Rabu, 25 April 2012

Para Pekerja Nasionalis

"Kemana para nasionalis bekerja?"

Pertanyaan tersebut seketika memecahkan ruang keheningan yang tercipta. "Apa maksudmu?", tanyaku.

"Kau tahu, mereka yang memiliki jiwa nasionalisme dan ingin membangun negara, kemana mereka nantinya akan bekerja?"

"Entahlah, mungkin mencoba menjadi Presiden, menteri, anggota DPR atau semacamnya", jawabku sekenanya.

"Ah kau ini, berapa banyak sih orang yang menjadi presiden, berapa banyak pula orang yang berjiwa nasionalis. Maksudku selain itu kemana mereka akan pergi?"

"Benar juga apa katamu, mungkin menjadi Pegawai Negeri seperti kebanyakan orang ... atau seorang Guru yang mencerdaskan masyarakatnya", kataku mencoba bijaksana.

Lelaki itu tertawa kecil, "PNS? Kau yakin? PNS saat ini terlalu identik dengan kenyamanan dan kemalasan. Orang bahkan lupa bahwa mereka bekerja untuk mengabdi pada bangsanya, atau mungkin memang tidak demikian"

Di dalam hati aku mau tidak mau sedikit setuju dengan apa yang dikatakannya. Tetapi aku masih ragu akan kebenaran perkataan tersebut. "Sebagian yang lain mencoba menjadi wiraswasta, tentu dengan segala resikonya. Kau tahu menjadi wiraswasta dalam budaya yang sangat Jawa-sentrik ini bukanlah sesuatu yang membanggakan. Disini orang hidup untuk mengabdi ..."

"Tapi bukan berarti semua masyarakat Jawa anti terhadap wiraswasta kawan, kau tahu ada beberapa daerah di Jawa ini yang terkenal dengan jiwa wiraswastanya. Meski benar apa katamu, selalu ada mitos yang menghantui mereka", potongnya menyela perkataanku.

"Wiraswasta, mereka membangun negeri ini. Kita tidak bisa mengandalkan sepenuhnya kepada negara. Kapitalis kata mereka, tetapi kapitalis juga yang selama ini ikut membangun negeri. Mereka nasionalis." Aku diam sejenak memikirkan kata-kataku tadi. "Selama ini orang banyak berpikir mengabdi adalah tentang menjadi bawahan, tentang bekerja tanpa imbalan. Padahal dengan kita berusaha sebaik mungkin membangun bisnis, kita juga membangun negeri ini."

"Tangan ghaib Adam Smith, eh? Tak ku sangka kau percaya juga hal macam itu." Katanya sembari tersenyum. Bukan senyum ramah, tetapi sedikit ada bumbu sinis terpampang disana. "Jadi salahkah kita berjiwa nasionalisme dengan menjadi pekerja yang loyal mengabdi?"

Veteran Bandung (ahdhan.deviantart.com)
Aku berpikir sejenak. Entah kenapa sedari tadi kata-kata tersebut keluar dari mulutku dimana bahkan aku sendiri pun tidak percaya akan berkata demikian. Tetapi muncul dorongan yang dalam untuk terus melanjutkan percakapan ini. "Tidak, tentu tidak. Lihatlah para tentara kita misalnya, dengan gaji yang tidak seberapa mereka rela bersusah payah berjuang demi negara ini. Mungkin mereka adalah contoh nasionalis sejati."

"Lalu bagaimana dengan aku? Apakah sebagai nasionalis aku harus menjadi tentara untuk mengabdi?", tanyanya tajam terhadapku.

"Ah kau ini, aku yakin kau tidak sebodoh itu. Mengabdi kepada negara bukan berarti harus berupa jiwa dan raga fisik sepenuhnya. Saat ini ekonomi menjadi medan perang dunia yang sesungguhnya. Sebagian dari para nasionalis itu mereka mencoba mempertahankan negara ini melalui perusahaan-perusahaan BUMN dan perusahaan nasional lainnya. Mungkin kita bisa ikut disana."

"Lalu bagaimana kau tahu perusahaan mana yang membantu kita dalam peperangan ini?"

Aku terdiam sejenak. Menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah. "Kau tahu, secara formal perusahaan nasional dilihat dari tempat dimana saham-saham mereka dijual. Selama saham mereka tercatat di pasar modal Indonesia maka itu menjadi perusahaan nasional." Dirinya tampak ingin mengucapkan sesuatu, namun aku lantas menyambung perkataanku tadi. "Tetapi tentu tidak semudah itu, menjadi ironi adalah ketika ternyata saham-saham tersebut banyak dimiliki oleh orang asing. Begitu pula sebaliknya tidak sedikit pengusaha Indonesia yang memiliki saham-saham perusahaan asing. Lantas pada siapa sebenarnya kita bekerja?"

Dia tampak terpana. Tatapan matanya yang dalam seolah ingin menelanjangi pikiranku sepenuhnya.

Aku melanjutkan perkataanku, "Menjadi ironi juga adalah ketika banyak perusahaan nasional yang justru merugikan masyarakat negeri ini sendiri sementara di sisi lain banyak perusahaan asing yang justru banyak membantu dalam membangun negeri ini. Lantas bagaimana kita menakar nasionalisme kita dalam situasi tersebut?"

"Ah kau ini, aku yang bertanya duluan. Kenapa kamu malah menanyakan kembali kepadaku?", tampak senyum kepuasan di wajahnya. Kepuasan larena telah berhasil menularkan kebimbanngan hatinya selama ini.

"Nasionalisme tidak bisa dilihat sebatas dimana kita bekerja, kawan. B.J Habibie misalnya, dia bekerja untuk orang asing di negeri asing sana. Tetapi dengan pekerjaannya itu dia mengharumkan nama negeri ini di kancah dunia. Maka dapatkah kita tuduh bahwa orang yang bekerja untuk orang-orang asing sana tidak memiliki jiwa nasionalis?", aku mengambil nafas dalam.

"Jadi, kesimpulannya apa kawan?"

"Entahlah aku masih bingung," jawabku. Aku terdiam, mencoba meresapi dan memahami sepenuhnya kata-kataku sendiri. "Nasionalisme adalah sebuah jiwa, tekad, niatan, dan motivasi. Dia memilliki wujud abstrak. Seorang petani misalnya, dia bisa menjadi sangat mulia ketika dia melakukan pekerjaannya demi memberi makan dunia. Sebaliknya menjadi sangat tidak mulia ketika apa yang dilakukannya hanya demi lembaran uang yang digunakannya untuk memenuhi nafsu dan egonya semata. Nasionalisme bukanlah tentang dimana dan menjadi apa ketika kamu bekerja, tetapi tentang untuk apa kamu bekerja. Tentang niat dan tekad untuk selalu memberikan yang terbaik untuk negeri ini"

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob rodiallohuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rosululloh alaihisolatu wassalam bersabda :
"Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.“ (H.R. Bukhori no:01 dan Muslim no:1907)

0 comments: