Rabu, 27 April 2011

Kartini

Dua puluh satu April, dan seketika wanita-wanita perkasa bermunculan di tiap jengkal tanah nusantara. Menjadi simbol perjuangan dan kepahlawanan, wanita-wanita yang melakukan apa yang biasa dilakukan oleh para lelaki. Berperang seolah bermusuhan dengan lawan jenisnya dan dipuja-puja.


Padahal, Kartini hanya ingin sekolah.

Sabtu, 23 April 2011

Senjata

Ilmu adalah sebuah senjata. Tanpa keyakinan, hanya akan menjadi penjual senjata. Menjual ke berbagai pihak yang menguntungkan, menciptakan perang yang lebih dahsyat. Dan akhirnya semakin banyak korban yang timbul.

Jumat, 22 April 2011

Apa yang Salah?

Psikologi adalah mitos dan psikolog adalah "penipu". Terkadang kita memang harus dibohongi terlebih dahulu agar bisa menjadi lebih baik.

Rabu, 20 April 2011

Yang Terlupakan

Setelah usai dengan ujian Tengah Semester di kampus, kini Indonesia sedang dihadapkan dalam rangkaian Ujian Nasional (UAN). Selama beberapa minggu ini dunia pendidikan akan disibukkan dengan menjaga naskah soal, mendistribusikan, menghitamkan LJK, pengiriman hasil, dsb. Kesibukkan yang menguras waktu dan tenaga. 

Ujian sendiri telah menjadi momok bagi dunia pendidikan selama beberapa waktu. Mulai dari Ujian Nasional dengan segala pro-kontra dan perbaikan sistem hingga ujian-ujian harian dalam kelas-kelas pendidikan. Celakanya, seringkali kesibukan dan ketakutan kita akan ujian mengkerdilkan makna pendidikan yang sebenarnya. 

Masyarakat menjadi semakin pragmatis melihat pendidikan formal. Kalimat semisal “Ujian Nasional tidak adil karena jerih payah tiga tahun bergantung pada tiga hari” merupakan bentuk nyata adanya gejala tersebut. Ilmu dilihat sebatas soal-soal dalam ujian yang kemudian diwujudkan dalam angka-angka dan huruf-huruf tertentu. Huruf tersebut ditulis dalam selembar kertas sakti bernama ijazah, yang merupakan kunci memasuki jenjang pendidikan berikutnya atau pekerjaan. Jadi anak SD belajar agar dapat menghadapi ujian sehingga mendapat nilai baik yang nantinya dipakai untuk mendaftar SMP, anak SMP belajar untuk mendaftar SMA, SMA mendaftar kuliah, dan seterusnya. 

Mendadak ilmu menjadi sangat dangkal. Digunakan hanya sebagai formalitas hidup yang harus ditempuh dalam tahap perkembangan. Pendidikan dihargai sebatas sebuah kewajiban. Akibatnya ilmu menjadi sebatas formalitas yang hinggap sementara waktu dalam masing-masing tahapan kemudian hilang tanpa bekas. 

Jika memang begitu adanya, maka kita sebagai hamba pendidikan seharusnya malu. Kita yang telah lupa akan keingintahuan dan pencarian akan kebenaran. Kita lupa akan fungsi utama dari ilmu. Ilmu hanya dihapalkan karena harus dan dikembangkan karena memiliki harga, bukan dicari karena keingintahuan akan kebenaran yang hakiki. Padahal Tuhan telah memberikan akal kepada manusia untuk membedakan mana yang baik dan buruk. 

Maka sudah seharusnya kita kembali pada hakikat hamba ilmu yang sesungguhnya. Kita yang mencintai ilmu, bukan sebagai kewajiban ataupun sebatas penghargaan dalam bentuk lembaran uang. Tetapi kita mencintai ilmu karena itu memberikan kita pengetahuan. Ilmu yang menunjukkan kita pada kebenaran yang hakiki. 

Pendidikan formal tidak dihargai sebatas angka-angka dalam lembar akhir tetapi ilmu yang telah kita miliki. Sebatas mana ilmu tersebut telah berguna bagi kehidupan kita. Sehingga nantinya tidak ada lagi klaim ketidakgunaan pendidikan. Bukan ujiannya yang utama, tetapi bagaimana proses pendidikan yang kita jalani sebelumnya. 

Sehingga tidak masalah ujian macam apapun yang akan menghadang. Sejatinya, ilmu kita tidak akan berkurang sedikitpun karena lembar-lembar soal. Tapi kita yang menghargai ilmu sebatas lembar soal, maka ilmu tersebut akan menghilang bersama lembaran jawaban yang ditelan oleh waktu. 

Lalu mengapa kita penjarakan ilmu ke dalam kelas-kelas dan hanya diwujudkan dalam angka-angka? Bebaskan lah ilmu dari penjara yang telah kita ciptakan tersebut. Sehingga kita bisa mencintainya dan keindahannya akan mewarnai kehidupan kita.

Sabtu, 16 April 2011

Selalu Terdepan

Karena mereka berpikir, sedangkan kita hanya mengutip pemikiran mereka.

Hakim?

Mengapa kita lebih suka menghakimi atas apa yang tidak dilakukan orang lain daripada mengapresiasi apa yang telah mereka lakukan? Entahlah.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri  dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (49:11)

Kamis, 14 April 2011

Kepada Yth. Mereka yang Berada di Layar Kaca

adverta.rs
Kalian adalah orang-orang yang spesial. Ketampanan dan kecantikan telah kondang bahkan sebelum dilahirkan. Begitu juga dengan pesona yang mampu menyihir semua orang.

Terlebih dalam dunia yang hampir di seluruh rumah terdapat kaca yang bersinar, wajah kalian telah memasuki rumah-rumah kami. Dan kehidupan kami. Meski kita tidak saling kenal, kalian banyak berpengaruh pada kehidupan. Pesona, kecantikan, dan ketampanan telah merasuk ke setiap neuron-neuron dalam otak hingga sumsum tulang belakang.

Sadar atau tidak, kalian mengajarkan kepada kami ilmu kehidupan. Baik buruk, pantas tidak pantas, cantik, tampan, gaya hidup, sopan santun, dan sebagainya. Para psikolog menyebutnya unconscious. Mereka juga menciptakan berbagai istilah untuk menyebutnya, em apa itu, modelling? Atau mungkin sugesti?

Apapun itu telah membuat kami membeli pelitur yang menyembunyikan warna kecoklatan kita yang alami, vitamin yang dapat diproduksi sendiri oleh tubuh, pengharum yang menusuk hidung orang lain, dan sebagainya. Bahkan kami menjadi tahu bagaimana seharusnya kita berpakaian, berperilaku, dan mengumpat orang lain.

Dahulu, kami berpikir bahwa itu semua hanyalah ilusi dramatis dari kehidupan. Kami tidak sungguh-sungguh percaya pada apa yang kami lihat. Namun ketidakpercayaan tersebut terkikis secara perlahan tanpa disadari, dan menanamkannya menjadi sebuah realita standar kehidupan. Dari situlah kami mendefinisikan apa itu baik, keren, gaul, modis, dsb. Kami dipertontonkan tentang kehamilan di luar nikah agar merasa iba, kesedihan yang dieksploitasi menjadi hiburan, perseteruan dan perkelahian menjadi berita biasa.

Dan ternyata kehidupan kalian pun tidak jauh dari tontonan, begitu pula kehidupan kami. Seiring kemajuan zaman, kehamilan pun bisa mengalami akselerasi bak sekolah-sekolah. Kehidupan menjadi kelas Internasional dimana semuanya berbahasa Inggris. Isa-isa lain lahir dari rahim-rahim ibu tak bersuami. Bintang porno pun tak masalah selama sudah insyaf.

Awalnya kami mencibir, mencemooh, dan sebagainya. Lama kelamaan kami lelah seiring bertambah banyaknya yang harus dijauhi, jadi kami diam. Lantas semua menjadi sesuatu yang biasa saja. Wajar, sebuah kata yang membenarkan setiap tindakan salah yang kita lakukan.

Kalian bisa mengelak bahwa itu kehidupan pribadi kalian dan bersembunyi di balik daging babi. Begitu pula kami akan berusaha menjauhi kalian. Tetapi hubungan kita jauh lebih dalam daripada apa yang dibayangkan. Dan kita tidak bisa begitu saja berpisah. Kalian memang orang-orang dengan anugerah yang luar biasa. Hubungan kita begitu dalam bahkan kepada anak-anak kita yang masih di dalam kandungan. Mungkin ini memang takdir Tuhan.

Karenanya saya memohon untuk tidak lagi mempertontonkan apa yang tidak disampaikan orang tua kita kepada anak-anaknya. Lakukanlah demi siapa pun yang kita cintai. Ajarkan kepada kami mana yang baik dan buruk, sesuai dengan yang telah orang tua kita ajarkan bukan apa yang kita lakukan. Biarkan saja jika ternyata itu munafik, tetapi kepalsuan yang indah kelamaan akan menjadi kenyataan.

Great Power, Great Responsibility. Bahkan jika memang itu hak kalian, maka tolong relakanlah hak tersebut demi orang lain. Sebuah pengorbanan. Muhammad tidak pernah memaksa orang untuk masuk Islam, maka saya pun sama tidak berhaknya untuk memaksa anda. Saya hanya memohon, meminta. Kewajiban saya hanyalah menyampaikan, selebihnya itu urusan anda dengan Tuhan. Tuhan yang ada dalam kehidupan publik maupun kehidupan pribadi kita.

Selasa, 12 April 2011

Layar Moral

Ketika retsleting celana dibuka, keluarlah nafsu dari sangkarnya. Ibarat orang kelaparan yang kemudian memakan seluruh isi dunia. Kita mungkin jarang merasakan kebebasan, bukan berarti lantas kita menuhankan kebebasan.

Masih ada dalam ingatan ketika negeri ini dipimpin oleh Jendral yang selalu tersenyum di hadapan layar kaca. Itu sekitar sepuluh tahun yang lalu. Ketika apa yang kita lihat penuh dengan kepalsuan. Kepalsuan yang indah.

Kata orang, sepahit apapun kenyataan lebih baik daripada kebohongan. Entahlah, kupikir mereka yang berkata demikian belum pernah merasakan kenyataan yang benar-benar pahit dalam hidupnya.

Mengapa kita tidak hidup saja dalam kepalsuan? Toh setelah kita lama tinggal disana kita akan menganggapnya kenyataan. Jika kita bisa bahagia dengan kepalsuan.

Atau kita lebih suka dengan kenyataan, justifikasi atas tindakan tidak bermoral kita yang masih saja ditampakkan dalam layar dunia. Hak Asasi Manusia yang membolehkan kita berbuat tidak bermoral atas nama pribadi, melarang orang lain mengajarkan kebajikan pada orang lain dengan dalih pemaksaan dan kebebasan.

Jika moral adalah sebuah kepalsuan dan mitos masa lalu, maka lebih baik tinggal dalam mimpi daripada kenyataan.

?

Semua bisa bertanya, tetapi siapa yang bisa menjawab?

Senin, 11 April 2011

Menjaga Otak

Munkar dan Nakir bertanya: "Kami telah memberimu sebuah otak, apa yang telah kamu lakukan terhadapnya?"


Hamba: "Oh itu, tenang saja. Otakku telah kujaga dengan baik dan masih sama seperti ketika Kalian memberikannya padaku. Aku bahkan tidak menggunakannya sama sekali seumur hidupku."

Minggu, 10 April 2011

Serakah #3: Kontradiksi

Kontradiksi. Perlawanan antara dua hal yang berbeda, mungkin ada dalam masing-masing benak. Karena mata hati dan logika seringkali bertabrakan. Atau dalam bahasa ilmiah kita sebut saja cognitive dissonance. Sialnya kita sering tidak tahu apa yang harus kita lakukan, bahkan mungkin kita tidak tahu kontradiksi itu sendiri.

Kita yang Cukup
Kita yang dihidupi oleh alam yang begitu melimpah. Kita ambil saja secukupnya. Karena kita tahu bahwa alam yang menghidupi kita sejatinya akan hancur oleh tangan kita sendiri. Tangan kita tidak lebih luas dari sebuah bola sepak, namun dapat menghancurkan alam seluas bola dunia.

Maka kemudian kita diajarkan untuk mengambil secukupnya. Hidup sederhana. Ambil yang perlu bukan yang ingin karena sejatinya keinginan tiada berbatas. Dan sisakan juga untuk masa depan karena bukan satu atau dua bulan kita hidup di alam fana lagi. Terlebih karena kita mencintai anak-anak kita, maka kita sisihkan juga untuk mereka.

Anak-anak kita pun mencintai anak-anaknya, begitu seterusnya. Lantas kita diajarkan untuk menghormati alam. Mengambil secukupnya, dan biarkan sisanya menjadi hak dari dunia. Hidup bukan tentang memanfaatkan alam, tetapi lebih dari itu ada suatu esensi kehidupan dari tiap insan.

Seiring waktu berjalan kita terlupakan oleh semua itu, namun nilai-nilai tidak secepat itu musnah. Kita terbiasa hidup dalam kecukupan tanpa berusaha lebih. Kita ditakut-takuti dengan keserakahan yang akan meghancurkan dunia, namun kita lupa makna sejatinya. Jadi kita hidup dalam kecukupan bukan karena ingin, tapi karena tidak biasa berusaha. Kita tidak ingin bergerak, bukan menahan diri untuk bergerak. Kontradiksi.

Kita yang Berusaha
Alam tidak sesederhana yang kita pikirkan dan kita tidak pernah tahu masa depan. Kita hidup di alam yang keras, bung! Jangankan untuk masa depan, syukur sekali kita bisa meraih sesuatu dari alam saat ini. Tidak pernah terlintas dalam pikiran kita akan merusak alam, karena kita hidup di alam yang sudah rusak.

Maka yang harus kita lakukan adalah membangun alam, minimal untuk kepentingan kita sendiri. Meski tanah ini gersang, kita berusaha untuk menanaminya. Minimal menanam yang kita makan untuk bertahan hidup. Dan ketika alam memberi sesuatu kepada kita, maka sudah semestinya kita manfaatkan sebaik mungkin selagi masih ada.

Seperti waktu yang dapat menghapus luka, dia juga melakukan hal yang sama terhadap tujuan. Perlahan kita tidak lagi melakukannya untuk hidup, tetapi karena kita suka melakukannya. Kita terjebak dalam permainan angan-angan kita sendiri. Lalu kita gembira ketika meraihnya. Kita ciptakan lagi, raih lagi, ciptakan lagi, raih lagi, ciptakan lagi. Sebuah proses tiada berujung.

Ini tidak lagi tentang kehidupan, ini tentang kegembiraan. Sialnya juga, kita yang hidup di alam keras ini tidak pernah menyadari bahwa tangan kita yang kecil mampu menghancurkan dunia yang besar ini. Kontradiksi.

Kontradiksi
Jamane jaman edan, ra edan ra keduman
Perubahan itu pasti. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. Bahkan jika kita diam sekalipun pasti orang lain akan membuat perubahan, dan kita juga yang akan kena dampaknya. Karena kita hidup dalam dunia yang saling mempengaruhi.

Dan ini, tidak akan ada habisnya. Kita bisa saja menjadi mencapai Zen dan keluar dari gejolak tanpa akhir ini atau kita bisa ikut bermain dalam dunia yang semakin gila. Atau dalam yang lebih mulia, kita berenang untuk mengajak orang lain keluar dari kolam kehidupan yang semakin bergelombang.

Maka disinilah pilihan. Kita yang merasa kaya, atau kita yang merasa miskin. Tidak ada yang sempurna, tetapi mana yang lebih kita sukai.

Sabtu, 09 April 2011

Serakah #2

Apakah karena kita hidup dalam hutan yang akan rusak oleh tangan manusia sehingga kita diajarkan untuk mengambil secukupnya. Lantas mereka hidup dalam dunia yang keras sehingga harus mengambil sebanyak mungkin selagi masih ada. Serakah, eh?


se·ra·kah a selalu hendak memiliki lebih dr yg dimiliki; loba; tamak; rakus: meskipun sudah kaya, ia masih -- juga hendak mengangkangi harta saudaranya;

Kamis, 07 April 2011

Serakah #1

 How much is "enough"?

Apakah Kita Benar-Benar Telah Memperhatikan Sekitar?

Great Power, Great Responsibility

Mereka yang memiliki kekuasaan yang besar memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar pula. Bagaimana dengan media massa saat ini?

Rabu, 06 April 2011

"Membunuh" Tuhan dengan Rasionalitas

Tunggu saja saatnya. Katholik dan kristen kian mati karena pengikutnya mulai rasional. Begitu pula dengan agama lain termasuk Islam. Ada kalanya nanti Islam pun mulai kehilangan pengikutnya karena masyarakat mulai rasional.

Begitu lah kira-kira yang hendak disampaikan salah seorang dosen saya ketika menjalani perkuliahan. Terlepas dari setuju atau tidaknya, dan terlepas dari ketidaktahuan dosen tersebut akan fakta-fakta terkini yang menunjukkan hal sebaliknya (misalnya mengapa orang-orang eropa yang konon katanya rasional justru makin banyak yang masuk Islam dan bahkan, populasi muslim telah berhasil melampaui populasi Katholik di dunia), namun apa yang beliau katakan ada benarnya.

Saya tidak akan membahas tentang agama dalam hal ini, namun benar kiranya rasionalitas membunuh hal-hal lain termasuk diantaranya agama, nasionalisme, harga diri, dsb.

Saya teringat ketika agresi Israel ke Palestina, hampir setiap aksi massa saya ikuti, entah oraganisasi apa itu. Namun saya sempat heran ketika orang-orang mencemooh apa yang kami lakukan. Setelah saya pikir, emang tidak rasional apa yang kami lakukan. Bahkan kalaupun kami setiap hari turun ke jalan, agresi Israel tetap akan terjadi. Jadi secara rasional apa yang kami lakukan sia-sia? Uang yang kami kumpulkan juga tidak seberapa.

Ketika Masyarakat sibuk meneriakkan ganyang Malaysia beberapa waktu ini, seorang dosen saya chat dengan saya dan mengatakan keheranannya. Mengapa orang-orang Indonesia sibuk berteriak-teriak marah kepada Malaysia? Padahal di Malaysia malah justru adem ayem. Kenapa orang-orang Indonesia sangat reaktif? Reaksi masyarakat Indonesia yang berlebihan itu dianggap sebagai bukti bahwa masyarakat Indonesia pemikirannya kurang Rasional.

Lalu saya membayangkan sebuah tatanan masyarakat rasional. Masyarakat yang ketika Israel melakukann agrresi maka mereka diam saja dan membiarkan saja hal tersebut dan menyerahkan semuanya pada diplomasi. Masyarakat yang ketika pemerintah melakukan privatisasi terhadap sektor-sektor penting negara demi dua kata, yaitu: efektif dan efisien, mereka akan diam saja dan hanya sekedar perang opini di internet. Masyarakat yang ketika harga dirinya dilecehkan tetap tenang dan mencoba untuk berdiplomasi. Seperti itukah yang diharapkan?

Saya lebih melihat masyarakat semacam itu sebagai masyarakat apatis daripada masyarakat rasional. Pemikiran manusia yang rasional, terkadang justru menjadikan kita manusia apatis. Kita meliihat segala feniomena sebagai suatu hal yang biasa saja dan memakluminya.

Sebenarnya hal ini juga saya alami di tempat kuliah saya dimana ajaran yang diajarkan mengubah kami menjadi orng semacam itu. Sebagian dari kami menyebutnya nihilisme sedangkan sebagian dari kami melihatnya sebagai positif thinking.

Saya menyadari ada sesuatu yang lebih daripada sekedar rasional. Ada kalanya kita harus berbuat tidak rasional, mengapa? Karena itulah yang akan mewarnai hidup. Ada kalanya kita melakukan sesuatu yang tidak rasional dan tidak masuk akal, namun kita yakin itu benar. Terkadang kita harusmemiliki rasa percaya yang tidak rasional semacam itu.

Sekali-kali cobalah ikut turun ke jalan melakukan hal-hal yang tidak rasional. Sekali-kali mengototlah membela pendapatmu meski itu tidak rasional. Maka kamu akan menemukan bahwa hidup kita tidak hanya tentang rasional, akal, dan berpikir.

Ketika nasionalisme disamakan dengan chauvinisme dan fanatik sempit, ketika penegakkan akidah dianggap sebagai pelanggaran atas kebebasan beragama, ketika pencegahan kepada yang mungkar dianggap sebagai ikut campur atas kehidupan pribadi, saat itukah rasionalitas berada di setiap kepala manusia?

*) ditulis pada Oktober 2009 di sebuah situs jejaring sosial

Mitos?

Apakah "hukuman sosial" dan moral hanyalah mitos peninggalan nenek moyang kita?

Becak

Bukankah Perbedaan Membuat Dunia Menjadi Indah?

Meraih

Ketika tangan tidak lagi dapat menggenggam apapun, apakah kita akan berusaha meraih kembali Tuhan?

Senin, 04 April 2011

Manusia dan Hukuman

babble.com
Hukuman telah dikenal dan digunakan oleh manusia selama ratusan bahkan ribuan tahun. Bahkan dalam beberapa versi, hukuman pertama yang dialami manusia adalah ketika Adam melanggar larangan Tuhan yang menyebabkan dirinya dan Hawa dihukum dengan diusir dari surga. Hingga kini, manusia masih menerapkan hukuman dalam peradabannya. 

Hukuman sendiri telah mengalami perubahan dari yang sebelumnya hanya sebatas bentuk “pembalasan” atas perilaku yang telah diperbuat individu tersebut sebelumnya hingga kini sebagai bentuk "konsekuensi" agar manusia menghindari, mengurangi, atau menghilangkan perilaku tertentu. 

Para ilmuwan psikologi behavioris-lah yang membawa konsep hukuman dalam bentuk baru tersebut. Mereka yang rata-rata mendapatkan pengaruh kuat filsafat positivistik dari Auguste Comte kemudian berpendapat bahwa perkembangan psikologi saat itu telah melampaui fase yang yang seharusnya. Mereka berpendapat bahwa ilmuan psikologi seharusnya lebih berfokus pada hal-hal yang tampak dan dapat diobservasi secara langsung. 

Oleh karena itu Skinner dan kawan-kawan merintis kembali psikologi dari awal. Dengan asumsi bahwa dunia itu kosmos, maka dia percaya bahwa suatu perilaku akan terjadi karena ada yang mengawali dan mengakhiri. Dari pola-pola inilah nantinya diharapkan akan diketahui ilmu psikologi yang sesungguhnya dan dapat digunakan untuk memprediksi, mengetahui, memanipulasi, suatu perilaku yang akan terjadi. 

Skinner percaya bahwa pada dasarnya manusia dan hewan memiliki pola interaksi yang sama, hanya saja manusia dalam memproses suatu stimulus secara lebih kompleks (Alwisol, 2008). Kekompleksan tersebut diwujudkan oleh para behavioris dalam konsep black box. Skinner sendiri menggunakan hewan sebagai subjek penelitiannya karena lebih simple dan tidak serumit manusia. Penggunaan hewan sebagai subjek hingga kini masih sering digunakan oleh para ilmuwan behavioris. 

Namun perkembangan dunia saat ini menuntut agar ilmuwan menjadi semakin pragmatis, ilmu diharapkan untuk bisa menjawab permasalahan-permasalahan nyata secara praktis dengan ilmu-ilmu yang ada. Padahal bisa jadi ilmu-ilmu tersebut masih belum matang dan siap diaplikasikan dalam kehidupan nyata. 

Hal inilah yang digugat oleh Lerman dan Vorndran (2002) dalam artikelnya berjudul On The Status of Konwledge for Using Punishment: Implications for Treating Behavior Disorder. Mereka mempertanyakan dasar-dasar dari konsep punishment (hukuman) dari aliran behavioris. Menurut mereka konsep-konsep tersebut belum benar-benar matang dan belum siap diaplikasikan. 

Alih-alih memperdalam penelitian tentang faktor-faktor utama yang mempengaruhi, para ilmuwan saat ini justru lebih banyak meneliti berbagai bentuk prosedur dari aplikasinya dan bukan mempelajari faktor-faktornya secara mendalam. Padahal banyak dari konsep-konsep behavioris yang “belum siap” untuk diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata. 

Sebagian besar konsep-konsep behavioris dilandaskan atas penelitian dengan subjek hewan dan temuan tersebut seringkali belum direplikasikan kepada manusia dan diteliti secara mendalam. Seharusnya konsep-konsep tersebut diujikan terlebih dahulu pada manusia sebelum diaplikasikan ke dalam bentuk treatmen-treatmen perilaku. 

Punishment sendiri sebagai salah satu konsep yang lahir dari rahim para behavioris dipertanyakan efeknya secara langsung pada manusia. Mengingat tidak semua teori atau konsep yang dihasilkan dapat diaplikasikan kepada manusia. Konsep Law of Readiness dari Thorndike misalnya ketika direplikasikan pada manusia ternyata gagal. Maka pertanyaannya adalah bagaimana punishment berakibat pada manusia? 

Penelitian yang dilakukan oleh Wood (2007) merupakan sebuah contoh bahwa manusia merespon stimulus dengan lebih kompleks dibandingkan hewan. Dalam penelitiannya berjudul Exploring the Positive Punishment Effect Among Incarcerated Adult Offenders menunjukkan bahwa hukuman tidak begitu saja secara otomatis mengubah perilaku manusia seperti yang diharapkan. Penelitian ini menunjukkan adanya respon berbeda-beda dari para narapidana dalam menerima stimulus berupa hukuman ini. Pada sebagian narapidana, punishment justru menjadi semacam bentuk penguat atas perilaku kriminal yang mereka lakukan. 

Ternyata ada berbagai faktor yang mempengaruhi efektivitas punishment itu sendiri pada manusia. Salah satunya adalah seperti yang disebutkan dalam penelitiannya Prooijen, Galluci, dan Toeset (2008) adalah tentang persepsi terhadap keadilan. Mereka yang merasa tidak adil dalam mendapatkan punishment akan mengurangi efek punishment itu sendiri dan dalam kondisi tertentu justru meningtkatkan perilaku yang akan dihilangkan. Selain itu masih banyak faktor-faktor lain yang harus diteliti sebelum dapat diterapkan secara langsung. 

Ini menunjukkan bahwa banyak konsep-konsep yang lahir dari rahim para behavioris sebenarnya belum siap untuk diaplikasikan. Perlu penelitian dan kajian lebih dalam terhadap faktor-faktor dan hukum-hukum yang berlaku pada manusia. 

Dalam kaitannya dengan penggunaan konsep-konsep tersebut sebagai bentuk modifikasi perilaku pun masih mengalami tanda tanya. Selama ini memang berbagai bentuk modifikasi perilaku menggunakan pendekatan ini cukup berhasil dalam setting klinis. Namun efek jangka panjang dari penggunaannya pun jarang diteliti. 

Menurut saya modifikasi perilaku dengan pendekatan ini hanya bersifat semu. Hal ini seperti yang telah disebutkan oleh para behavioris bahwa suatu perilaku akan mengalami kemusnahan jika tidak terus menerus diperkuat, sedangkan dalam kehidupan nyata kita tidak bisa terus menerus memberikan penguatan atas suatu perilaku tertentu. 

Manusia lebih kompleks daripada hewan, dalam artian bahwa manusia memiliki akal. Drs. Martono (dosen Psikologi UGM) pernah mengatakan bahwa reward dan punishment tidak akan menghasilkan perilaku yang seperti kita harapkan, tetapi sebatas perilaku untuk mendapatkan reward itu sendiri dan menghindari punishment yang ada. Dengan akal yang ada, manusia cenderung “mengakali” prosedur yang ada dan menciptakan shortcut untuk mendapatkan reward dan menghindari punishment tanpa harus melakukan perilaku tertentu. Hal ini telah dipraktekkan oleh Uichol Kim dan membuat dirinya sadar sehingga membuat sebuah pendekatan yang disebut Indigenous Psychology

Maka sekali lagi kita terdampar dalam dilematis keilmuan klasik, antara pragmatis dan teoritis. Di satu sisi masyarakat menuntut nilai praktis dari setiap ilmu yang ada. Perlu kita akui juga bahwa banyak keberhasilan dalam penggunaan konsep punishment dalam setting tertentu. Namun di sisi lain ada tanggung jawab lain dimana kita sebagai ilmuwan untuk tidak begitu saja menggunakan konsep yang belum diuji kebenaran dan efeknya secara teoritis.


Bibliography:
Alwisol. 2008. Psikologi Kepribadian edisi revisi. Malang: UMM Press
Lerman, D. &. (2002). On The Status of Knowledge for Using Punishment: Implications for Treating Behavior Disorder. Journal of Applied Behavior Analysis , 431-464.
Prooijen, J.-W. v., Galluci, M., & Toeset, G. (2008). Procedural Justice in Punishment Systems: Inconsistent Punishment Procedures have Detrimental Effects on Cooperation. British Journal of Social Psychology , 311-324.
Wood, P. (2007). Exploring the Positive Punishment Effect Among Incarcerated Adults Offenders. American Journal of Criminal Justice , 8-22.

Minggu, 03 April 2011

Sakit

sakit sa.kit [a] berasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh krn menderita sesuatu
Sebenarnya ada berapa macam sakit. Dahulu kita mengatakan sakit jika tubuh kita merasa tidak enak karena ada yang tidak beres secara fisik atau sakit fisik. Kemudian kita menganggap orang lain yang tidak bertindak seperti seharusnya sebagai sakit jiwa. Apabila kita merasa tidak enak terhadap apa yang kita alami secara mental kita akan menganggap diri kita sakit mental. Lalu ketika kita merasa diri kita tidak sesuai harapan orang-orang di sekitar kita dan tidak berperilaku secara "normal" apakah kita disebut sakit sosial?