Sabtu, 17 Agustus 2013

Enam Puluh Delapan

Tentu mudah membandingkan antara idealisme dengan kenyataan. Namun mencari tahu permasalahan yang sesungguhnya tentang mengapa keduanya tidak sesuai dan membuat perbaikan akan hal itu, adalah perjuangan yang sesungguhnya

Lapangan itu sepi. Tidak ada anak kecil berlarian sembari menggigit sendok berisi kelereng di mulutnya, tidak ada dua puluh dua orang lelaki berebut bola dengan memakai daster atau sarung, tidak ada orang bahu membahu memanjat pinang berlumuran minyak, tidak ada anak-anak yang berusaha memakan kerupuk dengan kesusahan, tidak ada.

Sebagian orang masih berbaris rapi mengelilingi tiang bendera di pagi dan sore hari, menghormat kepada Sang Saka. Sebagian karena rasa cinta, sebagian karena harga diri dan eksistensi kelompoknya, sebagian lagi karena kebiasaan. Aku tidak tahu, mana yang lebih banyak.

Maka orang akan berkata bahwa nasionalisme telah pudar. Indonesia tidak lagi dicintai rakyatnya. Mereka mulai menyalahkan satu sama lain atas hal ini. Mereka adalah orang yang pesimis.

Aku percaya pada hukum energi, bahwa energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan melainkan hanya berubah bentuk. Begitu pula energi untuk mencintai dan membangun negeri ini tidak pudar ataupun lenyap, hanya berubah bentuk seiring perubahan zaman.

IIP - Ikatan Indonesia (indonesia.devinatart.com)

Mungkin berbagai perayaan dan upacara telah memudar, tetapi itu karena semangat dan kecintaan tersebut perlahan mulai meresap ke dalam raga. Bukan lagi tampak di permukaan. Mereka meresap ke dalam raga, dan keluar dengan caranya masing-masing. Melalui lagu, melalui puisi, melalui seni jalanan, melalui jejaring sosial, melalui iklan, melalui ekspresi, dan melalui kerja keras. Ya, kerja keras sehari-hari demi membangun negeri yang kita perjuangkan bersama.

Menumpuk batu adalah pekerjaan yang membosankan. Bayangkan setiap hari menumpuk satu per satu batu, dan engkau mengulanginya setiap hari selama satu tahun saja. Kau akan mati kebosanan sebelum sampai di akhir tahun. Butuh semangat yang tinggi dan rasa cinta yang besar terhadap impian untuk terus menumpuk batu sebongkah demi sebongkah secara konstan dan konsisten terus menerus. Di akhir dari perjalanan nanti kita akan melihat sebuah bangunan megah, yang dibangun dari tumpukan batu yang konsisten yang kita lakukan sedikit demi sedikit. Itulah kerja keras.

Enam puluh delapan adalah waktu untuk berhenti sejenak menumpuk batu untuk melihat apa yang telah kita capai. Mungkin kita pernah melihat bangunan indah di masa lampau, namun bangunan tersebut kemudian hancur akibat kemalasan kita untuk merawatnya. Kemudian kita memutuskan untuk membangun ulang semua itu.

Mungkin kita hanya melihat tumpukan batu saat ini, tapi bukan berarti kita gagal. Kita hanya belum selesai membangun. Enam puluh delapan adalah waktu yang relatif. Sejenak kita berhenti untuk merenungi pencapaian kita dan mengingat kembali mimpi kita. Selanjutnya kita mulai lagi menumpuk satu demi satu, sebongkah demi sebongkah. Semangat dan doa mengalir di dalam darah kita. Teruslah produktif.