkan jika kebenaran yang sesungguhanya adalah milik mereka yang berada di dalam pagar tersebut.

Senin, 21 Maret 2011

Keadilan dan Kesenjangan

blogadvintro.blogspot.com
Slumdog Milionaire, sebuah film yang berhasil meraih empat penghargaan Golden Globes dan delapan piala Oscar. Film ini bercerita tentang kehidupan masyarakat pinggiran kota Mumbay. Di tengah pesatnya perkembangan perekonomian India dengan dibangunnya bangunan-bangunan megah ternyata menyisakan sampah peradaban yang biasa kita sebut sebagai kawasan kumuh. 

Menjadi menarik untuk mempelajari perspektif keadilan dari masyarakat pinggiran yang kurang beruntung. Dimana perkembangan kota Mumbay tidak memberi pengaruh signifikan terhadp kehidupan mereka. Di satu sisi, masyarakat lain memperoleh keberuntungan dari perkembangan tersebut. 

Yang muncul adalah kesenjangan sosial antar masyarakat. Pertempuran (atau sengaja dipertempurkan) antara pihak miskin dan kaya menjadi kian meruncing. Masing-masing memiliki perspektif mereka masing-masing dan saling membenarkan tindakan mereka sendiri. 

Suka atau tidak, kawasan kumuh atau slum area selalu muncul dalam peradaban manapun. Mulai dari Amerika Serikat yang berfaham Liberalis Kapitalis hingga China yang menganut Komunis Sosialis selalu melahirkan slum area di samping permkembangan kota metropolitan mereka. Keduanya ibarat dua sisi mata koin yang tidak dapat dipisahkan. 

Slum Area ini sendiri selalu menimbulkan berbagai masalah diantaranya adalah kriminalitas. Dengan dalih keadilan sosial, seringkali tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh mereka yang kurang beruntung dibenarkan oleh sebagian masyarakat. Dalam beberapa kebudayaan, bahkan perilaku semacam itu memiliki penghargaan tersendiri. 

Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui. (2:268) 

Cerita tentang Robin Hood misalnya, merampok masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih tinggi untuk dibagikan kepada masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih rendah. Bagi masyarakat yang dibagikan hasil rampokan tentu ini sebuah keadilan. Namun bagi masyarakat yang dirampok tentu akan memiliki perspektif yang berbeda, ini jelas tidak adil. Apa yang membuat masing-masing dari kelompok tersebut saling membenarkan tindakan mereka masing-masing? 

Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, cenderung mendefinisikan keadilan sebagai sama rasa sama rata. Dalam artian menggunakan model keadilan distributif. Sehingga adanya kesenjangan antara si miskin dan si kaya dianggap sebagai sebuah keadaan yang tidak semestinya terjadi. Kesejahteraan adalah milik bersama. Kesamaan strata menjadi bentuk ideal. Mereka mengklaim bahwa tanpa adanya pemaksaan (kebijakan hukum, perampokan, dsb) terhadap pihak lainnya, tidak akan terjadi kesetaraan atau keadilan sosial dalam konsep mereka. 

Lain halnya dengan masyarakat tingkat ekonomi tinggi yang cenderung lebih melihat keadilan dalam bentuk lain. Bagi mereka keadilan cukup diterapkan dalam bentuk prosedural. Dalam artian bahwa setiap masyarakat memiliki peluang atau kesempatan yang sama. Sedangkan hasil dipengaruhi oleh kinerja dari masing-masing individu tersebut. Mereka yang kurang giat dalam berusaha tidak seharusnya mendapatkan hasil yang sama dengan mereka yang giat berusaha. Jadi mereka mengklaim bahwa hasil yang mereka peroleh selama ini merupakan hak mereka karena hasil jerih payah mereka sendiri. 

Perbedaan konsep keadilan inilah yang sering menimbulkan perbedaan dan pertentangan. Di satu sisi menggunakan keadilan prosedural sebagai tolak ukur sedangkan di sisi lain menggunakan bentuk keadilan distributif sebagai tolak ukur. Bentuk lain yang dapat kita cermati adalah dimana paham kapitalis lebih dapat diterima pada masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi sedangkan paham sosialis dalam masyarakat yang sebaliknya. Jika konsep keadilan ini sendiri dipertentangkan oleh masing-masing pihak, pertanyaan berikutnya adalah apakah memang benar ini semua adalah tentang keadilan? 

Menurut saya, hal ini sebenarnya lebih kepada konsep kesenjangan. Masing-masing iri terhadap kondisi dari kelompok yang lain. Satu kelompok merasa iri terhadap hasil yang kelompok lain miliki sedangkan kelompok lainnya merasa iri dengan pengorbanan yang dilakukan oleh kelompok lainnya. 

Miskin dan kaya sendiri adalah suatu keseimbangan dunia, dimana satu sama lain memang akan selalu ada dan tidak dapat dipisahkan. Sama halnya bahwa dari setiap pertumbuhan kota metropolitan, akan anda jumpai sampah peradaban yang biasa disebut sebagai slum area. Keadaan ini saling menyimbangkan satu sama lain sehingga menciptakan keharmonisan yang kita sebut sebagai keadilan. 

Jika memang miskin dan kaya adalah suatu sunatullah yang pasti akan selalu ada, maka yang harus kita lakukan adalah bagaimana ini menjadi suatu keharmonisan. Bagaimana agar keadaan ini tidak menjadi sebuah bentuk pertentangan tetapi menjadi sebuah bentuk kerjasama. Disinilah peranan konsep saling memberi, infak, sedekah, tolong menolong, dsb dalam kehidupan. 

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (2:177)


*) ditulis sebagai tugas isu-isu kontemporer sosial 

Sabtu, 19 Maret 2011

Ada Apa Dengan Kita

Entah kenapa akhir-akhir ini seringkali kita mempertanyakan bangsa kita sendiri. Mengapa kita tidak seperti ini, tidak seperti itu, tidak bisa kayak ini, tidak bisa kayak itu. Dalam sekejap seolah seluruh hal yang ada di sekitar kita menjadi suatu hal yang sangat using dan menyedihkan. 

Kita menjadi memiliki hobi baru, yaitu mencaci maki bangsa kita sendiri. Mulai dari pemerintah yang dianggap korup (memangnya kita sebagai rakyat kita tidak?), kinerja (kita) yang buruk, kualitas SDM (kita) yang rendah, penjajahan oleh asing, kekalahan dibanding bangsa lain, disiplin hukum yang rendah, dsb. Kita mulai mencari-cari penyebab hal tersebut dan tentu saja, mulai dari mencari kesalahan orang lain. 

Ada beberapa teori dan asumsi mengapa hal ini terjadi. Mulai dari literatur buku-buku yang kebanyakan berbahasa Inggris dan penulisnya bahkan belum pernah menginjakkan kaki di negeri ini hingga obrolan masyarakat di tempat parkir. Mereka memiliki teori dan kemungkinan mereka sendiri-sendiri mengenai masalah ini.

Pemerintah yang Korup 
Salah satu alasan yang sering dijadikan kambing hitam mengenai hal ini adalah tentang pemerintahan yang korup. Pasca lengsernya Alm. Soeharto, KKN atau korupsi, kolusi dan nepotisme ditengarai menjadi penyebab bobroknya Negara ini. Hal ini dimulai dari krisis moneter tahun 1998. 

Padahal jika kita boleh jujur, krisis moneter tahun 1998 tidak disebabkan oleh korupsi melainkan karena memang dampak global. Korupsi hanya sekedar memperparah keadaan yang ada. Namun kejadian ini membuat masyarakat sadar bahwa apa yang seringkali kita lakukan dan menjadi budaya kita ternyata dianggap sebagai suatu hal yang tidak benar. 

Pasca runtuhnya orde baru muncul pula krisis kepercayaan terhadap instansi pemerintah baik ditingkat legislatif, eksekutif, dan yudikiatif. Terlepas dari apakah pemerintah tidak kompeten, munculnya krisis kepercayaan ini berdampak pada pelaksanaan program-program pemerintah yang tidak lagi mendapat dukungan dari rakyat. 

Mulai dari program konversi gas, redenominasi rupiah, dsb yang terus menerus disoroti dan mendapat kritikan. Efeknya adalah kini tercipta masyarakat yang tidak lagi mau diatur. Berbagai unjuk rasa mulai liar, aksi anarkisme dari berbagai kelompok kian menguat, dsb. Negara ini kian menjadi rimba raya. 

Namun pernahkah terpikir bahwa semua ini hanya merupakan akibat dari pemerintah yang tidak becus? Jika kita lihat lebih dalam lagi, ternyata ketidakbecusan tersebut terjadi secara merata hampir di tiap lapisan masyarakat. Yang melakukan korupsi dan malas bekerja bukan hanya oknum wakil rakyat tetapi seluruh rakyatnya pun demikian. Maka kita pahami bahwa masalah ini jauh lebih mendalam dari sekedar pemerintahan yang kurang kompeten.

Kualitas SDM yang Buruk 
Banyak yang berkata bahwa kualitas SDM Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Negara lain. Jika pada zaman dahulu kita bisa mengekspor para guru untuk mengajar di Malaysia kini yang dapat kita kirimkan kebanyakan adalah TKI untuk pekerjaan rendahan. 

Mulai dari etos kerja yang rendah, pekerjaan yang kurang beres. Dan sekali lagi yang menjadi sorotan utama adalah pegawai di instansi pemerintah alias PNS. Padahal jika mau jujur hampir di seluruh lapisan terjadi hal semacam ini. 

Selain pekerjaannya yang dianggap kurang becus, seringkali kita memberikan label pada bangsa kita sendiri dengan label bodoh. Kualitas pendidikan yang dianggap kurang mumpuni menjadi penyebab ini semua. Maka tidak heran kini berbagai pihak baik swasta maupun pemerintah dengan gencarnya melaksanakan program apa yang mereka sebut sebagai kualitas internasional. Meski pada prakteknya yang internasional hanyalah bahasanya dan bukan kualitasnya. 

Namun belum ada satu pun referensi atau hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kecerdasan kita tertinggal dengan bangsa lain. Seringkali kita menjuarai berbagai lomba ilmiah tingkat internasional bahkan mengalahkan Negara-negara lain yang dianggap lebih maju. Jadi masalah utama yang kita hadapi bukan pada kualitas kecerdasan kita melainkan ada suatu hal yang lain. 

Penjajahan 
Seringkali kita mennganggap bahwa etos kerja kita saat ini dikarenakan kita telah dijajah 350 tahun sehingga terbentuk sebuah konstruk sosial dimana kita menjadi masyarakat bermental budak. Selain itu pemerintahann orde baru juga dianggap sebagai bentuk penjajahan baru yang memperparah kondisi ini. Namun benarkah demikian? 

Bahkan sejarah pun membuktikan bahwa kita tidak benar-benar dijajah selama 350 tahun. Karena penjajahan yang dimaksud pada saat itu bukan benar-benar penjajahan yang seperti kita bayangkan saat ini. Jika kita mau lebih memahami bahwa pada saat itu Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan kecil yang berbeda-beda. Sebagian menjadi kerajaan yang berdaulat penuh sedangkan sebagian lain mengalami penjajahan dalam arti tertentu. Sehingga bisa jadi bukan penjajahan yang membentuk kita seperti ini.

Tidak Mau 
Satu pertanyaan yang patut direnungkan adalah sejak kapan kita menganggap kerja dan materi menjadi suatu hal yang penting? Jika kita mau memahami dalam budaya Jawa misalnya, bahwa sebenarnya budaya kerja bukan menjadi suatu hal yang pokok. 

Kita lihat saja dari adanya istilah-istilah nyambut gawe ojo ngoyo, mangan ra mangan kumpul, dsb. Ini menunjukkan bahwa kerja bukan bagian utama dari budaya Jawa. Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan bahwa budaya Jawa menjunjung tinggi semangat kerja jika ketika kita bekerja keras justru disebut ngoyo. Ketika kita memiliki ambisi justru malah dianggap sebagai suatu hal yang aneh dan reko-reko. Bagimana kita bisa menghasilkan banyak uang jika membicarakan uang saja dianggap saru. 

Kontruk budaya Jawa berfokus pada budaya kekerabatan dan hubungan sosial. Berbeda dengan konstruk budaya modern yang berfokus pada kerja dan materi. Apa yang terjadi pada kita adalah kita dibesarkan dengan norma-norma budaya kekerabatan namun perkembangan memaksa kita utuk menelan nilai-nilai kerja dan materi. 

Sehingga negara ini tidak maksimal dalam mengadakan pembangunan bukan karena tidak mampu melainkan karena tidak mau. Bukan karena kita tidak pintar, melainkan karena belum ada rasa pentingnya bagi kita untuk mewujudkan pemikiran-pemikiran yang ada. Karena bagi kita kekerabatan dan hubungan sosial jauh leboh penting daripada sekedar kerja keras dan materi. 

Kerja hanya dianggap sebagai sarana memperoleh nasi dimana nasi sendiri menjadi suatu hal yang disepelekan. Begitu juga dimana mengejar materi juga dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan memalukan untuk dilakukan. Bukan karena kita tidak mampu melakukan semua itu, tetapi karena kita tidak mau. Kita memiliki kekayaan kita sendiri yang itu tidak terwujud dalam materi. Kita memiliki nilai-nilai dan apa yang kita anggap berharga berbeda dengan orang lain.

Bertindak Bijaksana 
Pernahkah terpikir seberapa cepat seorang petani mampu mengetik mennggunakan komputer? Ataukah seberapa banyak hasil panen dari sawah yang digarap oleh pegawai administrasi kantoran? Serahkanlah pekerjaan kepada ahlinya. 

Setiap orang memiliki kemampuan dan keahlian masing-masing yang berbeda-beda. Begitu pula dengan tiap-tiap bangsa yang merupakan kumpulan orang-orang. Perlu waktu yang lama untuk mengajari seorang petugas administrasi bagaimana menggarap sawah. Namun lebih cepat lagi jika anda mengajari seorang petani bagaimana meningkatkan hasil panennya. 

Cara yang paling bijaksana adalah bukan dengan memaksakan orang lain melakukan sesuatu, tetapi menempatkan orang lain pada tempat yang tepat. Kita mengajarkan untuk menerima nilai-nilai kerja keras dan materi kepada masyarakat Jawa sama saja membongkar pondasi gedung bertingkat dan membangun dari ulang. Lebih bijaksana adalah kita melihat potensi yang ada dan mengembangkannya. 

Kini kita ada di persimpangan dua budaya yang sangat berbeda. Modernisasi menuntut kita mengubah nilai-nilai yang telah kita resapi dan tertanam dalam diri kita selama ini. Pertanyaannya adalah apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan membongkar ulang dan menelan nilai-nilai baru ataukah kita akan mengembangkan nilai-nilai yang telah kita miliki? Ini semua terserah pada kita sendiri.

*) ditemukan dari arsip lama di komputer dalam bentuk PDF, entah waktu itu saya tulis untuk perluan apa

Orang yang Berfungsi Sepenuhnya (Carl Rogers)

sekitarkudimataku.blogspot.com
Carl Rogers tumbuh di lingkungan keluarga Kristen Fundamental yang sangat keras dan tidak suka berkompromi. Sehingga ketika masa muda Rogers memilih untuk mengabdikan dirinya menjadi seorang Pendeta. 

Namun pandangan hidupnya berubah ketika menjadi salah satu peserta konfrensi mahasiswa Kristen di Peking, China tahun 1920. Di sana dia bertemu dengan berbagai macam orang yang kemudian mengubah pandangan hidupnya. Pandangan inilah yang nantinya menjadi dasar dari teori Rogers tentang self-concept dan humanistiknya. 

Rogers mendapatkan gelar Ph.D. dari Columbia University Teachers College tahun 1931. Rogers terkenal dengan terapinya yang biasa disebut sebagai client-centered therapy. 
Pendekatan Rogers terhadap Kepribadian 

Rogers mendapatkan data-datanya dalam membentuk teorinya dari pengalamannya menghadapi klien-klien atau individu-individu yang terganggu dan mencari bantuan untuk mengubah kepribadian mereka. 

Individu-individu dibimbing oleh persepsi sadar mereka dan bukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar yang tidak dapat mereka kontrol. Menurut Rogers, pengalaman masa lalu sedikit banyak berpengaruh juga pada kehidupan mas sekarang. Namun Rogers lebih menekankan akan pentingnya masa sekarang. Yang penting adalah bagaimana di saat ini kita melakukan sesuatu dan melihat dunia ini. 

Kepribadian seseorang harus dinilai secara subjektif dari sudut pandang orang itu sendiri. Kenyataan adalah bagaimana individu mempersepsikan pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Oleh karena itu realitas akan berbeda bagi tiap-tiap individu.


Motivasi Orang yang Sehat: Aktualisasi 

Dalam diri seseorang ada suatu drongan yang kuat atau sebuah kebutuhan fundamental yang sudah dibawa sejak lahir dan meliputi komponen fisiologis dan psikologis. Komponen fisiologis ini manjadi dominan pada masa-masa awal perkembangan manusia. Kebutuhan ini digambarkan sebagai kebutuhan untuk aktualisasi. 

Pada tingkatan yang rendah, aktualisasi ini berbentuk kebutuhan fisiologis untuk mempertahankan hidup seperti misalnya makan dan minum. Selain itu aktualisasi juga membantu kita dalam pematangan dan pertumbuhan. Pematangan yang penuh ini membutuhkan banyak usaha meski secara otomatis tubuh kita akan berkembang dengan sendirinya. 

Misalnya saja sebagai contoh adalah bagaimana bayi belajar berjalan. Meskipun bayi harus seringkali terjatuh dan merasa sakit ketika belajar untuk berjalan, namun bayi tetap terus menerus berusaha untuk berjalan. 

Hal ini karena adanya dorongan dalam diri individu untuk mengaktualisasikan dirinya dengan cara berjalan. Dorongan ini lebih kuat dibandingkan rasa sakit dan perjuangan yang dialaminya. 

Perubahan ini terus terjadi ke arah maju ke depan dan tidak dapat dibendung. Kecenderungan aktualisasi ini tidak bertujuan mengurangi tegangan, akan tetapi justru perjuangan serta keuletan untuk berjuang tersebut membuat diri individu makin tegang. 

Ketika seorang bertambah besar maka konsep self (diri) makin berkembang dan muncul kecenderungan aktualisasi beralih dari fisiologis ke psikologis. Setelah konsep diri muncul maka proses aktualisasi diri menjadi terlihat. Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat serta seluruh potensi psikologisnya yang unik.


Pengembangan Diri 

Ketika kecil anak mulai memisahkan penngalaman-pengalaman tertentu dalam dirinya. Pengalaman-pengalaman inilah yang nantinya membantu dalam membentuk self-concept (konsep diri) anak tersebut. Konsep tersebut juga menggambarkan keinginan anak tersebut nantinya akan menjadi seperti apa. 

Dalam perkembangannya anak akan belajar untuk membutuhkan cinta. Kebutuhan ini disebut Rogers sebagai positive regards (penghargaan positif). Apakah anak tersebut akan menjadi pribadi yang sehat atau tidak tergantung dari apakah positive regards anak tersebut terpenuhi dengan baik atau tidak. 

Dalam kondisi tertentu, anak akan mengorbankan aktualisasi dirinya untuk mendapatkan positive regards. Caranya adalah dengan menjadi pribadi seperti apa yang diinginkan orang tuanya agar mendapatkan positive regards dari orang tuanya dan bukan menjadi pribadi yang diinginkan oleh dirinya sendiri. 

Anak yang tumbuh dalam kondisi ini mengembangkan apa yang disebut sebagai conditional positif regards (penghargaan positif bersyarat). Oleh karena itu kepribadian yang dikembangkan oleh anak itu bukan konsep dirinya sendiri melainkan konsep kepribadian yang diinginkan oleh orang tuanya. 

Kondisi ini membuat individu tidak dapat mengaktualisasikan dirinya dan menciptakan ketidakharmonisan dalam diri individu tersebut. Individu semacam inilah yang disebut sebagai individu yang tidak sehat. 

Pribadi yang sehat tumbuh dalam kondisi sebaliknya. Salah satu cirinya adalah penerimaan unconditional positive regards (penghargaan positif tanpa syarat) pada masa kecilnya. Dimana orang tua dalam memberikan cinta dan kasih sayang atau positive regards tidak bergantung pada tingkah laku anaknya. Sehingga individu tersebut dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan konsep dirinya sendiri.


Orang yang Berfungsi Sepenuhnya 

Kepribadian bukan merupakan suatu keadaan tetapi melainkan suatu proses, suatu arah bukan suatu tujuan. Aktualisasi diri merupakan suatu proses yang berlangsung terus menerus dan tidak pernah merupakan suatu kondisi yang selesai atau statis. Proses ini merupakan sebuah proses yang sukar dan terkadang menyakitkan. 

Kebahagian sendiri merupakan hasil sampingan dari proses ini. Bukan berarti orang yang berhasil mengaktualisasikan dirinya akan terus menerus bahagia namun hanya pada saat-saat tertentu saja. 

Orang-orang yang berhasil mengaktualisasikan dirinya maka mereka benar-benar menjadi diri mereka sendiri. Mereka tidak begitu terpengaruh dengan lingkungan mereka dan melakukan apa yang benar-benar mereka mau lakukan. Namun bukan berarti mereka seenaknya dalam melakukan sesuatu. 

Ada lima sifat orang yang berfungsi sepenuhnya menurut Rogers, yaitu: 
  1.  Keterbukaan pada Pengalaman. Orang yang berfungsi sepenuhnya dapat dikatakan lebih emosional dalam hidupnya. Dalam artian dirinya selalu terbuka terhadap pengalaman-penngalaman baru dan lebih dapat mengekspresikan perasaan yang dirasakannya dalam setiap pengalaman tersebut. 
  2. Kehidupan Eksistensial. Orang yang berfungsi sepenuhnya merasakan suatu sensasi yang baru dalam setiap momen kehidupan. Dirinya benar-benar menikmati momen-momen tersebut apa adanya tanpa adanya tekanan dari dalam diri sendiri. Dapat dikatakan mereka dapat menikmati dan mengoptimalkan setiap momen dalam hidupnya. 
  3. Kepercayaan terhadap Diri Sendiri. Pribadi yang berfungsi sepenuhnya mereka berfokus pada dirinya sendiri dalam mengambil keputusan. Bukan hanya berfokus pada hal-hal yang berada disekitarnya ataupun logika dan rasionalitas, namun juga pada perasaan dan intuisi dirinya itu yang lebih utama. 
  4. Perasaan Bebas. Pribadi yang sehat bebas dalam mengambil tindakan dan menentukan tindakan yang akan diambilnya. 
  5. Kreativitas. Orang-orang yang berfungsi sepenuhnya sangat kretif. Hal ini dikarenakan mereka tidak terkekang dengan keharusan-keharusan dan bebas menjadi diri mereka sendiri. 



Sumber: 
Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta: Kanisius.

Orang Disini dan Kini (Fritz Perls)

sasstrology.com
Pada mulanya Perls adalah seorang ahli psikoanalisis di Afrika Selatan. Hingga pada tahun 1936 dalam kongres tahunan Psikoanalitis dia mengalami kekecewaan. Konsep-konsep dan ide-idenya ditolak olah para ahli psikoanalitis. Termasuk dari Sigmund Freud itu sendiri yang menolaknya dengan kasar. 

Dari kekecewaannya tersebut dia kemudian keluar dari psikoanalitis dan berusaha menciptakan teorinya sendiri. Kemudian Perls mengembangkan apa yang disebut sebagai Terapi Gestalt. Model ini menciptakan pengaruh sendiri dalam keilmuan psikologi. Perls yang semula hanya seorang ahli psikoanalitis yang biasa saja kemudian menjelma menjadi seorang ahli dari teorinya sendiri yang memiliki banyak pengikut. 

Inti dari terapi Gestalt sebenarnya terkandung dalam puisinya yang berjudul Doa Gestalt: 
Aku melakukan halku dan kau melakukan halmu 
Aku tidak berada di dunia ini untuk berbuat sesuai dengan harapan-harapanmu, 
Dan kau tidak berada di dunia ini umtuk berbuat sesuai dengan harapan-harapanku. 
Kau adalah kau dan aku adalah aku, 
Dan apabila kebetulan kita saling bertemu maka hal itu baik. 
Kalau tidak, maka tidak dapat berbuat apa-apa. 



Pendekatan Perls terhadap Kepribadian: Terapi Gestalt 

Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang dapat diterjemahkan sebagai bentuk, wujud, dan organisasi. Kata tersebut mengandung pengertian kebulatan atau keparipurnaan. Psikologi Gestalt sendiri umumnya berbicara tentang persepsi individu terhadap lingkungannya. 

Perls sendiri sebanarnya bukan seorang ahli psikologi Gestalt. Dia hanya menggunakan kata tersebut untuk mendeskripsikan konsepnya. Menurutnya manusia cenderung mengarah kepada kebulatan atau keparipurnaan. Segala hal yang mengacaukan gestalt ini akan menimbulkan apa yang disebut sebagai unfinished situation bagi individu tersebut. 


Unfinished situation ini sangat banyak dalam hidup kita. Fungsi dan tujuan hidup manusia pada umumnya adalah menyelesaikan gestalt-gestalt ini. Gestalt-gestalt tersebut diselesaikan oleh individu sesuai dengan tingkat kepentingan yang ada. Situasi yang sangat urgen mendesak untuk selalu diselesaikan terlabih dahulu dan diutamakan. 


Dalam menghadapi berbagai situasi ini ada konsep lain yang cukup penting yaitu peraturan terhadap diri sendiri versus peraturan dari luar. Orang yang sehat dapat mengatur diri sendiri tanpa campur tangan dari luar. Kita seharusnya melakukan suatu tindakan atas kesadaran dari diri sendiri dan bukan karena pengaruh dari luar. Dengan kata lain orang dituntut untuk mengetahui impuls-impuls mereka sendiri. 

Namun sayangnya banyak individu yang telah mendapatkan tekanan dari lingkungan mereka untuk tidak mengungkapkan impuls-impuls dari dalam diri mereka. Impuls-impuls ini kemudian tidak hilang tetapi menjelma dalam bentuk lain misalnya dalam bentuk fisik seperti jerawat, urat yang menonjol, dsb. 

Impuls tersebut juga bisa menjelma menjadi sebuah proyeksi kepada orang lain. Individu yang sehat seharusnya menyadari hal ini dan memahaminya sebagai sebuah bentuk impuls dari dalam diri kita sendiri yang perlu untuk diungkapkan. 

Pribadi yang sehat hidupnya berfokus kepada masa sekarang dan bukan masa lalu atau pun masa depan. Individu harus memahami tentang diri dan masa kini agar tidak melarikan diri ke masa lampau atau masa depan. Orang yang hidup dalam masa lampau (watak retrospektif) menjadi sangat sentimental dan menyalahkan orang lain atas segala hal. Sedangkan orang yang hidup dalam masa depan (watak prospektif) memiliki bayangan-bayangan yang tidak nyata dan berandai-andai.


Segi-Segi Tambahan Kepribadian 

Individu memiliki dua fungsi yaitu tingkat publik dan tingkat pribadi. Tingkat publik merupakan segala perilaku yang nampak secara lahir sedangkan tingkat pribadi adalah hal-hal yang sifatnya batin misalnya pikiran dan khayalan. Pikiran dapat menjadi sarana melatih perilaku di masa mendatang. Namun hal tersebut dapat menimbulkan kecemasan dalam batas-batas tertentu. 

Perls juga memiliki konsep tetang rasa bersalah. Hal itu didefinisikan sebagai bentuk kebencian yang diproyeksikan kepada orang lain. Orang-orang seperti ini berada dalam suatu kondisi yang disebut sebagai orang yang tertancap. Individu semacam ini tidak dapat mengatasi sasaran kemarahan juga tidak dapat melupakan sesuatu yang mengganggu mereka. Satu-satunya penyelesaiannya adalah dengan mengungkapkannya. 

Kesadaran sendiri dibagi menjadi tiga tingkat yaitu: kesadaran akan diri, kesadaran akan dunia, dan kesadaran akan khayalan yang menyelangi antara diri dan dunia atau biasa disebut demilitarized zone (DMZ). DMZ ini berisi prasangka dan prapenilaian kita dan berfungsi agar kita jangan terlalu terbenam dalam dunia dan diri kita sendiri. 

Perls juga tidak setuju dengan konsep superego. Dia sendiri memiliki konsep sendiri yang disebut sebagai topdog yaitu kontrol-kontrol dari luar yang telah diinternalisasikan menjadi sebuah gambaran paling baik. Hal ini menjadi penggerak dalam hidup kita dengan perintah-perintah dan mengancam dengan malapetaka apabila kita melanggarnya. Selain itu ada pula underdog yang menggerakkan kita dengan cara lebih halus dan membujuk. Keduanya akan selalu terus melakukan konflik tanpa akhir yang kemudian disebut sebagai self-torture game. 

Yang harus kita lakukan adalah melakukan aktualisasi diri kita sebenarnya dan bukan aktualisasi gambaran diri. Aktualisasi gambaran diri adalah akibat seringnya pertentangan antara topdog dan underdog sehingga mengaburkan gambaran diri kita yang sebenarnya. 

Ada juga yang disebut sebagai batas ego atau ego boundary. Sebuah batas yang memisahkan satu dengan lainnya, membentuk sesuatu yang eksklusif, dan membuat hal-hal terpisah. Batas ego memiliki sifat identifikasi dan alienansi (pengasingan). Batas ego ini membuat kita melihat suatu hal menjadi bagian dari diri kita ataupun bukan bagian dari diri kita.


Perkembangan Kepribadian 

Inti dari perkembangan kepribadian yang dikemukakan Perls adalah perubahan bantuan dari lingkungan kepada diri sendiri. Pada awal kehidupan kita sanngat memerlukan bantuan dari lingkungan kita dan memiliki ketergantungan terhadapnya. Namun perlahan bantuan ini mulai dilepaskan dan individu mulai berusaha untuk hidup tanpa bantuan dari orang lain. 

Apabila individu terus menerus mendapatkan bantuan dan tidak diberi kesempatan untuk mandiri maka mereka tidak dapat mengembangkan potensi mereka. Sama seperti halnya anak-anak yang terlalu dimanjakan akan terbiasa meminta bantuan orang lain untuk mengatasi masalah yang dihadapinya. 

Tujuan utama dari semua makhluk hidup adalah untuk mengaktualisasikan dirinya. Akan tetapi seringkali kita mendapatkan konflik karena adanya pengharapan-pengharapan.Masyarakat memalsukan kehidupan kita dengan tongkat dan hypnosis. Tongkat berarti bahwa jika kita tidak memenuhi pengharapan tersebut maka aka nada konsekuensi buruk menimpa kita. Sedangkan hypnosis merupakan bentuk propaganda atau persuasi dari masyarakat terhadap diri kita.


Kodrat dari Orang Di Sini dan Kini 

Perls tidak secara langsung menjelaskan kriteria orang yang sehat, namun dari pandangannya kita dapat memahami tentang gambaran tersebut. Orang yang sehat memiliki kesadaran penuh akan dirinya dan kini serta tidak terjebak oleh masa lalu maupun masa depan. 

Mereka juga memiliki penerimaan secara penuh terhadapdiri mereka sendiri serta menyadari impuls-impuls dari dalam diri mereka sendiri. Mereka memiliki tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan orang lain. 

Mereka memiliki hubungan dengan diri dan dunia. Tetapi tidak dapat diatur dari luar. 



Sumber: 
Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta: Kanisius.

Budaya

Apakah itu budaya kita (saat ini), budaya kita zaman dahulu (masa lalu) , atau budaya ideal (masa depan) kita?

Jumat, 18 Maret 2011

Cuaca, Iklim, dan Perubahan Perilaku

*) ditulis sebagai tugas kelompok mata kuliah Psikologi Lingkungan bersama Doddy Meiyarto, Fajar Dwi Untoro, M.Amin Amsyah, Stephanus Benny, dan Vico Dodi A.


kaskus.us
Percaya atau tidak, lingkungan memberikan banyak pengaruh kepada kita. Bahkan para behaviorist percaya bahwa lingkungan sebagai faktor utama yang membentuk perilaku kita. Lingkungan seringkali “memaksa” kita untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. 

Kita juga melakukan berbagai macam adaptasi untuk dapat bertahan dalam lingkungan tertentu. Hal ini menyebabkan munculnya perilaku yang berbeda-beda dari tiap lingkungan yang berbeda-beda pula. 

Lingkungan sendiri memiliki berbagai bentuk. Mulai dari lingkungan fisik yang alami, lingkungan fisik buatan, ligkungan sosial, dan sebagainya. Salah satu faktor lingkungan yang memiliki pengaruh adalah cuaca dan iklim. 

Dunia ini sendiri memiliki bermacam-macam iklim tergantung letak daerah tersebut. Di daerah tropis misalnya, kita hanya mengenal dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Berbeda halnya dengan daerah sub-tropis yang memiliki empat musim mulai dari musim semi,musim panas, musim gugur, dan musim dingin. 

Perbedaan musim ini menyebabkan kita melakukan berbagai perilaku yang merupakan bentuk adaptasi kita terhadap masing-masing lingkungan tersebut. Mulai dari cara berpakaian, tingkah laku, budaya, hingga nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. 

Selain iklim kita juga mengenal yang disebut sebagai cuaca. Cuaca sendiri secara tidak langsung memilki pengaruh terhadap perilaku kita. Cuaca juga seringkali digunakan sebagai gambaran terhadap suatu keadaan. 

Cuaca mendung atau hujan misalnya, biasanya digambarkan sebagai sebuah keadaan sedih atau muram. Lain halnya dengan hari yang cerah biasanya digunakan untuk menggambarkan keadaan yang ceria. 

Dalam tulisan ini, kita akan membahas berbagai macam pengaruh cuaca dan iklim terhadap perilaku kita. Mulai dari suhu yang dapat menyebabkan kita menjadi agresif atau kalem, cahaya yang berpengaruh pada semangat kita, angin, kelembaban, dan konsentrasi ion dalam udara yang kita hirup. 

Suhu 
raynal2.wordpress.com
Suhu menunjukkan derajat panas dari suatu benda atau keadaan. Suhu udara misalnya, menunjukkan seberapa panas kondisi udara tersebut. Suhu udara sendiri berbeda-beda di tiap wilayah. Di daerah pegunungan atau daerah yang tinggi misalnya, relatif lebih dingin dibanding daerah pantai atau daerah lain yang letaknya di dataran rendah. Begitu pula suhu udara di musim dingin yang tentunya lebih rendah dibanding suhu udara pada musim panas. 

Tubuh manusia sendiri sekitar 37 derajat Celcius. Sedangkan suhu terekstrim yang pernah tercatat adalah -89,2 derajat Celcius yaitu suhu di stasiun Vostok Antartika pada 21 Juli 1983. Sedangkan suhu terpanas yang pernah terjadi adalah 57,8 derajat Celcius pada 13 September 1922 di wilayah El Azizia Sahara. 

Manusia sendiri memiliki batas kemampuan bertahan dalam suhu tertentu. Tubuh manusia hanya bisa mentolerir suhu maksimal 180 derajat Fahrenheit atau sekitar 82 derajat Celcius selama lima puluh menit. Pada suhu 110 derajat Fahrenheit sendiri reseptor tubuh sudah mengalami gangguan. Sedangkan pada suhu di bawah 60 derajat Fahrenheit atau sekitar 15 derajat Celcius sendiri saraf motorik manusia juga sudah mulai terganggu (Veitch & Arkkelin, 1995). 

Perubahan suhu yang terlalu drastis dan cepet sendiri juga dipercaya dapat menyebabkan timbulnya penyakit (Veitch & Arkkelin, 1995). Seperti halnya gelas yang setalah dituang air panas kemudian diberi es akan mengalami keretakan. Tubuh kita juga rentan terhadap perubahan suhu yang terlalu cepat. Ini juga menjelaskan fenomena ketika musim pancaroba ada kita menjadi lebih gampang sakit. 

Beberapa psikolog meyakini adanya hubungan antara suhu udara dengan kecenderungan perilaku seseorang. Suhu udara yang panas misalnya dipercaya sebagai faktor pendorong muculnya agresivitas (Jamridafrizal, 2010; Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970). Di sisi lain suhu yang sangat ekstrim dipercaya dapat mengurangi perilaku agresivitas (Veitch & Arkkelin, 1995). 

Hal itu dapat dijelaskan dari proses biologis yang terjadi. Ketika suhu meningkat, maka suhu tubuh juga akan meningkat aliran darah membesar sehingga darah menjadi lebih dingin dan mengalir ke permukaan kulit, kulit menjadi berwarna merah muda dan berketingat serta detak jantung meningkat. Ini menyebabkan manusia menjadi lebih mudah emosi, meledak-ledak, dan membabi buta (Veitch & Arkkelin, 1995). Perilaku semacam ini dipercaya memperpendek usia individu. 

Pada musim-musim tertentu seperti musim panas atau musim kemarau emosi seseorang akan lebih mudah meledak-ledak dan kecenderungan agresivitas semakin tinggi. Banyak kebangkitan politik, pemberontakan, dan revolusi terjadi pada bulan-bulan yang panas (Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970). Reformasi 1998 juga misalnya terjadi pada bulan Mei dimana udara sedang berada dalam suhu yang tinggi sehingga menciptakan kecenderungan untuk meluapkan emosi. 

Pendekatan ini jugta berlaku sebaliknya. Dalam konser-konser atau demonstrasi misalnya, kita sering melihat polisi menyemprotkan air kepada kerumunan massa. Tujuannya adalah mendinginkan suhu udara dengan harapan dapat meredam perilaku agresivitas massa. 

Selain itu penelitian-penelitian lain mencoba menghubungkan antara performa kerja seseorang dengan suhu udara. Pemikiran ini berangkat dari fakta dimana kebanyakan negara-negara dengan etos kerja yang tinggi memiliki empat musim. Sedangkan negara-negara tropis cenderung tingkat perekonomiannya sedang-sedang saja rendah. 

Adanya perubahan iklim yang drastis seperti yang terjadi di negara-negara yang terletak di daerah iklim sub-tropis yang mengalami empat musim, dipercaya oleh sebagaian orang memiliki pengaruh terhadap etos kerja (Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970). Dimana negara-negara dengan empat musim memiliki etos kerja yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh keadaan alam yang sangat keras. 

Dari budaya bertani misalnya, mereka yang tinggal di daerah empat musim harus berusaha mengumpulkan makanan sebanyak mungkin untuk menghadapi musim dingin. Tradisi ini dipercaya sebagai akar dari etos kerja yang tinggi dalam masyarakat tersebut. Di Jepang misalnya yang memiliki mepat musim, masyarakatnya memiliki etos kerja yang lebih tinggi dibanding masyarakat Indonesia yang berada di daerah tropis. 

Penelitian di Swedia terhadap anak-anak SD juga menghasilkan temuan yang relatif sama. Dimana peningkatan suhu berpengaruh padaperforma seseorang (Gifford, 1987). Anak SD memiliki performa yang lebih buruk ketika berada dalam ruangan yang bersuhu tinggi dibanding ketika berada dalam ruangan bersuhu normal. 

Prakteknya di lapangan adalah maraknya penggunaan pendingin udara di kantor-kantor dan ruang kelas. Meski penggunaan AC sendiri ternyata tidak meningkatkan performa kerja seseorang, hanya membuat performa individu tersebut menjadi lebih stabil (Gifford, 1987). 

Suhu juga dipercaya memiliki pengaruh terhadap relasi seseorang. Dalam suhu yang sedang misalnya cenderung mempengaruhi munculnya perilaku anti sosial (Veitch & Arkkelin, 1995). Penelitian juga menunjukkan bahwa persepsi seseorang terhadap daya tarik orang lain dipengaruhi suhu udara. Dimana daya tarik seseorang dalam suhu udara yang panas cenderung lebih rendah daripada dalam keadaan suhu normal (Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970). 

Cahaya 
Selain suhu, faktor lain dari cuaca yang berpengaruh pada perilaku adalah cahaya. Cahaya telah menjadi bagian utama dari kehidupan kita. Tanpa adanya cahaya tumbuhan tidak dapat berfotosintesis, manusia dan hewan tidak dapat bertahan hidup mencari makanan.Kecuali beberapa spesies hewan yang memang dirancang untuk hidup dalam kegelapan. 

Cahaya sendiri memiliki inetansitas berbeda-beda tergantung wilayah dan musimnya. Di daerah tropis misalnya yang paling banyak mendapat sinar matahari sepanjang tahun dan panjang siangnya relatif lebih tetap. Berbeda dengan daerah-daerah sub tropis yang mengalami empat musim dimana cahaya matahari lebih lama ketika musim panas dan menjadi lebih singkat ketika musim dingin. Bahkan di daerah kutub misalnya pada musim panas cahaya matahari bisa lebih dari 24 jam sedangkan di musim dingin bisa gelap lebih dari 24 jam. 

Teknologi sendiri telah membantu manusia dalam mengatur hidupnya. Seperti halnya manusia memanipulasi suhu dalam ruangan tertentu dengan AC atau kipas angin misalnya, teknologi saat ini mampu menciptakan sumber cahaya sehingga kebutuhan manusia akan cahaya tidak hanya bergantung pada matahari. Selain itu cahaya menjadi lebih mudah dimanipulasi juga. 

Meski berhasil menciptakan sumber cahaya sendiri, tetap saja matahari merupakan sumber cahaya utama dalam kehidupan manusia. Cahaya matahari sendiri memiliki banyak efek terhadap kehidupan kita. Salah satunya adalah dapat menstimulasi tubuh untuk memproduksi vitamin D yang mencegah penyakit pada pergelangan sendi sehingga kita dapat beraktivitas dengan lebih leluasa (Veitch & Arkkelin, 1995). 

Selain itu, cahaya juga menstimulasi tubuh untuk memproduksi serotonin (Veitch & Arkkelin, 1995). Serotonin sendiri dipercaya berpengaruh pada suasana hati seseorang. Mereka yang kekurangan serotonin akan lebih mudah depresi. 

Dalam cuaca cerah, kita seringkali merasa lebih bersemangat. Karena cahaya matahari pada hari yang cerah dapat menimbulkan kesenangan dan kebahagiaaan (Veitch & Arkkelin, 1995). Sedangkan suasana berawan dapat membuat kita merasa sedih. 

Itulah sebabnya di malam hari kita terkadang merasa lebih melankolis dibanding pada pagi hari. Dalam drama, karya sastra, dan semacamnya, suasana pagi yang penuh cahaya digunakan untuk menggambarkan suasana semangat atau suasana hati yang gembira. Sebaliknya untuk menggambarkan suasana muram biasanya menggunakan setting yang relatif gelap misalnya mendung, hujan, malam, dan sebagainya. 

Ternyata tidak hanya cahaya matahari yang berpengaruh pada kehidupan kita. Cahaya dari lampu bohlam dan lampu neon misalnya memiliki pengaruhnya sendiri-sendiri. Lampu neon dengan cahayanya yang cukup terang membuat kita merasa lebih aktif dan bersemangat. 

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa cahaya lampu neon dapat berpengaruh dapat meningkatkan perilaku hiperaktif pada anak yang sudah ada gejala autism dan gangguan emosional lainnya (Gifford, 1987). Tentu saja pengaruh tersebut tidak hanya berlaku bagi individu yang mengalami gangguan jiwa. Pengaruh tersebut berlaku bagi seluruh individu pada umumnya. 

Toko-toko modern dan supermarket kemudian mengadopsi konsep ini. Jika kita perhatikan tempat-tempat tersebut memiliki penerangan yang sebenarnya cukup “berlebihan”. Cahaya ini mendorong kita untuk semakin aktif dan semangat dalam berbelanja. Berbeda dengan toko-toko tradisional yang cenderung menggunakan penerangan secukupnya. 

Lain halnya dengan lampu bohlam, cahaya remang justru menimbulkan kenyamanan (Gifford, 1987). Beberapa rumah makan mencoba menawarkan suasana biasanya lebih menggunakan lampu bohlam dibandingkan neon. Karena bohlam akan menimbulkan suasana nyaman sehingga para pelanggan menyukai dan betah berlama-lama di tempat tersebut. Lain halnya dengan restoran fastfood yang cenderung menggunakan cahaya lampu neon agar pembeli datang silih berganti dengan lebih cepat. 

Cahaya sendiri juga berpengaruh pada kinerja seseorang. SIswa yang berada dalam kondisi cuaca cerah cenderung lebih memperhatikan guru dan mengurangi kegelisahannya. Selain itu dalam sebuah tes baca tulis, siswa yang berada dalam kelas yang terang memiliki skor yang lebih baik dibanding dengan kelas yang penerangannya buruk (Gifford, 1987). Sehingga ruang-ruang kelas dan ruang-ruang kerja biasanya didesain dengan penerangan yang cukup. 




Angin, Kelembaban dan Ion 

Udara sendiri tersusun oleh berbagai macam unsur. Mulai dari seberapa banyak uap air yang terkandung dalam udara yang biasa kita sebut sebagai kelembaban, hingga kandungan ion-ion dalam udara. Selain itu ada jujga tekanan udara. Semua ini memiliki pengaruh masing-masing terhadap perilaku kita. 

Komposisi dan keadaan udara ini sendiri tentunya memiliki pengaruh terhadap perilaku kerja (Gifford, 1987). 

Angin misalnya memiliki pengaruh langsung dalam kehidupan kita. Teknologi kita banyak menggunakan angin dalam aktivitasnya misalnya untuk melaut, pembangkit listrik, penerbangan, dsb. Efek yang secara langsung dapat kita lihat adalah manusia cenderung enggan melaut atau terbang apabila kondisi angin sedang tidak bersahabat. 

Angin yang kencang dapat menurunkan kondisi afektif seseorang dan performa kerja (Veitch & Arkkelin, 1995). Misalnya dalam olahraga voli atau tenis. Tentu orang akan cenderung enggan melakukan aktivitas tersebut dalam kondisi cuaca yang berangin karena angin dapat berpengaruh dalam permainan mereka. 

Selain angin, tekanan udara juga memiliki pengaruh tersendiri terhadap diri kita. Sebuah penelitian di Jepang menyebutkan bahwa individu cenderung lebih mudah lupa pada hari yang memiliki tekanan udara yang rendah (Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970). 

Kelembaban juga memiliki pengaruh yang berbeda terhadap psikologis manusia dalam hal ini justifikasi. Angin kering (kelambaban udara yang rendah) berpengaruh pada rational judgement yang negatif terhadap seseorang (Veitch & Arkkelin, 1995). Sehingga jika seseorang berkenalan dengan orang asing pada kondisi tersebut, orang tersebut akan cenderung dinilai negatif dibanding ketika berkenalan dalam kondisi kelembaban yang tinggi. 

Komposisi udara lain yang turut berpengaruh pada perilaku manusia adalah konsentrasi ion. Konsetrasi ion positif dapat meningkatkan depresi, insomnia, dan migraine. Orang yang berada dalam kondisi ion positif cenderung memiliki mood yang buruk dan berperilaku aneh (Veitch & Arkkelin, 1995). 

Lain halnya dengan individu yang banyak menghirup ion negatif cenderung dapat meningkatkan fungsi kognitif, kapasitas kerja, dan efisiensi dalam bekerja. Konsep yang sama yang diadopsi dalam minuman-minuman isotonik yang mengandung banyak ion negatif. Tujuannya adalah meningkatkan konsentrasi dan semangat dalam beraktivitas. 




Bibliography 

Gifford, R. (1987). Environnmental Psychology: Principle and Practice. Boston: Allyn & Beacon. 
Jamridafrizal. (2010, september 18). Agresivitas dan kecemasan. Retrieved october 26, 2010, from Scribd: http://www.scribd.com/doc/17376693/Agresivitas-Dan-Kecemasan 
Proshansky, H. M., Ittelson, W. H., & Rivlin, L. G. (1970). Environmental Psychology: People and Their Physical Settings. New York: Holt, Rinehalt, and Winston. 
Veitch, R., & Arkkelin, D. (1995). Environmental Psychology: An Interdiciplinary Perspective. New Jersey: Prentice Hall.