Setelah usai dengan ujian Tengah Semester di kampus, kini Indonesia sedang dihadapkan dalam rangkaian Ujian Nasional (UAN). Selama beberapa minggu ini dunia pendidikan akan disibukkan dengan menjaga naskah soal, mendistribusikan, menghitamkan LJK, pengiriman hasil, dsb. Kesibukkan yang menguras waktu dan tenaga.
Ujian sendiri telah menjadi momok bagi dunia pendidikan selama beberapa waktu. Mulai dari Ujian Nasional dengan segala pro-kontra dan perbaikan sistem hingga ujian-ujian harian dalam kelas-kelas pendidikan. Celakanya, seringkali kesibukan dan ketakutan kita akan ujian mengkerdilkan makna pendidikan yang sebenarnya.
Masyarakat menjadi semakin pragmatis melihat pendidikan formal. Kalimat semisal “Ujian Nasional tidak adil karena jerih payah tiga tahun bergantung pada tiga hari” merupakan bentuk nyata adanya gejala tersebut. Ilmu dilihat sebatas soal-soal dalam ujian yang kemudian diwujudkan dalam angka-angka dan huruf-huruf tertentu. Huruf tersebut ditulis dalam selembar kertas sakti bernama ijazah, yang merupakan kunci memasuki jenjang pendidikan berikutnya atau pekerjaan. Jadi anak SD belajar agar dapat menghadapi ujian sehingga mendapat nilai baik yang nantinya dipakai untuk mendaftar SMP, anak SMP belajar untuk mendaftar SMA, SMA mendaftar kuliah, dan seterusnya.
Mendadak ilmu menjadi sangat dangkal. Digunakan hanya sebagai formalitas hidup yang harus ditempuh dalam tahap perkembangan. Pendidikan dihargai sebatas sebuah kewajiban. Akibatnya ilmu menjadi sebatas formalitas yang hinggap sementara waktu dalam masing-masing tahapan kemudian hilang tanpa bekas.
Jika memang begitu adanya, maka kita sebagai hamba pendidikan seharusnya malu. Kita yang telah lupa akan keingintahuan dan pencarian akan kebenaran. Kita lupa akan fungsi utama dari ilmu. Ilmu hanya dihapalkan karena harus dan dikembangkan karena memiliki harga, bukan dicari karena keingintahuan akan kebenaran yang hakiki. Padahal Tuhan telah memberikan akal kepada manusia untuk membedakan mana yang baik dan buruk.
Maka sudah seharusnya kita kembali pada hakikat hamba ilmu yang sesungguhnya. Kita yang mencintai ilmu, bukan sebagai kewajiban ataupun sebatas penghargaan dalam bentuk lembaran uang. Tetapi kita mencintai ilmu karena itu memberikan kita pengetahuan. Ilmu yang menunjukkan kita pada kebenaran yang hakiki.
Pendidikan formal tidak dihargai sebatas angka-angka dalam lembar akhir tetapi ilmu yang telah kita miliki. Sebatas mana ilmu tersebut telah berguna bagi kehidupan kita. Sehingga nantinya tidak ada lagi klaim ketidakgunaan pendidikan. Bukan ujiannya yang utama, tetapi bagaimana proses pendidikan yang kita jalani sebelumnya.
Sehingga tidak masalah ujian macam apapun yang akan menghadang. Sejatinya, ilmu kita tidak akan berkurang sedikitpun karena lembar-lembar soal. Tapi kita yang menghargai ilmu sebatas lembar soal, maka ilmu tersebut akan menghilang bersama lembaran jawaban yang ditelan oleh waktu.
Lalu mengapa kita penjarakan ilmu ke dalam kelas-kelas dan hanya diwujudkan dalam angka-angka? Bebaskan lah ilmu dari penjara yang telah kita ciptakan tersebut. Sehingga kita bisa mencintainya dan keindahannya akan mewarnai kehidupan kita.
0 comments:
Posting Komentar