Kontradiksi. Perlawanan antara dua hal yang berbeda, mungkin ada dalam masing-masing benak. Karena mata hati dan logika seringkali bertabrakan. Atau dalam bahasa ilmiah kita sebut saja cognitive dissonance. Sialnya kita sering tidak tahu apa yang harus kita lakukan, bahkan mungkin kita tidak tahu kontradiksi itu sendiri.
Kita yang Cukup
Kita yang dihidupi oleh alam yang begitu melimpah. Kita ambil saja secukupnya. Karena kita tahu bahwa alam yang menghidupi kita sejatinya akan hancur oleh tangan kita sendiri. Tangan kita tidak lebih luas dari sebuah bola sepak, namun dapat menghancurkan alam seluas bola dunia.
Maka kemudian kita diajarkan untuk mengambil secukupnya. Hidup sederhana. Ambil yang perlu bukan yang ingin karena sejatinya keinginan tiada berbatas. Dan sisakan juga untuk masa depan karena bukan satu atau dua bulan kita hidup di alam fana lagi. Terlebih karena kita mencintai anak-anak kita, maka kita sisihkan juga untuk mereka.
Anak-anak kita pun mencintai anak-anaknya, begitu seterusnya. Lantas kita diajarkan untuk menghormati alam. Mengambil secukupnya, dan biarkan sisanya menjadi hak dari dunia. Hidup bukan tentang memanfaatkan alam, tetapi lebih dari itu ada suatu esensi kehidupan dari tiap insan.
Seiring waktu berjalan kita terlupakan oleh semua itu, namun nilai-nilai tidak secepat itu musnah. Kita terbiasa hidup dalam kecukupan tanpa berusaha lebih. Kita ditakut-takuti dengan keserakahan yang akan meghancurkan dunia, namun kita lupa makna sejatinya. Jadi kita hidup dalam kecukupan bukan karena ingin, tapi karena tidak biasa berusaha. Kita tidak ingin bergerak, bukan menahan diri untuk bergerak. Kontradiksi.
Kita yang Berusaha
Alam tidak sesederhana yang kita pikirkan dan kita tidak pernah tahu masa depan. Kita hidup di alam yang keras, bung! Jangankan untuk masa depan, syukur sekali kita bisa meraih sesuatu dari alam saat ini. Tidak pernah terlintas dalam pikiran kita akan merusak alam, karena kita hidup di alam yang sudah rusak.
Maka yang harus kita lakukan adalah membangun alam, minimal untuk kepentingan kita sendiri. Meski tanah ini gersang, kita berusaha untuk menanaminya. Minimal menanam yang kita makan untuk bertahan hidup. Dan ketika alam memberi sesuatu kepada kita, maka sudah semestinya kita manfaatkan sebaik mungkin selagi masih ada.
Seperti waktu yang dapat menghapus luka, dia juga melakukan hal yang sama terhadap tujuan. Perlahan kita tidak lagi melakukannya untuk hidup, tetapi karena kita suka melakukannya. Kita terjebak dalam permainan angan-angan kita sendiri. Lalu kita gembira ketika meraihnya. Kita ciptakan lagi, raih lagi, ciptakan lagi, raih lagi, ciptakan lagi. Sebuah proses tiada berujung.
Ini tidak lagi tentang kehidupan, ini tentang kegembiraan. Sialnya juga, kita yang hidup di alam keras ini tidak pernah menyadari bahwa tangan kita yang kecil mampu menghancurkan dunia yang besar ini. Kontradiksi.
Kontradiksi
Jamane jaman edan, ra edan ra keduman
Perubahan itu pasti. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. Bahkan jika kita diam sekalipun pasti orang lain akan membuat perubahan, dan kita juga yang akan kena dampaknya. Karena kita hidup dalam dunia yang saling mempengaruhi.
Dan ini, tidak akan ada habisnya. Kita bisa saja menjadi mencapai Zen dan keluar dari gejolak tanpa akhir ini atau kita bisa ikut bermain dalam dunia yang semakin gila. Atau dalam yang lebih mulia, kita berenang untuk mengajak orang lain keluar dari kolam kehidupan yang semakin bergelombang.
Maka disinilah pilihan. Kita yang merasa kaya, atau kita yang merasa miskin. Tidak ada yang sempurna, tetapi mana yang lebih kita sukai.
0 comments:
Posting Komentar