Senin, 28 Desember 2009

efektif dan efisien: sebuah budaya baru dalam bekerja


sebuah cerita awal


"Berkerjalah dengan efektif dan efisien" atau "Belajarlah dengan efektif dan efisien", ntah kenapa kedua kata itu kini cukup populer untuk digunakan. Entah sejak kapan kini kita tidak lagi disuruh bekerja dengan benar dan baik tetapi budaya yang muncul mengajarkan kita untuk belajar dan bekerja dengan efektif dan efisien.

Dan parahnya lagi, budaya efektif dan efisien telah meresap ke syaraf-syaraf pemikiran kita. Banyak sekali kebijakan-kebijakan yang diambil efektif dan efisien, namun terkadang seolah bertentangan dengan norma, nilai, dan filosofis yang ada. Apakah itu benar?

siapa itu mereka sebenarnya


Efektif adalah sejauh mana langkah yang kita ambil sesuai untuk mencapai tujuan kita. Sedangkan efisiensi adalah rasio input dibandingkan dengan output dalam mencapai suatu tujuan. Semakin kecil input yang kita lakukan namun dapat mengeluarkan output yang semakin besar, maka semakin efisiensi-lah yang kita lakukan.

Yang menarik adalah kata ini tidak dapat anda temukan di Rusia. Di negeri dingin tersebut tidak ditemukan padanan kata effective. Jika kita telaah lebih dalam, kata-kata ini sering digunakan dalam konteks-konteks perekonomian secara garis besar. Dan kita tahu bahwa Rusia pada awalnya menganut sistem ekonomi sosialis. Jadi biarkanlah saya menuduh kedua kata ini sebagai anak kandung dari budaya eropa yang menganut sistem ekonomi Liberalis-Kapitalis.

Mungkin bagi beberapa orang itu dianggap terlalu berlebihan, tapi percayalah bahwa bahasa merupakan cerminan budaya dari suatu bangsa.

Bagaimana di Indonesia?


Di Indonesia sendiri pun tidak ada kata yang menyamai kata effective. Kata efektif yang biasa kita gunakan pun itu merupakan serapan dari bahasa asing yaitu effective. Begitu pula dengan kata yang satunya. Jadi bisa saya katakan bahwa efektif dan efisien merupakan pendatang dalam budaya kita.

Saya mencoba mencari kata asli yang memiliki arti menyerupai kata tersebut namun belum berhasil menemukannya. Yang saya temukan paling mendekati adalah kata tepat namun itupun memiliki arti yang cukup berbeda. Jadi bisa saya katakan bahwa bangsa kita sebelumnya tidak mengenal konsep efektif dan efisien. Baru ketika pengaruh asing mulai masuk kita kemudian mengenalnya.

Bekerja yuk..


Supaya tidak melebar kemana-mana, sebenarnya saya hanya mengaitkan kedua kata ini dalam budaya etos kerja bangsa kita. Seperti telah dibahas sebelumnya, kini kata-kata populer yang biasa muncul dalam etos atau nasihat kita adalah "bekerjalah dengan efektif dan efisien".

Jika kita mencoba mengingat-ingat lagi, kata-kata itu sebelumnya jarang muncul. Dalam bahasa Indonesia sebelumnya, kata yang biasa kita dengar adalah "Bekerjalah dengan baik dan benar". Sedangkan dalam budaya yang lebih tua lagi (misal budaya Jawa) kata-kata yang muncul adalah "Nyambut gawe sing pener" (Bekerjalah dengan pener).

Apa bedanya?


Dari gambaran di atas terdapat tiga etos kerja yang berbeda yaitu efektif dan efisien; baik dan benar; serta pener. Kita akan bahas satu per satu ketiga etos kerja tersebut.

Efektif dan Efisien. Kedua kata ini mengandung dimensi tujuan dan pengorbanan. Bekerja yang efektif dan efisien adalah bagaimana kita bisa melakukan sesuatu yang tepat untuk meraih tujuan kita dengan pengorbanan seminimal mungkin. Ini menunjukkan suatu etos kerja yang berfokus pada pencapaian tujuan.

Baik dan Benar. Kedua kata ini mengandung dimensi proses saja. Bekerja dengan baik dan benar adalah bagaimana kita bekerja sesuai dengan aturan yang ada dan tidak melanggarnya. Ini menunjukkan suatu etos kerja yang berfokus pada proses yang baik.

Pener. Mungkin sebagian orang heran mengapa saya tidak menyamakan saja arti kata ini dengan kata baik dan benar. Memang banyak orang yang memberikan arti yang sama pada kata-kata tersebut, nemun menurut saya, kata pener itu sendiri lebih dari sekedar baik/benar/tepat. Kata tersebut selain memiliki makna benar, baik, dan tepat, juga memiliki satu dimensi spriritual dimana yang dimaksud benar disini bukan hanya pada menaati aturan tetapi memiliki dimensi spiritualitas dan menjaga nilai-nilai keluhuran.

Oke saya bingung, terus bagaimana?


Kita beri satu contoh saja mengenai privatisasi perusahaan-perusahaan negara. Dalam dimensi pertama, langkah tersebut dinilai efektif dan efisien karena pada kenyataannya bentuk perusahaan terbuka (PT) justru dapat menghasilkan nilai jual yang lebih dan keuntungan lebih banyak. Secara aturan apakah langkah tersebut sesuai dengan UU dan aturan yang ada? Apakah hal itu diperbolehkan? Pertanyaan-pertanyaan ini mengandung dimensi baik dan benar. Apakah kebijakan yang kita ambil ini benar sesuai aturan dan baik bagi negara ini?

Namun ada satu hal yang luput dari kedua hal tersebut yang diampu oleh etos ketiga. Apakah langkah tersebut sesuai dengan filosofi para pendahulu kita? Lalu dimana letak kemandirian dan kedaulatan? Bukankah para pendahulu kita mengamanatkan agar sektor-sektor penting dikuasai oleh negara?

Beri saya satu contoh lagi


Oke baiklah kali ini tentang portal UGM. Beberapa orang berpendapat bahwa jika sistem ini diserahkan pada pihak swasta maka ini akan lebih efektif dan efisien (etos yang pertama). Lalu kita kaji lebih mendalam apakah hal itu memang yang terbaik bagi UGM dan tidak bertentangan dengan aturan yang ada (etos kedua). Tetapi secara filosofis, terus apa gunanya SKKK? Kenapa tidak sekalian kita pecat aja semua SKKK dan kita serahkan keamanan pada pihak swasta? (etos ketiga).

Untuk bonusnya saya beri satu contoh lagi tentang sistem outsourcing. Ditinjau dari efektif dan efisien ternyata memang benar sistem ini menghasilkan kinerja yang lebih bagus dan lebih efisien. Lalu dari segi baik dan benar apakah memang sistem ini baik untuk digunakan dan memang seperti ini seharusnya? Sedangkan ditinjau dari segi pener maka dimana tanggung jawab moral anda sebagai pengambil kebijakan menyiksa orang lain dalam ketidakpastian? Maukah anda menjadi pegawai outsourcing?

Bukan bermaksud bijak, tetapi ini sedikit nasihat


Jika anda cermat dalam membaca buku Organizational Behavior (Robbins, 2003), maka anda akan temukan kekurangan dalam dunia saat ini yaitu aspek spiritual. Etos kerja yang pertama dan yang saat ini sedang populer, yaitu efektif dan efisien, hanya menngandung dimensi pencapaian tujuan sehingga yang terjadi saat ini adalah the end justify the mean.

Namun jika kita mau menggali lebih dalam keluhuran nilai-nilai bangsa kita sendiri, maka anda akan menemukan bahwa para leluhur kita jauh-jauh hari telah berpesan untuk memikirkan proses (baik dan benar) serta berfokus pada nilai-bilai luhur spiritual (pener). Dan subhanallah, ternyata dalam Islam hal serupa juga ada dimana hasil (pencapaian tujuan) adalah milik Allah, sedangkan kewajiban kita hanya berusaha (proses). Maka nyambut gawea sing pener. Jamane jaman edan, ra edan ra keduman. Tapi po kowe rep dadi wong edan men keduman?

Kamis, 03 Desember 2009

Hanya Satu Soekarno..

Mungkin memang hanya satu Soekarno yang memerdekakan Indonesia. Hanya satu Mahatma Gandhi yang mengajarkan untuk melawan keburukan dengan kebaikan. Dan hanya satu Nelson Mandela untuk membuat perubahan tentang apa arti hitam dan putih di dunia ini.

Tetapi kawan tahukah engkau bahwa mereka tidak dapat melakukannya sendirian? Apa yang akan dilakukan Soekarno saat pembacaan Proklamasi tanpa adanya merah putih yang berkibar? Di saat itulah Fatmawati mengambil perannya. Apakah Soekarno akan mantap mendeklarasikan Proklamasi tanpa adanya barisan pemuda di belakangnya yang siap mendukung dia untuk segera melakukan proklamasi?

Apa pula arti Mahatma Gandhi dan Nelson Mandella tanpa masyarakat yang menyorotinya dan mengamalkan pemikiran mereka? Apakah Nelson Mandela berhasil mengubah arti hitam dan putih di dunia ini sendirian? Tentu tidak.

Kawan, mungkin memang hanya dibutuhkan seorang pemimpin untuk mengarahkan dan menunjukkan perubahan dan kebenaran. Namun butuh banyak pengikut yang mau dipimpin untuk membuat sebuah perubahan dan menegakkan sebuah kebenaran.

Kita tidak bisa berharap kepada Presiden untuk membersihkan sampah yang terbuang sembarangan karena Presiden bukanlah tukang sapu. Perubahan terletak di kedua tangan kita. Kita lah yang membuat perubahan, bukan dia, kamu, kami, ataupun mereka.

Senin, 26 Oktober 2009

bingkisan air mata untuk 1928, ketika para pemuda melupakan sumpahnya

Bukan kami yang mengucap sumpah 81 tahun yang lalu. Tetapi kakek tua renta yang duduk di seberang sana. Maka tidak ada ikatan apa pun bagi kami. Sungguh, Kek, apa yang kakek lakukan 81 tahun silam itu tidak berarti apa-apa bagi kami.

Mungkin bagi kakek, itu adalah sebuah bukti pengorbanan dan rasa cinta taah air bagi kakek. Namun bagi kami, disaat kini dimana cinta tanah air sudah tidak lagi populer dan dianggap sebagai sebuah fanatisme sempit dan tergeser oleh tatanan masyarakat global, apa yang kakek lakukan hanya tinggal coretan kata di buku pelajaran anak-anak yang masih memakai baju putih-merah.

Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia



Kek, aku ingin bertanya sesuatu. Apa itu tanah air? Kami pun tidak tahu. Sesungguhnya kami adalaha warga negara Indonesia. Kami hanya manusia yang bermukim di wilayah yang kebetulan merupakan bagian dari wilayah kedaulatan NKRI. Bukan berarti kami rela menumpahkan darah demi tempat tinggal kami. Sungguh jika kami mampu, maka kami akan lebih memilih tinggal di negara-negara Eropa sana untuk agar bisa memadu kasih di bayang-bayang keindahan Eiffel, berteriak kebebasan di atas Miss Liberty, atau tersesat di keramaian kota New York.

Hanya saja kami tidak mampu. Takdir mendamparkan kami di negeri yang masyarakatnya banyak di bawah garis kemiskinan atau tepat di garis kemiskinan tersebut. Negeri dengan ketimpangan ekonomi yang sangat besar. Dan sebuah negara besar yang bahkan tidak berkutik meski berulang kali diusik oleh tetangganya.

Jadi buat apa kami menumpahkan darah untuk tanah ini? Sungguh hanya orang-orang bodoh yang rela menumpahkan darah dan berperang hanya demi apa yang mereka sebut harga diri. Heran saja di zaman globalisasi ini masih ada orang yang fanatik sempit hanya untuk apa yang mereka sebut tanah air. Kami hanyalah warga negara, kami bukan penduduk. Tidak ada kewajiban bagi kami untuk membela apa yang disebut tanah air. Bahkan kami tidak mengerti apa itu.

Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia



Sadarlah, Kek. Jenral tersenyum itu tidak lagi berkuasa. Tidak ada lagi istilah menyatukan keragaman. Di masa sekarang ini yang sedang trend adalah upaya mempertahankan keragaman. Tidak perlulah kalian berbohong dengan berkata hanya ada satu bangsa di NKRI ini.

Bahkan secara nyata tampak dari dulu bahwa negara ini didiami oleh bermacam-macam bangsa yang berbeda baik itu pribumi maupun pendatang. Secara ilmiah, tidak ada apa itu yang kalian sebut sebagai Bangsa Indonesia. Selama 32 tahun Orde Baru istilah Bangsa Indonesia hanya digunakan orang-orang Jawa dalam upayanya menjajah daerah-daerah lain. Kini lihatlah mereka mulai sadar bahwa tidak ada Bangsa Indonesia, yang ada adalah Bangsa Jawa yang memaksakan bangsa-bangsa lain di NKRI ini untuk mengikuti mereka.

Jadi, Kek, kenapa kalian berbohong bahwa kalian itu sama? Kenapa kalian membuat sumpah palsu bahwa kalian itu satu? Bukankah pada kenyataannya kalian itu berbeda-beda dan itu tidak dapat dipungkiri lagi. Mungkin hanya satu kesamaan kalian pada waktu itu yaitu: sama-sama dijajah!

Kenapa pula Kakek bangga mengaku bagian dari mereka? Lihatlah mereka adalah sekumpulan orang-orang yang malas bekerja dan korup. Tidak ada yang membanggakan dari mereka. Lihatlah negara yang kaya ini hancur bukan karena orang lain, tetapi karena perilaku mereka sendiri. Lalu apa yang Kakek banggakan dengan mengaku bahwa kalian adalah satu: Bangsa Indonesia?

Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia



Kek, ingatkah adikku yang paling kecil kini bersekolah di Taman Kanak-Kanak? Disana dia tidak lagi diajari bahasa persatuan kalian itu. Ini era globalisasi. Maka kini Bahasa Persatuan kami adalah Bahasa Inggris. Bahasa Inggris lah yang menyatukan kami dengan negara-negara lain. Bahasa Inggris pula lah yang menunjukkan seberapa terpelajar kami di masayarakat kita ini.

Maka jangan heran jika kini orang tua kami lebih suka menyekolahkan anaknya di sekoah yang mengajarkan Bahasa Persatuan kami itu. Jangan heran pula jika kini kami lebih suka menggunakan isstilah asing dalam keseharian kami. Karena bahasa persatuan kami adalah Bahasa Inggris.

Cukuplah Bahasa Persatuan kalian itu dipelajari dalam sekolah-sekolah konvesional kami dari umur 5tahun hingga 18tahun, tidak lebih. Dan jangan berharap kami akan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari kami karena itu sangat memalukan. Mana mungkin di zaman globalisasi ini kami masih menggunakan bahasa konvensional itu??

Lihatlah buku-buku kami, dapatkah Kakek temukan Bahasa Persatuan kakek? Lihatlah selebaran-selebaran kami yang dipenuhi istilah-istilah Bahasa Persatuan kami. Lihatlah forum-forum terpelajar kami yang mulai meninggalkan Bahasa Persatuan kakek karena sudah ketinggalan zaman. Kek,kenapa 81 tahun yang lalu kalian tidak bersumpah saja menjunjung tinggi Bahasa Inggris?

Sekali lagi, Kek, kami sungguh tidak paham dengan kalian. Mengapa kalian membuat sumpah semacam itu 81 tahun yang lalu? Tidak tahukah kakek bahwa Sumpah dan Janji itu sangat sakral dan harus ditepati? Tapi untunglah, Kek, bukan kami yang bersumpah melainkan kalian.

Jumat, 23 Oktober 2009

Keluar istana bak pahlawan?

Pria kecil itu kini tak berada lagi disana. Kini kumis tipisnya tidak akan lagi terlihat di dalam bangunan putih tersebut. Dia keluar dengan senyum dan kembali menikmati kehidupannya sehari-hari. Sungguh seharunya dia bersyukur telah keluar gedung itu dengan senyum. Kini hanya ada satu matahari dalam tempat itu.

Empat puluh tiga tahun yang lalu sang orator itu diusir keluar dari tempat itu dan dikucilkan. Sebelas tahun lalu Jendral yang tersenyum itu juga keluar setelah diusir oleh ribuan orang dijalanan. Tak lama anak jenius itu juga keluar dengan hardikan. Delapan tahun lalu sang Kiai pun keluar hanya berkaos dalam dan celana pendek. Lima tahun yang lalu Srikandi pertama itu pun juga keluar dengan penuh aura perlawanan. Sungguh telah banyak orang keluar dari tempat itu dengan penuh luka coreng.

Namun apa yang terjadi padanya justru berbeda. Pria itu keluar bak pahlawan. Meski dia hanya bulan tetapi dia disamakan seakan matahari. Namanya dielu-elukan oleh semua orang, bahkan oleh mereka yang bukan bagian dari 13 pendukungnya saat Juni.

Hanya pada masa lelaki itu lah beringin raksasa tersebut mampu menjadi sebuah beringin, meski kini itu semua kandas karena beringin tersebut justru lebih suka menjadi tanaman rambat. Tetapi perlu kita akui seumur hidup, baru kali ini beringin itu berani untuk (bahkan hanya sekedar berpikir) tumbuh sendiri tanpa perlu merambat ke pohon lain.

Mungkin lelaki itu tidak tampan, tidak pula anggun dan pandai berkata-kata. Dirinya pun tidak fotogenik sehingga tidak banyak penggemarnya. Tapi sungguh, mereka yang mendukungnya melihat jauh ke dalam diri lelaki Makassar itu. Dirinyalah yang mereka kagumi. Meski mungkin lelaki berpeci itu bukanlah matahari yang seharusnya menyinari kami selama lima tahun ini, namun sinarnya jauh lebih terang daripada matahari itu sendiri. Dua yang bisa kami katakan saat kaki lelaki berlapis sepatu buatan Indonesia itu melangkah keluar: Selamat Jalan dan Terima Kasih. Lelaki itu sungguh lebih besar dari apa yang tampak oleh mata.

Selasa, 20 Oktober 2009

Jenis-jenis Pemimpin

Saya menulis note ini hanya sebagai bahan lelucon, jadi gag usah dipikir terlalu serius..^^
Ini dia beberapa kriteria pemimpin berdasarkan beberapa disiplin ilmu:

Ilmu Ekonomika dan Bisnis


Pemimpin adalah orang yang mampu mengatur dan mengkoordinir pengikutnya agar dapat meraih tujuannya secara efektif dan efisien

Ilmu Komunikasi


Pemimpin adalah orang yang dapat menginspirasi para pengikutnya melalui kata-katanya dan dapat menyampaikan segala yang dia pikirkan kepada pengikutnya dengan jelas

Ilmu Hukum


Pemimpin adalah orang yang dapat menegakkan keadilan dan memberikan persamaan hak kepada seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu

Ilmu Psikologi


Pemimpin adalah orang yang dapat memotivasi pengikutnya secara internal agar mereka mau bekerja dengan senang hati tanpa paksaan

Ilmu Budaya


Pemimpin adalah orang yang dapat menjaga dan mempertahankan nilai-nilai luhur dan budaya yang ada pada masyarakat

Ilmu Filsafat


Pemimpin adalah orang yang memiliki pikiran yang luas dan tidak memaksakan hanya ada satu kebenaran saja di dalam masyarakatnya

Ilmu Sosiologi


Pemimpin adalah orang yang memiliki banyak pengikut/pendukung dan memiliki hubungan yang baik dengan mereka

Ilmu Sejarah


Pemimpin adalah orang yang dapat menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh para pendahulunya

Ilmu Hubungan Internasional (HI)


Pemimpin adalah orang yang dapat menjaga hubungan baik dengan negara-negara lain dan berperan aktif dalam komunitas global serta mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat Internasional

Ilmu Agama


Pemimpin adalah orang yang dapat menegakkan hukum-hukum agama yang dianutnya dan menuntun pengikutnya kepada kebaikan

ada lagi yang mau menambahkan?^^

Senin, 05 Oktober 2009

ingin rasanya berhenti sejenak dan menengadahkan wajah ke atas..

Mungkin dia lelah berlari hingga ingin berhenti sejenak. Sungguh bukan karena dia tidak mau berlari, sama sekali tidak. Dia senang berlari dan dia menikmati tiap detiknya, tiap langkahnya, tiap detak jantung yang memompa darahnya ke seluruh tubuhnya hingga kuat berlari. Atau bahkan dia sama sekali belum lelah. Hanya saja sebuah kejadian mengingatkanya akan sesuatu yang selama ini telah dilupakannya yang membuatnya ingin berhenti sejenak.

Jangan pernah berkata pernah merasakan sebuah ketenangan yang hakiki sebelum pernah merasakan apa itu ketakutan. Tidak perlu menodongkan senjata dimukanya untuk merasakan sebuah ketakutan. Bahkan bunyi jarum jatuh pun telah cukup untuk membuatnya menggigil ketakutan.

Tapi dia sadar ke mana seharusnya dia beranjak. Dia tahu dimana mendapatkan ketenangan. Dan itulah yang membuatnya sadar apa yang selama ini telah dia lupakan. Bunyi jarum jatuh telah membuatnya mendongak ke atas dan merasakan apa yang telah lama tidak dia rasakan.

Perasaan yang bahkan tidak dia rasakan di hari-hari 29 dimana hujan deras menerpa tubuhnya. Saat dimana harusnya dia menggigil namun dirinya merasa kering. Tapi lebih dari itu, sebuah bunyi jarum jatuh telah membuatnya merasa seakan-akan dibenamkan dalam samudra yang dalam.

Dia menemukan yang selama ini dia cari. Sesuatu yang bahkan tidak dia dapatkan di hari-hari 29 itu. Dan dia temukan dari sebuah bunyi jarum dan sedikit rasa ketakutan. Benar kata orang, penguasa itu bersahabat dengan teror/ketakutan. Karena takut lah yang membuat kita mengingat siapa sebenarnya yang berkuasa dalam permainan ini.

Kini dia ingin berhenti sejenak untuk merasakan apa yang didapatnya dari teror itu lagi. Bukan terornya, tapi apa yang ada dibaliknya. Sesuatu yang menurutnya pantas dibayar dengan berhenti berlari. Karena mungkin dia terlalu asyik berlari sehingga tidak dapat merasakan air yang berada di tubuhnya.

Sabtu, 03 Oktober 2009

relativitas

kami bukan orang buta kawan. Sungguh kami bisa melihat semuanya. Bahkan mungkin justru pandangan kami lebih luas daripada kalian. Jika manusia dianugerahi dua mata di depan, maka kami bisa melihat dari semua mata manusia.

Kami bukan manusia antisosial yang tidak paham nilai dan norma di masyarakat. Bahkan kami sesungguhnya sangat memahaminya. Karena tiap hari kami bergerumul dengan itu semua. Kami juga bukanlah manusia pelangar batas yang menganggap peraturan hanya sebagai sampah penghias kertas ataupun sarana memperoleh nafkah. Kami taati peraturan. Tapi bagi kami tidak ada hitam dan putih.

Kami tidak berbeda dengan kalian? Itu mungkin saja. Tetapi kalian memiliki sesuatu yang kami inginkan. Kalian hanya memiliki dua mata, itu yang kami inginkan dari kalian. Kalian bisa membedakan mana kiri dan mana kanan denngan kedua mata tersebut. Sedangkan kami, mata kami lebih dari 360 derajat. Kiri di mata kami bisa menjadi kanan dari mata kami lainnya. Sehingga jangan heran jika suatu saat nanti kami cebok dengan tangan kanan dan makan dengan tangan kiri. Toh saat ini hal itu juga sudah wajar bahkan dikalangan masyarakat umum yang berpikiran maju.

Kawanku, jika kalian berpikir apa yang kami alami itu menyenangkan, maka pikirkanlah lagi. Memiliki banyak mata bukan hanya berarti bisa melihat dari segala sudut, akan tetapi kau juga bisa melihat duburmu disaat kau sedang makan. Dan itu sungguh bukan sesuatu yang menyenangkan.

Terkadang jika kita tahu bahwa sapi kita akan mati maka kita tidak akan repot-repot mencarikannya rumput. Tetapi darimana kita meminum susu jika semua sapi tidak kita beri rumput karena semua sapi pasti akan mati sedangkan jumlah kuda liar tidak cukup untuk memberi kita semua susu?

Itulah yang terjadi pada kami. Kami menjadi terlalu malas untuk mencari rumput karena tahu sapi pasti akan mati. Padahal banyak keasyikan yang bisa kami dapatkan dari mencari rumput. Keasyikan yang kami anggap itu hanya sebagai sebuah fenomena bodoh yang biasa saja hingga kami enggan menyentuhnya.

Mungkin kalian berpikir bahwa kami orang yang begitu tenang dan tidak mudah tersulut, mungkin hal itu benar. Atau mungkin juga salah. Bukan kami pandai mengendalikan emosi, tapi mungkin lebih tepatnya emosi kami hilang ditelan kumpulan saraf yang berkumpul dalam rongga kepala.

Jika Einstein penemu teori relativitas, maka kami adalah penganutnya. Kami bukan orang-orang yang mempelajari materi, sungguh. Bahkan apa yang kami pelajari sangat jauh dari materi. Melainkan suatu abstrak yang sulit didefinisikan. Tetapi relativitas kami resapi dalam menjalankan setiap detak jantung kami hingga meresap ke neuron-neuron kami.

Dalam hukum relativitas kami, kami berusaha untuk terus melihat bahwa tidak ada hitam dan putih. Mata kami melihat semuanya putih jika bahkan itu hitam. Karena kami yakin hitam dan putih tergantung dari mata mana yang melihatnya.

Saking terbiasa melihat putih, kini kami buta warna. Kami tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan salah. Semua kami anggap putih dengan teori relativitas. KAmi terlalu yakin bahwa semua warna pastilah memilki unsur putih sehingga bahkan hitam pun kami biarkan saja. Untungnya beberapa dari kami menyadari dan menamainya sebagai nihil-isme.

Bermain permainan tanpa hadiah mungkin terlihat bodoh bagi kami karena tidak memberikan apa-apa. Tetapi sesungguhnya kami bisa mendapatkan sesuatu dari proses permainan tersebut. Berbeda dengan kalian yang akan langsung bermain tanpa berpikir panjang karena mata kalian hanya dua. Itulah yang kami iri dari kalian.

sunahnya memperbanyak takbir

malam kami berkumpul
obor, lampu, dan tongkat tergenggam
bukan mencari maling
ataupun menggrebek warga
mau menjalankan sunah-Mu?

sunahnya memperbanyak takbir
ah Kau tau sendiri apa kami
gag rame gag asik!

Gag rame gag asik!
pukul saja gendang itu
Gag rame gag asik!
tabuh saja drum itu
Gag rame gag asik!
bunyikan saja klakson dan knalpot
Gag rame gag asik!
teguk saja sebotol arak
Gag rame gag asik!
bikin kerusuhan saja

takbir hilang ditelan masa
drum, peluit, klakson,
kini itu yang kami agungkan
takbiran??

orang kanan di sebelah kanan

tahukah kawan? selama ini kami dikenalkan pada sebuah dunia baru. Dunia dimana tidak ada yang benar maupun salah, yang ada hanyalah orang kanan berada di sebelah kanan (right man on the right place). Mungkiin sebagian orang telah menerimanya sebagai sebuah pemikiran modern yang menonjolkan nilai-nilai humanisme yang agung, tapi bagi sebagian orang yang dianggap kolot pemikiran seperti itu dianggap menafikkan kebenaran yang hakiki.

Bagi kami, kebenaran dan kesalahan tidak ditentukan oleh tindakan ataupun niat yang baik dan buruk, akan tetapi apakah orang orang yang seharusnya berada di kanan tetap pada posisinya atau justru tidak berada di posisinya. Meskipun dia orang kiri, jika berada di tempat ang kiri maka itu tidaklah menjadi sebuah masalah. AKan tetapi jika orang kanan berada di sebelah kiri atau sebaliknya, baru lah itu semua menjadi masalah. Semua kebenaran dipandang sebagai suatu relativitas tergantung keadaan yang berlaku.

Ambillah sebuah contoh kasus dimana seseorang yang gemar menyimpan uang. Di satu sisi kami bisa bilang bahwa dia orang yang pelit akan tetapi bolehlah kami namai juga dia sebagai seseorang yang hemat, betapa relatifnya kah sebuah label baik dan buruk?

Oke contoh lain adalah tentang pembohong. Mugkin bagi sebagian orang pembohong adalah suatu hal yang buruk, tetapi bagi kami tergantung dia berada di posisi mana. Kalau kami boleh bilang, para penulis cerita fiksi adalah mereka para pembohong terhebat. Hanya saja mereka beradadi tempat yang tepat hingga orang-orang tidak mempermasalahkannya. Masihkah berikir kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak?

Bagi kami segala perseteruan dan konflik yang ada hanyalah sebuah fenomena biasa dan tidak perlu diributkan. Kami tidak heran tentang pro kontra hukuman mati, bunuh saja sanak saudara mereka yang menolak hukuman mati maka mereka pasti akan berbalik medukung. Itu semua hanyalah konflik kepentingan egois yang dibungkus dengan nuansa nilai-nilai hebat. Begitu pula konflik lain antara mahasiswa dan penguasa, portal, partai, pemerintah, dsb.

Kawanku, maka jangan heran jika kalian melihat kami sebagai orang-orang apatis. Bukan karena kami tidak peduli, tapi karena kami terbiasa untuk menjaga jarak dan mengamati dari jarak yang cukup. Kami tidak mau terlibat dalam segala kebodohan itu baik sebagai pendukung atau penolak. Kalaupun kalian berkata kami apatis, maka kami pun hanya akan tertawa melihat semua yang terjadi dan apa yang kalian katakan. Mungkin kami memang orang yang sesat.

Islam dan Penguasa

Beberapa saat yang lalu, ketika televisi sedang gencar-gencarnya memberitakan drama penggrebekan di Temanggung dan mengatakan bahwa Nordin M. Top terbunuh, saya langsung tidak percaya. Bukan karena apa, tapi saya punya teori tersendiri bahwa meskipun Nordin M. Top memang benar-benar terbunuh, pasti pemerintah akan merahasiakannya karena sebenarnya Nordin M. Top adalah senjata rahasia yang bisa digunakan pemerintah untuk kepentingannya.

Pemerintah dan Penguasa


Saya pernah berpikir apa sih sebenarnya fungsi dari negara di zaman modern ini? Kemudian saya mencoba berpikir merenung dari zaman masa lalu awal mula adanya suatu Negara. Zaman dimana masih berbentuk kerajaan.

Mengapa masyarakat membutuhkan atau tunduk pada raja? Menurut saya bukan jawaban yang idealis yang bisa menjawabnya. Mudah saja, salah satu dosen saya pernah berkata bahwa Penguasa itu bersahabat dengan teror. Zaman dahulu masyarakat tunduk pada raja mereka agar mereka dilindungi oleh Raja mereka dari terror-teror maupun serangan-serangan. Jadi jawabannya adalah masalah keamanan. Dan saya rasa memang itulah pentingnya suatu Negara yaitu untuk memberi keamanan.

Zaman dahulu tentunya permasalahan keamanan adalah sesuatu yang sangat penting karena begitu banyaknya perang di dunia ini. AKan tetapi, di zaman sekarang ini dimana dunia relatif damai dan peperangan yang terjadi bukanlah perang fisik tetapi pperang ekonomi, maka peran pemerintah mulai dipertanyakan.

Sedangkan campur tangang pemerintah dalam bidang ekonomi pun juga dipertanyakan. Maka wajar jika zaman sekarang muncul ide-ide penyatuan dunia dalam sebuah pemerintahan bersama atau kemerdekaan dari para penguasa itu sendiri. Maka bukan hal yang aneh jika suatu Negara bersahabat dengan terror, karena terror itulah yang membuat Negara masihberdiri dan dibutuhkan oleh rakyatnya.

Masa Orde Baru


Pada masa orde baru, pemerintah sengaja memelihara sebuah teror yang bernama PKI. Dengan alas an PKI itulah pemerintah bebas menahan dan menghukum pihak-pihak kontra pemerintah dan mereka yang dianggap tidak sejalan denngan pemerintah serta mengganngu stabilitas.

Segala bentuk pengamanan ini dilakukan oleh ABRI. Makan bukan suatu hal yang mengherankan ketika orang-orang menghilang dan mati secara tiba-tiba. Jangan heran juga jika dalam setiap kutbah dan seminar intelejen berkeliaran dalam ruangan dan tiba-tiba pembicara diculik dan tidak pernaah kembali. Itu semua dianggap sebagai suatu hal yang wajar oleh masyarakat karena mereka berpikir itu semua juga demi keamanan mereka.

Demokrasi dan Islam


Pasca lengsernya Soeharto, Islam di Indonesia berkembang semakin pesat. Apalagi dengan adanya dalih demokrasi yang digembor-gemborkan sendiri oleh pemerintah kita. Dan perkembangan ini bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang makin menngkhawatirkan. Maka tidak heran ketika dosen saya pernah berkata bahwa Islam saat ini adalah Islam yang cukup agresif. Umat Islam kini bebas mengatakan setuju dan tidak setuju terhadap suatu hal tanpa perlu takut diberangus lagi.

Pergerakan Islam pun semakin pesat, tidak hanya sekedar dalam forum-forum pengajian, tetapi sudah masuk ke semua sektor ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, dsb. Pergerakan-pergerakan pun makin banyak macamnya mulai dari yang lembut hingga yang keras. Dan pemerintah pun tidak bisa mengatur perkembangan ini karena telah termakan oleh demokrasi yang telah mereka ciptakan sendiri.

Angin segar muncul ketika terorisme menjadi tren tersendiri. Semenjak penyerangan WTC oleh Osama bin Laden maka kata terorisme menjadi komoditi tersendiri bagi seluruh Negara di dunia. Salah satunya di Indonesia semenjak tragedi bom bali. Dan beberapa saat yang lalu tren ini muncul kembali dengan adanya kejadian bom Marriot jilid 2.

Ustad Abu Bakar Ba’asyir pernah mengatakan bahwa sesungguhnya terorisme adalah sesuatu yang diciptakan untuk memberangus pergerakan Islam saat ini. Dan kini hal itu makin nampak masuk akal. Semenjak kejadian Bom Marriot jilid 2 mulai tampak kegiatan pemerintah memperketat pengawasan perkembangan Islam. Mulai dari isu penggunaan outbound oleh Saefudin Jaelani sebagai bentuk perekrutan teroris, anjuran dari TNI agar melaporkan pendatang yang menggunakan sorban (apdahal para teroris justru tidak menggunakan sorban dalam penyamaran mereka), hingga yang terakhir ini adalah dimulainya lagi kegiatan intelejen dalam setiap kutbah-kutbah di masjid oleh pihak kepolisian.

Sekarang coba bandingkan dengan zaman orde baru, saya rasa hampir sama. Bedanya jika dahulu pekerjaan ini dilakukan oleh ABRI aka sekarang dilakukan oleh Polisi. Jika dahulu pemerintah tidak perlu repot-repot memberikan alasan kepada masyarakat maka kini cukuplah terorisme untuk melakukan tindakan-tindakan yang dirasa perlu.

Penutup


Tulisan ini bukan bermaksud mendukung terorisme atau menjelek-jelekkan pemerintah, hanya saja ketika pemerintah menggembor-gemborkan demokrasi maka kami umat Islam juga menuntut hal yang sama. Jika terorisme bisa dilakukan oleh siapa saja mengapa hanya kami umat Islam yang diawasi? Mengapa seminar-seminar dan kutbah-kutbah di gereja atau pun Pura tidak diawasi? Ataukah memang terorisme adalah sebutan lain bagi kami umat Islam? La khaula wa la kuwata illa bi illah.

64 tahun penjajahan Indonesia (sebuah sindiran sosial)

Genap sudah 8windu bangsa ini dijajah oleh Indonesia. Andai saja pada pagi di bulan puasa tepat 64 tahun yang lalu itu para pendiri Indonesia tidak berbuat ulah dengan mengibarkan rajutan benang merah dan putih itu, tentunya tidak akan jadi begini nasib kita. Lihatlah Malaysia, lihatlah Singapura, mereka bukanlah orang-orang yang suka berulah dan kini negeri mereka aman dan makmur.

Jangan heran kepada kami. Bagi kami harga diri adalah bualan orang-orang tidak berpendidikan. Yang ada hanyalah realitas dan berpikir masuk akal. Tidak perlulah kalian berkata tentang harga diri itu. Yang penting kita untung, tidak peduli dengan yang lainnya.

Maka jangan heran pula jika kami suka menjual kekayaan kami kepada asing. Bukan menjual, itu hanya sekedar investasi. Toh dalam kitab pendidikan kami mengajarkan memang seperti itulah seharusnya. Tidak perlulah kita berpikir kekayaan itu dikuasai siapa, yang penting kita untung. Daripada dikuasai kita sendiri namun merugi? Maka lebih baik kami serahkan ke asing toh nantinya kami juga bakalan kecipratan nol koma sekian persen dari jutaan trilyun tersebut, toh itu tetap saja jumlah yang besar dan tidak sanggup kami habiskan hingga anak cucu kami. Maka jangan heran pula jika kami kini berpikir untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah perseroan terbatas, karena selama 64tahun ini tampaknya Negara ini terus merugi. Mungkin bila pihak asing yang menangani bisa saja Negara ini menjadi untung kembali.

Yang penting adalah kita mendapatkan keuntungan. Itulah yang diajarkan dalam sekolah-sekolah kami yang lebih banyak berbicara tentang tangan ajaib milik Adam Smith dibanding Koperasi Hatta. Karena dalam sekolah kami, Negara-negara di Barat jauh sana bak sebuah nabi dan sauri teladan yang baik. Sebisa mungkin tirulah mereka hingga bagaimana cara mereka buang air besar.

Maka jangan heran ketika sekolah-sekolah kami kini menggunakan bahasa asing yang bahkan tidak kami mengerti. Peduli anjing tentang pendidikan, yang kami tahu pendidikan dengan bahasa Inggris itulah yang baik. Bahkan ketika perut kami sakit karena kebanyakan makan, kami pun enggan menginjakkan kaki ke klinik dimana bahasa pribumi digunakan. Pokoknya harus bahasa asing yang terdengar dalam telinga kami meskipun kami juga tidak paham maksudnya. Jadi jangan heran jika sering terjadi mal praktek akibat adanya mis komunikasi diantara pasien dan dokter.

Bagi kami, sertifikasi internasional jauh lebih berharga daripada lebel halal. Karena kau tahu? Segala sesuatu yang baik itu datangnya dari luar, dari Barat jauh sana, bukan dari diri kita sendiri. Lihatlah apa yang melekat pada diri kami. Jika kau temukan sepatu yang awet dan tahan lama, maka itu pastilah berasal dari Amerika. Sedang jika sepatumu gampang rusak, maka pastilah itu produk lokal. Suami dan istri yang baik pun adalah yang dari luar, atau minimal mereka adalah blasteran yang bukan murni darah lokal. Seperti yang kau lihat di layar tivi kami dimana blasteran Barat jauh mendominasi apa yang kami kategorikan sebagai cantik.

Seburuk-buruk penjajah adalah Indonesia. Di saat awal Negara ini menjajah kami mereka dengan bodohnya justru bekerja sama dengan kaum Timur sosialis dan bermusuhan dengan Negara-negara Barat Jauh. Bahkan mereka menolak mentah-mentah investor dari Belanda yang berniat membangun bangsa ini di akhir tahun 2605. Tak bisakah kalian melihat bahwa apa yang kalian musuhi adalah mereka yang kaya dan memiliki segalanya?

Itulah kebodohan terbesar Indonesia. Andai saja kita terima Belanda dan sekutunya untuk berinvestasi di negeri ini, tentu saat ini kita sudah seperti mereka. Tetapi kalian sibuk berteriak dengan apa yang kalian sebut sebagai harga diri. Dan lihatlah ketika kini harga diri sudah tidak lagi ngetrend maka itu semua menjadi penyesalan tiada akhir.

Nasionalisme adalah sebuah bentuk chauvinisme lain yang diperlembut. Itu semua tidak lebih dari sebuah bentuk fanatisme kelompok. Kita sekarang hidup di zaman globalisasi, Bung! Nasionalisme kini tidaklah lebih dari penghalang kehidupan sejahtera. Maka kami heran ketika masih ada saja Negara yang melindungi warganya dengan subsidi, proteksi, bea cukai dan sebagainya yang menghalangi globalisasi.

Maka cukuplah bagi kami mengenal kata Indonesia dan Nasionalisme dua kali, yaitu saat pemilu dimana para pemegang saham Negara ini menjadi dekat dengan kami dan saat tanggal 17 bulan 8. Dan cukuplah orang-orang yang bau tanah itu yang mengenang apa yang mereka sebut sebagai kemerdekaan. Biarkan mereka bertirakat pada malam sebelumnya dan menangis terharu. Bagi kami tidak ada yang perlu direnungi karena tidak ada satu pun saudara kandung kami ataupun teman kami yang mati dalam pertempuran konyol mereka. Sedangkan anak-anak kami terpaksa mengikuti upacara sebagai formalitas saja. Ah biarlah, satu atau dua tahun lagi anak-anak kami pasti tidak perlu kepanasan di pagi hari libur itu.

Romantisme perjuangan dan kejayaan masa lalu yang diajarkan dalam sejarah bangsa kami adalah sesuatu yang harus kami lupakan seiring berjalannnya waktu, bukan sesuatu yang harus kami wujudkan kembali. Karena bagi kami itu semua hanyalah tinggal utopia yang hanya akan menghambat kami untuk berpikir realistiis. Jadi wajar jika kini Pancasila telah kami gantikan dengan konsensus Washington karena bagi kami Pancasila adalah produk masa lalu yang sudah ketinggalan zaman.

Cukuplah Pancasila berada dalam arsip sejarah nasional kami, tidak lebih. Bersama dengan lagu-lagu indah tentang Indonesia yang konon katanya dari Sabang sampai Merauke. Padahal tahukah kalian bahwa Indonesia tidak lain hanyalah sebuah bentuk penjajahan Jakarta terhadap daerah-daerah lain? Pemerintah menganggap Indonesia hanyalah Jakarta, sedang daerah lain tidak lebih dari sumber pemasukan tambahan dari apa yang dapat mereka hasilkan untuk Jakarta. Maka wajarlah ketika Jakarta sibuk berburu blackberry maka kami yang berada di Timur sana menderita beri-beri karena buruknya apa yang kami makan.

Marilah kawan, sekarang sudah bukan zamannya lagi berbicara yang namanya harga diri. Salah kita sendirilah bila barang kita hilang dicuri orang. Itulah salah satu cara berpikir kami. Segala sesuatu yang baik itu datangnya dari luar. Maka kita orang-orang bodoh ini sebaiknya menurut saja lah pada Barat jauh sana. Raga kami pribumi namun pikiran kami adalah Barat jauh. Bukan dicuci otak oleh mereka, tetapi oleh industri pendidikan kalian sendiri. Enam puluh empat tahun Negara ini dijajah oleh Indonesia, dan kami yakin tidak lama lagi kami akan merdeka dari Indonesia melihat sejauh ini kami telah berhasil.

*) terinspirasi oleh 107 Tahun Bung Hatta ; Begini Inilah Kami, Bung! oleh ES ITO

Militer di mata saya

Bermula ketika semester satu saya mengambil mata kuliah kewarganegaraan dimana saya mendapat tugas dengan tema civil society. Dari situlah saya mengenal adanya yang disebut sebagai masyarakat sipil dan masyarakat militer. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa perlu adanya pemisahan antara masyarakat sipil dan militer.

Militer, manusia yang berbeda


Siapa yang tidak mengenal istilah-istilah koleris, sanguinis, melankolis, dan pregmatis? Sudah ribuan buku psikologi popular yang menjajakan tes-tes mainan tersebut kepada masyarakat awam. Namun tahukah anda bahwa tipe tes psikologi ini juga pernah menjadi andalan di militer pada saat perang dunia?

Ada sebuah sejarah yang menarik dimana pada saat perang dunia Negara-negara Eropa menggunakan tes ini sebagai seleksi tentara mereka. Dan mungkin anda sekalian juga bisa menebak bahwa tentu saja orang dengan tipe koleris lah yang mereka cari untuk dijadikan tentara.

Koleris aalah tipe manusia dimana secara gampangnya mereka disebut sebagai orang-orang yang gampag marah. Tentunya kita tahu bahwa tidak mungkin menggunakan orang-orang sanguinis, melankolis, dan pregmatis di dalam perang karena mereka dorongan dari dalam diri mereka untuk balas menyerang ketika mereka diserang tidak akan sebesar orang-orang tipe koleris. Kita tidak membutuhkan kegembiraan dalam berperang, kita juga tidak punya waktu untuk meratapi peperangan. Dan tentunya kita tidak bisa hanya bersabar ketika musuh menodongkan senjata kepada kita.

Oleh karena itulah ada sebuah tempat yang disebut sebagai barak militer yang salah satu fungsinya adalah menjauhkan mereka dari masyarakat sipil agar tidak terjadi konflik. Bahkan beberapa Negara seperti Amerika Serikat misalnya mereka terus menerus menciptakan perang dan tentunya salah satu tujuan lainnya adalah menyalurkan hasrat masyarakat militer agar nantinya hasrat tersebut tidak disalurkan ke negeri mereka sendiri.

Dalam masyarakat militer, perasaan marah dan kekerasan disalurkan dalam bentuk yang tepat sehingga menguntungkan mereka.

Kita sebagai warga sipil, pernahkah terpikir bahwa ada makhluk lain yang menyerupai kita dari segi jasmani. Mereka juga makhluk hidup dominan seperti kita. Akan tetapi mereka memiliki struktur kehidupan dan masyarakat yang berbeda?

Sekarang bayangkan sebuah masyarakat dimana penuh dengan orang-orang yang cenderung lebih mudah marah dan lebih dekat dengan kekerasan. Dalam masyarakat militer hal itu justru dipupuk dan diolah dengan baik. Sedangkan dalam masyarakat kita itu semua adalah hal yang tabu. Maka adalah sebuah tindakan yang bodoh ketika kita mempermasalahkan kekerasan yang terjadi di militer.

Jika kita sebagai masyarakat sipil digerakkan oleh opini masyarakat maka mereka digerakkan oleh perintah dari orang di atas mereka. Mereka tidak mengenal demokrasi seperti halnya kita memuja-mujanya, karena demokrasi hanya akan menghancurkan keteraturan dalam masyarakat mereka. Mereka tidak mengenal HAM seperti kita mengagung-agungkannya. Karena bagi mereka HAM hanyalah mainan orang-orang cengeng.

Pikiran mereka dipenuhi hanya dengan satu versi kebenaran saja: melakukan apa saja demi tanah air. Dan memang sejak kecil mereka dididik unntuk cinta kepada tanah air mereka melebihi apapun. Yang mereka tahu hanyalah menjalankan perintah sebaik-baiknya demi tanah air mereka.

Masyarakat mereka sungguh berbeda dengan kita. Sehingga menurut saya adalah konyol memaksakan pemikiran-pemikiran kita kepada mereka. Adalah bodoh memaksakan demokrasi ke dalam sistem komando. Dan bagaimana kita bisa membentuk militer yang tangguh jika sedikit-sedikit mereka berbicara tentang HAM?

Jangan berpikir itu semua tidak manusiawi dan kita mengasihani mereka. Justru merekalah yang kasihan kepada kita. Yang perlu kita lakukan adalah menghargai mereka dan memperlakukan mereka sebagaimana seharusnya.

Militer di Indonesia


Di Indonesia sendiri, terjadi perubahan yang cukup besar dalam struktur masyarakat sipil dan militer beberapa tahun terakhir ini. Dimulai dari orde baru dimana pemerintah bertumpu kepada militer. Namun pasca tumbangnya orde baru muncul sebuah phobia masyarakat sipil terhadap masyarakat militer.

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, persenjataan yang selama ini hanya dikuasai oleh masyarakat militer yang diwadahi dalam ABRI (pasca reformasimasi menjadi TNI-Polri), kini masyarakat sipil pun diberi persenjataan dengan adanya pemisahan Polri dari masyarakat militer menjadi masyarakat sipil. Sehingga kini bisa dibilang persenjataan tidak hanya dimonopoli oleh masyarakat militer namun masyarakat sipil juga berhak.

Bukan hanya itu, phobia anti orde baru dan juga ani militer tidak hanya merubah struktur persenjataan. Jika anda cermati maka militer kian lama kian dikebiri dari berbagai sektor. Pemerintah juga mulai beralih kepada polisi (masyarakat sipil) dibanding kepada TNI (masyarakat militer) karena polisi dianggap lebih ramah lingkungan.

Salah satu indikasinya adalah kasus pengeboman. Untuk mengatasi kasus ini pemerintah sampai perlu repot-repot membentuk detasemen khusus dibawah POLRI padahal dalam struktur TNI sendiri sudah ada detasemen tersendiri untuk mengatasi apa yang sekarang biasa disebut terorisme. Dan sepak terjang detasemen anti teror milik TNI tersebut juga sudah teruji di mata Internasional. Bahkan telah berhasil menduduki peringkat kedua di dunia setelah Jerman. Namun pemerintah lebih suka meanfaatkan Polisi (sipil) dan membentuk detasemen baru karena dianggap lebih ramah lingkungan.

Dan keberalihan pemerintah dari masyarakat militer ke sipil itu juga berpengaruh kepada kesejahteraan masyarakat militer kita yang kian lama kian menurun. Salah satu yang bisa kita cermati adalah jatuhnya pesawat-pesawat militer beberapa tahun terakhir ini.

Selain itu, dosen saya pernah bercerita tentang sebuah penilitian yang menarik tentang kesejahteraan TNI dan Polri. Penelitian dilakukan dengan mendata sampah-sampah dari kedua sampel masyarakat tersebut. Dan hasilnya tentu tidak mengherankan ketika ditemukan bahwa masyarakat Polri (sipil) jauh lebih sejahtera dibandingkan dengan TNI (militer). Ini menunjukkan keberkurangan perhatian pemerintah kepada masyarakat militer dan beralih kepada masyarakat sipil.

Penutup


Apa yang saya tuliskan bukanlah sesuatu yang bermaaksud menjelek-jelekkan atau membeda-bedakan antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Yang saya harapkan adalah bahwa kita menyadari adanya perbedaan antara sipil dan militer. Perbedaan tersebut hendaknya disikapi secara bijaksana. Tidak perlu ada phobia dari masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Apalagi perlakuan diskriminasi satu dengan lainnya.

Hal lai yang menjadi keprihatinan saya adalah adanya kecenderungan untuk terus mengebiri kesejahteraan masyarakat militer di Indonesia. Bagaimanapun juga mereka tetaplah manusia dan bagian dari NKRI dan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengurusinya. Bagi saya, mereka adalah para patriot sejati dibanding kita masyarakat sipil. Dan semoga seiring bertambah majunya kesejahteraan masyarakat sipil maka masyarakat militer kita kembali Berjaya menjadi macan Asia, atau bahkan macan dunia. NKRI Jayamahe!

Nasionalisme Kecil

mereka yang menjual
kepada kami
nasionalisme kecil merah putih

aku tahu mungkin kau tak peduli
apa yang kau tawarkan
bagimu
itu hanya penyambung nafas
atau memang kau menjual nasionalisme

Dua ribu
itu yang kau tawarkan pada kami
dua ribu harga untuk berhenti
namun itu terlalu mahal untuk nasionalisme
dua ribu harga segelas es teh
namun itu terlalu mahal untuk nasionalisme

ah mungkin kau yang salah menawarkan
nasionalisme telah terhapus dari kamus kami
tak ada artinya lagi bagi kami kata itu

terserah apa kata orang lain
kamu tetap orang yang baik
minimal lebih sekedar peminta di perempatan
tapi tetap saja
dua ribu terlalu mahal untuk sebuah nasionalisme kecil
bahkan pada tanggal 17 Agustus

Sabtu, 25 Juli 2009

jangan berjanji bila tidak mau menepati


Pagi ini saya cukup kaget ketika membaca judul berita headline di SKH Kedaulatan Rakyat (25/7/2009) yang menyatakan bahwa pemerintah menghentikan BLT mulai tahun depan. Sebenarnya saya pribadi kurang setuju dengan keberadaan BLT itu sendiri karena menurut saya itu kurang tepat.

Namun bukan itu yang membuat saya kaget, akan tetapi saya kembali teringat janji salah satu capres kita (yang tampaknya akan menjadi presiden untuk 5tahun ke depan) dengan slogan LANJUTKAN-nya dia berjanji akan melanjutkan program pro rakyat (BLT, PNPM, dsb) jika terpilih kelak. Akan tetapi baru saja KPU mengumumkan hasil perhitungannya dan belum pelantikan akan tetapi indikasi kebohongan sudah mulai tampak.

Saya sendiri tidak tahu apakah meengingkari janji adalah memang tipikal dari para politisi ataukah itu semua hanya dilakukan oleh oknum-oknum politisi tertentu. Saya sendiri selalu berpikiran positif bahwa itu semua hanya dilakukan oknum-oknum tertentu yang jumlahnya tidak banyak.

Akan tetapi memang janji politisi adalah sesuatu yang telah dianggap sebagai sampah oleh masyarakat. Itulah sebabnya angka golput dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan hingga mencapai 40% pada pemilu legislatif kemarin.

Bagi saya sendiri janji adalah sesuatu yang diperlukan untuk menunjukkan kesungguhan seseorang terhadap suatu hal. Janji juga merupakan sebuah kontrak moral yang pertanggungjawabannya akan dimintai dalam dunia sosial dan religius. Saya sendiri sangat setuju bahwa para politisi seharusnya berjanji. Bahkan jika para politisi tersebut tidak berhasil mewujudkan janjinya akan tetapi mereka telah berusaha saya akan tetap menghargai mereka.

Akan tetapi ketika mereka mengingkari janji tanpa berusaha maka saat itulah saya akan berkata bahwa mereka adalah sampah. Jika memang mereka tidak memiliki kesungguhan atau niat bersungguh-sungguh dalam melakukan apa yang mereka janjikan maka sebaiknya tidak usah berjanji saja. Karena janji bukan hanya berada di mulut, akan tetapi janji berdampak juga pada kehidupan sosial dan religius. Maka janganlah berjanji jika memang tidak ada niatan untuk ditepati.

Indonesia Kids choice awards: eksploitasi anak?


Beberapa hari yang lalu saya menyaksikan sebuah acara yang bernama Indonesia Kids choice awards di sebuah televisi swasta. Seperti namanya, ketika pertama kalinya acara ini diadakan (kalau tidak salah pada tahun 2008) dalam promosinya, ini adalah sebuah acara sebagai wadah anak kecil untuk menunjukkan ekpresinya dalam dunia entertainment. Bahkan penyelennggaraannya pun tidak jauh-jauh dari hari anak nasional sehingga terkesan acara ini adalah sebuah bentuk hadiah dari televisi swasta tersebut yang bekerjasama dengan nickelodeon. Sekilas tampaknya memang acara ini didedikasikan untuk anak-anak. Akan tetapi benarkah demikian?

Acara ini dikemas dalam bentuk sebuah acara penghargaan dimana artis-artis atau musisi-musisi serta orang lain dalam dunia entertainment akan diberi penghargaan oleh anak-anak sesuai pilihan mereka. Bahkan anak-anak pun diberi kesempatan untuk ikut memilih melalui poling SMS sebelum hari pelaksanaan. Sampai disini tidak ada yang aneh dalam semua itu.

Namun ketika dalam pelaksanaannya saya menemukan beberapa hal yang cukup aneh. Pertanyaan pertama yang terlintas dibenak saya adalah apa manfaat acara tersebut bagi anak-anak itu sendiri? Okelah memang mereka (para juara) dipilih oleh anak-anak, lantas kenapa? Tetap saja mereka yang dipilih adalah para penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu tentang cinta, selingkuh, dsb yang menurut saya itu jauh sekali dari apa yang seharusnya dikonsumsi oleh anak-anak. Tetap saja artis-artis yang mereke pilih adalah artis-artis dewasa yang seringkali memakai baju minim dalam penampilannya dan tentu saja menurut saya itu tidak selayaknya dikonsumsi anak-anak.

Bahkan dalam acara tersebut ditampilkan pula artis-artis dan penyanyi serta bintang tamu lainnya yang menurut saya penampilannya (secara fisik misalnya berpakaian) jauh dari apa yang layak dikonsumsi anak-anak. Bahkan ketika Luna Maya tampil bersama Ariel Peterpan dalam panggung tiba-tiba anak-anak serentak berteriak, “Cium..cium..” (biasanya sih hal seperti ini memang telah diatur oleh petugas di studio). Astaghfirullah, mau jadi apa generasi penerus kita?

Maka dari hal itu kita dapat mempertanyakan suatu hal: Siapakah yang sebenarnya diuntungkan dengan adanya acara ini? Menurut saya tentu saja yang paling diuntungkan adalah artis-artis dan para musisi yang mendapat penghargaan tersebut karena tentu saja hal ini akan menaikkan rating mereka. Pihak lain adalah penyelenggara acara tersebut karena mereka dapat menjual suatu tontonan yang cukup jarang diadakan (dengan embel-embel didedikasikan untuk anak-anak). Sementara anak-anak sendiri apa keuntungan mereka?

Seharusnya jika memang acara ini didedikasikan untuk anak-anak, mungkin jenis penghargaannya berupa penghargaan bagi penyanyii cilik, acara televisi yang bermanfaat bagi anak-anak, lagu-lagu untuk anak-anak, dsb yang tentunya dengan adanya penghargaan tersebut maka mereka yang berkecimpung dalam dunia entertainment akan lebih terdorong untuk memberikan kontribusi mereka pada dunia anak.

Contoh kecil saja misalnya penghargaan yang diberikan kepada penyanyi anak-anak tentunya akan mendorong tumbuhnya penyanyi-penyanyi lagu anak-anak yang kini telah mulai menghilang dan bukan hanya sekedar penyanyi dewasa yang bertubuh mini (lihat saja dalam acara AFI Junior dsb, meskipun penyanyinya adalah anak-anak akan tetapi lagu-lagu yang dinyanyikan jauh dari apa yang seharusnya dikonsumsi anak-anak).

Memang mungkin sudah saatnya bagi dunia entertainment untuk mulai memikirkan tentang dunia anak-anak. Jangan hanya berfokus pada mengambil keuntungan, meskipun dunia anak mungkin bukan industry yang menjanjikan, tetapi anak-anak kita sebagai generasi penerus tentunya perlu kita didik dan salah satunya adalah dari dunia entertainment. Marilah kita bersama-sama berkontribusi nyata demi generasi penerus bangsa ini.

Selasa, 21 Juli 2009

prahara dua jendral

Siapa yang tidak kenal dengan Susilo Bambang Yudhoyono? Jendral bintang empat ini setelah mengakhiri karir militernya berhasil menjadi orang nomer satu di Indonesia. Bukan hanya itu, dalam pilpres tahun 2009 ini pun beliau diperkirakan akan menang telak dari lawan-lawan politiknya dalam pilpres satu putaran (untuk kepastiannya mari kita tunggu hasil dari KPU). Dengan jabatannya sebagai Presiden RI dimana memegang komando tertinggi militer tentunya jendral yang satu ini tentu sangat besar pengaruhnya di Indonesia bukan hanya dalam bidang militer, namun mencakup seluruh aspek kehidupan yang ada.

Namun kita tentunya tidak dapat menutup mata bahwa ada satu jendral lagi yang memiliki pengaruh cukup besar pada Negara ini pada saat ini. Meskipun beliau hanya jendral bintang tiga yang diberhentikan bersamaan dengan lengsernya orde baru, tetapi kemunculannya kembali ke dalam kancah politik ternyata cukup menyedot perhatian masyarakat. Meskipun beliau tidak menduduki jabatan apapun dalam kemiliteran saat ini, namun sebagian masyarakat percaya bahwa banyak anggota TNI maupun purnawirawan yang bersedia berada di bawah komando beliau bila diinginkan. Bahkan sebagiann masyarakat percaya bahwa jika beliau menginginkan sebuah kudeta, maka pastilah terjadi. Jendral itu bernama Prabowo Subianto.

Kedua Jendral ini memiliki karakteristik yang bisa dikatakan cukup bertolak belakang satu sama lainnya. Dimana SBY terkenal dengan sifatnya yang charming, lembut, dsb maka Prabowo Subianto justru tampil dengan sifatnya yang keras, blak-blakan, dsb.

Cita-cita serta visi misi yang dibawa pun tampaknya berbeda seratus delapan puluh derajat. Ketika SBY muncul dengan angin perubahan pasca reformasi, Prabowo Subianto justru muncul dengan harapan akan kejayaan masa lalu dan kembali kepada kodrat kita yang seharusnya. Selain itu tentunya masih banyak hal yang berbeda diantara kedua jendral tersebut.

Mengapa saya membanding-bandingkan kedua jendral tersebut? Saya rasa tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat rivalitas yang cukup kuat diantara keduanya. Bahkan bisa dibilang satu dengan lain pun mengakui posisi masing-masing dan berebut pengaruh dalam militer.

Lihat saja ketika SBY dalam kampanye bercerita tentang kinerja tim suksesnya yang semi intelejen pun itu dilakukan dengan alas an untuk menyaingi Prabowo. Ini bukti bahwa secara tidak langsung beliau (SBY) mengakui kemampuan Prabowo dalam hal intelejen dan militer.

Hal lainnya adalah ketika pidato kenegaraan SBY pasca bom Marriot kedua yang oleh sebagian masyarakat ditafsirkan sebagai tuduhan terhadap rival politiknya (saya juga tidak tahu bagaimana sebenarnya maksud dari pidato tersebut, marilah kita berpikir positif saja dalm hal ini) maka tokoh yang secara tidak lanngsung dituduh adalah Prabowo Subianto, padahal jujur saja bahwa rival politik SBY bukan hanya Prabowo Subianto. Beliau juga bukan satu-satunya jendral yang berkecimpung dalam bidang politik (sebut saja Wiranto dsb).

Intinya adalah pasca kemunculan kembali Prabowo Subianto dalam kancah politik negeri ini yang justru membawa hal yang cukup bertolak belakang dengan Susilo Bambanng Yudhoyono maka akan membawa warna baru dalam NKRI minimal untuk lima tahun mendatang. Saya tidak akan membanding-bandingkan mana yang lebih baik diantara keduanya karena bagi saya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing dan memiliki pengikut masing-masing. Hanya saja pengaruh Prabowo Subianto dalam militer dan politik serta rivalitas mereka berdua tampaknya akan cukup membuat prahara politik di NKRI antara kedua Jendral ini cukup menarik. Semoga mereka dapat memberikan pengaruh positif dalam kemajuan NKRI. Maju terus NKRI!!!

Blogged with the Flock Browser

Sabtu, 18 Juli 2009

Bom Marriot dan SBY

Ada sesuatu yang berbeda dari pidato SBY menanggapi kejadian bom di dua hotel di kawasan Mega Kuningan kemarin. Ntah memang ada hubungannya atau tidak, beliau membawa isu politik ke dalam kasus ini. Meskipun secara langsung beliau jangan berspekulasi tanpa ada bukti yang jelas, namun beliau justru membahas hal ini cukup serius. Bahkan beliau menunjukkan beberapa data intelejen yang didapatnya.

Ketika beliau membahas isu tentang ABS di jajaran TNI Polri yang justru niatnya diredam malah menjadi semakin meluas beredar. Sama halnya dengan isu pihak-pihak yang tidak suka tersebut justru malah diekspos dan secara tidak langsung ada kemungkinan diindikasikan adanya keterlibatan terhadap kejadian ini. Mungkin lebih bijaksana jika isu ini tidak dibahas dalam pidato tersebut karena dapat memanaskan kembali suasana politik yang makin mendingin pasca pilpres.

Sebenarnya jika SBY tidak membahas hal ini maka tuduhan akan langsung dialamatkan kepada komplotan Dr. Azhari (tidak termasuk di dalamnya Ayu Azhari dan Rahma Azhari) dan Noordin M. Top. Tentu saja yang akan ikut kena getahnya lagi-lagi adalah Islam. Akan tetapi dengan diangkatnya isu ini dalam pidato beliau maka perhatiann kita beralih pada pihak-pihak yang tidak suka kepada SBY. Tentu saja secara tidak langsung diangkatnya isu ini cukup menguntungkan Islam karena tidak dijadikan kambing hitam lagi dalam kasus ini (meskipun sebenarnya Islam tidak pernah memiliki kaitan apapun terhadap terorisme, namun pendapat masyarakat yang ada saat ini cukup memojokan dunia Islam).

Tentu saja kita juga harus mencari tahu lebih dalam lagi apakah gerakan anti-SBY ini adalah rasa tidak suka secara SBY personal atau tidak suka kepada Presiden RI. Jika SBY sebagai Presiden RI maka yang akan dituduh adalah pihak-pihak yang tidak suka kepada NKRI misalnya gerakan separatis, pihak asing, dsb. Sedangkan jika yang dimaksud SBY disini adalah secara personal maka tuduhan tersebut bisa saja dialamatkan salah satunya adalah kepada rival politik SBY. Jika memang demikian maka tentunya itu sangat berbahaya.

Apapun yang terjadi kejadian ini cukup mennganggu terhaadap stabilitas di Indonesia dari berbagai bidang. Apalagi setelah sebelumnya juga terjadi beberapa kejadian penyerangan di Papua oleh pihak yang sampai saat ini belum dapat dipastikan. Dengan adanya serangan bom dari pihak yang juga belum dapat dipastikan tersebut tentunya juga menambah stabilitas pemerintahan yang ada. Marilah kita berpikir postif dan jangan terpecah belah. Anggap saja ini ulah dari pihak-pihak di luar NKRI dan janngan terlalu mempolitisir kasus ini. Semoga kebenaran segera ditegakkan. Wallahu a’lam.

Kamis, 09 Juli 2009

nasib oposisi

Pilpres belum berakhir, namun hasil dari quickcount beberapa lembaga survey telah menunjukkan bahwa pilpres hanya akan satu putaran. Bahkan joke bahwa SBY dipasangkan dengan sandal jepit pun tetap akan menang kini mulai banyak dipercaya. Saya tidak akan membahas banyak mengenai pemilu tetapi bagaimana nasib Negara ini ke depannya.

Seperti telah diketahui bahwa pada pilpres 2009 ini SBY berhasil membangun sebuah koalisi raksasa yang terdiri dari partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, PKB, serta beberapa partai nol koma lainnya yang jika ditotal semuanya berjumlah lebih dari 50% dari kursi di legislatif.

Belum lagi melihat hasil pilpres kemarin dimana Jusuf Kalla yang merupakan representasi partai Golkar meengalami kekalahan telak. Ini menunjukkan adanya perpecahan yang sangat besar dalam tubuh partai Golkar sendiri sehingga komitmen Partai Golkar yang telah dibangun sebelumnya oleh PDIP untuk bersama-sama menjadi oposisi makin dipertanyakan. Apalagi melihat sejarah partai Golkar yang selama ini selalu menempel pada pihak penguasa serta sikap dari sebagian petinggi partai Golkar yang dari jauh-jauh hari telah menunjukkan dukungannya kepada SBY. Maka tidak heran jika nantinya dalam perjalanannya Golkar justru merapat pada Demokrat.

Sedangkan partai yang sudah dapat dipastikan akan menjadi opossi adalah PDIP melihat dari sikapnya selama 5 tahun pemerintahan yang lalu pasti juga akan melakukan hal yang sama, dan Partai Gerindra dimana sejak jauh-jauh hari salah satu tokoh utama partai tersebut, yaitu Prabowo Subianto telah menyatakan anti terhadap kubu Cikeas. Sedangkan Hanura sendiri masih dipertanyakan sejauh mana Wiranto akan mengambil sikap dalam pemerintahan ke depan. Namun kemungkinan sikap Hanura tidak akan jauh berbeda dari nasib Golkar dalam mengambil posisi.

Ini tentunya akan berpengaruh banyak dalam jalannya pemerintah ke depan dimana kemungkinan tiap kebijakan pemerintah akan lebih mudah disetujui oleh legislatif. Permasalahannya adalah ketika legislatif dipenuhi oleh partai pendukung pemerintah ditakutkan oleh sebagian pihak bahwa nantinya legislative hanya akan menjadi tukang stempel terhadap segala kebijakan pemerintah dan kurang bisa melaksanakan tugasnya sebagai pengkritisi kebijakan pemerintah. Dan melihat kenyataan yang terjadi selama ini memang begitulah kenyataannya.

Ini tentunya akan sangat berbhaya ketika eksekutif memiliki kekuasaan penuh terhadap NKRI tanpa adanya legislatif yang menyeimbangkannya. Bukan hal yang mustahil akan muncul neo orde baru (sudah pake baru masih neo?) dimana Presiden memliki kewenangan penuh. Apalagi sebagian pihak juga menilai tindakan SBY akhir-akhir ini terkesan terlalu jumawa dan mulai menunjukkan sikap otoriternya.

Jadi melihat realita dan beberapa prediksi yang ada, kemungkinan besar DPR nantinya kurang optimal dalam mengkritisi setiap kebijakan pemerintah mengingat jumlah oposisi yang sedikit yang tentunya akan kalah suara.

Meskipun pihak oposisi di dalam lembaga legislatif melemah, namun saya melihat semakin menguatnya oposisi dalam masyarakat kita yang vokal. Jika kita cermati, menjelang pilpres kemarin masyarakat kita yang sering vokal terhadap keadaan bangsa (para penngamat dsb) banyak yang murtad dari yang sebelumnya mendukung SBY menjadi berbalik arah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tulisan dan tayangan yang mengkritik kebijakan pemerintah. Sebagian masyarakat inilah yang memiliki potensi untuk menjadi pihak oposisi nantinya.

Meskipun jumlah mereka relatif cukup sedikit dibanding jumlah masyartakat Indonesia secara keseluruhan yang mayoritas mendukung SBY, namun posisi mereeka cukup strategis dalam membentuk opini publik. Sebab sebagian dari orang-orang yang murtad tersebut adalah figur publik. Sebagai sebuah contoh lihatlah para pengamat politik (diluar tim sukses SBY) yang mengatakan bahwa kemenangan SBY lebih karena pencitraannya, secara tidak langsung mereka mengatakan bahwa kualitas SBY tidak sebagus pencitraannya.

Selain itu ada lagi golongan oposisi yang selama ini terlupakan. Mereka adalah golongan putih yang dalam pileg kemarin mencapai angka 40%. Jadi bisa dikatakan bahwa pendukung SBY yang riil hanyalah 60% dari 60% sisanya setelah jumlah seluruh penduduk dikurangi angka golput yaitu sekitar 36%. Tentu saja mereka yang Golput adalah mereka yang kecewa terhadap pemerintahan selama ini. Maka dapat dikatakan angka riil para pendukung pemerintah sebenarnya hanya berkisar 36% atau tidak lebih dari 40%.

Dengan bertambah banyaknya pihka anti SBY di kalangan figur masyarakat kita tentunya mereka berpengaruh besar dalam menggerakkan massa anti pemerintah yang jumlahnya banyak. Jadi secara umum, menurut ke depan pemerintah akan lebih banyak dikritisi langsung oleh masyarakat dibandingkan oleh lembaga legislatif. Jadi pemerintah jangan jumawa dahulu, bisa jadi jika mereka membuat kesalahan fatal tidak hanya dikritisi oleh legislatif, namun bisa jadi lanngsung digulingkan oleh rakyatnya. Berhati-hatilah.

Blogged with the Flock Browser