Senin, 26 Mei 2014

Terima kasih, Bapak

Biru bukanlah warna nasional kita. Bahkan ketika biru bergabung dengan merah putih mengingatkan akan kepiluan di masa silam. Masa dimana nusantara digerayangi oleh bayang-bayang asing yang cukup lama sebelum akhirnya diusir oleh "saudara tiri" merah putih kita. Merah putih biru adalah Belanda, negeri yang seringkali dianggap telah menjajah bangsa kita selama tiga ratus lima puluh tahun.

Namun biru, telah memberi nuansa tersendiri selama satu dekade terakhir. Dimulai dari sebuah warna dengan intensitas yang cukup kecil di tahun 2004 sebuah siratan kecil yang tidak akan disangka menjadi dominan dalam dua kali lima tahun. Akan tetapi di bawah tangan dingin dari Bapak yang sering disebut sebagai ahlinya pencitraan, biru mampu menjadi dominan dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Sebuah demokrasi tidak berjalan dengan tenang, namun disitulah demokrasi. Banyak hiruk pikuk selama sepuluh tahun terakhir, namun itu justru menguatkan arti demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi yang memberikan ruang atas ketidaksetujuan, tanpa mengganggu perjuangan yang sedang dilakukan. Bukan demokrasi yang saling menumbangkan kekuasaan ataupun mengkudeta kemakmuran suatu bangsa.

Sebuah pertumbuhan tidak berjalan dengan mudah, namun itulah arti dari perjuangan. Ekonomi kita tidak melesat menjadi yang terbaik, tetapi tumbuh konsisten menuju yang terbaik. Semua butuh proses. Siapa sangka di tahun 2008 dunia mengalami krisis namun kita hampir tidak merasakannya? Dan kini negara dunia ketiga yang selama ini dipandang sebelah mata mulai bangkit seiring perpindahan poros dunia yang tidak lagi terpusat kepada negara persatuan.

Sebuah keadilan yang hakiki hanya akan terwujud pada hari pembalasan, namun kita bisa berusaha mewujudkannya saat ini. Keadilan bukan berarti tidak ada penjahat, namun keadilan adalah tentang memberikan hukuman kepada yang berlaku jahat dan penghargaan kepada yang berlaku baik. Pada satu dekade ini banyak kasus korupsi bermunculan, namun itu berarti bahwa pengadilan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya intervensi dari penguasa yang ada.

Sebuah pemimpin yang baik bukanlah yang sempurna, namun yang melahirkan pemimpin-pemimpin lain yang lebih sempurna. Pada dekade ini pula mulai muncul tokoh-tokoh nasional yang disegani dalam bidangnya masing-masing. Seolah rakyat Indonesia yang pemalas mendadak menjadi ahli di bidangnya masing-masing. Semua memiliki kesempatan untuk berusaha menjadi yang terbaik, dan berhasil. Impian itu belum terwujud, tetapi seolah memberikan kepastian bahwa itu pasti akan terwujud.

Maka terima kasih, semua pemimpin pasti memiliki kekurangan. Namun bukan berarti kita berhak untuk tidak menghargainya di kemudian hari. Kita harus berterima kasih kepada Soekarno atas kepemimpinannya di awal kemerdekaan, namun kita boleh tidak setuju dengan sikap otoriter dan kegemarannya menghamburkan kekayaan untuk monumen. Kita boleh marah atas sikap koruptif Soeharto beserta kroni-kroninya, namun kita harus tetap berterima kasih atas perjuangan pada awal masa orde baru dalam membuat rencana pembangunan yang berorientasi jangka panjang. Kita boleh tidak setuju dengan sikap Gus Dur yang sesuka hati, namun kita harus menghargai bahwa pada masanya semua orang merasa diterima dan setara dinegeri ini. Semua pemimpin memiliki tinta emas dan corengan arang dalam masa kehidupannya.

(source: zimbio.com)

Dan kepada Bapak, kami mengucapkan terima kasih atas stabilitas negeri selama satu dekade ini. Sebuah perjuangan yang tidak mudah mengingat banyak saudara kita yang mengalami berbagai pemberontakan dan kudeta dalam satu dekade terakhir. Terima kasih atas stabilitas ekonomi yang dibangun, dimana kita mampu terus merangkak ke atas di saat yang lain jatuh terkena gelombang krisis. Terima kasih atas demokrasi yang berhasil dijaga, dimana semua orang berhak menyampaikan kesetujuannya maupun ketidaksetujuannya tanpa adanya konsekuensi negatif atas tindakannya. Terima kasih atas keadilannya yang berhasil ditegakkan, meskipun korupsi masih banyak terjadi (bahkan di lingkaran terdekatnya) namun penegakan hukum tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Dan terakhir pada saat biru tidak lagi dapat bertahan di merah putih, Bapak memberikan pendidikan politik terbaik. Kemauan untuk memberikan kesempatan kepada semua pihak ketika putra mahkota terperosok ke lubang hitam, sikap kesatria untuk tidak mengemis namun memilih bersikap netral. Terima kasih.



update: netral? cuih... #shameOnYouSBY

Jumat, 02 Mei 2014

Terus Belajar dan Berkembang

Dua Mei, sebuah hari dimana orang biasa mengenalnya sebagai hari pendidikan nasional. Namun entah kenapa saya kurang setuju dengan istilah "pendidikan". Istilah itu seolah menempatkan manusia hanya sebagai objek dari sebuah sistem yang output-nya ditentukan oleh sistem, bukan oleh manusia. Pendidikan menempatkan manusia sebagai objek yang artinya manusia sebagai elemen utama dalam pendidikan justru bersifat pasif. Padahal manusia harusnya bersifat aktif dalam proses tersebut.

Orang berkata bahwa pendidikan adalah bentuk perlawanan dari tindakan penjajahan. Meski demikian, toh banyak orang berhasil melawan penjajahan tanpa mengenyam pendidikan. Tapi bukan berarti dia bodoh, mereka belajar. Tanpa pendidikan mereka dapat berkembang sendiri karena tekad dan kemauannya yang terwujudkan dalam aktivitas belajar mereka.

Maka belajar adalah sebuah proses aktif dan pendidikan adalah sebuah proses pasif. Lalu apakah salah pendidikan ketika seorang manusia memilih untuk tetap bodoh meskipun telah diberikan kesempatan berkali-kali untuk menikmati pendidikan? Lalu dimana harkat dan martabat seorang manusia yang memiliki kebebasan untuk melakukan apa yang dikehendakinya?

Adalah lebih baik ketika ini semua tidak lagi berbicara tentang pendidikan, tetapi berbicara tentang kemauan untuk belajar. Sebuah usaha untuk lepas dari penjajahan, bukan sebuah treatment yang membuat kita lepas dari penjajahan. Maka kini saatnya kembali pada diri kita sendiri, sejauh mana usaha kita untuk belajar.

Belajar adalah suatu hal yang mudah, terlebih pada era keterbukaan dimana informasi dan pengetahuan mudah didapat. Maka bukan lagi salah Tuhan ketika ada orang yang tetap menjadi bodoh, tetapi salah orang itu sendiri yang memilih untuk tetap bodoh dan tidak mau berusaha untuk lepas dari kebodohan. Belajar adalah sebuah proses aktif yang harus didorong dari dalam pribadi, bukan dipaksakan.

Belajar adalah proses memasukan suatu pengetahuan ke dalam diri. Ada dua hal penting dari proses tersebut. Pertama, kemauan untuk membuka dan menerima sesuatu dari luar ke dalam diri. Tanpa adanya kemauan untuk membuka, sebesar apapun usaha untuk memasukkan pengetahuan akan percuma. Kedua adalah kemauan untuk menarik pengetahuan dari luar. Proses ini yang menunjukkan apakah seseorang bersifat pasif maupun aktif.

Pembelajar aktif akan berusaha sebanyak mungkin menarik pengetahuan dari luar untuk dimasukkan ke dalam diri. Sedangkan pembelajar pasif hanya tergantung dari sejauh mana sistem pendidikan berusaha memasukkan pengetahuan ke dalam diri. Itulah yang membedakan antara manusia (yang seharusnya aktif) dengan objek benda mati yang hanya dapat diberikan perlakuan tanpa menolak.

Bagi kita yang mengaku sebagai manusia, maka bukan lagi saatnya kita berbicara tentang pendidikan. Saatnya kita berbicara tentang belajar dan berkembang. Ada lebih dari seribu cara untuk belajar dan berkembang. Tergantung kepada diri kita untuk memilih dan melaksanakan apa yang kita inginkan.

Seorang manusia tentu berbeda dengan seekor burung yang kehidupannya dari generasi ke generasi tanpa progres. Seorang ahli bukanlah seseorang yang mampu mengerjakan apa yang biasa dikerjakan, tetapi juga apa yang biasa dikerjakan orang lain. Dunia terus berkembang,  dan berdiam diri adalah cara terbaik untuk mati perlahan. Jangan merasa bangga dengan apa yang kita capai selama ini.

Teruslah belajar, teruslah berkembang.