Senin, 31 Oktober 2011

Dalam Kegelapan

sumber: naddie-catastrophe.deviantart.com

Waktu kecil, saya suka ketika listrik padam di malam hari. Menjauhkanku dari hingar bingar dunia fana, mendekatkanku pada alam yang sesungguhnya. Dalam kegelapan aku merenungi keindahan malam yang selama ini tertutup oleh terangnya peradaban. Dalam kegelapan membuat aku, bapak, ibu, saudara, teman-teman, dan tetanggaku meninggalkan penjara rumah mereka dan keluar bersatu pada dalam gelapnya malam. Meski hanya lilin kecil yang menyala dalam kegelapan, namun hati kami terang. Kami melupakan bahwa peradaban telah membangun tembok imajiner yang telah memisahkan kita selama ini.

Minggu, 30 Oktober 2011

Mati Suri



Aku ingin kembali hidup, menjadi manusia, di dalam dunia. Melihat dan mendengar apa yang dapat menggerakkan hati dan pikiran. Menyentuh sesuatu yang dapat memberikan rasa. Bertindak yang dapat membuahkan perubahan. Bukan sekedar ribuan kalkulasi dan opini mengenai dunia dan manusia.

Jumat, 28 Oktober 2011

Ajining Diri Gumantung ing Lathi

Apa arti sumpah untuk bertumpah darah yang satu? Jika kita masih membela kepentingan masing-masing.


Apa arti sumpah untuk berbangsa yang satu? Jika kita masih saling curiga dan berprasangka.


Apa arti sumpah untuk berbahasa yang satu? Jika kita masih malu berhasa Indonesia dan bangga berbahasa asing.

Memandang Polisi

sumber: nasional.kompas.com
Apa yang pertama kali terlintas di pikiran anda ketika mendengar kata POLISI? Atau mungkin bayangkan anda sedang berkendara di siang hari dengan udara panas terik yang menyengat, tiba-tiba ada seorang polisi di sebelah anda yang menyapa anda. Apa yang anda rasakan waktu itu? Atau ketika anda pulang dari kerja menemukan sebuah mobil polisi dengan sirine menyala berhenti di depan rumah anda?

Seringkali polisi diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat negatif baik dari segi pikiran atau perasaan. Terlepas dari perilaku polisi itu sendiri, itu sebenarnya memang resiko dari menjadi polisi. Dalam tulisan kali ini kita akan membahas mengenai fenomena-fenomena tersebut.

Pembenaran
Apa yang dipikiran ketika seorang polisi menilang kita akibat menerobos lampu merah? Seringkali kita lupa bahwa kita sendiri lah yang bersalah. Ketika kita melakukan suatu perbuatan yang salah, maka diri kita akan mengalami dissonance secara kognitif. Permasalahan ini harus segera dibereskan karena sistem kognitif kita tidak dapat membiarkan dissonance terus terjadi dalam diri kita.

Untuk mengatasi dissonance tersebut, ada dua cara yang dapat ditempuh oleh diri kita. Pertama mengubah keadaan itu sendiri. Misalnya saja kita merasa bersalah karena merokok. Dalam mengatasi rasa bersalah (dissonance) tersebut kita bisa menghentikan perilaku rokok itu sendiri. Selain itu ada cara lain untuk mengatasi dissonance yang kita alami yaitu dengan mengubah cara berpikir atau sistem nilai dalam diri kita. Pada kasus ini kita akan mencari pembenaran atas perilaku merokok tersebut misalnya dengan menganggap bahwa perilaku merokok merupakan perilaku yang dilakukan banyak orang sehingga "boleh" dilakukan.

Kembali pada kasus polisi, apa yang terjadi pada diri kita seringkali mencari pembenaran atas kesalahan yang kita lakukan. Misalnya alih-alih menyadari perilaku kita yang salah akibat menerobos lampu merah, kita justru menyalahkan anggota polisi yang korup dan memang berniat "mencari mangsa" serta ini semua hanya "akal-akalan untuk mencari uang". Sehingga kita merasa benar atas perilaku kita dan menyalahkan polisi. Ini semua terjadi secara automatis sebagai bentuk pertahanan diri dari dissonance.

Conditional Response
Kapan kita bertemu polisi? Seringkali polisi selalu hadir hanya dalam saat-saat buruk. Misalnya kemalingan, perampokan, dan berbagai bentuk kejahatan serta pelanggaran hukum lainnya. maka wajar jika karena kejadian ini lama-lama kita akan melakukan asosiasi membentuk semacam shorcut dengan mengasosiasikan polisi dengan hal-hal buruk.

sumber: http://www.northern.ac.uk
Peristiwa ini dapat kita jelaskan dengan teori Classical Conditioning dari Ivan Pavlov. Ilmuwan tersebut melakukan sebuah eksperimen kepada anjingnya. Awalnya secara automatis anjing tersebut akan selalu mengeluarkan air liur (Unconditioned Respon - UCR) ketika dihadapkan pada makanan (Unconditioned Stimulus - UCS). Kemudian Pavlov membiasakan membunyikan bel (Conditioned  Stimulus - CS) bersamaan dengan hadirnya makanan (UCS) yang akan menimbulkan respon berupa keluarnya air liur (UCR). Setelah hal ini dilakukan berulang kali, ternyata hanya dengan suara bel (CS)  tanpa harus dihadirkan makanan (UCS) anjing tersebut tetap akan mengeluarkan air liur (Conditioned Respon - CR).

Pola yang sama juga terjadi dalam keseharian polisi. Pada mulanya ketika terjadi suatu hal buruk (UCS) secara automatis diri kita akan melakukan respon berupa perasaan dan emosi negatif (UCR). Itu adalah sesuatu hal yang wajar. Kemudian seringkali polisi (CS) hadir dalam hal buruk (UCS) tersebut. Dalam artian CS dan UCS hadir secara bersamaan secara berulang kali. Setelah kejadian tersebut terjadi secara berulang-ulang maka akan terbentuk sebuah pola baru, dimana kehadiran polisi (CS) tanpa perlu disertai suatu hal buruk (UCS) tetap akan menimbulkan respon emosi negatif (Conditioned Respon - CR).

Itu sebabnya polisi seringkali diasosiasikan dengan kejadian-kejadian buruk. Sehingga hanya dengan melihat atau mendengar hal-hal berbau polisi, diri kita akan merespon dengan emosi-emosi dan pikiran-pikiran negatif terhadap polisi itu sendiri.

Tanggung Jawab Besar
Bagaimanapun juga polisi merupakan salah satu aparat yang memiliki kekuasaan yang besar. Dengan jabatannya polisi berhak dan berkewajiban untuk menindak orang-orang yang melakukan kesalahan. Hak dan kewajiban ini melekat bersama dengan profesi itu sendiri dan tidak dapat dipisahkan.

Akan tetapi ada hal lain yang juga melekat atas Hak dan Kewajiban tersebut yaitu tanggung jawab. Polisi diberikan kekuasaan oleh masyarakat, namun di sisi lain masyarakat juga menuntut pertanggungjawaban polisi itu sendiri atas kekuasaan yang mereka berikan. Efeknya segala tindak tanduk polisi akan menjadi perhatian khusus. Polisi sebagai penegak hukum dituntut untuk secara sempurna tidak boleh melanggar hukum itu sendiri.

Adanya pelanggaran hukum sedikit saja, akan menimbulkan "protes" dari masyarakat. Maka seharusnya tiap pelanggaran yang dilakukan polisi mendapatkan hukuman yang lebih berat. Hal ini dilakukan untuk menjaga kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Kepercayaan ini merupakan modal utama dari polisi untuk menggunakan "kekuasaan" yang telah diberikan. Semakin sedikit rasa percaya yang ada, maka semakin kecil pula "kekuasaan" yang dimiliki.

Hanya saja akhir-akhir ini banyak kita jumpai berbagai kasus dimana aparat penegak hukum justru menjadi pelanggar hukum itu sendiri. Celakanya juga terjadi penyalahgunaan kekuasaan hingga yang terjadi dimana oknum-oknum pelanggar hukum tersebut tidak ditindak karena mereka memiliki "kekuasaan".

Hal ini menyebabkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum. Akibatnya kepatuhan akan "kekuasaan" dari para penegak hukum pun berkurang drastis. Perilaku brutal dan pelanggaran hukum terjadi dimana-mana karena hilangnya kepatuhan. Kepatuhan yang juga tidak dimiliki oleh oknum aparat penegak hukum.

Perubahan
Berbagai permasalahan tersebut menuntut untuk diselesaikan. Jika tidak permasalahan hukum di Indonesia justru akan menjadi tambah kusut. Tanpa adanya penegak hukum yang dipercaya dan dihormati, kecil kemungkinan ketertiban dan keamanan akan bisa dicapai.

Oleh karena itu penulis mengusulkan beberapa langkah yang sebaiknya ditempuh oleh polisi untuk menghapus stigma negatif dan mengembalikan kepercayaan masyarakat:
  1. Memperbanyak operasi simpatik, dimana polisi tidak memberikan "hukuman" yang berarti kepada masyarakat dalam waktu-waktu tertentu. Misalnya saja tidak semua pelanggaran harus ditilang, sebagian lainnya mungkin cukup dengan diingatkan atau dinasehati. Hal ini sedikit banyak akan menghapus stigma bahwa "tilang hanya sekedar akal-akalan petugas"
  2. memperbanyak kunjungan polisi ke sekolah-sekolah atau instansi lain sebagai langkah preventif juga pengenalan terhadap polisi itu sendiri. Bisa juga dengan mengadakan kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya sosial. Fungsinya untuk menghapus asosiasi antara polisi terhadap segala macam hal yang bersifat negatis.
  3. Adanya penegakan hukum yang tegas dan keras terhadap oknum aparat yang melanggar hukum. Penindakan tersebut diusahakan setransparan mungkin dan diberitahukan kepada publik agar menghindari kecurigaan serta rumor yang dapat timbul.
Itu semua hanya bebeapa saran dari sekian banyak reformasi yang harus dilakukan di dalam tubuh aparat penegak hukum itu sendiri. Hal ini perlu dilakukan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Ketika para pemilik kuasa sudah tidak dapat dipercaya, lalu kepada siapa kita harus percaya?

Kamis, 27 Oktober 2011

Serakah #4

Konon katanya permasalahan utama ekonomi adalah kebutuhan yang tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang terbatas. Lalu kita saling berebut meraih kapital sebanyak mungkin yang mampu kita raup. Semua demi diri kita sendiri. Serakah.


Bagaimana jika itu salah? Bahwa kebutuhan itu berbatas. Syukuri apa yang kita miliki. Dan ekonomi tidak ada. Toh bagaimanapun juga sumber daya akan tetap terbatas, lalu kita batasi saja kebutuhan kita. Eh?

Kamis, 20 Oktober 2011

Menengok Keranjang Sampah

Siapa tidak tahu China? Negeri tirai bambu ini secara mengejutkan mengalami pembangunan yang pesat dalam beberapa tahun belakangan. Angka pertumbuhan ekonomi mencapai 9% per tahun bahkan dimasa krisis dunia dimana pada tahun 2008 yang lalu hanya tiga negara yang masih mengalami pertumbuhan perkonomian secara positif (termasuk di dalamnya China dan Indonesia).

Raksasa ekonomi ini secara perlahan mulai menggeser perekonomian dunia yang semula berpusat pada poros Eropa-AS. Bahkan berita terbaru menyebutkan China telah menjadi mitra terbesar negara-negara Eropa mengungguli AS. Perkembangan ekonomi yang begitu pesat ini menjadikan China sebagai pusat perhatian dunia. Banyak negara mencoba belajar dari China dan mengaguminya.

Akan tetapi sebaiknya kita tidak hanya menilai seseorang dari ruang tamunya, tetapi tengoklah keranjang sampahnya. Perkembangan ekonomi yang begitu pesat ini membawa dampak yang begitu besar dalam bidang sosial-budaya yang sayangnya jarang diperhatikan oleh sebagian orang. China maju dengan bersimbah darah.

Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah peristiwa tabrak lari yang dialami seorang bocah. Parahnya dari sekian banyak orang yang melihat keadaan tersebut, hanya satu orang yang pada akhirnya menolong meski sudah terlambat. Kejadian ini mengingatkan pada peristiwa Kitty Genovese  tahun 1964.



Bystander Effect
Pada bulan Maret tahun 1964, seorang wanita berumur 28 tahun ditikam dan diperkosa pada pukul tiga pagi hari. Kejadian ini berlangsung selama sekitar tiga puluh menit dan penuh dengan teriakan minta tolong. Tiga puluh delapan tetangganya yang mendengar peristiwa tersebut tidak satupun yang menelpon polisi atau membantunya.

Peristiwa ini mengejutkan kalangan ilmuwan sosial pada saat itu. Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu "tidak manusiawi" dengan membiarkan begitu saja peristiwa tersebut. Peristiwa yang bisa dikatakan mirip dengan kejadian di China baru-baru ini.

Ilmuwan psikologi mencoba menjelaskan peristiwa ini sebagai bystander effect. Para ilmuwan mencoba melakukan eksperimen dalam laboratorium untuk mengetahui gejala tersebut.Hasilnya menunjukkan ada kecenderungan yang menarik dimana semakin banyak orang asing berada dalam suatu keadaan maka akan menimbulkan kebingungan rasa pertanggungjawaban.

Sehingga apa yang terjadi pada Genovese merupakan gejala tersebut. Orang-orang merasa apa yang terjadi tersebut merupakan tanggung jawab orang lain. Orang-orang tersebut meyakini bahwa seseorang di suatu tempat atau salah satu dari mereka akan menolong orang tersebut. Celakanya ketika semua orang berpikir demikian maka pada akhirnya tidak ada satu pun orang yang akan menolong.

Kita yang Kehilangan Rasa
Banyak ilmuwan sosial mencoba memahami perilaku prososial dan altruism, ada berbagai teori yang dikemukakan untuk menjelaskannya misalnya saja adanya anggapan bahwa perilaku prososial muncul atas dasar harapan perilaku yang serupa juga akan dialami dirinya di saat membutuhkan nanti (social exchange theory).

Bagaimannapun juga saya akan lebih mengetuk pada rasa. Terlepas dari segala macam logika dan teori yang ada, apa yang kita rasakan ketika melihat kejadian tersebut? Sudah tidak adakah lagi rasa kasihan, iba, dan keinginan untuk membantu? Apakah tolong menolong tanpa pamrih hanya tinggal dongeng dari cerita masa lalu?

Apa yang terjadi di China menurut saya lebih mengerikan daripada kasus Kitty Genovese setidaknya dalam beberapa hal. Pertama, dalam kasus Genovese para bystander hanya sebatas mendengar suara sedangkan dalam kasus di China mereka melihat keadaan tersebut secara langsung. Kedua jarak antara bystander dengan kobran itu sendiri yang bahkan tidak sampai satu meter, berbeda dengan kasus Genovese dimana para bystander kebanyakan berada dalam apartemen mereka.

China yang konon katanya berasal dari kebudayaan kolektif ternyata bisa menunjukkan sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan. Fenomena ini merupakan cerminan dari kerapuhan sosial yang terjadi bersebrangan dengan kemajuan ekonomi yang dialami. Ternyata perkembangan yang terjadi di China tidak seindah apa yang ada dalam bayangan.

Terlebih berbagai spekulasi yang ada mengarah kepada ketakutan untuk menolong. Seringkali para korban justru menunutu atau menipu para penolong yang dalam istilah Jawa kita sebut sebagai Tulung Mentung. Perilaku semacam ini yang diduga kuat sebagai penyebab ketakutan untuk menolong orang asing.

Ketika rasa sudah tidak lagi menjadi bagian dari budaya, hilanglah rasa kemanusiaan. Jika kemanusiaan merupakan sesuatu yang harus dikorbankan demi kemajuan, maka saya akan memilih untuk tetap tertinggal. Lebih baik mati sebagai manusia daripada hidup sebagai mayat.

Sumbang

Siapa yang memberi makan pada dunia? Petani yang dengan diam-diam mengerjakan sawahnya. Siapa yang memayu ayuning bawana? Hanya mereka yang bekerja keras, mengeluarkan keringat dengan perbuatan yang nyata. (C.S. Adama van Scheltema)
Dalam orkestra semua alat berbunyi. Tiap-tiap mengeluarkan suaranya masing-masing, meski berbeda namun berpadu menjadi sebuah harmoni yang indah. Demi kesatuan dan kepaduan dalam mencapai harmonis, semua tau siapa yang harus berbunyi keras, siapa yang harus pelan. Masing-masing tahu tempat dan waktunya untuk diam dan bersuara.

Begitu pula dalam kehidupan, beragam suara muncul. Hanya saja semua menolak bungkam, semua berteriak keras meminta untuk didengarkan. Lupa akan posisi diri dalam kelompok dan tugas masing-masing. Hingga suara sumbang yang terus bermunculan. Bagaimanapun juga benda berongga (kosong) selalu berbunyi paling keras.

Rabu, 19 Oktober 2011

Kraton dan Harga Diri

sumber: kratonwedding.tumblr.com
Beberapa waktu yang lalu terjadi sebuah hajatan besar di Kraton Ngayogyakarta. Mungkin hajatan ini lebih pantas disebut sebagai pesta rakyat. Bagaimana tidak dalam hajatan tersebut bukan hanya tuan rumah yang punya hajat, tetapi juga mayoritas warga Ngayogyakarta.

Seumur hidup saya baru dua kali saya melihat begitu banyak masyarakat berkumpul menjadi satu seperti itu. Pertama pada saat dukungan Keistimewaan DIY dan yang kedua pada saat Pawiwahan Agung kemarin, dimana malioboro dipenuhi oleh lautan manusia.

Masyarakat sebanyak itu bisa berkumpul menjadi satu merupakan sebuah kesitimewaan tersendiri. Bandingkan dengan berbagai kegiatan pengumpulan massa selama ini baik berbentuk pengajian, konser, demonstrasi, dan sebagainya belum ada yang sefantastis itu.

Terlebih lagi masyarakat hadir tidak hanya sebagai penonton ataupun tamu, tetapi juga ikut menyemarakkan hajat yang sedang dilaksanakan. Mulai dari menyumbang makanan di angkringan, janur, atau bahkan pertunjukkan kesenian. Semua tumpah ruah menjadi satu seolah tidak hanya Sultan yang memiliki hajat melainkan seluruh masyarakat Jogjakarta.

Hal ini merupakan sebuah fenomena yang menarik. Di tengah maraknya sentimen anti kekuasaan dan rasa ketidakpercayaan terhadap penguasa, Sultan sebagai sosok penguasa dengan sentimen monarki di dalamnya justru mendapatkan dukungan tersendiri bagi rakyat Yogyakarta.

Dalam era modern dimana demokrasi dan kebebasan dituhankan dan semua orang ditekan untuk menjadi setara, sebuah fenomena unik ini muncul ke permukaan. Pada akhirnya pemimpin tidak hanya sebatas pada kekuasaan semata tetapi juga bagaimana seorang pemimpin memberikan dan mendapatkan pengaruh dari masyarakat. Dalam tulisan ini saya akan membahas beberapa sudut pandang untuk memahami fenomena ini secara lebih dalam.

Kerinduan Budaya
Dalam zaman globalisasi saat ini informasi mengalir begitu derasnya. Jarak tidak lagi menjadi penghalang. Akibatnya budaya satu dan lainnya berdatangan mempengaruhi satu sama lain. Nilai, ide, gagasan, dan idealisme bercampur aduk menjadi satu. Seseorang tidak lagi bisa diketahui etnisnya hanya dari lokasi tempat tinggal.

Celakanya budaya modern Eropa-AS memiliki kekuatan media. Entah itu kapitalis, sekuler, sosialis, komunis, liberal dan sebagainya masuk ke setiap sendi kehiudpan tanpa kita sadari. Nilai-nilai pun bergeser. Masyarakat modern memiliki tuntutan tersendiri terhadap dunia.

Dalam dunia yang dikuasai nilai-nilai Eropa-AS muncul segelintir masyarakat yang justru merindukan budaya asli Indonesia. Masyarakat ini didominasi dua macam: (1) generasi tua yang memang sejak dahulu dibesarkan dengan nilai-nilai tradisional dan menjadi pelaku budaya itu sendiri serta (2) generasi muda yang memiliki ketertarikan terhadap budaya asli, mereka bukan pelaku dari budaya tersebut akan tetapi memiliki ketertarikan dan dukungan terhadap budaya tersebut.

Gejala ini dapat kita lihat dari berbagai fenomena yang muncul akhir-akhir ini. Mulai dari penggunaan simbol-simbol etnis semisal batik, surjan, dan simbol-simbol etnik lainnya. Begitu pula dengan dengan fenomena yang kita bahas saat ini.

Banyaknya dukungan masyarakat yang muncul dalam Gerakan Pro-Penetapan dan Pawiwahan Agung kemarin merupakan bentuk dari kerinduan masyarakat akan budaya asli tradisional. Sultan dan Kraton sebagai simbol yang mereka junjung untuk mengungkapkan gagasan akan pentingnya local wisdom dari kebudayaan yang selama ini justru mulai ditinggalkan.

Gagasan tradisional ini diwujudkan dalam dukungan dan penghormatan terhadap Sultan dan Kraton secara keseluruhan. Gagasan untuk kembali kepada kebudayaan awal, kebudayaan yang telah dibangun ratusan tahun oleh para pendahulu kita. Kebudayaan rasa.

Kraton sebagai Identitas
Setiap kelompok memiliki ciri khas tersendiri, ciri tersebut yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lain serta menyatukan anggota kelompok tersebut. Dalam kasus ini, Kraton dan Sultan sendiri merupakan ciri khusus yang menjadi simbol dari masyarakat Jogjakarta.

Itu sebabnya isu Pro-Penetapan muncul dengan gaung yang keras ketika Kraton dan Sultan diusik. Penyerangan terhadap simbol-simbol dan identitas kelompok sama halnya dengan menyerang anggota kelompok itu sendiri. Dalam kasus ini "penyerangan" terhadap eksistensi Kraton dan Sultan itu sendiri merupakan bentuk penyerangan terhadap masyarakat Jogjakarta.

Oleh karena itu muncul reaksi keras untuk "mempertahankan" identitas dari kelompok tersebut. Bentuk pertahanan ini muncul dalam bentuk fenomena Gerakan Pro-Penetapan. Mulai dari bendera-bendera, gerakan massa, hingga dukungan terhadap eksistensi Kraton dan Sultan itu sendiri.

Ini semua dapat dilihat sebagai upaya sekelompok masyarakat untuk mempertahankan identitas mereka. Tanpa adanya identitas dan ciri khas dari suatu kelompok, maka eksistensi kelompok itu sendiri akan turut menghilang. Maka disinilah diuji, apakah kelompok itu akan tetap berdiri dengan simbol-simbolnya atau tertelan oleh kejamnya zaman.

Lakum Dinukum Waliyadin
Perkembangan zaman telah menggeser nilai-nilai dalam suatu budaya. Pengaruh datang silih berganti dan saling mempengaruhi. Begitu pula dengan struktur masyarakat yang merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.

Dahulu, individu dianggap sebagai bagian dari kelompok, suati fenomena yang lumrah dalam masyarakat kolektif. Dimana individu yang satu dan lain memiliki keterikatan degan kelompok. Individu diharuskan menjunjung tinggi norma kelompok meski itu berarti mengorbankan individu itu sendiri. Orang bisa menuntut orang lain untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai kelompok.

Saat ini dimana individualisme telah ikut berpengaruh, maka individu mulai berdiri sendiri dan melepaskan diri dari kelompok. Orang tidak bisa lagi memaksa individu untuk bertingkah laku tertentu. Tas nama kebebasan dan Hak Asasi Manusia seolah semua hal boleh dilakukan. Demokrasi menjadi tameng orang untuk berbicara sesuka hati meski itu menyakiti orang lain. Atas nama demokrasi, kebebasan, dan kebenaran.

Maka disini saya hanya bermaksud menyampaikan. Orang boleh bertindak sesuai kemauannya sendiri atas nama HAM, tetapi orang juga harus bertanggung jawab terhadap tindakannya tersebut. Terlebih terhadap tindakan-tindakan yang bersinggungan dengan orang lain.

Sultan sebagai seorang manusia tentu tidak sempurna, saya yakin dalam diri pribadi Sultan banyak kekhilafan dan kesalahan. Namun Sultan sebagai sebuah simbol perrlu dipertahankan dan dijaga sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri. Sultan sebagai pemimpin memiliki hak untuk dijunjung tinggi, begitu pula sebagai yang dipimpin pun kita memiliki nilai-nilai dan norma yang harus dijunjung.

Namun dalam dunia penuh dengan logika saat ini, rasa dianggap subjektif. Perlahan ditinggalkan dan diabaikan. Padahal sejatinya manusia sejati hidup dengan rasa. Hormatilah orang lain, maka dengan demikian orang lain akan menghormati anda.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Kamu Tanggung, Aku Jawab

Kita yang tak bertanggung jawab, bahkan pada diri kita sendiri. Melemparkan semua masalah atas nama kesalahan sistem dan orang yang lebih berkuasa. Seolah diri tak ubahnya sebuah anjing yang diperintah oleh majikannya.


Bahkan anjing pun memiliki kemauan. Sama halnya ketika kita mau untuk menerobos lampu merah, mau untuk mencontek, mau untuk merusak sistem. Maka siapakah yang lebih tidak berharga, manusia atau sistem?


Ketika kita menyalahkan sistem atas kesalahan yang terjadi, maka kita telah merendahkan diri sendiri. bagaimanapun juga sistem hanyalah alat dan kitalah penggunanya.

pemahaman

Ilmu dicari atas dasar rasa ingin tahu agar kita bisa memahami, bukan mencari kebenaran. Karena kebenaran yang hakiki terletak pada hati.