Senin, 26 Desember 2011

monopoli

Kedua kubus berbintik tersebut terombang-ambing. Berputar kesana kemari dalam ember kecil penuh harapan akan keberuntungan. Dan akhirnya bintik-bintik tersebut muncul dengan kombinasi membentuk sebuah makna. Langkah mantap membawa kepada pengundian nasib melalui kartu-kartu berwarna hijau dan merah muda. Monopoli, sebuah permainan kecil tentang bisnis dan keberuntungan.


Lalu apa yang terpenting dalam permainan ini? Apakah itu uang? Sesuatu yang membuat kita berjalan kesana kemari dengan tenang tanpa perlu takut akan biaya kehidupan yang mahal ataupun denda dari pelanggaran hukum. Dengan uang kita menjadi berkuasa, bertindak sesuka hati dalam lapangan persegi tersebut.


Mungkin bagi mereka yang lebih berpikiran ke depan lebih menyukai tanah dan bangunannya. Investasi masa depan dan bukan keinginan sesaat. Bahkan mungkin kita harus berdarah-darah dalam berusaha, ini semua demi masa depan yang cerah, masa depan yang terjamin.


Ataukah ini semua tentang keberuntungan? Keberuntungan yang membawa kita kepada angka-angka ajaib. Tentang langkah-langkah tepat yang dituntun oleh kubus berbintik. Tentang bagaimana keberuntungan mengatur kehidupan kita.


Namun bagaimanapun juga monopoli adalah sebuah permainan. Yang terpenting adalah dengan siapa kita bermain. Teman untuk berbagi suka duka, teman untuk memotivasi kita, teman untuk berdampingan dalam permainan kehidupan. Teman kitalah yang membuat semua ini menjadi menarik, karena pada hakikatnya kita tidak dapat bermain sendirian.


Lalu bagaimana dengan monopoli kehidupan kita, eh?


gambar: emmerrekappa.deviantart.com

Selasa, 20 Desember 2011

Orang Buta Berjalan Lurus

Seringkali kita beranggapan bahwa ketidakadilan yang sering terjadi di sekitar kita adalah karena lemahnya aparat penegak hukum. Pendapat itu mungkin benar, namun kita juga tidak bisa menutup mata begitu saja akan adanya hal-hal lain yang turut berpengaruh dalam keadaan tersebut. Aparat penegak mungkin hanya satu faktor, tapi masih ada faktor lainnya yang juga turut berpengaruh.

Sebuah dialog budaya di Taman Siswa beberapa waktu yang lalu menyadarkan saya akan hal ini. Pembicara saat itu (diantaranya Cak Nun dan Busyro Muqoddas) menjelaskan mengenai hakikat hukum itu sendiri. Hukum hanyalah garis pembatas diantara satu orang dengan orang lainnya. Dikatakan garis karena pada hakikatnya manusia tetap bisa melanggar atau melewati garis tersebut dengan kehendakanya. Namun moral berperan membimbing manusia untuk tetap berada di tempatnya dan melewati garis tersebut.

Sesempurna apapun hukum pasti ada celah yang bisa dilanggar. Meski demikian perlu dipahami juga bahwa hukum bersifat kaku. Hukum tidak mengenal toleransi-toleransi dan pengecualian-pengecualian. Hukum juga tidak memiliki kebijaksanaan karena hukum hanyalah alat. Bagian yang terpenting dari hukum itu adalah siapa penggunanya bukan hukum itu sendiri.

Ibarat kata secanggih apapun APILL di perempatan jalan tetap saja pada akhirnya kita sendiri yang akan memutuskan apakah kita akan berhenti atau menerobos. Moral sebagai pengendali diri kita lah yang pada akhirnya menentukan apa yang akan kita lakukan. Secanggih apapun hukum manusia tetap memiliki kehendak untuk menjalankannya atau melanggarnya, itu semua tergantung moral dari manusia itu sendiri.

Kesadaran dan kepatuhan hukum menjadi suatu hal yang sangat langka di negeri ini. Kita bisa menyalahkan bobroknya aparat penegak hukum dan kualitas hukum itu sendiri, tetapi pada akhornya kita juga akan tetap menatap diri kita di dalam cermin. Sejauh mana moralitas kita mengarahkan kepada kebajikan tanpa adanya hukum.

gambar: echo2me.deviantart.com

Seharusnya kita pahami bahwa kebajikan yang dilakukan karena sebuah sistem adalah kebajikan yang terendah. Kebajikan seharusnya digerakkan oleh hati, bukan karena aturan atau sanksi dan hadiah. Hal ini yang seringkali kita lupakan karena kita lebih suka menyalahkan sistem dan hukum daripada diri kita sendiri.

Hukum seharusnya dilahirkan bersamaan dengan dibangunnya kesadaran akan pentingnya hukum itu sendiri. Tanpa adanya pemahaman yang benar, hukum hanya akan dianggap sebagai pembenaran atas kepentingan penguasa, bukan kepetingan bersama. Hukum cenderung akan disepelekan meskipun itu menyangkut kepentingan kita sendiri.

Maka dari itu, jika ingin keadilan ditegakkan maka mulailah berkaca dari diri sendiri. Bagaimana bisa kita berharap orang lain melakukan sesuatu yang kita langgar? Maka sesungguhnya tanggung jawab terbesar kita ada pada apa yang kita lakukan, bukan terhadap apa yang dilakukan orang lain.

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (61:2-3)

Kamis, 15 Desember 2011

Dang, Si Anak Laki-Laki

Sosok itu terdiam, membeku dan kaku. Terpendam dalam tanah beberapa meter di bawah. Jasadnya, entah berbentuk apa sekarang. Bahkan sebelum dimakamkan pun luka bakar telah menghiasi kulitnya. Ya, luka yang membawanya kepada kematian.


Orang itu hanya diam tanpa kata. Tetapi orang-orang disini terlalu ribut dengan berbagai spekulasi dan teori konspirasi. Menerjemahkan perilakunya ke dalam ego dan imajinasi masing-masing, menjadi pembenaran akan kepentingan dan idealisme yang diusungnya. Jika dia yang disana masih bisa berkata, tentulah kita akan bertanya apa maksudnya.


Namun bagaimanapun juga Tuhan tidak pernah menyukai hambaNya yang menyia-nyiakan hidupnya. Dan janjiNya telah pasti. Akan tetapi di zaman modern saat ini Tuhan dianggap sudah ketinggalan zaman. Sehingga apalah pentingnya membicarakan Tuhan dibandingkan dengan reformasi, revolusi, dan politik?


Dan disinilah dia berada. Mati dengan janji akan kemurkaan, namun kita menyebutnya patriot. Entahlah tampaknya orang yang hanya duduk di kejauhan sana bisa dikatakan sebagai pembunuh orang yang menyiramkan bensin ke tubuhnya sendiri. Saat ini aku tidak tahu lagi berapa banyak orang yang masih terlalu bodoh untuk percaya Tuhan.


Apakah tidak cukup dengan murka itu sehingga kita menambahkannya? Dia yang telah mati justru menjadi pembenaran untuk berbagai tindakan amoral, perusakan fasilitas umum, dan semacamnya. Entahlah disini tampaknya membakar diri sendiri jauh dapat menyelesaikan suatu masalah daripada menghentikan orang untuk berbuat kerusakan itu sendiri.


Nasib memang tidak pernah dapat ditebak, begitu pula manusia. Makhluk berakal yang terlalu pintar sehingga sulit untuk dipahami. Mungkin Tuhan pun berdecak heran melihat tingkah polah kita yang semakin tidak karuan saja. Peradaban hanyalah bangunan batu, bukan pondasi moral dan tingkah laku.


Gila!!! Itulah kita saat ini. Apakah kita telah membunuh Tuhan dalam diri kita sendiri dan menukarnya dengan politik? Atau mungkin kita yang terlalu egois, mengambil keuntungan dari kematian seseorang demi kepentingan tertentu? Ataukah saya yang terlalu gila sehingga tidak dapat memahami kebenaran? Entahlah. Andai kita bisa bertanya pada anak muda itu. Dan bagiku, Tuhan tidak dapat diperdebatkan dan diajak berdebat.


gambar: mattthesamurai.deviantart.com

Sabtu, 10 Desember 2011

Hidup dalam Bayangan

gambar: vadonny88.deviantart.com
Lelaki itu menghentikan langkahnya sejenak, meneruskan pandangannya kepada segerombol mahasiswa yang berdiri di depan sana. Kepayahan menahan terik panas yang membuat orang tidak betah berada di luar ruangan  mereka tetap berdiri dengan penuh semangat dan teriakan. Tapi untuk apa?

Penindasan dan ketidakadilan serta kekurangan memang untuk dikritisi agar dapat berusaha menjadi lebih baik lagi. Namun seharusnya kebaikan juga berhak mendapatkan apresiasi sebagaimana kesalahan mendapatkan kritik. Bukan justru kebaikan pun dikritik secara membabi buta ibarat orang yang belum akhil baligh tidak bisa membedakan kebaikan dan keburukan.

Kini sudah bukan lagi zaman orde baru dimana demonstrasi adalah suatu tontonan yang langka. Kini orang justru telah muak dengan berbagai demonstrasi di jalanan. Beberapa dari mereka yang lebih kreatif melakukan demonstrasi melalui seni, musik, wayang, lukisan, dan berbagai macam media elektronik yang menjamur bak cendawan di musim hujan. Bentuk-bentuk yang seringkali justru diapresiasi sebagai sebuah bentuk kritikan cerdas.

Lalu untuk apa mereka disana? Memperjuangkan gagasan yang bisa mereka wujudkan dengan tangan mereka sendiri tetapi lebih tertarik untuk berteriak di jalanan dan sekali lagi menjadi simbol dari perlawanan terhadap penindasan. Mengapa berpuas diri menjadi simbol jika kita bisa berusaha sendiri? Apakah kita terlalu malas bertindak dan berharap sebuah simbol dapat menyelesaikan permasalahan yang ada?

Orang akan menempuh berbagai cara untuk meraih cita-cita dan tentunya akan mencoba jalan paling efektif untuk meraihnya. Namun apa yang laki-laki itu lihat disana bukanlah demikian. Maka muncul gagasan apakah mungkin bahwa terwujudnya cita-cita tersebut bukanlah sesuatu yang mereka inginkan?

Lalu disana dia melihat bayangan yang menaungi mereka. Bayangan prestasi dan keberhasilan mahasiswa untuk bersatu padu membuat perubahan besar melalui demonstrasi pada zamannya. Apakah itu arti dari ini semua? Sebuah bentuk perwujudan untuk menunjukkan eksistensi suatu generasi pada generasi lainya? Apakah ini semua hanya untuk itu, eksistensi? Maka kasihanilah mereka yang hidup dalam bayang-bayang orang lain.


Kamis, 08 Desember 2011

Dibenci oleh yang Dipuja

Siapa tidak kenal Soe Hok Gie? Nama yang sangat populer di kalangan mahasiswa, aktivis, idealis, atau apapun lah itu namanya. Saya pribadi tidak begitu mengnalnya karena mungkin saya bukan seorang idealis, aktivis, atau apapunlah itu. Kalaupun ada orang yang menyebut saya demikian, saya pribadi tidak begitu suka dengan sebutan itu.


Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi. (Soe Hok Gie)


Satu hal yang menarik adalah bagaimana para aktivis idealis tersebut begitu memuja-mujanya, mendengaungkan kata-katanya ke seantero negeri demi menyampaikan pesan tersebut. Seolah mereka hendak menjadi Gie berikutya. Dengan idealisme menantang semuanya.

Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun. (Soe Hok Gie)

Namun beberapa kata-kata Gie menyadarkan saya. Apa yang saya lihat saat ini, justru sebagian dari mereka yang menganggap Gie sebagai pahlawan adalah mereka yang dibenci oleh Gie sendiri. Benarkah?


gambar: muhammadharir.deviantart.com






NB: Omong-omong maaf jika akhir-akhir ini saya jadi terlalu sering manulis. terlalu banyak omong kosong idealisme yang tidak sesuai dengan perilaku yang terjadi di kampus saya. Maaf juga jika kali ini saya menggunakan kata "mereka" dan bukan "kita" meski saya mungkin bagian dari "mereka"

Aku Selalu Paling Benar

Apa itu kebenaran? Sebuah pertanyaan klasik dengan beribu jawaban. Mulai dari idealis sampai pada pragmatis. Menempatkan sebuah tujuan sebagai simbol suci untuk dijunjung tinggi dan pada akhirnya memaksa orang lain untuk mensucikannya juga. Mereka yang menolaknya, katakan saja mereka tidak bermoral, egois, dan berbagai macam makian yang entah bagaimana bisa keluar dari mulut-mulut orang yang suci tersebut. Suci karena mereka bersama kebenaran.
adakah musuh kita selalu salah dan kita selalu benar?
Aku telah bertemu dengan berbagai orang dan tiap orang tersebut mendefiniskan sendiri kebenaran mereka. Kebenaran yang berbeda itu bagi tiap orang menjadi Tuhan mereka, mereka marah ketika orang tidak setuju dan menganggap orang tersebut kafir dari kebenaran mereka. Tidak sadarkah bahawa kita sendiri pun belum sepakat dengan kebenaran kita?
adakah kita akan menyebut sesuatu yang merugikan diri kita sebagai kebenaran?
Lalu pada akhirnya sampailah saya pada penghujung simpulan. Mulut boleh berkata karena lidah tak bertulang, tetapi tindakan membuktikan apa yang sebenarnya berada dalam pikiran. Kebenaran adalah sebuah bentuk kepenntingan yang disucikan. Itulah sebabnya kebenaran selalu berubah.
pada akhirnya kita belum bisa menjunjung tinggi kebenaran, apa yang kita junjung selama ini adalah kepentingan
Pada akhirnya kita harus bercermin pada tindakan kita. Apakah memang seperti itukah kebenaran? Sebuah kepentingan pribadi yang disucikan. Membuat diri sendiri menjadi sangat bermoral karena menjunjungnya dan merendahkan moral orang lain karena berbeda. Pada akhirnya semua orang merasa paling benar sendiri dan tak ada orang yang paling salah. Selama kepentingan diperjuangkan, maka saat itulah kebenaran ditegakkan. Eh?


gambar: do-while.com

Rabu, 07 Desember 2011

Goblok

Kita ini Goblok! Sibuk memperbaharui undang-undang, menyusun berbagai macam aturan, memasang alat presensi sidik jari, menaikkan remunerasi, mennerbitkan berbagai macam tes dan ijazah. Padahal ini semua adalah masalah moral.


saveyoutube.blogspot.com

Selasa, 06 Desember 2011

Belajar Dahlan

Dia yang selalu percaya. Ketika orang lain merasa dirinya sendiri yang terbaik dan superior, dia percaya bahwa setiap orang memiliki keahliannya masing-masing. Meyingkirkan ego untuk menjadi dominan dan memberi kepercayaa orang lain untuk menyelesaikan masalah yang ada.


Dia yang selalu menghargai. Ketika orang lain lebih suka mengeluh dan mengkritik, dia percaya bahwa setiap orang telah melakukan usahanya semaksimal mungkin untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Maka yang diperlukan adalah apresiasi untuk terus berprestasi dan bantuan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik lagi.


Dia yang apa adanya. Ketika orang lain mendambakan kenyamanan dan kemewahan sebagai bagian dari pekerjaannya, dia lebih suka turun langsung ke lapangan. Apa adanya melihat kenyataan dengan mata baginya tampak lebih meyakinkan daripada deskripsi-deskripsi dalam lembaran kertas. Dia yang tidak segan untuk repot karena itu memang tugasnya. Menyingkirkan jas, sepatu kulit, dan segala bentuk formalitas yang mengganggu pekerjaannya.


Dia Dahlan Iskan.


sumber: dahlaniskan.wordpress.com

Jumat, 02 Desember 2011

Mengintip Pasar Tradisional

sumber: 9hand.deviantart.com
Pasar Tradisional seringkali digunakan untuk menggambarkan kegagalan sistem tradisional melawan modernisasi. Di sisi lain keberadaannya juga sering digunakan sebagai simbol perlawanan rakyat miskin terhadap industri kapitalis dewasa ini.

Banyak pihak telah berusaha untuk membangun kembali Pasar Tradisional agar bisa bersaing dengan pasar modern. Pembangunan secara fisik maupun pemberdayaan masyarakat terus dikuatkan agar Pasar Tradisional bisa tetap bertahan dalam menghadapiu modernisasi. Akan tetapi seringkali kebijakan modernisasi yang diambil justru menghancurkan Pasar Tradisional itu sendiri.

Pasar untuk Apa
Lha orientasine bisnis kok, yo makane bubrah
Kata-kata tersebut meluncur dalam obrolan santai di sebuah bengkel bersama seorang kakek tua. Pada saat itu, diskusi mengalir kepada keberadaan sebuah pasar tradisional di sekitaran Kraton Yogyakarta yang baru-baru ini mengalami sedikit perombakan.

Kalau kita cermati sebenarnya kata-kata tersebut cukup aneh. Selama ini pasar sebagai pusat perdagangan selalu kita asosiasikan dengan kegiatan ekonomi untuk mencari keuntungan. Maka seharusnya sangatlah wajar jika pengembangan pasar berorientasi pada bisnis.

Saya mencoba mencermati kehidupan pasar tradisional. Disana saya menemukan sebuah fenomena yang cukup mengejutkan. Pasar sejatinya bukan hanya sebagai tempat kegiatan ekonomi. Namun di sisi lain pasar tradisional juga memiliki nilai sosial dan historis yang cukup tinggi. Seseorang pergi ke pasar tidak hanya untuk membeli sesuatu, ada hal lain yang dicari oleh orang-orang tersebut.

Pertimbangan seseorang untuk pergi ke pasar tradisional tidak hanya dari sisi ekonomi saja. Ada faktor-faktor lain yang sama pentingnya. Namun sayangnya pengembangan pasar tradisional dewasa ini gagal untuk menangkap faktor-faktor tersebut sehingga pembangunan justru menghancurkan pasar itu sendiri.

Pasar untuk Siapa
Tuna sathak bathi sanak
Kita tentu tidak akan sukses menjual kondom kepada anak SD, begitu juga kita akan mengalami kesulitan menjual permen kepada para lansia. Intinya bahwa setiap produk memiliki pangsa pasar masing-masing. Lalu bagaimana dengan pangsa pasar tradisional?

Jika kita tengok di lapangan, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas pengunjung pasar tradisional berasal dari golongan menengah ke atas dari segi usia. Jika kita tilik dari segi budaya, itu artinya para pengunjung pasar tradisional sebenarnya juga merupakan orang-orang degan nilai budaya yang masih tradisional pula.

Masyarakat tradisional ini memiliki keunikan terendiri. Salah satunya adalah adanya kebutuhan yang besar akan hubungan sosial. Kebutuhan inilah yang salah satunya dapat mereka penuhi dan memang mereka cari di pasar tradisional.

Berbeda dengan pasar modern (supermarket) yang cenderung menawarkan kebebasan dan privasi dalam berbelanja, pasar tradisional justru menawarkan kehangatan dan perhatian kepada para pembelinya. Jika kita cermati dari obrolan yang terjadi tidak hanya sebatas tema ekonomi, tetapi juga menyangkut keluarga, politik dan tema sosial lainnya.

Bukan hal yang aneh jika para penjual mengenali (tidak hanya sebatas nama) para pembelinya. Begitu juga para pembeli biasanya memiliki langganan sebagai rujukan mereka dalam membeli. Langganan ini tercipta tidak hanya dengan satu dua kali interaksi saja namun terbentuk secara lama dan berkelanjutan sehingga mengakar kuat.

Inilah sebabnya seringkali kita jumpai beberapa pelanggan yang rela menempuh jarak yang cukup jauh untuk membeli barang tertentu yang sebenarnya dapat juga mereka dapatkan di pasar tradisional lain di dekat rumah mereka. Kepercayaan, kehangatan, dan hubungan sosial menjadi kunci terpenting dalam interaksi ekonomi yang terjadi.

Kumuh, Kotor, dan Sesak
Ketika mendengar kata pasar tradisional, seringkali yang terlintas dalam pikiran kita adalah keadaan fisiknya yang kumuh, kotor, becek dan penuh sesak. Hal-hal ini seringkali ditengarai menjadi faktor yang menyebabkan pasar tradisional perlahan ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini sagat wajar mengingat perkembangan penyakit dewasa ini yang semakin mengerikan membuat tuntutan akan kebersihan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan.

Berangkat dari hal tersebut, pengembangan pasar tradisional mencoba untuk menghilangkan hal-hal tersebut. Pasar dibangun dengan cukup terbuka dan jalanan dibikin cukup lebar. Bahkan dalam kasus di Kabupaten Bantul pasca gempa pasar tradisional dibangun lebih besar dengan tujuan agar pedagang tidak berdesak-desakan.

Namun langkah tersebut justru menjadi buah simalakama. Keadaan pasar tradisional yang rapi dan lenggang justru mengesankan bahwa pasar tersebut semakin sepi. Hal ini tentunya sangat mengecewakan para pelanggan pasar tradisional karena pada dasarnya mereka menginginkan keramaian.

Keramaian yang seringkali dianggap sebagai faktor negatif, di satu sisi juga menjadi faktor positif ketahanan pasar tradisional. Hal ini dikarenakan bahwa pelanggan pasar tradisional yang berasal dari masyarakat tradisional tersebut mengharapkan pemenuhan kebutuhan sosial mereka di pasar. Kondisi pasar yang terkjesan sepi memunculkan anggapan bahwa pasar tradisional tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan sosial mereka. Pada akhirnya mereka menjadi semakin enggan berkunjung.

Melawan Modernisasi
Perkembangan zaman dewasa ini mengarahkan pada spesialisasi manusia. Orang diarahkan untuk memiliki kemampuan khusus dibandingkan kemampuan umum. Hal ini juga merambah dalam dunia rumah tangga.

Rumah makan misalnya, kini kian menawarkan beragam produk masakan dan makanan yang sebelumnya harus dimasak sendiri di rumah. Pada akhirnya hal ini menawarkan kepraktisan, orang tidak lagi harus membuat sendiri makanan yang mereka inginkan. Cukup membeli saja praktis tersedia.

Dampaknya pengunjung pasar tradisional kian berkurang. Di sisi lain rumah makan dan restoran semacam ini biasanya telah memiliki distributor tersendiri. Distributor ini seringkali (dalam skala besar) membeli langsung dari petani tanpa melalui pasar tradisional.

Tantangan lain yang dihadapi pasar tradisional adalah adanya pasar swalayan. Pasar swalayan atau supermarket ini menawarkan produk yang lebih bersih dan higienis. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri terutama bagi masyarakat modern yang sangat mementingkan faktor kebersihan. Ditambah lagi seringnya tayangan dan adanya oknum pedagang nakal yang seringkali merusak reputasi pasar tradisional sehingga mengarahkan masyarakat untuk beralih ke pasar modern.

Di sisi lain pedagang keliling semakin banyak. Dalam dunia yang serba sibuk waktu menjadi sangat penting sehingga pedagang keliling menjadi alternatif yang praktis dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Meski demikian seringkali produk yang mereka tawarkan tidak begitu lengkap sehingga masyarakat tetap harus pergi ke pasar untuk membeli produk-produk tertentu.

Mari ke Pasar
Dahulu pemandangan dimana anak-anak ikut bersama orang tua mereka untuk pergi ke pasar merupakan pemandangan yang wajar. Namun kini dunia menjadi semakin sibuk bahkan untuk anak-anak. Mereka terlalu disibukkan dengan televisi dan pendidikan usia "terlalu dini" yang marak di kota-kota besar. Terlebih seringkali pembantu mereka lah yang ke pasar dan bukan orang tua mereka.

Sehingga wajar jika generasi mendatang nantinya tidak lagi berkunjung ke pasar. Pasar tradisional sebagai sebuah struktur sosial seharusnya memiliki sistem regenerasi yang baik agar bisa tetap bertahan. Regenerasi ini meliputi pedagang maupun konsumen itu sendiri.

Oleh karena itu perlulah mengajak generasi muda untuk berkunjung kembali ke pasar tradisional. Kunjungan ini bisa diprakarsai dari diri sendiri maupun dari institusi pendidikan mulai dari yang terkecil hingga yang tertinggi. Terlebih jika dalam kunjungan ini dapat terjalin interaksi sosial dan tidak hanya sekedar melihat-lihat layaknya berkunjung ke kebun binatang. Akan tetapi kunjungan kecil saja dapat membuah perubahan besar.

Pasar sebagai pusat interaksi sosial hendaknya juga turut dikembangkan menjadi sebuah keunggulan tersendiri bagi pasar tradisional dibandingkan pesaingnya yaitu pasar modern. Keunggulan ini menjadi kunci pengembangan pasar ke depan dalam menghadapi modernisasi sehingga tercipta sebuah akulturasi yang memantapkan kedudukan pasar tradisional dalam kehidupan modern.



=======================================================

Tertarik untuk mengembangkan pasar tradisional? Gabung saja dengan Relawan Sekolah Pasar (klik)
http://sekolahpasar.com/

Kamis, 01 Desember 2011

Negeri Sarkastik

Sungguh Elok Nian Negeri ini. Rakyatnya kaya raya, bahkan tanah subur pun mereka tolak. Mereka tidak membutuhkannya. Lantas mereka tutupi saja tanah tersebut dengan bebatuan keras dan keangkuhan. Memendam sejarah dan warisan nenek moyang dengan modernisasi.


sumber: just-di.deviantart.com




Disini, orang tidak perlu bekerja keras. Dengan demonstrasi permasalahan dapat terselesaikan. Dengan Undang-Undang masyarakat menjadi bermoral. Dan dengan Uang, ya Uang, tidak ada satupun permasalahan yang tidak dapat diselesaikan. Bukankah semua masalah di dunia ini hanyalah tentang kemiskinan? Moralitas dan akhlak hanyalah kata-kata penghibur yang membuat rakyat miskin tetap tenang.


Laku tidaklah penting, yang penting adalah simbol. Semua tentang simbol, ketika simbol dipertarungkan dan menang, maka keadaan akan berubah. Seolah simbol adalah dunia itu sendiri. Tindakan tidaklah penting, karena semua itu tidak ada artinya dibandingkan simbol.


Mendadak manusia hanya menjadi objek. Benda yang hanya dapat terpengaruh tanpa memberi pengaruh. Cukuplah dengan aturan, demonstrasi, dan simbol-simbol ini dunia bisa menjadi tempat yang labih baik dengan masyarakat mendadak menjadi bermoral.