Hari ini (rabu, 3 Oktober 2012) dunia industri tanah air digemparkan dengan aksi turun ke jalan para buruh. Salah satu tema yang diangkat adalah penghapusan sistem outsourcing (OS) di perusahaan-perusahaan Indonesia. Tema klasik yang sebenarnya telah menjadi bahan perdebatan cukup lama di dalam dunia ketanagakerjaan di Indonesia. Artikel kali ini mencoba membahas keberadaan sistem OS di Indonesia.
|
Labour (piuccheperfetto.deviantart.com) |
Sistem outsourcing sendiri telah ada sejak zaman kolonial Belanda yang diatur dalam undang-undang (yang pada akhirnya sebagian masih digunakan sebagai dasar hukum Indonesia). Pada masa lalu para Demang menyediakan tenaga kerja-tenaga kerja lokal untuk dipekerjakan kepada orang-orang Belanda. Para pekerja ini nantinya upahnya sebagian akan dipotong oleh para Demang sebagai jatah mereka.
Outsourcing di Indonesia mulai populer kembali beberapa tahun terakhir. Tujuan utamanya pada kala itu adalah sebagai stimulus kepada dunia usaha untuk dapat berkembang dengan baik. OS kemudian dipandang sebagai sebuah langkah untuk mendapatkan tenaga kerja murah.
Akan tetapi anggapan seperti itu adalah sebuah praktek yang salah. Sistem outsourcing seharusnya dilandaskan pada semangat spesialisasi terhadap bidang keahlian tertentu. Tenaga outsourcing seharusnya adalah tenaga-tenaga kerja ahli dan spesialis dalam bidangnya, bukan tenaga kerja murah.
Praktek OS yang baik adalah ketika perusahaan user membutuhkan bantuan tenaga ahli atau spesialis dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya sehingga membutuhkan jasa OS dalam membantu permasalahan tersebut. Misalnya saja sebuah perusahaan yang berfokus pada bidang manufaktur sebagai user maka mereka akan melakukan outsourcing pada bidang-bidang yang bukan area keahlian mereka misalnya security, cleaning service, catering, IT, dsb. Tujuan utamanya adalah agar perusahaan tersebut bisa fokus mengerjakan bisnis utamanya, sedangkan hal-hal yang bersifat supporting tersebut akan ditangani oleh pihak-pihak yang lebih ahlinya misalnya perusahaan IT, perusahaan jasa catering, dsb.
Karyawan-karyawan OS tersebut pada dasarnya adalah para karyawan tetap yang telah dijamin hak-hak dan kesejahteraannya oleh perusahaan penyalur tersebut. Sehingga transaksi yang terjadi adalah antara user dengan perusahaan penyedia jasa, sedangkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kekaryawanan merupakan bagian dan tanggung jawab sepenuhnya dari pihak penyedia jasa.
Peraturan pemerintah juga senada dengan hal tersebut. Dalam revisinya terakhir MK menegaskan bahwa sistem outsourcing seharusnya dilandaskan pada penyediaan tenaga ahli dan bukan tenaga murah. Dengan adanya revisi ini para pekerja OS berhak mendapatkan pesangon dan hak-hak lainnya seperti halnya karyawan tetap. Selain itu sistem OS sendiri hanya diperbolehkan pada bagian-bagian yang sifatnya supporting dan bukan bisnis utama atau produksi.
Akan tetapi tentu tidak akan ada asap jika tidak ada api. Jika peraturan tersebut sudah benar-benar sepenuhnya dijalankan maka tentunya para buruh tidak akan turun ke jalan. Pada prakteknya banyak perusahaan yang masih menggunakan sistem OS pada bisnis utama mereka. Dalam kasus tertentu misalnya sebuah perusahaan manufaktur menggunakan tenaga OS dalam jumlah besar sebagai buruh kasar di pabrik. Hal ini menunjukkan bagaimana perusahaan seringkali masih meihat OS sebagai sebuah cara penyediaan tenaga murah.
Kasus lain yang sering saya temui adalah tidak adanya ikatan dan hubungan yang jelas antara karyawan OS dengan pihak penyalur tenaga kerja. Saya sering jumpai bagaimana karyawan OS yang bahkan tidak mengenal kontrak kerja dengan perusahaan penyalurnya. Praktek yang terjadi seolah-olah pihak perusahaan penyalur hanya sebatas memotong upah dari para karyawan OS tanpa adanya timbal balik semisal jaminan kesejahteraan para pekerja itu sendiri.
Jika demikian prakteknya maka itu sama bobroknya dengan sistem penyaluran jasa TKI yang sering dicemooh atau lebih parah lagi adalah mengulang kesalahan zaman kolonial dengan pengulangan sistem "Demang" yang itu berarti adalah bentuk pemalakan atau jika tidak bisa disebut perbudakan.
Maka dari itu sistem outsourcing di Indonesia masih perlu disempurnakan. Dari sisi pemerintah perlu diperketat lagi mengenai definisi dan aturan penggunaan sistem outsourcing. Bahkan dalam bentuk ekstrim jika perlu untuk sementara hapuskan sistem outsourcing untuk para pekerja kerah biru, sistem OS hanya digunakan secara terbatas pada pekerja kerah putih.
Yang kedua adalah pengawasan implementasi di lapangan. Bagaimana perusahaan penyedia jasa OS harus dapat memenuhi kewajibannya dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan karyawan-karyawannya. Jangan sampai perusahaan jasa OS pada prakteknya hanya menjadi "pemalak" tanpa memberikan timbal balik keuntungan kepada para karyawan.
Dan ketiga adalah bagaimana peran serta user dalam sistem ini perlu dibenahi. Stigma OS sebagai penyedia tenaga kerja murah harus sepenuhnya dihapus dan digantikan dengan stigma penyedia tenaga kerja ahli. Para user seharusnya juga bisa lebih ketat lagi dalam memilih para penyedia jasa yang akan mereka gunakan. User memiliki kekuatan untuk menyeleksi dan memilih penyedia-penyedia jasa yang benar-benar memperhatikan karyawannya untuk dijadikan partner.
Bagaimanapun juga sebuah tindakan dzalim untuk mengambil keuntungan dari orang lain tanpa memberikan haknya. Pada titik inilah kita seharusnya berpikir ulang bagaimana kita memandang OS selama ini, apakah masih sebatas uang ataukah sudah melihatnya sebagai sebuah manusia yang utuh sepenuhnya?