Kamis, 22 Agustus 2019

Peduli

Pernah ada masa dimana dunia tidak dibagi menjadi publik dan privat. Ketika pagar tidak menghalangi orang untuk masuk namun hanya sebatas penanda. Ketika perasaan manusia tidak sesensitif pantat bayi.

Maka manusia saling peduli melalui percakapan-percakapan sederhana dan pertanyaan-pertanyaan retoris tanpa harus merasa tidak nyaman. Karena semua orang mendoakan agar kita memiliki keluarga yang bahagia, karena tidak peduli dengan jabatan atau posisimu di pekerjaan barangkali kita bisa saling berbagi rezeki, karena gemuk berarti kita tidak kesulitan untuk makan. Karena mereka tahu bahwa di bawah semua itu ada rasa kepedulian yang sangat berharga.

Namun di tengah masyarakat yang konon katanya komunal namun tak berbentuk ini semua menjadi absurd. Privasi menjadi dalih agar orang tidak boleh peduli dengan kita. Atau mungkin kita yang terlalu egois dan menutup erat pintu silaturahmi.

Jumat, 26 Juli 2019

Islam Anti Pancasila?

Salah satu damak dari pergolakan politik beberapa tahun teeakhir adalah munculnya kembali Islamiphobia di masyarakat. Berawal dari gerakan beberapa elemen Islam terhadap salah satu tokoh politik di Indonesia yang mengeluarkan ujaran yang tidak semestinya. Sayangnya kasus ini ditindaklanjuti berlebihan oleh pemerintah dengan membubarkan ormas yang dianggap anti pancasila.

Hingga kini isu itu pun terus bergulir. Segala bentuk simbol dan hal-hal yang dianggap berhubungan dengan organisasi tersebut dianggap gerakan anti pancasila. Celakanya banyak orang salah kaprah mengasosiasikan simbol-simbol Islam yang kebetulan juga digunakan organisasi tersebut sebagai bagian dari aktifitas anti pancasila.

Ibaratnya jika suatu saat kita menangkap salah satu koruptor yang kebetulan juga orang Indonesia yang gemar makan nasi, maka kini nasi dianggap sebagai ciri para koruptor.

Dalam kasus ini tentunya yang terdampak adalah umat Islam. Hanya karena organisasi tersebut memakai bendera berlafazkan tauhid misalnya, kini kalimat tauhid menjadi bulan-bulanan masyarakat. Padahal tauhid adalah hal yang paling membedakan antara muslim dan non-muslim.

Islam bukan tentang siapa nama Tuhan yang disebut dalam doa, bukan tentang rumah ibadah mana yang kamu datangi, bukan tentang apakah kamu makan babi atau tidak. Islam adalah ideologi yang diwujudkan dalam perilaku dan membentuk suatu kebudayaan. Nabi Muhammad SAW membawa Islam bukan untuk membuat kelompok pengajian, tapi beliau datang membentuk suatu masyarakat yang beradab.

Maka kini ketika orang sering membenturkan antara Islam dan Pancasila, menurut saya itu adalah dua hal yang berbeda. Sebagai seorang muslim, maka ideologi kita adalah Islam. Bukan nasionalis, marhaenis, komunis atau liberalis. Ideologi yang mengajarkan tentang ketaatan terhadap Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan di dunia ini, dan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia berjalan sesuai hukum yang ditetapkannya. Allah SWT harus kita tempatkan diatas segalanya, termasuk negara maupun pemerintahan.

Namun bukan berarti mereka yang berideologi Islam berarti anti pancasila. Pancasila adalah suatu dasar negara. Anti berarti berlawanan, akan tetapi yang kita temukan justru Islam dan Pancasila adalah dua hal yang sejalan. Semua konten Pancasila sudah terdapat dalam ajaran Islam.

Mulai dari Ketuhanan yang Maha Esa. Tentu hal ini tidak perlu diperdebatkan. Islam turun di Mekkah bukan untuk mengenalkan Allah SWT sebagai Tuhan, karena pada dasarnya penduduk Mekkah pada masa itu sudah menyembah Allah SWT. Islam turun adalah untuk menekankan bahwa Allah itu Esa. Tidak ada yang lain dan tidak sepantasnya menyukutukan-Nya, terlebih dengan berhala-berhala ciptaan manusia.

Begitu pula dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Ada banyak sekali ayat yang menekankan tentang pentingnya berbuat adil kepada siapapun tanpa memandang status sosial, agama, maupun label apapun yang ada pada manusia. Termasuk dalam hal ini adalah perlu adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Berbicara tentang masyarakat yang beradab, maka hampir semua literasi di Indonesia merujuk kepada masyarakat madani yang bersumber pada kondisi masyarakat yang dibentuk Rasulullah di Madinah. Sehingga untuk Sila kedua pun jelas menunjukkan betapa Islam dan Pancasila adalah dua hal yang sejalan dan bukan berlawanan.

Hal lain yang diatur dalam Islam adalah kepemimpinan dan ukhuwah. Jika kita merujuk pada hadis-hadis dan hukum islam, maka persatuan umat adalah yang utama. Ada banyak hadis yang berbicara tentang pentingnya untuk patuh pada pemimpin demi menjaga persatuan. Begitu pula dalam hal fiqih seperti qunut misalnya, meskipun ada sebagian ulama berpendapat bahwa qunut tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan tertentu (musibah) saja, namun apabila imam shalat sudah memimpin qunut maka wajib bagi semua muslim untuk mengangkat tangan dan ikut meng-amin-kan. Maka tentunya persatuan Indonesia bukanlah hal yang tabu bagi masyarakat Muslim di Indonesia.

Terakhir adalah tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan perwakilan. Tentu hal ini juga sejalan dengan contoh-contoh nyata yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat dalam memimpin. Berbagai contoh tentang keputusan-keputusan bijaksana menghiasi cerita-cerita sejarah Islam. Begitu juga dengan permusyawaratan, salah satu contoh nyata adalah bagaimana Rasulullah membuat piagam madinah, menengahi kasus hajar aswad dan berbagai cerita lainnya.

Oleh karenanya sangat aneh apabila belakangan ini muncul narasi-narasi yang seolah ada masyarakat Islam yang anti-Pancasila. Terlebih bahwa kita tahu bahwa Pancasila itu adalah sepenggal bagian dari ajaran Islam. Sangat tidak mungkin bagi orang yang benar-benar memahami Islam untuk bertindak berlawanan dari Pancasila.

Sudah saatnya kita hentikan prasangka dan tuduhan semacam itu, terlebih jika yang dituduh adalah saudara kita sendiri.

Minggu, 26 Mei 2019

Narasi

Narasi membentuk cerita yang ditulis oleh pemenang. Karena mereka yang kalah tidak akan lagi mampu bercerita. Mereka hancur, terasing, dan musnah. Maka kebenaran adalah kenyataan para pemenang yang disusun di atas narasi untuk mengkokohkan perjuangan yang mereka lakukan.

Kebenaran selalu berpihak, karena itu bersifat relatif. Tidak ada benar dan salah tanpa adanya konteks. Narasi bertugas menciptakan konteks tentang konsep kebenaran yang akan ditampilkan.

Kematian adalah tragedi, jika dan hanya jika itu merugikan. Namun sekali lagi rugi untung adalah teman benar salah. Semua terbungkus dalam narasi.

Kematian ribuan nyamuk tidak pernah menjadi tragedi bagi manusia. Pun kematian manusia bagi seekor ayam.

Ketika kematian manusia tidak lagi menjadi tragedi, mungkin kita hanyalah sebatas amfibi atau mamalia bersayap.