Senin, 26 Desember 2011

monopoli

Kedua kubus berbintik tersebut terombang-ambing. Berputar kesana kemari dalam ember kecil penuh harapan akan keberuntungan. Dan akhirnya bintik-bintik tersebut muncul dengan kombinasi membentuk sebuah makna. Langkah mantap membawa kepada pengundian nasib melalui kartu-kartu berwarna hijau dan merah muda. Monopoli, sebuah permainan kecil tentang bisnis dan keberuntungan.


Lalu apa yang terpenting dalam permainan ini? Apakah itu uang? Sesuatu yang membuat kita berjalan kesana kemari dengan tenang tanpa perlu takut akan biaya kehidupan yang mahal ataupun denda dari pelanggaran hukum. Dengan uang kita menjadi berkuasa, bertindak sesuka hati dalam lapangan persegi tersebut.


Mungkin bagi mereka yang lebih berpikiran ke depan lebih menyukai tanah dan bangunannya. Investasi masa depan dan bukan keinginan sesaat. Bahkan mungkin kita harus berdarah-darah dalam berusaha, ini semua demi masa depan yang cerah, masa depan yang terjamin.


Ataukah ini semua tentang keberuntungan? Keberuntungan yang membawa kita kepada angka-angka ajaib. Tentang langkah-langkah tepat yang dituntun oleh kubus berbintik. Tentang bagaimana keberuntungan mengatur kehidupan kita.


Namun bagaimanapun juga monopoli adalah sebuah permainan. Yang terpenting adalah dengan siapa kita bermain. Teman untuk berbagi suka duka, teman untuk memotivasi kita, teman untuk berdampingan dalam permainan kehidupan. Teman kitalah yang membuat semua ini menjadi menarik, karena pada hakikatnya kita tidak dapat bermain sendirian.


Lalu bagaimana dengan monopoli kehidupan kita, eh?


gambar: emmerrekappa.deviantart.com

Selasa, 20 Desember 2011

Orang Buta Berjalan Lurus

Seringkali kita beranggapan bahwa ketidakadilan yang sering terjadi di sekitar kita adalah karena lemahnya aparat penegak hukum. Pendapat itu mungkin benar, namun kita juga tidak bisa menutup mata begitu saja akan adanya hal-hal lain yang turut berpengaruh dalam keadaan tersebut. Aparat penegak mungkin hanya satu faktor, tapi masih ada faktor lainnya yang juga turut berpengaruh.

Sebuah dialog budaya di Taman Siswa beberapa waktu yang lalu menyadarkan saya akan hal ini. Pembicara saat itu (diantaranya Cak Nun dan Busyro Muqoddas) menjelaskan mengenai hakikat hukum itu sendiri. Hukum hanyalah garis pembatas diantara satu orang dengan orang lainnya. Dikatakan garis karena pada hakikatnya manusia tetap bisa melanggar atau melewati garis tersebut dengan kehendakanya. Namun moral berperan membimbing manusia untuk tetap berada di tempatnya dan melewati garis tersebut.

Sesempurna apapun hukum pasti ada celah yang bisa dilanggar. Meski demikian perlu dipahami juga bahwa hukum bersifat kaku. Hukum tidak mengenal toleransi-toleransi dan pengecualian-pengecualian. Hukum juga tidak memiliki kebijaksanaan karena hukum hanyalah alat. Bagian yang terpenting dari hukum itu adalah siapa penggunanya bukan hukum itu sendiri.

Ibarat kata secanggih apapun APILL di perempatan jalan tetap saja pada akhirnya kita sendiri yang akan memutuskan apakah kita akan berhenti atau menerobos. Moral sebagai pengendali diri kita lah yang pada akhirnya menentukan apa yang akan kita lakukan. Secanggih apapun hukum manusia tetap memiliki kehendak untuk menjalankannya atau melanggarnya, itu semua tergantung moral dari manusia itu sendiri.

Kesadaran dan kepatuhan hukum menjadi suatu hal yang sangat langka di negeri ini. Kita bisa menyalahkan bobroknya aparat penegak hukum dan kualitas hukum itu sendiri, tetapi pada akhornya kita juga akan tetap menatap diri kita di dalam cermin. Sejauh mana moralitas kita mengarahkan kepada kebajikan tanpa adanya hukum.

gambar: echo2me.deviantart.com

Seharusnya kita pahami bahwa kebajikan yang dilakukan karena sebuah sistem adalah kebajikan yang terendah. Kebajikan seharusnya digerakkan oleh hati, bukan karena aturan atau sanksi dan hadiah. Hal ini yang seringkali kita lupakan karena kita lebih suka menyalahkan sistem dan hukum daripada diri kita sendiri.

Hukum seharusnya dilahirkan bersamaan dengan dibangunnya kesadaran akan pentingnya hukum itu sendiri. Tanpa adanya pemahaman yang benar, hukum hanya akan dianggap sebagai pembenaran atas kepentingan penguasa, bukan kepetingan bersama. Hukum cenderung akan disepelekan meskipun itu menyangkut kepentingan kita sendiri.

Maka dari itu, jika ingin keadilan ditegakkan maka mulailah berkaca dari diri sendiri. Bagaimana bisa kita berharap orang lain melakukan sesuatu yang kita langgar? Maka sesungguhnya tanggung jawab terbesar kita ada pada apa yang kita lakukan, bukan terhadap apa yang dilakukan orang lain.

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (61:2-3)

Kamis, 15 Desember 2011

Dang, Si Anak Laki-Laki

Sosok itu terdiam, membeku dan kaku. Terpendam dalam tanah beberapa meter di bawah. Jasadnya, entah berbentuk apa sekarang. Bahkan sebelum dimakamkan pun luka bakar telah menghiasi kulitnya. Ya, luka yang membawanya kepada kematian.


Orang itu hanya diam tanpa kata. Tetapi orang-orang disini terlalu ribut dengan berbagai spekulasi dan teori konspirasi. Menerjemahkan perilakunya ke dalam ego dan imajinasi masing-masing, menjadi pembenaran akan kepentingan dan idealisme yang diusungnya. Jika dia yang disana masih bisa berkata, tentulah kita akan bertanya apa maksudnya.


Namun bagaimanapun juga Tuhan tidak pernah menyukai hambaNya yang menyia-nyiakan hidupnya. Dan janjiNya telah pasti. Akan tetapi di zaman modern saat ini Tuhan dianggap sudah ketinggalan zaman. Sehingga apalah pentingnya membicarakan Tuhan dibandingkan dengan reformasi, revolusi, dan politik?


Dan disinilah dia berada. Mati dengan janji akan kemurkaan, namun kita menyebutnya patriot. Entahlah tampaknya orang yang hanya duduk di kejauhan sana bisa dikatakan sebagai pembunuh orang yang menyiramkan bensin ke tubuhnya sendiri. Saat ini aku tidak tahu lagi berapa banyak orang yang masih terlalu bodoh untuk percaya Tuhan.


Apakah tidak cukup dengan murka itu sehingga kita menambahkannya? Dia yang telah mati justru menjadi pembenaran untuk berbagai tindakan amoral, perusakan fasilitas umum, dan semacamnya. Entahlah disini tampaknya membakar diri sendiri jauh dapat menyelesaikan suatu masalah daripada menghentikan orang untuk berbuat kerusakan itu sendiri.


Nasib memang tidak pernah dapat ditebak, begitu pula manusia. Makhluk berakal yang terlalu pintar sehingga sulit untuk dipahami. Mungkin Tuhan pun berdecak heran melihat tingkah polah kita yang semakin tidak karuan saja. Peradaban hanyalah bangunan batu, bukan pondasi moral dan tingkah laku.


Gila!!! Itulah kita saat ini. Apakah kita telah membunuh Tuhan dalam diri kita sendiri dan menukarnya dengan politik? Atau mungkin kita yang terlalu egois, mengambil keuntungan dari kematian seseorang demi kepentingan tertentu? Ataukah saya yang terlalu gila sehingga tidak dapat memahami kebenaran? Entahlah. Andai kita bisa bertanya pada anak muda itu. Dan bagiku, Tuhan tidak dapat diperdebatkan dan diajak berdebat.


gambar: mattthesamurai.deviantart.com

Sabtu, 10 Desember 2011

Hidup dalam Bayangan

gambar: vadonny88.deviantart.com
Lelaki itu menghentikan langkahnya sejenak, meneruskan pandangannya kepada segerombol mahasiswa yang berdiri di depan sana. Kepayahan menahan terik panas yang membuat orang tidak betah berada di luar ruangan  mereka tetap berdiri dengan penuh semangat dan teriakan. Tapi untuk apa?

Penindasan dan ketidakadilan serta kekurangan memang untuk dikritisi agar dapat berusaha menjadi lebih baik lagi. Namun seharusnya kebaikan juga berhak mendapatkan apresiasi sebagaimana kesalahan mendapatkan kritik. Bukan justru kebaikan pun dikritik secara membabi buta ibarat orang yang belum akhil baligh tidak bisa membedakan kebaikan dan keburukan.

Kini sudah bukan lagi zaman orde baru dimana demonstrasi adalah suatu tontonan yang langka. Kini orang justru telah muak dengan berbagai demonstrasi di jalanan. Beberapa dari mereka yang lebih kreatif melakukan demonstrasi melalui seni, musik, wayang, lukisan, dan berbagai macam media elektronik yang menjamur bak cendawan di musim hujan. Bentuk-bentuk yang seringkali justru diapresiasi sebagai sebuah bentuk kritikan cerdas.

Lalu untuk apa mereka disana? Memperjuangkan gagasan yang bisa mereka wujudkan dengan tangan mereka sendiri tetapi lebih tertarik untuk berteriak di jalanan dan sekali lagi menjadi simbol dari perlawanan terhadap penindasan. Mengapa berpuas diri menjadi simbol jika kita bisa berusaha sendiri? Apakah kita terlalu malas bertindak dan berharap sebuah simbol dapat menyelesaikan permasalahan yang ada?

Orang akan menempuh berbagai cara untuk meraih cita-cita dan tentunya akan mencoba jalan paling efektif untuk meraihnya. Namun apa yang laki-laki itu lihat disana bukanlah demikian. Maka muncul gagasan apakah mungkin bahwa terwujudnya cita-cita tersebut bukanlah sesuatu yang mereka inginkan?

Lalu disana dia melihat bayangan yang menaungi mereka. Bayangan prestasi dan keberhasilan mahasiswa untuk bersatu padu membuat perubahan besar melalui demonstrasi pada zamannya. Apakah itu arti dari ini semua? Sebuah bentuk perwujudan untuk menunjukkan eksistensi suatu generasi pada generasi lainya? Apakah ini semua hanya untuk itu, eksistensi? Maka kasihanilah mereka yang hidup dalam bayang-bayang orang lain.


Kamis, 08 Desember 2011

Dibenci oleh yang Dipuja

Siapa tidak kenal Soe Hok Gie? Nama yang sangat populer di kalangan mahasiswa, aktivis, idealis, atau apapun lah itu namanya. Saya pribadi tidak begitu mengnalnya karena mungkin saya bukan seorang idealis, aktivis, atau apapunlah itu. Kalaupun ada orang yang menyebut saya demikian, saya pribadi tidak begitu suka dengan sebutan itu.


Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi. (Soe Hok Gie)


Satu hal yang menarik adalah bagaimana para aktivis idealis tersebut begitu memuja-mujanya, mendengaungkan kata-katanya ke seantero negeri demi menyampaikan pesan tersebut. Seolah mereka hendak menjadi Gie berikutya. Dengan idealisme menantang semuanya.

Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun. (Soe Hok Gie)

Namun beberapa kata-kata Gie menyadarkan saya. Apa yang saya lihat saat ini, justru sebagian dari mereka yang menganggap Gie sebagai pahlawan adalah mereka yang dibenci oleh Gie sendiri. Benarkah?


gambar: muhammadharir.deviantart.com






NB: Omong-omong maaf jika akhir-akhir ini saya jadi terlalu sering manulis. terlalu banyak omong kosong idealisme yang tidak sesuai dengan perilaku yang terjadi di kampus saya. Maaf juga jika kali ini saya menggunakan kata "mereka" dan bukan "kita" meski saya mungkin bagian dari "mereka"

Aku Selalu Paling Benar

Apa itu kebenaran? Sebuah pertanyaan klasik dengan beribu jawaban. Mulai dari idealis sampai pada pragmatis. Menempatkan sebuah tujuan sebagai simbol suci untuk dijunjung tinggi dan pada akhirnya memaksa orang lain untuk mensucikannya juga. Mereka yang menolaknya, katakan saja mereka tidak bermoral, egois, dan berbagai macam makian yang entah bagaimana bisa keluar dari mulut-mulut orang yang suci tersebut. Suci karena mereka bersama kebenaran.
adakah musuh kita selalu salah dan kita selalu benar?
Aku telah bertemu dengan berbagai orang dan tiap orang tersebut mendefiniskan sendiri kebenaran mereka. Kebenaran yang berbeda itu bagi tiap orang menjadi Tuhan mereka, mereka marah ketika orang tidak setuju dan menganggap orang tersebut kafir dari kebenaran mereka. Tidak sadarkah bahawa kita sendiri pun belum sepakat dengan kebenaran kita?
adakah kita akan menyebut sesuatu yang merugikan diri kita sebagai kebenaran?
Lalu pada akhirnya sampailah saya pada penghujung simpulan. Mulut boleh berkata karena lidah tak bertulang, tetapi tindakan membuktikan apa yang sebenarnya berada dalam pikiran. Kebenaran adalah sebuah bentuk kepenntingan yang disucikan. Itulah sebabnya kebenaran selalu berubah.
pada akhirnya kita belum bisa menjunjung tinggi kebenaran, apa yang kita junjung selama ini adalah kepentingan
Pada akhirnya kita harus bercermin pada tindakan kita. Apakah memang seperti itukah kebenaran? Sebuah kepentingan pribadi yang disucikan. Membuat diri sendiri menjadi sangat bermoral karena menjunjungnya dan merendahkan moral orang lain karena berbeda. Pada akhirnya semua orang merasa paling benar sendiri dan tak ada orang yang paling salah. Selama kepentingan diperjuangkan, maka saat itulah kebenaran ditegakkan. Eh?


gambar: do-while.com

Rabu, 07 Desember 2011

Goblok

Kita ini Goblok! Sibuk memperbaharui undang-undang, menyusun berbagai macam aturan, memasang alat presensi sidik jari, menaikkan remunerasi, mennerbitkan berbagai macam tes dan ijazah. Padahal ini semua adalah masalah moral.


saveyoutube.blogspot.com

Selasa, 06 Desember 2011

Belajar Dahlan

Dia yang selalu percaya. Ketika orang lain merasa dirinya sendiri yang terbaik dan superior, dia percaya bahwa setiap orang memiliki keahliannya masing-masing. Meyingkirkan ego untuk menjadi dominan dan memberi kepercayaa orang lain untuk menyelesaikan masalah yang ada.


Dia yang selalu menghargai. Ketika orang lain lebih suka mengeluh dan mengkritik, dia percaya bahwa setiap orang telah melakukan usahanya semaksimal mungkin untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Maka yang diperlukan adalah apresiasi untuk terus berprestasi dan bantuan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik lagi.


Dia yang apa adanya. Ketika orang lain mendambakan kenyamanan dan kemewahan sebagai bagian dari pekerjaannya, dia lebih suka turun langsung ke lapangan. Apa adanya melihat kenyataan dengan mata baginya tampak lebih meyakinkan daripada deskripsi-deskripsi dalam lembaran kertas. Dia yang tidak segan untuk repot karena itu memang tugasnya. Menyingkirkan jas, sepatu kulit, dan segala bentuk formalitas yang mengganggu pekerjaannya.


Dia Dahlan Iskan.


sumber: dahlaniskan.wordpress.com

Jumat, 02 Desember 2011

Mengintip Pasar Tradisional

sumber: 9hand.deviantart.com
Pasar Tradisional seringkali digunakan untuk menggambarkan kegagalan sistem tradisional melawan modernisasi. Di sisi lain keberadaannya juga sering digunakan sebagai simbol perlawanan rakyat miskin terhadap industri kapitalis dewasa ini.

Banyak pihak telah berusaha untuk membangun kembali Pasar Tradisional agar bisa bersaing dengan pasar modern. Pembangunan secara fisik maupun pemberdayaan masyarakat terus dikuatkan agar Pasar Tradisional bisa tetap bertahan dalam menghadapiu modernisasi. Akan tetapi seringkali kebijakan modernisasi yang diambil justru menghancurkan Pasar Tradisional itu sendiri.

Pasar untuk Apa
Lha orientasine bisnis kok, yo makane bubrah
Kata-kata tersebut meluncur dalam obrolan santai di sebuah bengkel bersama seorang kakek tua. Pada saat itu, diskusi mengalir kepada keberadaan sebuah pasar tradisional di sekitaran Kraton Yogyakarta yang baru-baru ini mengalami sedikit perombakan.

Kalau kita cermati sebenarnya kata-kata tersebut cukup aneh. Selama ini pasar sebagai pusat perdagangan selalu kita asosiasikan dengan kegiatan ekonomi untuk mencari keuntungan. Maka seharusnya sangatlah wajar jika pengembangan pasar berorientasi pada bisnis.

Saya mencoba mencermati kehidupan pasar tradisional. Disana saya menemukan sebuah fenomena yang cukup mengejutkan. Pasar sejatinya bukan hanya sebagai tempat kegiatan ekonomi. Namun di sisi lain pasar tradisional juga memiliki nilai sosial dan historis yang cukup tinggi. Seseorang pergi ke pasar tidak hanya untuk membeli sesuatu, ada hal lain yang dicari oleh orang-orang tersebut.

Pertimbangan seseorang untuk pergi ke pasar tradisional tidak hanya dari sisi ekonomi saja. Ada faktor-faktor lain yang sama pentingnya. Namun sayangnya pengembangan pasar tradisional dewasa ini gagal untuk menangkap faktor-faktor tersebut sehingga pembangunan justru menghancurkan pasar itu sendiri.

Pasar untuk Siapa
Tuna sathak bathi sanak
Kita tentu tidak akan sukses menjual kondom kepada anak SD, begitu juga kita akan mengalami kesulitan menjual permen kepada para lansia. Intinya bahwa setiap produk memiliki pangsa pasar masing-masing. Lalu bagaimana dengan pangsa pasar tradisional?

Jika kita tengok di lapangan, maka dapat dikatakan bahwa mayoritas pengunjung pasar tradisional berasal dari golongan menengah ke atas dari segi usia. Jika kita tilik dari segi budaya, itu artinya para pengunjung pasar tradisional sebenarnya juga merupakan orang-orang degan nilai budaya yang masih tradisional pula.

Masyarakat tradisional ini memiliki keunikan terendiri. Salah satunya adalah adanya kebutuhan yang besar akan hubungan sosial. Kebutuhan inilah yang salah satunya dapat mereka penuhi dan memang mereka cari di pasar tradisional.

Berbeda dengan pasar modern (supermarket) yang cenderung menawarkan kebebasan dan privasi dalam berbelanja, pasar tradisional justru menawarkan kehangatan dan perhatian kepada para pembelinya. Jika kita cermati dari obrolan yang terjadi tidak hanya sebatas tema ekonomi, tetapi juga menyangkut keluarga, politik dan tema sosial lainnya.

Bukan hal yang aneh jika para penjual mengenali (tidak hanya sebatas nama) para pembelinya. Begitu juga para pembeli biasanya memiliki langganan sebagai rujukan mereka dalam membeli. Langganan ini tercipta tidak hanya dengan satu dua kali interaksi saja namun terbentuk secara lama dan berkelanjutan sehingga mengakar kuat.

Inilah sebabnya seringkali kita jumpai beberapa pelanggan yang rela menempuh jarak yang cukup jauh untuk membeli barang tertentu yang sebenarnya dapat juga mereka dapatkan di pasar tradisional lain di dekat rumah mereka. Kepercayaan, kehangatan, dan hubungan sosial menjadi kunci terpenting dalam interaksi ekonomi yang terjadi.

Kumuh, Kotor, dan Sesak
Ketika mendengar kata pasar tradisional, seringkali yang terlintas dalam pikiran kita adalah keadaan fisiknya yang kumuh, kotor, becek dan penuh sesak. Hal-hal ini seringkali ditengarai menjadi faktor yang menyebabkan pasar tradisional perlahan ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini sagat wajar mengingat perkembangan penyakit dewasa ini yang semakin mengerikan membuat tuntutan akan kebersihan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan.

Berangkat dari hal tersebut, pengembangan pasar tradisional mencoba untuk menghilangkan hal-hal tersebut. Pasar dibangun dengan cukup terbuka dan jalanan dibikin cukup lebar. Bahkan dalam kasus di Kabupaten Bantul pasca gempa pasar tradisional dibangun lebih besar dengan tujuan agar pedagang tidak berdesak-desakan.

Namun langkah tersebut justru menjadi buah simalakama. Keadaan pasar tradisional yang rapi dan lenggang justru mengesankan bahwa pasar tersebut semakin sepi. Hal ini tentunya sangat mengecewakan para pelanggan pasar tradisional karena pada dasarnya mereka menginginkan keramaian.

Keramaian yang seringkali dianggap sebagai faktor negatif, di satu sisi juga menjadi faktor positif ketahanan pasar tradisional. Hal ini dikarenakan bahwa pelanggan pasar tradisional yang berasal dari masyarakat tradisional tersebut mengharapkan pemenuhan kebutuhan sosial mereka di pasar. Kondisi pasar yang terkjesan sepi memunculkan anggapan bahwa pasar tradisional tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan sosial mereka. Pada akhirnya mereka menjadi semakin enggan berkunjung.

Melawan Modernisasi
Perkembangan zaman dewasa ini mengarahkan pada spesialisasi manusia. Orang diarahkan untuk memiliki kemampuan khusus dibandingkan kemampuan umum. Hal ini juga merambah dalam dunia rumah tangga.

Rumah makan misalnya, kini kian menawarkan beragam produk masakan dan makanan yang sebelumnya harus dimasak sendiri di rumah. Pada akhirnya hal ini menawarkan kepraktisan, orang tidak lagi harus membuat sendiri makanan yang mereka inginkan. Cukup membeli saja praktis tersedia.

Dampaknya pengunjung pasar tradisional kian berkurang. Di sisi lain rumah makan dan restoran semacam ini biasanya telah memiliki distributor tersendiri. Distributor ini seringkali (dalam skala besar) membeli langsung dari petani tanpa melalui pasar tradisional.

Tantangan lain yang dihadapi pasar tradisional adalah adanya pasar swalayan. Pasar swalayan atau supermarket ini menawarkan produk yang lebih bersih dan higienis. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri terutama bagi masyarakat modern yang sangat mementingkan faktor kebersihan. Ditambah lagi seringnya tayangan dan adanya oknum pedagang nakal yang seringkali merusak reputasi pasar tradisional sehingga mengarahkan masyarakat untuk beralih ke pasar modern.

Di sisi lain pedagang keliling semakin banyak. Dalam dunia yang serba sibuk waktu menjadi sangat penting sehingga pedagang keliling menjadi alternatif yang praktis dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Meski demikian seringkali produk yang mereka tawarkan tidak begitu lengkap sehingga masyarakat tetap harus pergi ke pasar untuk membeli produk-produk tertentu.

Mari ke Pasar
Dahulu pemandangan dimana anak-anak ikut bersama orang tua mereka untuk pergi ke pasar merupakan pemandangan yang wajar. Namun kini dunia menjadi semakin sibuk bahkan untuk anak-anak. Mereka terlalu disibukkan dengan televisi dan pendidikan usia "terlalu dini" yang marak di kota-kota besar. Terlebih seringkali pembantu mereka lah yang ke pasar dan bukan orang tua mereka.

Sehingga wajar jika generasi mendatang nantinya tidak lagi berkunjung ke pasar. Pasar tradisional sebagai sebuah struktur sosial seharusnya memiliki sistem regenerasi yang baik agar bisa tetap bertahan. Regenerasi ini meliputi pedagang maupun konsumen itu sendiri.

Oleh karena itu perlulah mengajak generasi muda untuk berkunjung kembali ke pasar tradisional. Kunjungan ini bisa diprakarsai dari diri sendiri maupun dari institusi pendidikan mulai dari yang terkecil hingga yang tertinggi. Terlebih jika dalam kunjungan ini dapat terjalin interaksi sosial dan tidak hanya sekedar melihat-lihat layaknya berkunjung ke kebun binatang. Akan tetapi kunjungan kecil saja dapat membuah perubahan besar.

Pasar sebagai pusat interaksi sosial hendaknya juga turut dikembangkan menjadi sebuah keunggulan tersendiri bagi pasar tradisional dibandingkan pesaingnya yaitu pasar modern. Keunggulan ini menjadi kunci pengembangan pasar ke depan dalam menghadapi modernisasi sehingga tercipta sebuah akulturasi yang memantapkan kedudukan pasar tradisional dalam kehidupan modern.



=======================================================

Tertarik untuk mengembangkan pasar tradisional? Gabung saja dengan Relawan Sekolah Pasar (klik)
http://sekolahpasar.com/

Kamis, 01 Desember 2011

Negeri Sarkastik

Sungguh Elok Nian Negeri ini. Rakyatnya kaya raya, bahkan tanah subur pun mereka tolak. Mereka tidak membutuhkannya. Lantas mereka tutupi saja tanah tersebut dengan bebatuan keras dan keangkuhan. Memendam sejarah dan warisan nenek moyang dengan modernisasi.


sumber: just-di.deviantart.com




Disini, orang tidak perlu bekerja keras. Dengan demonstrasi permasalahan dapat terselesaikan. Dengan Undang-Undang masyarakat menjadi bermoral. Dan dengan Uang, ya Uang, tidak ada satupun permasalahan yang tidak dapat diselesaikan. Bukankah semua masalah di dunia ini hanyalah tentang kemiskinan? Moralitas dan akhlak hanyalah kata-kata penghibur yang membuat rakyat miskin tetap tenang.


Laku tidaklah penting, yang penting adalah simbol. Semua tentang simbol, ketika simbol dipertarungkan dan menang, maka keadaan akan berubah. Seolah simbol adalah dunia itu sendiri. Tindakan tidaklah penting, karena semua itu tidak ada artinya dibandingkan simbol.


Mendadak manusia hanya menjadi objek. Benda yang hanya dapat terpengaruh tanpa memberi pengaruh. Cukuplah dengan aturan, demonstrasi, dan simbol-simbol ini dunia bisa menjadi tempat yang labih baik dengan masyarakat mendadak menjadi bermoral.

Rabu, 30 November 2011

Kenapa saya dituduh sebagai koruptor?

Saya orang baik-baik, warga negara Indonesia asli. Terlebih lagi saya adalah orang yang suka memberi manfaat kepada sesama. Orang tua saya selalu mengajarkan kepada saya untuk selalu menolong orang lain. Biasanya petuah tersebut disampaikan bersama nukilan ayat suci, ungkapan Jawa, dan cerita Wayang.


Pada dasarnya kita adalah orang-orang baik. Terlalu baik malah, bahkan terhadap koruptor sekalipun.

Sebagai warga negara yang baik, saya memperpanjang KTP tepat waktu. Dimulai dengan meminta surat izin dari RT sembari melampirkan sedikit recehan. Kasihan, Ketua RT selalu bekerja tanpa diberi imbalan apapun. Padahal dia manusia juga, dia juga butuh makan. Begitu juga Ketua RW.
paramarimas.blogspot.com

Saya tahu bahwa membuat KTP itu gratis, tetapi saya juga tahu bahwa gaji PNS itu kecil. Oleh karena itu ketika saya harus "membeli" formulir yang bisa saya kopi sendiri dengan harga 50x lipat saya diam saja dan menyelipkan beberapa lembar yang dia inginkan. Itu semua demi membantu kesejahteraan mereka. Bantuan yang sama yang saya berikan juga kepada Polisi ketika membuat surat kehilangan yang biasa juga disebut "bantuan administrasi".

Bantuan yang secara "sukarela" diberikan untuk "membantu" mereka yang "membutuhkan". Karena sejatinya kita adalah masyarakat baik, masyarakat yang suka menolong satu sama lain. Kini ketika kebaikan dituduh sebagai korupsi, akankah kita kehilangan nurani dan rasa persaudaraan kita ditelan kemajuan zaman?


Di akhir bait, teriring doa semoga KPK segera dapat membubarkan diri.

Jumat, 25 November 2011

Mengenal Pendidikan

Berawal dari berita beberapa waktu yang lalu dan tulisan seorang teman mengenai perbedaan dan perbedaan jalur sarjana dan diploma maka saya menjadi tergerak untuk menuliskan gagasan yang telah lama tertanam dalam benak saya. Gagasan ini sebenarnya telah saya singgung sedikit dalam tulisan saya sebelumnya namun saya ingin mengungkapkan gagasan tersebut dalam bentuk lain yang lebih terfokus (karena tulisan sebelumnya saya tulis untuk mengkritisi sebuah kebijakan waktu itu).

Masyarakat awam banyak yang kurang memahami tentang alur pendidikan kita. Semua pendidikan dianggap berjenjang dalam satu alur yag tidak bercabang. Mulai dari playgroup yang paling rendah hingga Doktor. Padahal dalam prakteknya terdapat percabangan pada tingkatan-tingkatan tertentu yang mengarah pada spesialisasi dan spesifikasi keahlian tertentu.

Ketidaktahuan ini berdampak pada kesalahpahaman terhadap tujuan pendidikan yang kita alami selama ini. Sehingga mucul anggapan bahwa pendidikan seringkali tidak sesuai dengan dunia kerja (meskipun perbedaan itu ada, namun tidak sebesar anggapan masyarakat yang salah kaprah). Selain itu muncul penyalahan terhadap sistem padahal kita sendiri yang salah masuk sistem. Ibarat kata kita menyalahkan supir bis karena tidak mengantar kita ke tempat yang kita inginkan, padahal kita sendiri yang salah naik jalur.

Dalam tulisan ini saya akan membahas berbagai bentuk pendidikan formal beserta tujuannya sehingga dapat memberikan gambaran kepada kita akan arah pendidikan kita nantinya.

bagan pendidikan


Taman Kanak-Kanak
Sebenarnya tingkatan pendidikan formal dimulai dari tingkat sekolah dasar. Akan tetapi dewasa ini di lingkungan perkotaan TK sendiri seolah menjadi bagian pokok dari pendidikan anak-anak. Bahkan tidak jarang TK dan playgroup dewasa ini memasukkan unsur-unsur akademis dengan sangat kental. Mulai dari bahasa Inggris, menulis, dan sebagainya.

Padahal TK sendiri merupakan jenjang peralihan dari kehidupan anak di rumah menuju kehidupan sosial sekolah. TK mengajarkan anak untuk bersosialisasi dengan orang lain. Jika sebelumnya sosialisasi anak hanya kepada keluarga dan kerabat di rumah, di TK anak diajarkan untuk bersosialisasi dengan teman sebaya dan orang asing. Itulah tujuan utama dari TK.

Sedangkan pendidikan mengenai baca tulis dan sebagainya sebenarnya hanya merupakan ekstra atau tambahan saja. Sayangnya kemajuan anak dewasa ini memaksa anak-anak balita untuk melakukan lebih dari itu. Orang tua seringkali memasukkan anaknya ke dalam TK tertentu agar pandai berbahasa Inggris, baca tulis dan sebagainya. Dalam taraf tertentu hal ini justru menjadi beban bagi anak tersebut.

Sekolah Dasar & Madrasah Ibtidaiyah
Dari sinilah seharusnya anak mulai belajar nilai-nilai akademis. Di SD anak diajarkan baca tulis dan dikenalkan dengan pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya umum. Pengetahuan ini masih sangat mendasar dan hanya bersifat mengenalkan.

Namun akibat akselerasi zaman dewasa ini terjadi salah kaprah bahwa anak belajar baca tulis dari TK. Bahkan kemampuan baaca tulis menjadi syarat masuk sekolah dasar. Kemampuan yang seharusnya baru diajarkan pada tingkatan ini. Efek lainnya pengetahuan yang diajarkan di SD tidak lagi sebatas memperkenalkan tetapi lebih dari itu. Ini tentaunya menjadi beban bagi anak tersebut.

Selain SD dikenal juga Madrasah Ibtidaiyah pada tingkatan yang sama. MI sendiri merupakan jenjang yang sama dengan SD, hanya saja memiliki penekanan pada agama lebih dominan. Tujuannya tentu menciptakan ahli-ahli agama, ustad dan ulama. Mi sendiri berada di bawah Departemen Agama berbeda dengan SD yang berada di bawah Departemen Pendidikan. Hal yang sama juga dikenal pada tingkatan selanjutnya yang dikenal dengan MTS dan MAN.

Meski demikian pada prakteknya penekanan ini seringkali kurang tampak. Beberapa MI tetap lebih mengutamakan ilmu-ilmu umum daripada ilmu agama itu sendiri. Sehingga yang nampak bukan sekolah agama tetapi lebih kepada sekolah umum bernuansa agama.

Sekolah Menengah Pertama & MTS
Pada tingkatan ini pengetahuan diajarkan secara utuh. Berbagai cabang ilmu utama diajarkan kepada para siswa. Tujuannya adalah mengantarkan siswa pada jenjang pendidikan berikutnya. Semua cabang utama diajarkan dan dikenalkan namun tidak secara mendalam.

Disinilah para siswa seharusnya mulai menentukan masa depannya. Pekerjaan apa yang dia inginkan, ilmu apa yang ingin dia pelajari, dan sebagainya sebaiknya sudah dipikirkan. Hal ini mengingat pada jenjang berikutnya telah terjadi percabangan dan spesifikasi.

Sekolah Menengah Kejuruan
Pada jenjang ini pendidikan formal mulai mengalami percabangan. Pada model SMK siswa diarahkan pada pendidikan mengenai keterampilan-keterampilan praktis dalam bekerja. Keterampilan ini pun terspesifikasi dengan sangat jelas terbentuk dalam jurusan-jurusan. Tiap-tiap jurusan mewakili keahlian-keahlian tertentu yang terspesifikasi. Lulusannya merupakan tenaga kerja terampil yang siap bekerja. Mereka memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai dalam bekerja sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Hanya saja seringkali melekat stigma negatif pada jenjang pendidikan ini. SMK seringkali dicap sebagai sekolah untuk masyarakat menengah ke bawah. Penjelasan mengenai stigma ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya.

Sekolah Menengah Atas & MAN
SMA & Man memiliki tingkatan yang sama dengan SMK. Hanya saja instanti-instansi ini memiliki tujuan yang berbeda. Jika SMK mendidik siswa sebagai tenaga kerja terampil, SMA dan MAN sendiri hanya memperdalam ilmu yang diajarkan di SMP & MTS. Tujuannya hanya sebatas menyiapkan siswa untuk menuju jenjang pendidikan berikutnya.

Inilah yang sering tidak dipahami oleh masyarakat umum bahwa SMA memang tidak mendidik siswanya menjadi tenaga kerja. Jadi suatu hal yang sangat wajar jika lulusan SMA seringkali kurang siap menghadapi dunia kerja karena memang jenjang ini tidak mengarahkan siswanya menjadi tenaga kerja.

Diploma
Program pendidikan ini juga seringkali dianggap sama dengan prodi Sarjana dan hanya dibedakan oleh lamanya masa studi (bahkan dalam program D4 masa studinya sama). Padahal keduanya memiliki tujuan yang sangat berbeda. Diploma sendiri sedikit banyak mirip dengan jenjang pendidikan SMK. Dimana pada program pendidikan ini mengarahkan siswanya menjadi tenaga-tenaga kerja ahli terutama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya teknis.

Lulusan dari jenjang pendidikan ini memiliki kemampuan dan keterampilan kerja yang sangat memadai dalam bidang teknis. Keahlian yang diajarkan lebih bersifat praktis dan dapat langsung diterapkan dalam kehidupan nyata. Dalam perusahaan-perusahaan dan instansi-instansi besar lulusan diploma dipercayakan untuk menangani hal-hal yang bersifat praktis atau langsung.

Sarjana
Lain halnya dengan Diploma, tujuan utama dari program pendidikan ini adalah menyiapkan siswa-siswanya menuju jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu Master (S2). Selain itu dalam beberapa ilmu tertentu lulusan jenjang ini dapat mengambil program profesi.

Jika dalam program Diploma ilmu-ilmu yang diajarkan bersifat praktis dan langsung dapat diterapkan, maka program Sarjana justru mengajarkan ilmu-ilmu yang bersifat teoritis. Hal ini dikarenakan program ini mengajarkan siswanya untuk mendalami suatu ilmu tertentu dan diharapkan untuk dapat mengembangkannya.

Meski demikian program ini mendidik siswanya untuk dapat melakukan analisa-analisa terhadap suatu permasalahan yang ada. Keahlian inilah yang seringkali dibutuhkan oleh instansi-instansi dan perusahaan untuk mengatasi masalah mereka. Oleh karena itu lulusan Sarjana biasanya ditempatkan sebagai analis dan tugasnya kurang begitu praktis dibanding program Diploma.

Persepsi yang Salah
Kesalahan persepsi juga terjadi dalam dunia kerja. Seringkali muncul anggapan bahwa pekerjaan terbaik adalah pekerjaan di balik meja dan bukan pekerjaan yang menggunakan keterampilan kasar. Anggapan ini memunculkan adanya satu pekerjaan terbaik di dunia ini dan di sisi lain ada satu pekerjaan terburuk. Semakin banyak keterampilan kasar yang digunakan maka semakin buruk pekerjaan tersebut, begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya semua orang bercita-cita untuk mendapatkan pekerjaan di balik meja.

Gejala ini sangat tampak terutama pada petani. Para petani ramai-ramai menyekolahkan anaknya agar bisa mendapatkan pekerjaan yang "lebih baik" dan menjadi orang orang kantoran. Sebaliknya sangat jarang kita jumpai petani yang menyekolahkan anaknya agar dapat membantu meningkatkan hasil panen ayahnya.

Padahal tidak ada pekerjaan yang paling baik di dunia ini. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda yang masing-masing memiliki kecocokan pada pekerjaan tertentu. Pada akhirnya pertanyannya bukanlah apa pekerjaan kita melainkan seberapa baik kita bekerja.

Jangan berpikir bahwa pekerjaan di balik meja selalu mendapatkan hasil berupa uang yang lebih besar. Tentu kita bisa saksikan berapa banyak pelukis, seniman, mekanik, pembuat kerajinan, ahli dekorasi, yang hampir semuanya lebih banyak menggunakan keterampilan kasar mendapatkan hasil yang jauh lebih banyak terhadap mereka yang duduk di belakang meja.

Maka yang harus kita lakukan adalah pahami sistem yang ada kemudian pilihklah jalan yang kita inginkan. Dan ingatlah bahwa yang terbaik adalah berada di tempat kita sendiri dan menjadi diri kita sendiri.

Sabtu, 05 November 2011

Sekilas mengenai Grounded Research

Grounded Research atau Grounded Theory merupakan sebuah metode yang tergolong baru dalam ilmu sosial. Metode ini pertama kali dikenalkan pada cabang ilmu sosiologi oleh Glasser dan Strauss dalam bukunya berjudul The Discovery of Grounded Theory pada tahun 1967. Metode ini kemudian lebih lanjut dikembangkan oleh Schlegel. 

sumber: qualmethods.wikispace.com
Grounded Theory berangkat dari keprihatinan akan terbatasnya metode penelitian untuk meneliti objek-objek kajian yang belum begitu banyak diteliti sehingga belum banyak teori yang dimiliki. Terlebih dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang didominasi paham positivism dan metode kuantitatif. Oleh karena itu Strauss & Glasser menciptakan metode ini untuk menjawab tantangan tersebut. 

Glasser dan Strauss (1967) mendefinisikan grounded theory sebagai sebuah metode penelitian induktif terhadap wilayah yang belum begitu diketahui. Penelitian ini mencoba membangun sebuah pengetahuan dari awal yang berbasis pada data di lapangan. Dalam prakteknya metode ini tidak hanya digunakan untuk meneliti wilayah-wilayah yang belum begitu diketahui tetapi juga seringkali digunakan untuk mengkritisi atau melawan teori-teori yang telah ada sebelumnya. 

Secara umum menurut Payne (2007) grounded theory dapat digunakan untuk situasi sebagai berikut: 
  1. Wilayah penelitian yang belum banyak diketahui 
  2. Belum ada teori yang menjelaskan keadaaan yang terjadi 
  3. Peneliti ingin membandingkan/menantang teori yang sudah ada 
  4. Peneliti ingin mencari tahu pemahaman, persepsi, dan pengalaman partisipan 
  5. Peneilitian ini bertjuan membagun suatu teori yang baru 
Keunggulan metode ini ada pada kemampuannya untuk meneliti wilayah-wilayah yang belum memiliki banyak penjelasan atau teori. Selain itu metodenya yang berbasis data bisa dikatakan lebih sesuai dan mengakomodasi perbedaan yang ada sesuai dengan kenyataan di lapangan. 

Berbeda dengan metode penelitian lainnya, Grounded Research mengharuskan peneliti untuk tidak berhipotesis. Hal ini dilakukan agar kemampuan pemahaman peneliti tidak dibatasi pada teori-teori atau anggapan-anggapan tertentu. 

Meski demikian bukan berarti peneliti tidak tahu apa-apa sama sekali mengenai tujuan dan tema penelitian. Peneliti tetap harus memiliki tujuan dan pengetahuan terhadap hal itu sebelumnya, namun semua dugaan-dugaan tersebut hendaknya dihindari agar tidak terjadi bias dalam mengintepretasikan data yang ada. 

Sebagian orang berpendapat bahwa Grounded Research lebih ke arah suatu pendekatan daripada metode itu sendiri. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaannya metode ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan etnografi misalnya. 

Dalam metode ini peneliti harus berpartisipasi aktif. Dalam tema-tema tertentu yang menyangkut etnis tertentu misalnya peneliti bahkan harus terju langsung dan tinggal dalam masyarakat tersebut. Tujuannya adalah agar peneliti tidak lagi dianggap outgroup tetapi menjadi ingroup dari subjek penelitiannya tersebut. Kedekatan peneliti dengan subjek sangat penting agar dapat memiliki data secara mendalam dan tidak mengalami bias dalam memahaminya. 

Dalam hal analisis pun tidak jauh berbeda dengan metode kualitatif lainnya yang meliputi open coding, axial coding dan selective coding. Namun secara lebih detail Payne (2007) menjelaskan metode analisis tersebut sebagai berikut: 
  1. Pengumpulan data. Pengumpulan data dapat dilakukan melalui metode observasi mauun wawancara 
  2. Transkrip data. Data yang dimiliki kemudian dijadikan transkrip secara tertulis untuk memudahkan analisis 
  3. Develop InitialOpen Coding dan kategorisasi dilakukan terhadap data yag telah dimiliki. Open Coding merupakan identifikasi dan pemberian label terhadap unit-unit yang bermakna. Unit ini bisa berupa kata, kalimat, ataupun paragraf. 
  4. Saturate CategoriesUnit-unit yang memiliki kemiripan disatukan untuk membentuk suatu kategori-kategori tertentu. 
  5. Defining CategoriesKetika kategori telah terbentuk, langkah berikutnya adalah mendefinisikan masing-masing kategori tersebut. 
  6. Theoritical SamplingDari kategori yang ada digunakan untuk membentuk kategori-kategori selanjutnya da melakukan pengujian terhadap kategori yag telah dibentuk. 
  7. Axial CodingHubungan-hubungan antara jaetgori satu dengan lainnya diperhatikan dan diujikan kembali ke data yang ada. 
  8. Theoritical InterationKategori inti ditemukan dan dihubungkan dengan berbagai sub kategori yang ada. 
  9. Grounding The TheoryDari kategori-kategori tersebut ditarik sebuah simpulan-simpulan megenai topik penelitian tersebut. 
  10. Filling in GapsBagian yang kurang disempurnakan dengan data-data tambahan. 

Perbedaan yang mencolok dan menjadi ciri khas grounded research dibanding metode lainnya ada pada hasilnya. Grounded Theory selalu menghasilkan sebuah teori baru yang berangkat dari data-data yang dimiliki dan diolah dari penelitian tersebut. Sedangkan dalam metode-metode lain hasilnya tidak harus berupa teori baru, melainkan dapat juga berupa deskripsi atau penguatan terhadpa teori yang sudah ada. 

Teori ini kemudian bisa menjadi pelopor atau teori yang pertama dalam suatu tema tertentu. Selain itu teori ini juga bisa menjadi alternatif dari teori-teori yang sudah ada dalam suatu tema tertentu. 

Metode ini menuntut totalitas dan komitmen dari peneliti itu sendiri karenametode ini bukan metode praktis yang dapat dilaksanakan dalam waktu singkat. Perlu pertisipasi aktif selama berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun untuk mendapatkan data yang berkualitas. Telebih dalam kondisi-kondisi tertentu dimana tema penelitian bukan merupakan hal yang gampang dicerna dalam permukaan. 

Kekurangan peneliti dalam keterlibatannya pada subjek penelitian berpengaruh pada hasil penelitiannya itu sendiri. Terlebih dalam grounded research hasil penelitian berupa sebuah teori baru. Kualitas teori itu nantinya ditentukan oleh seberapa jauh peneliti dapat terjun dalam lapangan dan mendapatkan data-data yang ada. Data-data yang terlalu dangkal dan kurang mendalam tentunya tidak dapat dijadikan landasan dari sebuah teori yang kuat. Selain itu tanpa adanya pemahaman yang mendalam mengenai subjek penelitian maka kemungkinan bias yang dapat terjadi akan semakin besar. 

Contoh Kasus
Seorang peneliti tertarik pada suatu masyarakat tradisional di Kalimantan. Peneliti tersebut ingin meneliti tentang makna hidup masyarakat tersebut. Maka sebelum penelitian peneliti tersebut menentukan langkah-langkah dan menggali berbagai informasi dan kajian terhadap tema penelitiannya tersebut. 

Meski telah memiliki beberapa informasi dan kajian sebelumnya, namun peneliti tersebut harus menyingkirkan semua praduga-praduga yang ada sebelum terjun ke lapangan. Seolah peneliti tersebut tidak tahu apapun tentang tema penelitiannya. 

Peneliti tersebut kemudian tinggal bersama masyarakat tersebut selama beberapa waktu sembari melakukan observasi dan wawancara terhadap masyarakat tersebut. Selain itu dengan tinggal bersama masyarakat tersebut diharapkan dapat lebih memahami masyarakat tersebut. Dari observasi dan wawancara itulah data-data penelitian diperoleh. 

Setelah data yang dimiliki dirasa cukup, peneliti kemudian melakukan analisis terhadap data-data tersebut sehingga terbentuk sebuah asumsi atau teori baru berdasarkan data yang dimiliki. Peneliti kemudian mengembalikan data dan teori tersebut ke lapangan untuk diuji kebenarannya. 

Pengambilan data, analisis, dan pengembalian data ke lapangan dilakukan secara terus menerus hingga membentuk suatu teori yang mantap. Hal ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mengambil ulang, konfirmasi, pengolahan, dan sebagainya.

Daftar Pustaka 
Glaser, Barney G. & Strauss, Anselm L. (1967). The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research. Chicago: Aldine Publishing Company. 

Payne, Sheila. (2007). Grounded Theory (Lyons & Coyle. Analysing Qualitative Data in Psychology). London: SAGE Publications.


*) ditulis sebagai tugas mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif

Selasa, 01 November 2011

Suwung Awang Uwung

Disana aku bertemu kembali dengannya. Kala hujan badai menerjang perpustakaan tua, disudut lorong berisi buku-buku kumal yang seakan tidak menarik dibanding buku lain yang berjajar di rak dengan bahasa asing. Ini bukan pertama kalinya aku bertemu.

Nothing is absolute, there are always twilights between night and day, grades between good and evil, shades between black and white, subtleties between love and hate, degrees between happiness and grief, as well asa nuances between male and female. (Boediarjo, 1978)

Entahlah mungkin Tuhan sengaja menciptakan badai ini agar aku terjebak di ruangan itu untuk bertemu lagi dengannya. Bukan lelaki bukan perempuan, dia tidak berbentuk. Bulat karena pantat dan payudaranya. Namun auranya cukup untuk membuat orang terdiam. Raut mukanya menggambarkan kesedihan dan kesenangan secara bersamaan.

Sosok itu tertawa, atau mungkin menangis. Dalam dirinya semua itu sulit dibedakan. Kata-kata bijaksana yang meluncur dari mulut tersenyumnya, tatapan mata sendu seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Semua hal melebur menjadi satu. Tidak ada lagi pertentangan maupun hubungan. Tidak ada lagi derajat maupun tingkatan. Seolah memang seperti itulah seharusnya.

Sabar, Saleh, Sareh. Sugih tanpa bandha, perang tanpa bala maju, menang tanpa ngasorake, weweh tanpa kelangan.

Saat ini aku tidak lagi yakin akan bertemu dengan sosoknya di dunia ini. Jauh, jauh sekali jarak antara kita dan dirinya. Keberadaannya tidak lebih dari sebuah mitos yang tergusur oleh perkembangan zaman. Adakah aku akan jumpa lagi dengannya dalam orang-orang yang aku temui?

Dia yang berbicara dengan dewa dalam bahasa kasar, namun berbicara halus terhadap yang lebih rendah. Bahkan dia lebih merendah lagi, menjadi babu bagi majikan yang bukan siapa-siapa dibanding dirinya. Dirinya adalah tinggi yang rendah. Dewa yang jelata.

Aku adalah puing-puing masa lalu. Terkubur, bangkit untuk mepertahankan. Mengingatkan padamu tentang dirimu, dirinya. Bahwa semua satu, tak ada satu tanpa satu lainnya. Bahwa semua sama. Ingatlah Manunggaling Kawulo Gusti.

Bukan siapa-siapa tapi semua orang. Mengingatkan yang agung akan kelemahan, membisikkan keagungan bagi yang lemah. Tak akan menjadi siapa tanpa orang-orang. Bahwa sejatinya siapa ditentukan oleh orang di sekitar kita, bukan semata diri sendiri.

Dahulu dirinya muncul untuk mepertahankan kita, sebagai sebuah identitas. Melawan mereka yang menerjang, merasuk semua sendi, memukul tulang-tulang. Menang. Kini perang belum usai. Hantaman datang bertubi-tubi, tetapi kita terlalu lengah. Tak sadar akan hantaman yang ada. Akankah dirinya muncul dalam diri kita?

sumber: tembi.org

Senin, 31 Oktober 2011

Dalam Kegelapan

sumber: naddie-catastrophe.deviantart.com

Waktu kecil, saya suka ketika listrik padam di malam hari. Menjauhkanku dari hingar bingar dunia fana, mendekatkanku pada alam yang sesungguhnya. Dalam kegelapan aku merenungi keindahan malam yang selama ini tertutup oleh terangnya peradaban. Dalam kegelapan membuat aku, bapak, ibu, saudara, teman-teman, dan tetanggaku meninggalkan penjara rumah mereka dan keluar bersatu pada dalam gelapnya malam. Meski hanya lilin kecil yang menyala dalam kegelapan, namun hati kami terang. Kami melupakan bahwa peradaban telah membangun tembok imajiner yang telah memisahkan kita selama ini.

Minggu, 30 Oktober 2011

Mati Suri



Aku ingin kembali hidup, menjadi manusia, di dalam dunia. Melihat dan mendengar apa yang dapat menggerakkan hati dan pikiran. Menyentuh sesuatu yang dapat memberikan rasa. Bertindak yang dapat membuahkan perubahan. Bukan sekedar ribuan kalkulasi dan opini mengenai dunia dan manusia.

Jumat, 28 Oktober 2011

Ajining Diri Gumantung ing Lathi

Apa arti sumpah untuk bertumpah darah yang satu? Jika kita masih membela kepentingan masing-masing.


Apa arti sumpah untuk berbangsa yang satu? Jika kita masih saling curiga dan berprasangka.


Apa arti sumpah untuk berbahasa yang satu? Jika kita masih malu berhasa Indonesia dan bangga berbahasa asing.

Memandang Polisi

sumber: nasional.kompas.com
Apa yang pertama kali terlintas di pikiran anda ketika mendengar kata POLISI? Atau mungkin bayangkan anda sedang berkendara di siang hari dengan udara panas terik yang menyengat, tiba-tiba ada seorang polisi di sebelah anda yang menyapa anda. Apa yang anda rasakan waktu itu? Atau ketika anda pulang dari kerja menemukan sebuah mobil polisi dengan sirine menyala berhenti di depan rumah anda?

Seringkali polisi diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat negatif baik dari segi pikiran atau perasaan. Terlepas dari perilaku polisi itu sendiri, itu sebenarnya memang resiko dari menjadi polisi. Dalam tulisan kali ini kita akan membahas mengenai fenomena-fenomena tersebut.

Pembenaran
Apa yang dipikiran ketika seorang polisi menilang kita akibat menerobos lampu merah? Seringkali kita lupa bahwa kita sendiri lah yang bersalah. Ketika kita melakukan suatu perbuatan yang salah, maka diri kita akan mengalami dissonance secara kognitif. Permasalahan ini harus segera dibereskan karena sistem kognitif kita tidak dapat membiarkan dissonance terus terjadi dalam diri kita.

Untuk mengatasi dissonance tersebut, ada dua cara yang dapat ditempuh oleh diri kita. Pertama mengubah keadaan itu sendiri. Misalnya saja kita merasa bersalah karena merokok. Dalam mengatasi rasa bersalah (dissonance) tersebut kita bisa menghentikan perilaku rokok itu sendiri. Selain itu ada cara lain untuk mengatasi dissonance yang kita alami yaitu dengan mengubah cara berpikir atau sistem nilai dalam diri kita. Pada kasus ini kita akan mencari pembenaran atas perilaku merokok tersebut misalnya dengan menganggap bahwa perilaku merokok merupakan perilaku yang dilakukan banyak orang sehingga "boleh" dilakukan.

Kembali pada kasus polisi, apa yang terjadi pada diri kita seringkali mencari pembenaran atas kesalahan yang kita lakukan. Misalnya alih-alih menyadari perilaku kita yang salah akibat menerobos lampu merah, kita justru menyalahkan anggota polisi yang korup dan memang berniat "mencari mangsa" serta ini semua hanya "akal-akalan untuk mencari uang". Sehingga kita merasa benar atas perilaku kita dan menyalahkan polisi. Ini semua terjadi secara automatis sebagai bentuk pertahanan diri dari dissonance.

Conditional Response
Kapan kita bertemu polisi? Seringkali polisi selalu hadir hanya dalam saat-saat buruk. Misalnya kemalingan, perampokan, dan berbagai bentuk kejahatan serta pelanggaran hukum lainnya. maka wajar jika karena kejadian ini lama-lama kita akan melakukan asosiasi membentuk semacam shorcut dengan mengasosiasikan polisi dengan hal-hal buruk.

sumber: http://www.northern.ac.uk
Peristiwa ini dapat kita jelaskan dengan teori Classical Conditioning dari Ivan Pavlov. Ilmuwan tersebut melakukan sebuah eksperimen kepada anjingnya. Awalnya secara automatis anjing tersebut akan selalu mengeluarkan air liur (Unconditioned Respon - UCR) ketika dihadapkan pada makanan (Unconditioned Stimulus - UCS). Kemudian Pavlov membiasakan membunyikan bel (Conditioned  Stimulus - CS) bersamaan dengan hadirnya makanan (UCS) yang akan menimbulkan respon berupa keluarnya air liur (UCR). Setelah hal ini dilakukan berulang kali, ternyata hanya dengan suara bel (CS)  tanpa harus dihadirkan makanan (UCS) anjing tersebut tetap akan mengeluarkan air liur (Conditioned Respon - CR).

Pola yang sama juga terjadi dalam keseharian polisi. Pada mulanya ketika terjadi suatu hal buruk (UCS) secara automatis diri kita akan melakukan respon berupa perasaan dan emosi negatif (UCR). Itu adalah sesuatu hal yang wajar. Kemudian seringkali polisi (CS) hadir dalam hal buruk (UCS) tersebut. Dalam artian CS dan UCS hadir secara bersamaan secara berulang kali. Setelah kejadian tersebut terjadi secara berulang-ulang maka akan terbentuk sebuah pola baru, dimana kehadiran polisi (CS) tanpa perlu disertai suatu hal buruk (UCS) tetap akan menimbulkan respon emosi negatif (Conditioned Respon - CR).

Itu sebabnya polisi seringkali diasosiasikan dengan kejadian-kejadian buruk. Sehingga hanya dengan melihat atau mendengar hal-hal berbau polisi, diri kita akan merespon dengan emosi-emosi dan pikiran-pikiran negatif terhadap polisi itu sendiri.

Tanggung Jawab Besar
Bagaimanapun juga polisi merupakan salah satu aparat yang memiliki kekuasaan yang besar. Dengan jabatannya polisi berhak dan berkewajiban untuk menindak orang-orang yang melakukan kesalahan. Hak dan kewajiban ini melekat bersama dengan profesi itu sendiri dan tidak dapat dipisahkan.

Akan tetapi ada hal lain yang juga melekat atas Hak dan Kewajiban tersebut yaitu tanggung jawab. Polisi diberikan kekuasaan oleh masyarakat, namun di sisi lain masyarakat juga menuntut pertanggungjawaban polisi itu sendiri atas kekuasaan yang mereka berikan. Efeknya segala tindak tanduk polisi akan menjadi perhatian khusus. Polisi sebagai penegak hukum dituntut untuk secara sempurna tidak boleh melanggar hukum itu sendiri.

Adanya pelanggaran hukum sedikit saja, akan menimbulkan "protes" dari masyarakat. Maka seharusnya tiap pelanggaran yang dilakukan polisi mendapatkan hukuman yang lebih berat. Hal ini dilakukan untuk menjaga kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Kepercayaan ini merupakan modal utama dari polisi untuk menggunakan "kekuasaan" yang telah diberikan. Semakin sedikit rasa percaya yang ada, maka semakin kecil pula "kekuasaan" yang dimiliki.

Hanya saja akhir-akhir ini banyak kita jumpai berbagai kasus dimana aparat penegak hukum justru menjadi pelanggar hukum itu sendiri. Celakanya juga terjadi penyalahgunaan kekuasaan hingga yang terjadi dimana oknum-oknum pelanggar hukum tersebut tidak ditindak karena mereka memiliki "kekuasaan".

Hal ini menyebabkan ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum. Akibatnya kepatuhan akan "kekuasaan" dari para penegak hukum pun berkurang drastis. Perilaku brutal dan pelanggaran hukum terjadi dimana-mana karena hilangnya kepatuhan. Kepatuhan yang juga tidak dimiliki oleh oknum aparat penegak hukum.

Perubahan
Berbagai permasalahan tersebut menuntut untuk diselesaikan. Jika tidak permasalahan hukum di Indonesia justru akan menjadi tambah kusut. Tanpa adanya penegak hukum yang dipercaya dan dihormati, kecil kemungkinan ketertiban dan keamanan akan bisa dicapai.

Oleh karena itu penulis mengusulkan beberapa langkah yang sebaiknya ditempuh oleh polisi untuk menghapus stigma negatif dan mengembalikan kepercayaan masyarakat:
  1. Memperbanyak operasi simpatik, dimana polisi tidak memberikan "hukuman" yang berarti kepada masyarakat dalam waktu-waktu tertentu. Misalnya saja tidak semua pelanggaran harus ditilang, sebagian lainnya mungkin cukup dengan diingatkan atau dinasehati. Hal ini sedikit banyak akan menghapus stigma bahwa "tilang hanya sekedar akal-akalan petugas"
  2. memperbanyak kunjungan polisi ke sekolah-sekolah atau instansi lain sebagai langkah preventif juga pengenalan terhadap polisi itu sendiri. Bisa juga dengan mengadakan kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya sosial. Fungsinya untuk menghapus asosiasi antara polisi terhadap segala macam hal yang bersifat negatis.
  3. Adanya penegakan hukum yang tegas dan keras terhadap oknum aparat yang melanggar hukum. Penindakan tersebut diusahakan setransparan mungkin dan diberitahukan kepada publik agar menghindari kecurigaan serta rumor yang dapat timbul.
Itu semua hanya bebeapa saran dari sekian banyak reformasi yang harus dilakukan di dalam tubuh aparat penegak hukum itu sendiri. Hal ini perlu dilakukan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Ketika para pemilik kuasa sudah tidak dapat dipercaya, lalu kepada siapa kita harus percaya?

Kamis, 27 Oktober 2011

Serakah #4

Konon katanya permasalahan utama ekonomi adalah kebutuhan yang tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang terbatas. Lalu kita saling berebut meraih kapital sebanyak mungkin yang mampu kita raup. Semua demi diri kita sendiri. Serakah.


Bagaimana jika itu salah? Bahwa kebutuhan itu berbatas. Syukuri apa yang kita miliki. Dan ekonomi tidak ada. Toh bagaimanapun juga sumber daya akan tetap terbatas, lalu kita batasi saja kebutuhan kita. Eh?

Kamis, 20 Oktober 2011

Menengok Keranjang Sampah

Siapa tidak tahu China? Negeri tirai bambu ini secara mengejutkan mengalami pembangunan yang pesat dalam beberapa tahun belakangan. Angka pertumbuhan ekonomi mencapai 9% per tahun bahkan dimasa krisis dunia dimana pada tahun 2008 yang lalu hanya tiga negara yang masih mengalami pertumbuhan perkonomian secara positif (termasuk di dalamnya China dan Indonesia).

Raksasa ekonomi ini secara perlahan mulai menggeser perekonomian dunia yang semula berpusat pada poros Eropa-AS. Bahkan berita terbaru menyebutkan China telah menjadi mitra terbesar negara-negara Eropa mengungguli AS. Perkembangan ekonomi yang begitu pesat ini menjadikan China sebagai pusat perhatian dunia. Banyak negara mencoba belajar dari China dan mengaguminya.

Akan tetapi sebaiknya kita tidak hanya menilai seseorang dari ruang tamunya, tetapi tengoklah keranjang sampahnya. Perkembangan ekonomi yang begitu pesat ini membawa dampak yang begitu besar dalam bidang sosial-budaya yang sayangnya jarang diperhatikan oleh sebagian orang. China maju dengan bersimbah darah.

Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah peristiwa tabrak lari yang dialami seorang bocah. Parahnya dari sekian banyak orang yang melihat keadaan tersebut, hanya satu orang yang pada akhirnya menolong meski sudah terlambat. Kejadian ini mengingatkan pada peristiwa Kitty Genovese  tahun 1964.



Bystander Effect
Pada bulan Maret tahun 1964, seorang wanita berumur 28 tahun ditikam dan diperkosa pada pukul tiga pagi hari. Kejadian ini berlangsung selama sekitar tiga puluh menit dan penuh dengan teriakan minta tolong. Tiga puluh delapan tetangganya yang mendengar peristiwa tersebut tidak satupun yang menelpon polisi atau membantunya.

Peristiwa ini mengejutkan kalangan ilmuwan sosial pada saat itu. Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu "tidak manusiawi" dengan membiarkan begitu saja peristiwa tersebut. Peristiwa yang bisa dikatakan mirip dengan kejadian di China baru-baru ini.

Ilmuwan psikologi mencoba menjelaskan peristiwa ini sebagai bystander effect. Para ilmuwan mencoba melakukan eksperimen dalam laboratorium untuk mengetahui gejala tersebut.Hasilnya menunjukkan ada kecenderungan yang menarik dimana semakin banyak orang asing berada dalam suatu keadaan maka akan menimbulkan kebingungan rasa pertanggungjawaban.

Sehingga apa yang terjadi pada Genovese merupakan gejala tersebut. Orang-orang merasa apa yang terjadi tersebut merupakan tanggung jawab orang lain. Orang-orang tersebut meyakini bahwa seseorang di suatu tempat atau salah satu dari mereka akan menolong orang tersebut. Celakanya ketika semua orang berpikir demikian maka pada akhirnya tidak ada satu pun orang yang akan menolong.

Kita yang Kehilangan Rasa
Banyak ilmuwan sosial mencoba memahami perilaku prososial dan altruism, ada berbagai teori yang dikemukakan untuk menjelaskannya misalnya saja adanya anggapan bahwa perilaku prososial muncul atas dasar harapan perilaku yang serupa juga akan dialami dirinya di saat membutuhkan nanti (social exchange theory).

Bagaimannapun juga saya akan lebih mengetuk pada rasa. Terlepas dari segala macam logika dan teori yang ada, apa yang kita rasakan ketika melihat kejadian tersebut? Sudah tidak adakah lagi rasa kasihan, iba, dan keinginan untuk membantu? Apakah tolong menolong tanpa pamrih hanya tinggal dongeng dari cerita masa lalu?

Apa yang terjadi di China menurut saya lebih mengerikan daripada kasus Kitty Genovese setidaknya dalam beberapa hal. Pertama, dalam kasus Genovese para bystander hanya sebatas mendengar suara sedangkan dalam kasus di China mereka melihat keadaan tersebut secara langsung. Kedua jarak antara bystander dengan kobran itu sendiri yang bahkan tidak sampai satu meter, berbeda dengan kasus Genovese dimana para bystander kebanyakan berada dalam apartemen mereka.

China yang konon katanya berasal dari kebudayaan kolektif ternyata bisa menunjukkan sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan. Fenomena ini merupakan cerminan dari kerapuhan sosial yang terjadi bersebrangan dengan kemajuan ekonomi yang dialami. Ternyata perkembangan yang terjadi di China tidak seindah apa yang ada dalam bayangan.

Terlebih berbagai spekulasi yang ada mengarah kepada ketakutan untuk menolong. Seringkali para korban justru menunutu atau menipu para penolong yang dalam istilah Jawa kita sebut sebagai Tulung Mentung. Perilaku semacam ini yang diduga kuat sebagai penyebab ketakutan untuk menolong orang asing.

Ketika rasa sudah tidak lagi menjadi bagian dari budaya, hilanglah rasa kemanusiaan. Jika kemanusiaan merupakan sesuatu yang harus dikorbankan demi kemajuan, maka saya akan memilih untuk tetap tertinggal. Lebih baik mati sebagai manusia daripada hidup sebagai mayat.

Sumbang

Siapa yang memberi makan pada dunia? Petani yang dengan diam-diam mengerjakan sawahnya. Siapa yang memayu ayuning bawana? Hanya mereka yang bekerja keras, mengeluarkan keringat dengan perbuatan yang nyata. (C.S. Adama van Scheltema)
Dalam orkestra semua alat berbunyi. Tiap-tiap mengeluarkan suaranya masing-masing, meski berbeda namun berpadu menjadi sebuah harmoni yang indah. Demi kesatuan dan kepaduan dalam mencapai harmonis, semua tau siapa yang harus berbunyi keras, siapa yang harus pelan. Masing-masing tahu tempat dan waktunya untuk diam dan bersuara.

Begitu pula dalam kehidupan, beragam suara muncul. Hanya saja semua menolak bungkam, semua berteriak keras meminta untuk didengarkan. Lupa akan posisi diri dalam kelompok dan tugas masing-masing. Hingga suara sumbang yang terus bermunculan. Bagaimanapun juga benda berongga (kosong) selalu berbunyi paling keras.

Rabu, 19 Oktober 2011

Kraton dan Harga Diri

sumber: kratonwedding.tumblr.com
Beberapa waktu yang lalu terjadi sebuah hajatan besar di Kraton Ngayogyakarta. Mungkin hajatan ini lebih pantas disebut sebagai pesta rakyat. Bagaimana tidak dalam hajatan tersebut bukan hanya tuan rumah yang punya hajat, tetapi juga mayoritas warga Ngayogyakarta.

Seumur hidup saya baru dua kali saya melihat begitu banyak masyarakat berkumpul menjadi satu seperti itu. Pertama pada saat dukungan Keistimewaan DIY dan yang kedua pada saat Pawiwahan Agung kemarin, dimana malioboro dipenuhi oleh lautan manusia.

Masyarakat sebanyak itu bisa berkumpul menjadi satu merupakan sebuah kesitimewaan tersendiri. Bandingkan dengan berbagai kegiatan pengumpulan massa selama ini baik berbentuk pengajian, konser, demonstrasi, dan sebagainya belum ada yang sefantastis itu.

Terlebih lagi masyarakat hadir tidak hanya sebagai penonton ataupun tamu, tetapi juga ikut menyemarakkan hajat yang sedang dilaksanakan. Mulai dari menyumbang makanan di angkringan, janur, atau bahkan pertunjukkan kesenian. Semua tumpah ruah menjadi satu seolah tidak hanya Sultan yang memiliki hajat melainkan seluruh masyarakat Jogjakarta.

Hal ini merupakan sebuah fenomena yang menarik. Di tengah maraknya sentimen anti kekuasaan dan rasa ketidakpercayaan terhadap penguasa, Sultan sebagai sosok penguasa dengan sentimen monarki di dalamnya justru mendapatkan dukungan tersendiri bagi rakyat Yogyakarta.

Dalam era modern dimana demokrasi dan kebebasan dituhankan dan semua orang ditekan untuk menjadi setara, sebuah fenomena unik ini muncul ke permukaan. Pada akhirnya pemimpin tidak hanya sebatas pada kekuasaan semata tetapi juga bagaimana seorang pemimpin memberikan dan mendapatkan pengaruh dari masyarakat. Dalam tulisan ini saya akan membahas beberapa sudut pandang untuk memahami fenomena ini secara lebih dalam.

Kerinduan Budaya
Dalam zaman globalisasi saat ini informasi mengalir begitu derasnya. Jarak tidak lagi menjadi penghalang. Akibatnya budaya satu dan lainnya berdatangan mempengaruhi satu sama lain. Nilai, ide, gagasan, dan idealisme bercampur aduk menjadi satu. Seseorang tidak lagi bisa diketahui etnisnya hanya dari lokasi tempat tinggal.

Celakanya budaya modern Eropa-AS memiliki kekuatan media. Entah itu kapitalis, sekuler, sosialis, komunis, liberal dan sebagainya masuk ke setiap sendi kehiudpan tanpa kita sadari. Nilai-nilai pun bergeser. Masyarakat modern memiliki tuntutan tersendiri terhadap dunia.

Dalam dunia yang dikuasai nilai-nilai Eropa-AS muncul segelintir masyarakat yang justru merindukan budaya asli Indonesia. Masyarakat ini didominasi dua macam: (1) generasi tua yang memang sejak dahulu dibesarkan dengan nilai-nilai tradisional dan menjadi pelaku budaya itu sendiri serta (2) generasi muda yang memiliki ketertarikan terhadap budaya asli, mereka bukan pelaku dari budaya tersebut akan tetapi memiliki ketertarikan dan dukungan terhadap budaya tersebut.

Gejala ini dapat kita lihat dari berbagai fenomena yang muncul akhir-akhir ini. Mulai dari penggunaan simbol-simbol etnis semisal batik, surjan, dan simbol-simbol etnik lainnya. Begitu pula dengan dengan fenomena yang kita bahas saat ini.

Banyaknya dukungan masyarakat yang muncul dalam Gerakan Pro-Penetapan dan Pawiwahan Agung kemarin merupakan bentuk dari kerinduan masyarakat akan budaya asli tradisional. Sultan dan Kraton sebagai simbol yang mereka junjung untuk mengungkapkan gagasan akan pentingnya local wisdom dari kebudayaan yang selama ini justru mulai ditinggalkan.

Gagasan tradisional ini diwujudkan dalam dukungan dan penghormatan terhadap Sultan dan Kraton secara keseluruhan. Gagasan untuk kembali kepada kebudayaan awal, kebudayaan yang telah dibangun ratusan tahun oleh para pendahulu kita. Kebudayaan rasa.

Kraton sebagai Identitas
Setiap kelompok memiliki ciri khas tersendiri, ciri tersebut yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lain serta menyatukan anggota kelompok tersebut. Dalam kasus ini, Kraton dan Sultan sendiri merupakan ciri khusus yang menjadi simbol dari masyarakat Jogjakarta.

Itu sebabnya isu Pro-Penetapan muncul dengan gaung yang keras ketika Kraton dan Sultan diusik. Penyerangan terhadap simbol-simbol dan identitas kelompok sama halnya dengan menyerang anggota kelompok itu sendiri. Dalam kasus ini "penyerangan" terhadap eksistensi Kraton dan Sultan itu sendiri merupakan bentuk penyerangan terhadap masyarakat Jogjakarta.

Oleh karena itu muncul reaksi keras untuk "mempertahankan" identitas dari kelompok tersebut. Bentuk pertahanan ini muncul dalam bentuk fenomena Gerakan Pro-Penetapan. Mulai dari bendera-bendera, gerakan massa, hingga dukungan terhadap eksistensi Kraton dan Sultan itu sendiri.

Ini semua dapat dilihat sebagai upaya sekelompok masyarakat untuk mempertahankan identitas mereka. Tanpa adanya identitas dan ciri khas dari suatu kelompok, maka eksistensi kelompok itu sendiri akan turut menghilang. Maka disinilah diuji, apakah kelompok itu akan tetap berdiri dengan simbol-simbolnya atau tertelan oleh kejamnya zaman.

Lakum Dinukum Waliyadin
Perkembangan zaman telah menggeser nilai-nilai dalam suatu budaya. Pengaruh datang silih berganti dan saling mempengaruhi. Begitu pula dengan struktur masyarakat yang merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.

Dahulu, individu dianggap sebagai bagian dari kelompok, suati fenomena yang lumrah dalam masyarakat kolektif. Dimana individu yang satu dan lain memiliki keterikatan degan kelompok. Individu diharuskan menjunjung tinggi norma kelompok meski itu berarti mengorbankan individu itu sendiri. Orang bisa menuntut orang lain untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai kelompok.

Saat ini dimana individualisme telah ikut berpengaruh, maka individu mulai berdiri sendiri dan melepaskan diri dari kelompok. Orang tidak bisa lagi memaksa individu untuk bertingkah laku tertentu. Tas nama kebebasan dan Hak Asasi Manusia seolah semua hal boleh dilakukan. Demokrasi menjadi tameng orang untuk berbicara sesuka hati meski itu menyakiti orang lain. Atas nama demokrasi, kebebasan, dan kebenaran.

Maka disini saya hanya bermaksud menyampaikan. Orang boleh bertindak sesuai kemauannya sendiri atas nama HAM, tetapi orang juga harus bertanggung jawab terhadap tindakannya tersebut. Terlebih terhadap tindakan-tindakan yang bersinggungan dengan orang lain.

Sultan sebagai seorang manusia tentu tidak sempurna, saya yakin dalam diri pribadi Sultan banyak kekhilafan dan kesalahan. Namun Sultan sebagai sebuah simbol perrlu dipertahankan dan dijaga sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri. Sultan sebagai pemimpin memiliki hak untuk dijunjung tinggi, begitu pula sebagai yang dipimpin pun kita memiliki nilai-nilai dan norma yang harus dijunjung.

Namun dalam dunia penuh dengan logika saat ini, rasa dianggap subjektif. Perlahan ditinggalkan dan diabaikan. Padahal sejatinya manusia sejati hidup dengan rasa. Hormatilah orang lain, maka dengan demikian orang lain akan menghormati anda.