Dia lahir dari negeri yang jauh. Dimana orang-orangnya tumbuh dengan perasaan ingin tahu. Sejak kecil mereka diajari untuk menciptakan pengeahuan mereka sendiri. Berbeda dengan dunia kita yang mengangap itu sebagai sebuah hal yang merepotkan. Kita yang pragmatis lebih suka memberitahukan bahwa air yang tumpah sama banyaknya dengan benda yang masuk daripada harus menciptakan Archimedes-archimedes baru. Padahal inti dari itu semua adalah bagaimana menemukan pengetahuan baru, bukan sekedar mengerti pengetahuan itu sendiri.
Mereka orang-orang yang egois. Melihat segala seuatunya sebagai miliknya. Sedangkan kia hidup dalam dunia penuh syukur. DImana apa yang digenggaman kita adalah sebuah pemberian dan karunia, sesuatu yang memang sudah seharusnya menjadi milik bersama bukan milik segelintir saja.
Maka disanalah dia diciptakan. Dia diciptakan untuk menunjukkan siapa pemiliknya, sehingga tidak ada orang egois lain yang merebutnya. Namun disini dia berubah wujud. Dia diperlakukan sebegitu agung bahkan disembah.
Disini, dia menunjukkan tingkat kepadaian seseorang. Mereka yang banyak menggunakan dirnya dalam iap katakata dan tulisannya, adalah orang-orang yang dianggap sebagai generasi cendekiawan. Mungkin cendekiawan berasal dari kata cendawan (jamur) yang mendapa sisipan –eki-. Begitulah mengapa penyakit itu cepat menyebar.
Disini, dia menunjukkan legalitas dan keilmiahan suatu karya. Mereka yang banyak mencantumkan dirinya dianggap sebagai sebuah kebenaran objektif. Apa-apa yang menggunakan dirinya lebih mudah dianggap sebagai kebenaran dibanding apa yang mereka lihat dengan mata kepala mereka.
Sungguh ironis, bukankah buku tidak lebih dari sebuah potret? Buku hanyalah cerminan dari kenyataan yang kita lihat di tempat tertentu dan waktu tertentu. Buku bukanlah kebenaran, tetapi buku hanyalah sebuah dokumentasi kebenaran. Dokumentasi yang dibatasi oeh dimensi ruang dan waktu.
Namun disini juga, mereka yang diam adalah yang bijaksana. Jika aku cukup bijaksana, mungkin tidak seharusnya aku menulis ini.
Jumat, 31 Desember 2010
Rabu, 29 Desember 2010
dunia kutipan
Kita hidup dalam dunia kutipan. Dimana kutipan dan angka-angka sangat dipuja sebagai sebuah kebenaran. lupakan orisinalitas, ilmiah adalah sebuah istilah pembenaran semu yang bahkan tidak benar-benar dianut oleh para pembuat istilah tersebut.
Sadar bung! Dunia tidak sebulat angka-angka desimalmu. Kebenaran tidak dibatasi kutipan-kutipan dalam lembaran kertas. Buka mata, buka hati, tapi jangan buka baju. Buka pikiranmu dan rasakan angin kebebasan. Bakar buku-bukumu jika itu hanya membuatmu semakin bodoh.
Ketika para tetua mengatakan bahwa apa yang kita pelajari selama ini salah. Namun mereka terus memaksakan masuk ke dalam rongga-rongga otak kita. Ketika kita memuat kebenaran namun ditepis oleh kutipan-kutipan sakral, maka jadilah orang bodoh. Karena kitab-kitab sucimu ditulis oleh Tuhan yang berbeda.
Ah bicara apa aku, kita kan cuma mahasiswa S1
Sadar bung! Dunia tidak sebulat angka-angka desimalmu. Kebenaran tidak dibatasi kutipan-kutipan dalam lembaran kertas. Buka mata, buka hati, tapi jangan buka baju. Buka pikiranmu dan rasakan angin kebebasan. Bakar buku-bukumu jika itu hanya membuatmu semakin bodoh.
Ketika para tetua mengatakan bahwa apa yang kita pelajari selama ini salah. Namun mereka terus memaksakan masuk ke dalam rongga-rongga otak kita. Ketika kita memuat kebenaran namun ditepis oleh kutipan-kutipan sakral, maka jadilah orang bodoh. Karena kitab-kitab sucimu ditulis oleh Tuhan yang berbeda.
Ah bicara apa aku, kita kan cuma mahasiswa S1
Labels:
pendidikan,
renungan
Senin, 20 Desember 2010
sisa untuk masyarakat
Labels:
pendidikan
Langganan:
Postingan (Atom)