*) ditulis sebagai tugas kelompok mata kuliah Psikologi Lingkungan bersama Doddy Meiyarto, Fajar Dwi Untoro, M.Amin Amsyah, Stephanus Benny, dan Vico Dodi A.
kaskus.us |
Kita juga melakukan berbagai macam adaptasi untuk dapat bertahan dalam lingkungan tertentu. Hal ini menyebabkan munculnya perilaku yang berbeda-beda dari tiap lingkungan yang berbeda-beda pula.
Lingkungan sendiri memiliki berbagai bentuk. Mulai dari lingkungan fisik yang alami, lingkungan fisik buatan, ligkungan sosial, dan sebagainya. Salah satu faktor lingkungan yang memiliki pengaruh adalah cuaca dan iklim.
Dunia ini sendiri memiliki bermacam-macam iklim tergantung letak daerah tersebut. Di daerah tropis misalnya, kita hanya mengenal dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Berbeda halnya dengan daerah sub-tropis yang memiliki empat musim mulai dari musim semi,musim panas, musim gugur, dan musim dingin.
Perbedaan musim ini menyebabkan kita melakukan berbagai perilaku yang merupakan bentuk adaptasi kita terhadap masing-masing lingkungan tersebut. Mulai dari cara berpakaian, tingkah laku, budaya, hingga nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.
Selain iklim kita juga mengenal yang disebut sebagai cuaca. Cuaca sendiri secara tidak langsung memilki pengaruh terhadap perilaku kita. Cuaca juga seringkali digunakan sebagai gambaran terhadap suatu keadaan.
Cuaca mendung atau hujan misalnya, biasanya digambarkan sebagai sebuah keadaan sedih atau muram. Lain halnya dengan hari yang cerah biasanya digunakan untuk menggambarkan keadaan yang ceria.
Dalam tulisan ini, kita akan membahas berbagai macam pengaruh cuaca dan iklim terhadap perilaku kita. Mulai dari suhu yang dapat menyebabkan kita menjadi agresif atau kalem, cahaya yang berpengaruh pada semangat kita, angin, kelembaban, dan konsentrasi ion dalam udara yang kita hirup.
Suhu
raynal2.wordpress.com |
Tubuh manusia sendiri sekitar 37 derajat Celcius. Sedangkan suhu terekstrim yang pernah tercatat adalah -89,2 derajat Celcius yaitu suhu di stasiun Vostok Antartika pada 21 Juli 1983. Sedangkan suhu terpanas yang pernah terjadi adalah 57,8 derajat Celcius pada 13 September 1922 di wilayah El Azizia Sahara.
Manusia sendiri memiliki batas kemampuan bertahan dalam suhu tertentu. Tubuh manusia hanya bisa mentolerir suhu maksimal 180 derajat Fahrenheit atau sekitar 82 derajat Celcius selama lima puluh menit. Pada suhu 110 derajat Fahrenheit sendiri reseptor tubuh sudah mengalami gangguan. Sedangkan pada suhu di bawah 60 derajat Fahrenheit atau sekitar 15 derajat Celcius sendiri saraf motorik manusia juga sudah mulai terganggu (Veitch & Arkkelin, 1995).
Perubahan suhu yang terlalu drastis dan cepet sendiri juga dipercaya dapat menyebabkan timbulnya penyakit (Veitch & Arkkelin, 1995). Seperti halnya gelas yang setalah dituang air panas kemudian diberi es akan mengalami keretakan. Tubuh kita juga rentan terhadap perubahan suhu yang terlalu cepat. Ini juga menjelaskan fenomena ketika musim pancaroba ada kita menjadi lebih gampang sakit.
Beberapa psikolog meyakini adanya hubungan antara suhu udara dengan kecenderungan perilaku seseorang. Suhu udara yang panas misalnya dipercaya sebagai faktor pendorong muculnya agresivitas (Jamridafrizal, 2010; Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970). Di sisi lain suhu yang sangat ekstrim dipercaya dapat mengurangi perilaku agresivitas (Veitch & Arkkelin, 1995).
Hal itu dapat dijelaskan dari proses biologis yang terjadi. Ketika suhu meningkat, maka suhu tubuh juga akan meningkat aliran darah membesar sehingga darah menjadi lebih dingin dan mengalir ke permukaan kulit, kulit menjadi berwarna merah muda dan berketingat serta detak jantung meningkat. Ini menyebabkan manusia menjadi lebih mudah emosi, meledak-ledak, dan membabi buta (Veitch & Arkkelin, 1995). Perilaku semacam ini dipercaya memperpendek usia individu.
Pada musim-musim tertentu seperti musim panas atau musim kemarau emosi seseorang akan lebih mudah meledak-ledak dan kecenderungan agresivitas semakin tinggi. Banyak kebangkitan politik, pemberontakan, dan revolusi terjadi pada bulan-bulan yang panas (Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970). Reformasi 1998 juga misalnya terjadi pada bulan Mei dimana udara sedang berada dalam suhu yang tinggi sehingga menciptakan kecenderungan untuk meluapkan emosi.
Pendekatan ini jugta berlaku sebaliknya. Dalam konser-konser atau demonstrasi misalnya, kita sering melihat polisi menyemprotkan air kepada kerumunan massa. Tujuannya adalah mendinginkan suhu udara dengan harapan dapat meredam perilaku agresivitas massa.
Selain itu penelitian-penelitian lain mencoba menghubungkan antara performa kerja seseorang dengan suhu udara. Pemikiran ini berangkat dari fakta dimana kebanyakan negara-negara dengan etos kerja yang tinggi memiliki empat musim. Sedangkan negara-negara tropis cenderung tingkat perekonomiannya sedang-sedang saja rendah.
Adanya perubahan iklim yang drastis seperti yang terjadi di negara-negara yang terletak di daerah iklim sub-tropis yang mengalami empat musim, dipercaya oleh sebagaian orang memiliki pengaruh terhadap etos kerja (Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970). Dimana negara-negara dengan empat musim memiliki etos kerja yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh keadaan alam yang sangat keras.
Dari budaya bertani misalnya, mereka yang tinggal di daerah empat musim harus berusaha mengumpulkan makanan sebanyak mungkin untuk menghadapi musim dingin. Tradisi ini dipercaya sebagai akar dari etos kerja yang tinggi dalam masyarakat tersebut. Di Jepang misalnya yang memiliki mepat musim, masyarakatnya memiliki etos kerja yang lebih tinggi dibanding masyarakat Indonesia yang berada di daerah tropis.
Penelitian di Swedia terhadap anak-anak SD juga menghasilkan temuan yang relatif sama. Dimana peningkatan suhu berpengaruh padaperforma seseorang (Gifford, 1987). Anak SD memiliki performa yang lebih buruk ketika berada dalam ruangan yang bersuhu tinggi dibanding ketika berada dalam ruangan bersuhu normal.
Prakteknya di lapangan adalah maraknya penggunaan pendingin udara di kantor-kantor dan ruang kelas. Meski penggunaan AC sendiri ternyata tidak meningkatkan performa kerja seseorang, hanya membuat performa individu tersebut menjadi lebih stabil (Gifford, 1987).
Suhu juga dipercaya memiliki pengaruh terhadap relasi seseorang. Dalam suhu yang sedang misalnya cenderung mempengaruhi munculnya perilaku anti sosial (Veitch & Arkkelin, 1995). Penelitian juga menunjukkan bahwa persepsi seseorang terhadap daya tarik orang lain dipengaruhi suhu udara. Dimana daya tarik seseorang dalam suhu udara yang panas cenderung lebih rendah daripada dalam keadaan suhu normal (Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970).
Cahaya
Selain suhu, faktor lain dari cuaca yang berpengaruh pada perilaku adalah cahaya. Cahaya telah menjadi bagian utama dari kehidupan kita. Tanpa adanya cahaya tumbuhan tidak dapat berfotosintesis, manusia dan hewan tidak dapat bertahan hidup mencari makanan.Kecuali beberapa spesies hewan yang memang dirancang untuk hidup dalam kegelapan.
Cahaya sendiri memiliki inetansitas berbeda-beda tergantung wilayah dan musimnya. Di daerah tropis misalnya yang paling banyak mendapat sinar matahari sepanjang tahun dan panjang siangnya relatif lebih tetap. Berbeda dengan daerah-daerah sub tropis yang mengalami empat musim dimana cahaya matahari lebih lama ketika musim panas dan menjadi lebih singkat ketika musim dingin. Bahkan di daerah kutub misalnya pada musim panas cahaya matahari bisa lebih dari 24 jam sedangkan di musim dingin bisa gelap lebih dari 24 jam.
Teknologi sendiri telah membantu manusia dalam mengatur hidupnya. Seperti halnya manusia memanipulasi suhu dalam ruangan tertentu dengan AC atau kipas angin misalnya, teknologi saat ini mampu menciptakan sumber cahaya sehingga kebutuhan manusia akan cahaya tidak hanya bergantung pada matahari. Selain itu cahaya menjadi lebih mudah dimanipulasi juga.
Meski berhasil menciptakan sumber cahaya sendiri, tetap saja matahari merupakan sumber cahaya utama dalam kehidupan manusia. Cahaya matahari sendiri memiliki banyak efek terhadap kehidupan kita. Salah satunya adalah dapat menstimulasi tubuh untuk memproduksi vitamin D yang mencegah penyakit pada pergelangan sendi sehingga kita dapat beraktivitas dengan lebih leluasa (Veitch & Arkkelin, 1995).
Selain itu, cahaya juga menstimulasi tubuh untuk memproduksi serotonin (Veitch & Arkkelin, 1995). Serotonin sendiri dipercaya berpengaruh pada suasana hati seseorang. Mereka yang kekurangan serotonin akan lebih mudah depresi.
Dalam cuaca cerah, kita seringkali merasa lebih bersemangat. Karena cahaya matahari pada hari yang cerah dapat menimbulkan kesenangan dan kebahagiaaan (Veitch & Arkkelin, 1995). Sedangkan suasana berawan dapat membuat kita merasa sedih.
Itulah sebabnya di malam hari kita terkadang merasa lebih melankolis dibanding pada pagi hari. Dalam drama, karya sastra, dan semacamnya, suasana pagi yang penuh cahaya digunakan untuk menggambarkan suasana semangat atau suasana hati yang gembira. Sebaliknya untuk menggambarkan suasana muram biasanya menggunakan setting yang relatif gelap misalnya mendung, hujan, malam, dan sebagainya.
Ternyata tidak hanya cahaya matahari yang berpengaruh pada kehidupan kita. Cahaya dari lampu bohlam dan lampu neon misalnya memiliki pengaruhnya sendiri-sendiri. Lampu neon dengan cahayanya yang cukup terang membuat kita merasa lebih aktif dan bersemangat.
Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa cahaya lampu neon dapat berpengaruh dapat meningkatkan perilaku hiperaktif pada anak yang sudah ada gejala autism dan gangguan emosional lainnya (Gifford, 1987). Tentu saja pengaruh tersebut tidak hanya berlaku bagi individu yang mengalami gangguan jiwa. Pengaruh tersebut berlaku bagi seluruh individu pada umumnya.
Toko-toko modern dan supermarket kemudian mengadopsi konsep ini. Jika kita perhatikan tempat-tempat tersebut memiliki penerangan yang sebenarnya cukup “berlebihan”. Cahaya ini mendorong kita untuk semakin aktif dan semangat dalam berbelanja. Berbeda dengan toko-toko tradisional yang cenderung menggunakan penerangan secukupnya.
Lain halnya dengan lampu bohlam, cahaya remang justru menimbulkan kenyamanan (Gifford, 1987). Beberapa rumah makan mencoba menawarkan suasana biasanya lebih menggunakan lampu bohlam dibandingkan neon. Karena bohlam akan menimbulkan suasana nyaman sehingga para pelanggan menyukai dan betah berlama-lama di tempat tersebut. Lain halnya dengan restoran fastfood yang cenderung menggunakan cahaya lampu neon agar pembeli datang silih berganti dengan lebih cepat.
Cahaya sendiri juga berpengaruh pada kinerja seseorang. SIswa yang berada dalam kondisi cuaca cerah cenderung lebih memperhatikan guru dan mengurangi kegelisahannya. Selain itu dalam sebuah tes baca tulis, siswa yang berada dalam kelas yang terang memiliki skor yang lebih baik dibanding dengan kelas yang penerangannya buruk (Gifford, 1987). Sehingga ruang-ruang kelas dan ruang-ruang kerja biasanya didesain dengan penerangan yang cukup.
Angin, Kelembaban dan Ion
Udara sendiri tersusun oleh berbagai macam unsur. Mulai dari seberapa banyak uap air yang terkandung dalam udara yang biasa kita sebut sebagai kelembaban, hingga kandungan ion-ion dalam udara. Selain itu ada jujga tekanan udara. Semua ini memiliki pengaruh masing-masing terhadap perilaku kita.
Komposisi dan keadaan udara ini sendiri tentunya memiliki pengaruh terhadap perilaku kerja (Gifford, 1987).
Angin misalnya memiliki pengaruh langsung dalam kehidupan kita. Teknologi kita banyak menggunakan angin dalam aktivitasnya misalnya untuk melaut, pembangkit listrik, penerbangan, dsb. Efek yang secara langsung dapat kita lihat adalah manusia cenderung enggan melaut atau terbang apabila kondisi angin sedang tidak bersahabat.
Angin yang kencang dapat menurunkan kondisi afektif seseorang dan performa kerja (Veitch & Arkkelin, 1995). Misalnya dalam olahraga voli atau tenis. Tentu orang akan cenderung enggan melakukan aktivitas tersebut dalam kondisi cuaca yang berangin karena angin dapat berpengaruh dalam permainan mereka.
Selain angin, tekanan udara juga memiliki pengaruh tersendiri terhadap diri kita. Sebuah penelitian di Jepang menyebutkan bahwa individu cenderung lebih mudah lupa pada hari yang memiliki tekanan udara yang rendah (Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970).
Kelembaban juga memiliki pengaruh yang berbeda terhadap psikologis manusia dalam hal ini justifikasi. Angin kering (kelambaban udara yang rendah) berpengaruh pada rational judgement yang negatif terhadap seseorang (Veitch & Arkkelin, 1995). Sehingga jika seseorang berkenalan dengan orang asing pada kondisi tersebut, orang tersebut akan cenderung dinilai negatif dibanding ketika berkenalan dalam kondisi kelembaban yang tinggi.
Komposisi udara lain yang turut berpengaruh pada perilaku manusia adalah konsentrasi ion. Konsetrasi ion positif dapat meningkatkan depresi, insomnia, dan migraine. Orang yang berada dalam kondisi ion positif cenderung memiliki mood yang buruk dan berperilaku aneh (Veitch & Arkkelin, 1995).
Lain halnya dengan individu yang banyak menghirup ion negatif cenderung dapat meningkatkan fungsi kognitif, kapasitas kerja, dan efisiensi dalam bekerja. Konsep yang sama yang diadopsi dalam minuman-minuman isotonik yang mengandung banyak ion negatif. Tujuannya adalah meningkatkan konsentrasi dan semangat dalam beraktivitas.
Bibliography
Gifford, R. (1987). Environnmental Psychology: Principle and Practice. Boston: Allyn & Beacon.
Jamridafrizal. (2010, september 18). Agresivitas dan kecemasan. Retrieved october 26, 2010, from Scribd: http://www.scribd.com/doc/17376693/Agresivitas-Dan-Kecemasan
Proshansky, H. M., Ittelson, W. H., & Rivlin, L. G. (1970). Environmental Psychology: People and Their Physical Settings. New York: Holt, Rinehalt, and Winston.
Veitch, R., & Arkkelin, D. (1995). Environmental Psychology: An Interdiciplinary Perspective. New Jersey: Prentice Hall.
1 comments:
Makasih sob, numpang baca buat nambah ilmu
Posting Komentar