Rabu, 30 November 2011

Kenapa saya dituduh sebagai koruptor?

Saya orang baik-baik, warga negara Indonesia asli. Terlebih lagi saya adalah orang yang suka memberi manfaat kepada sesama. Orang tua saya selalu mengajarkan kepada saya untuk selalu menolong orang lain. Biasanya petuah tersebut disampaikan bersama nukilan ayat suci, ungkapan Jawa, dan cerita Wayang.


Pada dasarnya kita adalah orang-orang baik. Terlalu baik malah, bahkan terhadap koruptor sekalipun.

Sebagai warga negara yang baik, saya memperpanjang KTP tepat waktu. Dimulai dengan meminta surat izin dari RT sembari melampirkan sedikit recehan. Kasihan, Ketua RT selalu bekerja tanpa diberi imbalan apapun. Padahal dia manusia juga, dia juga butuh makan. Begitu juga Ketua RW.
paramarimas.blogspot.com

Saya tahu bahwa membuat KTP itu gratis, tetapi saya juga tahu bahwa gaji PNS itu kecil. Oleh karena itu ketika saya harus "membeli" formulir yang bisa saya kopi sendiri dengan harga 50x lipat saya diam saja dan menyelipkan beberapa lembar yang dia inginkan. Itu semua demi membantu kesejahteraan mereka. Bantuan yang sama yang saya berikan juga kepada Polisi ketika membuat surat kehilangan yang biasa juga disebut "bantuan administrasi".

Bantuan yang secara "sukarela" diberikan untuk "membantu" mereka yang "membutuhkan". Karena sejatinya kita adalah masyarakat baik, masyarakat yang suka menolong satu sama lain. Kini ketika kebaikan dituduh sebagai korupsi, akankah kita kehilangan nurani dan rasa persaudaraan kita ditelan kemajuan zaman?


Di akhir bait, teriring doa semoga KPK segera dapat membubarkan diri.

Jumat, 25 November 2011

Mengenal Pendidikan

Berawal dari berita beberapa waktu yang lalu dan tulisan seorang teman mengenai perbedaan dan perbedaan jalur sarjana dan diploma maka saya menjadi tergerak untuk menuliskan gagasan yang telah lama tertanam dalam benak saya. Gagasan ini sebenarnya telah saya singgung sedikit dalam tulisan saya sebelumnya namun saya ingin mengungkapkan gagasan tersebut dalam bentuk lain yang lebih terfokus (karena tulisan sebelumnya saya tulis untuk mengkritisi sebuah kebijakan waktu itu).

Masyarakat awam banyak yang kurang memahami tentang alur pendidikan kita. Semua pendidikan dianggap berjenjang dalam satu alur yag tidak bercabang. Mulai dari playgroup yang paling rendah hingga Doktor. Padahal dalam prakteknya terdapat percabangan pada tingkatan-tingkatan tertentu yang mengarah pada spesialisasi dan spesifikasi keahlian tertentu.

Ketidaktahuan ini berdampak pada kesalahpahaman terhadap tujuan pendidikan yang kita alami selama ini. Sehingga mucul anggapan bahwa pendidikan seringkali tidak sesuai dengan dunia kerja (meskipun perbedaan itu ada, namun tidak sebesar anggapan masyarakat yang salah kaprah). Selain itu muncul penyalahan terhadap sistem padahal kita sendiri yang salah masuk sistem. Ibarat kata kita menyalahkan supir bis karena tidak mengantar kita ke tempat yang kita inginkan, padahal kita sendiri yang salah naik jalur.

Dalam tulisan ini saya akan membahas berbagai bentuk pendidikan formal beserta tujuannya sehingga dapat memberikan gambaran kepada kita akan arah pendidikan kita nantinya.

bagan pendidikan


Taman Kanak-Kanak
Sebenarnya tingkatan pendidikan formal dimulai dari tingkat sekolah dasar. Akan tetapi dewasa ini di lingkungan perkotaan TK sendiri seolah menjadi bagian pokok dari pendidikan anak-anak. Bahkan tidak jarang TK dan playgroup dewasa ini memasukkan unsur-unsur akademis dengan sangat kental. Mulai dari bahasa Inggris, menulis, dan sebagainya.

Padahal TK sendiri merupakan jenjang peralihan dari kehidupan anak di rumah menuju kehidupan sosial sekolah. TK mengajarkan anak untuk bersosialisasi dengan orang lain. Jika sebelumnya sosialisasi anak hanya kepada keluarga dan kerabat di rumah, di TK anak diajarkan untuk bersosialisasi dengan teman sebaya dan orang asing. Itulah tujuan utama dari TK.

Sedangkan pendidikan mengenai baca tulis dan sebagainya sebenarnya hanya merupakan ekstra atau tambahan saja. Sayangnya kemajuan anak dewasa ini memaksa anak-anak balita untuk melakukan lebih dari itu. Orang tua seringkali memasukkan anaknya ke dalam TK tertentu agar pandai berbahasa Inggris, baca tulis dan sebagainya. Dalam taraf tertentu hal ini justru menjadi beban bagi anak tersebut.

Sekolah Dasar & Madrasah Ibtidaiyah
Dari sinilah seharusnya anak mulai belajar nilai-nilai akademis. Di SD anak diajarkan baca tulis dan dikenalkan dengan pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya umum. Pengetahuan ini masih sangat mendasar dan hanya bersifat mengenalkan.

Namun akibat akselerasi zaman dewasa ini terjadi salah kaprah bahwa anak belajar baca tulis dari TK. Bahkan kemampuan baaca tulis menjadi syarat masuk sekolah dasar. Kemampuan yang seharusnya baru diajarkan pada tingkatan ini. Efek lainnya pengetahuan yang diajarkan di SD tidak lagi sebatas memperkenalkan tetapi lebih dari itu. Ini tentaunya menjadi beban bagi anak tersebut.

Selain SD dikenal juga Madrasah Ibtidaiyah pada tingkatan yang sama. MI sendiri merupakan jenjang yang sama dengan SD, hanya saja memiliki penekanan pada agama lebih dominan. Tujuannya tentu menciptakan ahli-ahli agama, ustad dan ulama. Mi sendiri berada di bawah Departemen Agama berbeda dengan SD yang berada di bawah Departemen Pendidikan. Hal yang sama juga dikenal pada tingkatan selanjutnya yang dikenal dengan MTS dan MAN.

Meski demikian pada prakteknya penekanan ini seringkali kurang tampak. Beberapa MI tetap lebih mengutamakan ilmu-ilmu umum daripada ilmu agama itu sendiri. Sehingga yang nampak bukan sekolah agama tetapi lebih kepada sekolah umum bernuansa agama.

Sekolah Menengah Pertama & MTS
Pada tingkatan ini pengetahuan diajarkan secara utuh. Berbagai cabang ilmu utama diajarkan kepada para siswa. Tujuannya adalah mengantarkan siswa pada jenjang pendidikan berikutnya. Semua cabang utama diajarkan dan dikenalkan namun tidak secara mendalam.

Disinilah para siswa seharusnya mulai menentukan masa depannya. Pekerjaan apa yang dia inginkan, ilmu apa yang ingin dia pelajari, dan sebagainya sebaiknya sudah dipikirkan. Hal ini mengingat pada jenjang berikutnya telah terjadi percabangan dan spesifikasi.

Sekolah Menengah Kejuruan
Pada jenjang ini pendidikan formal mulai mengalami percabangan. Pada model SMK siswa diarahkan pada pendidikan mengenai keterampilan-keterampilan praktis dalam bekerja. Keterampilan ini pun terspesifikasi dengan sangat jelas terbentuk dalam jurusan-jurusan. Tiap-tiap jurusan mewakili keahlian-keahlian tertentu yang terspesifikasi. Lulusannya merupakan tenaga kerja terampil yang siap bekerja. Mereka memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai dalam bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Hanya saja seringkali melekat stigma negatif pada jenjang pendidikan ini. SMK seringkali dicap sebagai sekolah untuk masyarakat menengah ke bawah. Penjelasan mengenai stigma ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya.

Sekolah Menengah Atas & MAN
SMA & Man memiliki tingkatan yang sama dengan SMK. Hanya saja instanti-instansi ini memiliki tujuan yang berbeda. Jika SMK mendidik siswa sebagai tenaga kerja terampil, SMA dan MAN sendiri hanya memperdalam ilmu yang diajarkan di SMP & MTS. Tujuannya hanya sebatas menyiapkan siswa untuk menuju jenjang pendidikan berikutnya.

Inilah yang sering tidak dipahami oleh masyarakat umum bahwa SMA memang tidak mendidik siswanya menjadi tenaga kerja. Jadi suatu hal yang sangat wajar jika lulusan SMA seringkali kurang siap menghadapi dunia kerja karena memang jenjang ini tidak mengarahkan siswanya menjadi tenaga kerja.

Diploma
Program pendidikan ini juga seringkali dianggap sama dengan prodi Sarjana dan hanya dibedakan oleh lamanya masa studi (bahkan dalam program D4 masa studinya sama). Padahal keduanya memiliki tujuan yang sangat berbeda. Diploma sendiri sedikit banyak mirip dengan jenjang pendidikan SMK. Dimana pada program pendidikan ini mengarahkan siswanya menjadi tenaga-tenaga kerja ahli terutama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya teknis.

Lulusan dari jenjang pendidikan ini memiliki kemampuan dan keterampilan kerja yang sangat memadai dalam bidang teknis. Keahlian yang diajarkan lebih bersifat praktis dan dapat langsung diterapkan dalam kehidupan nyata. Dalam perusahaan-perusahaan dan instansi-instansi besar lulusan diploma dipercayakan untuk menangani hal-hal yang bersifat praktis atau langsung.

Sarjana
Lain halnya dengan Diploma, tujuan utama dari program pendidikan ini adalah menyiapkan siswa-siswanya menuju jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu Master (S2). Selain itu dalam beberapa ilmu tertentu lulusan jenjang ini dapat mengambil program profesi.

Jika dalam program Diploma ilmu-ilmu yang diajarkan bersifat praktis dan langsung dapat diterapkan, maka program Sarjana justru mengajarkan ilmu-ilmu yang bersifat teoritis. Hal ini dikarenakan program ini mengajarkan siswanya untuk mendalami suatu ilmu tertentu dan diharapkan untuk dapat mengembangkannya.

Meski demikian program ini mendidik siswanya untuk dapat melakukan analisa-analisa terhadap suatu permasalahan yang ada. Keahlian inilah yang seringkali dibutuhkan oleh instansi-instansi dan perusahaan untuk mengatasi masalah mereka. Oleh karena itu lulusan Sarjana biasanya ditempatkan sebagai analis dan tugasnya kurang begitu praktis dibanding program Diploma.

Persepsi yang Salah
Kesalahan persepsi juga terjadi dalam dunia kerja. Seringkali muncul anggapan bahwa pekerjaan terbaik adalah pekerjaan di balik meja dan bukan pekerjaan yang menggunakan keterampilan kasar. Anggapan ini memunculkan adanya satu pekerjaan terbaik di dunia ini dan di sisi lain ada satu pekerjaan terburuk. Semakin banyak keterampilan kasar yang digunakan maka semakin buruk pekerjaan tersebut, begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya semua orang bercita-cita untuk mendapatkan pekerjaan di balik meja.

Gejala ini sangat tampak terutama pada petani. Para petani ramai-ramai menyekolahkan anaknya agar bisa mendapatkan pekerjaan yang "lebih baik" dan menjadi orang orang kantoran. Sebaliknya sangat jarang kita jumpai petani yang menyekolahkan anaknya agar dapat membantu meningkatkan hasil panen ayahnya.

Padahal tidak ada pekerjaan yang paling baik di dunia ini. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda yang masing-masing memiliki kecocokan pada pekerjaan tertentu. Pada akhirnya pertanyannya bukanlah apa pekerjaan kita melainkan seberapa baik kita bekerja.

Jangan berpikir bahwa pekerjaan di balik meja selalu mendapatkan hasil berupa uang yang lebih besar. Tentu kita bisa saksikan berapa banyak pelukis, seniman, mekanik, pembuat kerajinan, ahli dekorasi, yang hampir semuanya lebih banyak menggunakan keterampilan kasar mendapatkan hasil yang jauh lebih banyak terhadap mereka yang duduk di belakang meja.

Maka yang harus kita lakukan adalah pahami sistem yang ada kemudian pilihklah jalan yang kita inginkan. Dan ingatlah bahwa yang terbaik adalah berada di tempat kita sendiri dan menjadi diri kita sendiri.

Sabtu, 05 November 2011

Sekilas mengenai Grounded Research

Grounded Research atau Grounded Theory merupakan sebuah metode yang tergolong baru dalam ilmu sosial. Metode ini pertama kali dikenalkan pada cabang ilmu sosiologi oleh Glasser dan Strauss dalam bukunya berjudul The Discovery of Grounded Theory pada tahun 1967. Metode ini kemudian lebih lanjut dikembangkan oleh Schlegel. 

sumber: qualmethods.wikispace.com
Grounded Theory berangkat dari keprihatinan akan terbatasnya metode penelitian untuk meneliti objek-objek kajian yang belum begitu banyak diteliti sehingga belum banyak teori yang dimiliki. Terlebih dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang didominasi paham positivism dan metode kuantitatif. Oleh karena itu Strauss & Glasser menciptakan metode ini untuk menjawab tantangan tersebut. 

Glasser dan Strauss (1967) mendefinisikan grounded theory sebagai sebuah metode penelitian induktif terhadap wilayah yang belum begitu diketahui. Penelitian ini mencoba membangun sebuah pengetahuan dari awal yang berbasis pada data di lapangan. Dalam prakteknya metode ini tidak hanya digunakan untuk meneliti wilayah-wilayah yang belum begitu diketahui tetapi juga seringkali digunakan untuk mengkritisi atau melawan teori-teori yang telah ada sebelumnya. 

Secara umum menurut Payne (2007) grounded theory dapat digunakan untuk situasi sebagai berikut: 
  1. Wilayah penelitian yang belum banyak diketahui 
  2. Belum ada teori yang menjelaskan keadaaan yang terjadi 
  3. Peneliti ingin membandingkan/menantang teori yang sudah ada 
  4. Peneliti ingin mencari tahu pemahaman, persepsi, dan pengalaman partisipan 
  5. Peneilitian ini bertjuan membagun suatu teori yang baru 
Keunggulan metode ini ada pada kemampuannya untuk meneliti wilayah-wilayah yang belum memiliki banyak penjelasan atau teori. Selain itu metodenya yang berbasis data bisa dikatakan lebih sesuai dan mengakomodasi perbedaan yang ada sesuai dengan kenyataan di lapangan. 

Berbeda dengan metode penelitian lainnya, Grounded Research mengharuskan peneliti untuk tidak berhipotesis. Hal ini dilakukan agar kemampuan pemahaman peneliti tidak dibatasi pada teori-teori atau anggapan-anggapan tertentu. 

Meski demikian bukan berarti peneliti tidak tahu apa-apa sama sekali mengenai tujuan dan tema penelitian. Peneliti tetap harus memiliki tujuan dan pengetahuan terhadap hal itu sebelumnya, namun semua dugaan-dugaan tersebut hendaknya dihindari agar tidak terjadi bias dalam mengintepretasikan data yang ada. 

Sebagian orang berpendapat bahwa Grounded Research lebih ke arah suatu pendekatan daripada metode itu sendiri. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaannya metode ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan etnografi misalnya. 

Dalam metode ini peneliti harus berpartisipasi aktif. Dalam tema-tema tertentu yang menyangkut etnis tertentu misalnya peneliti bahkan harus terju langsung dan tinggal dalam masyarakat tersebut. Tujuannya adalah agar peneliti tidak lagi dianggap outgroup tetapi menjadi ingroup dari subjek penelitiannya tersebut. Kedekatan peneliti dengan subjek sangat penting agar dapat memiliki data secara mendalam dan tidak mengalami bias dalam memahaminya. 

Dalam hal analisis pun tidak jauh berbeda dengan metode kualitatif lainnya yang meliputi open coding, axial coding dan selective coding. Namun secara lebih detail Payne (2007) menjelaskan metode analisis tersebut sebagai berikut: 
  1. Pengumpulan data. Pengumpulan data dapat dilakukan melalui metode observasi mauun wawancara 
  2. Transkrip data. Data yang dimiliki kemudian dijadikan transkrip secara tertulis untuk memudahkan analisis 
  3. Develop InitialOpen Coding dan kategorisasi dilakukan terhadap data yag telah dimiliki. Open Coding merupakan identifikasi dan pemberian label terhadap unit-unit yang bermakna. Unit ini bisa berupa kata, kalimat, ataupun paragraf. 
  4. Saturate CategoriesUnit-unit yang memiliki kemiripan disatukan untuk membentuk suatu kategori-kategori tertentu. 
  5. Defining CategoriesKetika kategori telah terbentuk, langkah berikutnya adalah mendefinisikan masing-masing kategori tersebut. 
  6. Theoritical SamplingDari kategori yang ada digunakan untuk membentuk kategori-kategori selanjutnya da melakukan pengujian terhadap kategori yag telah dibentuk. 
  7. Axial CodingHubungan-hubungan antara jaetgori satu dengan lainnya diperhatikan dan diujikan kembali ke data yang ada. 
  8. Theoritical InterationKategori inti ditemukan dan dihubungkan dengan berbagai sub kategori yang ada. 
  9. Grounding The TheoryDari kategori-kategori tersebut ditarik sebuah simpulan-simpulan megenai topik penelitian tersebut. 
  10. Filling in GapsBagian yang kurang disempurnakan dengan data-data tambahan. 

Perbedaan yang mencolok dan menjadi ciri khas grounded research dibanding metode lainnya ada pada hasilnya. Grounded Theory selalu menghasilkan sebuah teori baru yang berangkat dari data-data yang dimiliki dan diolah dari penelitian tersebut. Sedangkan dalam metode-metode lain hasilnya tidak harus berupa teori baru, melainkan dapat juga berupa deskripsi atau penguatan terhadpa teori yang sudah ada. 

Teori ini kemudian bisa menjadi pelopor atau teori yang pertama dalam suatu tema tertentu. Selain itu teori ini juga bisa menjadi alternatif dari teori-teori yang sudah ada dalam suatu tema tertentu. 

Metode ini menuntut totalitas dan komitmen dari peneliti itu sendiri karenametode ini bukan metode praktis yang dapat dilaksanakan dalam waktu singkat. Perlu pertisipasi aktif selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun untuk mendapatkan data yang berkualitas. Telebih dalam kondisi-kondisi tertentu dimana tema penelitian bukan merupakan hal yang gampang dicerna dalam permukaan. 

Kekurangan peneliti dalam keterlibatannya pada subjek penelitian berpengaruh pada hasil penelitiannya itu sendiri. Terlebih dalam grounded research hasil penelitian berupa sebuah teori baru. Kualitas teori itu nantinya ditentukan oleh seberapa jauh peneliti dapat terjun dalam lapangan dan mendapatkan data-data yang ada. Data-data yang terlalu dangkal dan kurang mendalam tentunya tidak dapat dijadikan landasan dari sebuah teori yang kuat. Selain itu tanpa adanya pemahaman yang mendalam mengenai subjek penelitian maka kemungkinan bias yang dapat terjadi akan semakin besar. 

Contoh Kasus
Seorang peneliti tertarik pada suatu masyarakat tradisional di Kalimantan. Peneliti tersebut ingin meneliti tentang makna hidup masyarakat tersebut. Maka sebelum penelitian peneliti tersebut menentukan langkah-langkah dan menggali berbagai informasi dan kajian terhadap tema penelitiannya tersebut. 

Meski telah memiliki beberapa informasi dan kajian sebelumnya, namun peneliti tersebut harus menyingkirkan semua praduga-praduga yang ada sebelum terjun ke lapangan. Seolah peneliti tersebut tidak tahu apapun tentang tema penelitiannya. 

Peneliti tersebut kemudian tinggal bersama masyarakat tersebut selama beberapa waktu sembari melakukan observasi dan wawancara terhadap masyarakat tersebut. Selain itu dengan tinggal bersama masyarakat tersebut diharapkan dapat lebih memahami masyarakat tersebut. Dari observasi dan wawancara itulah data-data penelitian diperoleh. 

Setelah data yang dimiliki dirasa cukup, peneliti kemudian melakukan analisis terhadap data-data tersebut sehingga terbentuk sebuah asumsi atau teori baru berdasarkan data yang dimiliki. Peneliti kemudian mengembalikan data dan teori tersebut ke lapangan untuk diuji kebenarannya. 

Pengambilan data, analisis, dan pengembalian data ke lapangan dilakukan secara terus menerus hingga membentuk suatu teori yang mantap. Hal ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mengambil ulang, konfirmasi, pengolahan, dan sebagainya.

Daftar Pustaka 
Glaser, Barney G. & Strauss, Anselm L. (1967). The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research. Chicago: Aldine Publishing Company. 

Payne, Sheila. (2007). Grounded Theory (Lyons & Coyle. Analysing Qualitative Data in Psychology). London: SAGE Publications.


*) ditulis sebagai tugas mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif

Selasa, 01 November 2011

Suwung Awang Uwung

Disana aku bertemu kembali dengannya. Kala hujan badai menerjang perpustakaan tua, disudut lorong berisi buku-buku kumal yang seakan tidak menarik dibanding buku lain yang berjajar di rak dengan bahasa asing. Ini bukan pertama kalinya aku bertemu.

Nothing is absolute, there are always twilights between night and day, grades between good and evil, shades between black and white, subtleties between love and hate, degrees between happiness and grief, as well asa nuances between male and female. (Boediarjo, 1978)

Entahlah mungkin Tuhan sengaja menciptakan badai ini agar aku terjebak di ruangan itu untuk bertemu lagi dengannya. Bukan lelaki bukan perempuan, dia tidak berbentuk. Bulat karena pantat dan payudaranya. Namun auranya cukup untuk membuat orang terdiam. Raut mukanya menggambarkan kesedihan dan kesenangan secara bersamaan.

Sosok itu tertawa, atau mungkin menangis. Dalam dirinya semua itu sulit dibedakan. Kata-kata bijaksana yang meluncur dari mulut tersenyumnya, tatapan mata sendu seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Semua hal melebur menjadi satu. Tidak ada lagi pertentangan maupun hubungan. Tidak ada lagi derajat maupun tingkatan. Seolah memang seperti itulah seharusnya.

Sabar, Saleh, Sareh. Sugih tanpa bandha, perang tanpa bala maju, menang tanpa ngasorake, weweh tanpa kelangan.

Saat ini aku tidak lagi yakin akan bertemu dengan sosoknya di dunia ini. Jauh, jauh sekali jarak antara kita dan dirinya. Keberadaannya tidak lebih dari sebuah mitos yang tergusur oleh perkembangan zaman. Adakah aku akan jumpa lagi dengannya dalam orang-orang yang aku temui?

Dia yang berbicara dengan dewa dalam bahasa kasar, namun berbicara halus terhadap yang lebih rendah. Bahkan dia lebih merendah lagi, menjadi babu bagi majikan yang bukan siapa-siapa dibanding dirinya. Dirinya adalah tinggi yang rendah. Dewa yang jelata.

Aku adalah puing-puing masa lalu. Terkubur, bangkit untuk mepertahankan. Mengingatkan padamu tentang dirimu, dirinya. Bahwa semua satu, tak ada satu tanpa satu lainnya. Bahwa semua sama. Ingatlah Manunggaling Kawulo Gusti.

Bukan siapa-siapa tapi semua orang. Mengingatkan yang agung akan kelemahan, membisikkan keagungan bagi yang lemah. Tak akan menjadi siapa tanpa orang-orang. Bahwa sejatinya siapa ditentukan oleh orang di sekitar kita, bukan semata diri sendiri.

Dahulu dirinya muncul untuk mepertahankan kita, sebagai sebuah identitas. Melawan mereka yang menerjang, merasuk semua sendi, memukul tulang-tulang. Menang. Kini perang belum usai. Hantaman datang bertubi-tubi, tetapi kita terlalu lengah. Tak sadar akan hantaman yang ada. Akankah dirinya muncul dalam diri kita?

sumber: tembi.org