Minggu, 03 Januari 2010

sebuah cerita fiksi tentang pendidikan di Yogyakarta


sebuah prolog


Saya hanyalah seorang anak biasa yang tinggal di pinggiran selatan kota Jogja, bukan di daerah utara yang penduduknya relatif lebih maju daripada mereka yang di selatan sehingga wajar ketika saya sedang memberi makan burung merpati saya, teman-teman saya sedang asyik bermain beri-beri (saya tidak bisa mengucapkan kata blackberry). Ketika TK, saya nunut di sebuah TK milik yayasan Batik dimana kebetulan budhe saya menjadi kepala sek4olah. Saya menjalaninya selama tiga tahun karena kebetulan di tahun kedua saya tidak lulus UNAS TK sehingga saya terpaksa mengulanginya di tahun berikutnya.

Ketika saya beranjak memasuki SD, saya mengikuti tetangga saya dan meminta disekolahkan di sebuah SD Muhammadiyah yang baru di kemudian hari ketika saya menduduki bangku kuliah dan berkumpul kembali dengan teman SD, saya meragukan apakah itu benar SD saya dahulu memang sebuah SD Muhammadiyah.

SMP pun saya tidak jauh dari rumah. Sebuah SMP Negeri yang sederhana dengan pagar bak penjara. SMP yang angkanya jika dibalik tetap menjadi angka lain (misal 6 dibalik menjadi 9, 5 dibalik menjadi 2) di daerah pusat kerajinan perak. Saat itu pemikiran saya masih lah sederhana, maklum karena SMP pinggiran maka banyak teman saya yang jauh-jauh dari daerah-daerah pinggiran lainnya yang bersepeda ke sekolah dan menikmati kehidupan SMP yang sederhana. Ahh..itulah kehidupan orang-orang pinggiran yang cukup beruntung.

Ternyata nasib saya sebagai orang pinggiran tidak begitu berubah ketika SMA. Saya masih saja sekolah di sebuah SMA Negeri yang lagi-lagi angkanya jika dibalik akan memunculkan angka yang sama (misal 8 dibalik tetap 8, 0 dibalik tetap 0) dan tentu saja masih saja sekolah pinggiran. Namun bedanya sekolah ini lebih favorit dibanding SMP saya.

Dan ketika kuliah Alhamdulillah saya berhasil duduk di sebuah bangku kuliah di sebuah Universitas Gajah yang berada di Yogyakarta. Berada di sebuah Fakultas bergengsi yang bahkan tetangga desa saya belum paham apa itu (karena ilmu ini masih konsumsi publik menengah ke atas).

Sebuah Keheranan


Sekali lagi, saya hidup di pingiran kota yang sederhana. Ketika SD, saya belum memahami seperti apa kehidupan di Jogjakarta ini. Ketika SMP, yang ada di sekeliling saya adalah kehidupan yang membuat saya memahami mengapa Indonesia belum bisa disebut sebagai negara kaya. Namun pandangan saya tersebut kian lama kian berubah ketika saya memasuki bangku SMA dan kuliah.

Saya kan bercerita sebuah saja tentang sebuah keheranan saya. Ketika awal kuliah dan zaman FB baru muncul, saya cukup tersentak kaget ketika melihat status teman saya yang merencanakan untuk pergi ke luar negeri mengisi liburan. Mungkin itu sebuah hal yanng biasa saja tetapi bagi saya orang pinggiran ini ke luar negeri dalam kamus saya hanyalah sebatas pergi ke tanah suci merayakan ibadah haji. Dan semakin saya memahami kemana teman-teman saya pergi untuk mngisi waktu liburan tersebut semakin heran saja.

Ingatan ini terlintas ketika beberapa hari lalu dalam sebuah guyonan iseng di sebuah gubuk bernomer F2 teman saya berkata, "Bagaimana jika kita mengadakan tour ke Singapura?". Lebih heran lagi ketika teman saya yang lain menimpal,"iya kemarin teman saya habis darisana katanya tiketnya murah, gak nyampe 800rb bolak-balik".

Tidak ada yang salah dari percakapan tersebut. Mungkin saya saja yang terlalu ndeso. Tapi saya cukup shock. Saya tahu mereka cuma bercanda, tetapi gaya bahasa mereka membicarakan liburan ke luar negeri seolah biasa saja yang bagi saya yang ndeso ini sangat luar biasa.

Yeah..liburan ke luar negeri dengan kata cuma. Kalau saya bercerita kepada teman-teman SMP saya mungkin topik yang kami bicarakan masih seputar liburan ke Parangtritis.

Sebuah Kesenjangan


Yeah Indonesia tidak miskin, hanya saja tidak merata. Itulah yang saya tangkap dari orang-orang di sekitar saya. Disaat orang lain dengan mudahnya menghabiskan uang hasil kerja kerasnya untuk memanjakan dirinya, pada saat itu orang lain bahkan tidak mendapatkan uang dari hasil kerja kerasnya.

Ah tidak ada yang salah dari orang yang menjadi kaya karena kerja kerasnya, yang salah adalah orang miskin yang tidak berbuat apa-apa. Buat apa saya membicarakan orang lain yang mennghabiskan duitnya sendiri. Mungkin di era semi-individualis ini saya termasuk dalam orang yang ikut campur. Jadi tidak perlulah dibahas lebih panjang lagi.

Sebuah Saran


Jika anda adalah orang tua yang tidak ingin anaknya menjadi kuper dan tidak hanya membicarakan tentang merpati peliharannnya di Kasultanan ini, maka ada sebuah tips dan trik yang bisa dilakukan. Mulai dari hal yang sederhana yaitu memilih sekolah.

  1. Masukkan anak anda ke TK yang cukup terkenal dan favorit, biasanya didominasi oleh TK Swasta Islam

  2. Setelah lulus dari TK, sekolahkan anak anda di SD yang favorit juga. Misalnya SD Muhammadiyah Sapien

  3. Lulus dari SD masukkan SMP favorit yang berada di daerah kisaran dengan batas Selatan stadion Kridosono, batas Utara rumah sakit Panti Rapih, batas Timur Jemabatan Layang, dan batas Barat Pasar Terban

  4. untuk SMA, dari dua SMA paling favorit saya sarankan anda untuk memilih yang angkannya paling besar

  5. dan untuk kuliah anda bisa mengkuliahkan anak anda ke luar negeri atau minimal di sekolah Lereng Gunung Merapi (atau di cabang-cabangnya), jika ingin ke Sekolah Gajah pastikan anak anda memasuki fakultas dengan nominal PBS tertinggi untuk IPA dan IPS



Memang tidak murah, tetapi yah secara tidak kasat mata saya yakin anak anda akan bergaul dengan orang-orang yang saya akui dari segi intelektualitas dan ekonomi. Dan seperti pepatah Jawa ojo cedak kebo gupak atau nasehat Rasulullah barangsiapa (lha barangnya sapa?) berteman dengan penjual parfum maka akan tertular wanginya.

Sebenarnya dari sini kita mungkin bisa membuat hipotesis adanya korelasi positif antara tingkat ekonomi dan intelektualitas dalam level sekolah. Apakah benar atau tidak silahkan dibuktikan dengan penelitian. Anda bisa menggunakan teori Jer Basuki Mawa Bea sebagai dasar teori anda.

Sebuah Penipuan


Sekali lagi, ini hanyalah sebuah cerita fiksi. Jika anda mempercayai apa yang saya katakan maka anda telah tertipu. tetapi seperti film-film fiksi, saya kan memasang peringatan:

Cerita ini hanya merupakan cerita fiksis semata. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama karakter, tokoh, instansi, maupun kejadian maka itu merupakan sebuah ketidak sengajaan yang tidak ada kaitannya dengan cerita ini.

0 comments: