Dia memang bukan siapa-siapa, angka-angka funtastis yang teronggok dalam rapotnya hanya menjadi sebuah kenangan indah tentang masa lalunya. DI masa mudanya ini dia menghabiskan waktunya untuk menyambung nafas, bukan mencari ilmu seperti yang diimpikannya.
Tentu dia dulu merupakan anak yang tidak bodoh. Nilai-nilainya yang funtastis ketika duduk di bangku SMA membuat kagum seluruh warga sekolah dan warga di kampungnya. Namun sayangnya di dunia ini bukan hanya sekedar tentang kecerdasan atau usaha, tetapi juga keberuntungan. Malangnya, dia termasuk orang yang tidak beruntung itu.
Perguruan tinggi megah itu telah dicita-citakannya sejak kecil. Dalam mimpinya dia ingin meneruskan pendidikannya hingga bergelar profesor dan kemudian membagi ilmunya kepada generasi penerusnya. Namun ibarat hendak memeluk gunung, tentu tangannya pun tak sampai. Sesungguhnya dia juga orang yang tau diri. Ayahnya yang sudah meninggal dan ibunya yang menjadi pedagang kaki lima tentu tidak sanggup untuk membantunya mencapai cita-citanya.
Tapi dia juga bukan orang yang berpangku tangan. Dia tetap pantang menyerah dan tidak putus asa. Namun sekali lagi dia hanya tidak beruntung. Memang bisa dikatakan peluangnya sangat kecil. Memang ada seribu jalan menuju Roma, seribu jalan juga menuju UGM. Tapi berapa jalan yang tersisa untuknya?
Dia mencoba beberapa PB untuk dia yang tidak mampu atau dia yang berprestasi, namun tentu bukan suatu hal yang mustahil jika ditolak namun sangat luyar biasa jika diterima. Karena dari 200 mahasiswa baru misalnya, hanya dua orang saja yang bisa meraihnya. terlebih di fakultas yang penuh berhamburan uang yang dia cita-citakan. Dia ingin mencoba ujian tertulis namun mitos dimasyarakat membuatnya putus semangat. Benteng psikologis itu ada meskipun tidak nyata.
Satu-satunya jalur lain yang memunculkan harapan adalah seleksi nasional yang tergolong merakyat. Yang tentunya, di kala itu hanya memperebutkan sangat sedikit kursi yang tersisa. Dan dia pun juga gagal.
Namun semangat dan cita-citanya tidak dia kuburkan begitu saja. Dia bertekad untuk terus mencobanya lagi selama masih ada kesempatan. Kini tiap hari setelah membantu ibunya berjualan di daerah kaliurang dia sempatkan mampir melewati kampus idamannya tersebut untuk sekedar mengaguminya sembari berdoa kelak suatu saat dia akan berada disana.
Uangnya pun sedikit demi sedikit dia sisihkan, namun langsung ludes dalam sehari. Namun baginya tidak masalah karena ilmu tidak ada harganya. Dia senang menghabiskan uangnya untuk kegiatan-kegiatan menambah ilmu yang diselenggarakan mahasiswa-mahasiswa kampus itu. Meski ironis juga, ketika mereka berteriak tentang pendidikan gratis dan pengabdian, mereka justru memalak orang-orang dalam tiap kegiatan mereka. Entah apa yang ada dalam benak mereka.
Baginya hari minggu adalah hari yang ditunggu-tunggu. Karena di pagi hari setelah subuh dia akan berlari-lari sekedar meluruskan otot dan mengobati rindunya terhadap kampus tersebut. Setelah itu dia akan membantu ibunya berjualan di jalanan berkonblok disana.Mungkin itulah yang tersisa bagi orang sepertinya.
Dikendarainya sepeda motor bututnya itu kencang-kencang di pagi itu. Bagai hendak bertemu kekasih lamannya, dia sangat bersemangat sekali. Namun dirinya terperanjak, tempat orang tuanya menyambung nafas itu kian lama kian tergesar keluar dari kampus yang ia banggakan itu. Lebih terperanjak lagi melihat pengumuman per satu januari dirinya tidak akan lagi bebas memasuki tempat tersebut untuk mengobati rasa rindunya.
Dan hari itu tepat saat perguruan tinggi itu bertambah usia. Pagi yang cerah itu mendadak mendung. Dia terdiam terpaku di atas sepeda motornya tanpa bisa berkata apapun. Di hari jadi UGM tersebut, entah apa yang tersisa bagi orang-orang sepertinya. |
0 comments:
Posting Komentar