Mungkin kau merasa tidak bisa menggambar dengan bagus, tidak pula memiliki suara emas, gerakan payah tidak bisa menari, dan sebagainya. Tidak bisa menciptakan satu pun kaya seni dari tanganmu dan merasa satu-satunya seni dalam tubuhmu hanyalah air seni.
Maka ini semua bukan tentang itu. Seni adalah tentang memaknai. Memaknai lukisan, memaknai suatu karya, memaknai hidup. Hanya satu hal yang perlukan untuk menciptakan seni yaitu memberi makna.
Seluruh hidupmu, gerak-gerikmu, tingkah lakumu, pemikiranmu, akan menjadi sebuah seni ketika kamu mau memaknainya. Maka teruslah memaknai hidupmu dan jadilah seorang seniman.
Sabtu, 31 Juli 2010
Kamis, 29 Juli 2010
psikologi semar
Semar dikenal sebagai salah satu tokoh wayang asli Indonesia. Semar biasanya dimunculkan bersama gareng, petruk, dan bagong. Sepintas kemunculan para punakawan ini hanya terlihat bagai selingan tawa di tengah jalannya cerita wayang yang cukup serius. Namun di balik itu semua tokoh Semar sendiri memiliki banyak makna.
be SeMAR
Banyak versi yang menceritakan asal-usul tokoh Semar itu sendiri. Namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa tokoh ini adalah perwujudan dari salah seorang Dewa yang cukup sakti. Semar sendiri diceritakan masih memiliki hubungan dekat dengan Batara Guru yang tidak lain diceritakan sebagai Raja para dewa atau dewa tertinggi. Beberapa versi menyebutkan hubungan tersebut adalah adik-kakak, sedangkan versi lain menyebutkan hubungan paman dan ponakan.
Meskipun Dewa yang cukup sakti, sosok Semar justru hanya berperan sebagai pengasuh para kesatria. Para punokawan selalu berada sebagai tokoh belakang dan jarang terlibat secara langsung dalam alur cerita. Para punokawan digambarkan sebagai golongan akar rumput.
Akan tetapi di balik itu semua tidak bisa dipungkiri bahwa Semar sebenarnya adalah sosok yang besar. Diceritakan bahwa para kesatria selalu meminta nasehat darinya apabila mendapat masalah. Bahkan Sang Batara Guru yang menjadi Raja para dewa pun terkadang meminta nasehatnya. Dalam beberapa kisah juga diceritakan bahwa Batara Guru pun kalah sakti dengan Semar. Semar berhasil menngalahkan Batara Guru dengan senjata andalannya yaitu kentutnya. Semar pula lah yang berhasil melerai pertangkaran antara kedua kesatria sakti yaitu Gareng dan Petruk yang kemudian menjadi pengikutnya.
Semar dan struktur sosial
Budaya memiliki efek saling mempengaruhi antara budaya yang satu dengan yang lain. Budaya juga seringkali diadopsi oleh bangsa lain. Indonesia termasuk salah satu bangsa yang gemar mengadopsi budaya lain. Terbukti dari catatan sejarah yang menunjukkan bagaimana Hindu dan Islam bisa mudah diterima dalam struktur budaya kita. Namun budaya yang diadopsi terkadang tidak ditelan atau ditiru mentah-mentah. Seringkali budaya tersebut mendapat sedikit penyesuaian di beberapa bagian agar lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Munculnya para Punakawan dalam cerita pewayangan juga merupakan salah satu bentuk penyesuaian terhadap budaya asing. Meskipun wayang kulit dan wayang golek itu sendiri mungkin merupakan budaya asli Indonesia, namun cerita-cerita yang sering dipentaskan adalah cerita-cerita dari India. Sebut saja Mahabarata dan Ramayana. Maka cukup menarik untuk mendalami mengapa Punakawan muncul dalam dunia wayang. Tentunya ini semua tidak terlepas dari struktur sosial masyarakat yang ada.
Menurut saya, kemunculan Punakawan ini memiliki beberapa alasan. Punakawan selalu muncul dalam adegan goro-goro dimana merupakan adegan komedi dalam sebuah cerita wayang. Ini mungkin erat kaitannya dengan sistem kebudayaan kita yang memiliki fokus yang besar dalam hal kebahagiaan. Salah satu bentuk nyatanya adalah komedi.
Dalam cerita pewayangan asli baik Ramayana dan Mahabarata sentuhan komedi kurang begitu terasa. Cerita ini lebih menonjolkan sisi aksi terutama dalam hal peperangan. Ini mungkin berbenturan dengan struktur budaya kita yang cenderung pragmatis atau lebih santai dan kurang begitu serius dalam menghadapi suatu masalah. Maka agar kisah pewayangan ini dapat diterima oleh masyarakat ditambahkannyalah adegan Goro-goro dalam cerita wayang.
Tokoh Semar sendiri merupakan representasi dari tokoh yang paling bijaksana dan sakti. Yang cukup menarik adalah justru sosok sebesar ini tidak berada dalam tingkatan struktur sosial yang tinggi dengan menjadi raja atau dewa misalnya, namun justru hanya menjadi seorang pengasuh atau pembantu yang merupakan representasi dari golongan akar rumput.
Hal ini bisa diterjemahkan dalam hal. Yang pertama adalah bahwa seseorang yang memiliki kemampuan yang besar tidak harus menonjolkan diri. Nilai ini sama halnya dengan nilai-nilai andap asor dalam budaya Jawa. Nilai ini sangat dijunjung dalam masyarakat Jawa.
Bahkan ada pepatah yang mengatakan seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Dimana seseorang diharapkan untuk selalu rendah hati meskipun memiliki kemampuan yang besar. Begitu pula Semar yang meski memiliki sebuah kemampuan yang besar namun memilih untuk berada di belakang layar dan menjadi golongan akar rumput. Ini juga dapat ditafsirkan bahwa seorang pemimpin sebaiknya tetap dekat dengan golongan akar rumput atau memperhatikan keadaan di bawah.
Yang kedua bahwa kita jangan menilai seseorang dari penampilannya. Mereka yang kadang terkesan sederhana dan tampak sebagai golongan marginal sebenarnya memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Ini sesuai dengan nilai dan stereotype kita bahwa orang bijaksana seringkali digambarkan sebagai sosok yang biasa saja dan sederhana dalam kehidupannya.
Semar pastilah seorang Psikolog juga
Satu hal lagi yang membuat saya kagum akan sosok ini adalah caranya dalam memberi nasehat. Dalam memberi nasehat Semar selalu memberikan segala pilihan dengan konsekuensi yang ada. Maka mereka yang meminta nasehatlah yang harus menentukan sendiri mana yang akan mereka lakukan.
Cara ini mirip dengan pendekatan humanis yang banyak digunakan oleh para konselor dan psikolog saat ini. Dimana konselor atau psikolog tidak memberikan solusi secara langsung dan mengarahkan klien ke arah tertentu (non-directive) tapi lebih ke arah membantu klien dalam mengatasi masalah mereka sendiri.
Metode yang paling baru di dunia psikologi ini sudah jauh-jauh hari digunakan oleh Semar. Maka pantaslah saya menebak pastilah Semar itu seorang Psikolog juga. Saya rasa jika Semar mau menulis buku pastilah dia lebih terkenal dibanding tokoh-tokoh Psikologi lainnya.
Semar Mendem
Bagaimanapun juga Semar hanyalah sebuah tokoh fiksi. Namun pembentukan karakter dan penokohannya tentu tidak lepas dari pengaruh budaya tempat Semar dilahirkan. Jadi nilai-nilai yang terkandung dalam Semar sebenarnya merupakan representasi dari nilai-nilai budaya masyarakat yang ada.
Nilai-nilai yang sayangnya sudah mulai kita lupakan dan kita ganti begitu saja.
be SeMAR
Banyak versi yang menceritakan asal-usul tokoh Semar itu sendiri. Namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa tokoh ini adalah perwujudan dari salah seorang Dewa yang cukup sakti. Semar sendiri diceritakan masih memiliki hubungan dekat dengan Batara Guru yang tidak lain diceritakan sebagai Raja para dewa atau dewa tertinggi. Beberapa versi menyebutkan hubungan tersebut adalah adik-kakak, sedangkan versi lain menyebutkan hubungan paman dan ponakan.
Meskipun Dewa yang cukup sakti, sosok Semar justru hanya berperan sebagai pengasuh para kesatria. Para punokawan selalu berada sebagai tokoh belakang dan jarang terlibat secara langsung dalam alur cerita. Para punokawan digambarkan sebagai golongan akar rumput.
Akan tetapi di balik itu semua tidak bisa dipungkiri bahwa Semar sebenarnya adalah sosok yang besar. Diceritakan bahwa para kesatria selalu meminta nasehat darinya apabila mendapat masalah. Bahkan Sang Batara Guru yang menjadi Raja para dewa pun terkadang meminta nasehatnya. Dalam beberapa kisah juga diceritakan bahwa Batara Guru pun kalah sakti dengan Semar. Semar berhasil menngalahkan Batara Guru dengan senjata andalannya yaitu kentutnya. Semar pula lah yang berhasil melerai pertangkaran antara kedua kesatria sakti yaitu Gareng dan Petruk yang kemudian menjadi pengikutnya.
Semar dan struktur sosial
Budaya memiliki efek saling mempengaruhi antara budaya yang satu dengan yang lain. Budaya juga seringkali diadopsi oleh bangsa lain. Indonesia termasuk salah satu bangsa yang gemar mengadopsi budaya lain. Terbukti dari catatan sejarah yang menunjukkan bagaimana Hindu dan Islam bisa mudah diterima dalam struktur budaya kita. Namun budaya yang diadopsi terkadang tidak ditelan atau ditiru mentah-mentah. Seringkali budaya tersebut mendapat sedikit penyesuaian di beberapa bagian agar lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Munculnya para Punakawan dalam cerita pewayangan juga merupakan salah satu bentuk penyesuaian terhadap budaya asing. Meskipun wayang kulit dan wayang golek itu sendiri mungkin merupakan budaya asli Indonesia, namun cerita-cerita yang sering dipentaskan adalah cerita-cerita dari India. Sebut saja Mahabarata dan Ramayana. Maka cukup menarik untuk mendalami mengapa Punakawan muncul dalam dunia wayang. Tentunya ini semua tidak terlepas dari struktur sosial masyarakat yang ada.
Menurut saya, kemunculan Punakawan ini memiliki beberapa alasan. Punakawan selalu muncul dalam adegan goro-goro dimana merupakan adegan komedi dalam sebuah cerita wayang. Ini mungkin erat kaitannya dengan sistem kebudayaan kita yang memiliki fokus yang besar dalam hal kebahagiaan. Salah satu bentuk nyatanya adalah komedi.
Dalam cerita pewayangan asli baik Ramayana dan Mahabarata sentuhan komedi kurang begitu terasa. Cerita ini lebih menonjolkan sisi aksi terutama dalam hal peperangan. Ini mungkin berbenturan dengan struktur budaya kita yang cenderung pragmatis atau lebih santai dan kurang begitu serius dalam menghadapi suatu masalah. Maka agar kisah pewayangan ini dapat diterima oleh masyarakat ditambahkannyalah adegan Goro-goro dalam cerita wayang.
Tokoh Semar sendiri merupakan representasi dari tokoh yang paling bijaksana dan sakti. Yang cukup menarik adalah justru sosok sebesar ini tidak berada dalam tingkatan struktur sosial yang tinggi dengan menjadi raja atau dewa misalnya, namun justru hanya menjadi seorang pengasuh atau pembantu yang merupakan representasi dari golongan akar rumput.
Hal ini bisa diterjemahkan dalam hal. Yang pertama adalah bahwa seseorang yang memiliki kemampuan yang besar tidak harus menonjolkan diri. Nilai ini sama halnya dengan nilai-nilai andap asor dalam budaya Jawa. Nilai ini sangat dijunjung dalam masyarakat Jawa.
Bahkan ada pepatah yang mengatakan seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Dimana seseorang diharapkan untuk selalu rendah hati meskipun memiliki kemampuan yang besar. Begitu pula Semar yang meski memiliki sebuah kemampuan yang besar namun memilih untuk berada di belakang layar dan menjadi golongan akar rumput. Ini juga dapat ditafsirkan bahwa seorang pemimpin sebaiknya tetap dekat dengan golongan akar rumput atau memperhatikan keadaan di bawah.
Yang kedua bahwa kita jangan menilai seseorang dari penampilannya. Mereka yang kadang terkesan sederhana dan tampak sebagai golongan marginal sebenarnya memiliki kebijaksanaan yang tinggi. Ini sesuai dengan nilai dan stereotype kita bahwa orang bijaksana seringkali digambarkan sebagai sosok yang biasa saja dan sederhana dalam kehidupannya.
Semar pastilah seorang Psikolog juga
Satu hal lagi yang membuat saya kagum akan sosok ini adalah caranya dalam memberi nasehat. Dalam memberi nasehat Semar selalu memberikan segala pilihan dengan konsekuensi yang ada. Maka mereka yang meminta nasehatlah yang harus menentukan sendiri mana yang akan mereka lakukan.
Cara ini mirip dengan pendekatan humanis yang banyak digunakan oleh para konselor dan psikolog saat ini. Dimana konselor atau psikolog tidak memberikan solusi secara langsung dan mengarahkan klien ke arah tertentu (non-directive) tapi lebih ke arah membantu klien dalam mengatasi masalah mereka sendiri.
Metode yang paling baru di dunia psikologi ini sudah jauh-jauh hari digunakan oleh Semar. Maka pantaslah saya menebak pastilah Semar itu seorang Psikolog juga. Saya rasa jika Semar mau menulis buku pastilah dia lebih terkenal dibanding tokoh-tokoh Psikologi lainnya.
Semar Mendem
Bagaimanapun juga Semar hanyalah sebuah tokoh fiksi. Namun pembentukan karakter dan penokohannya tentu tidak lepas dari pengaruh budaya tempat Semar dilahirkan. Jadi nilai-nilai yang terkandung dalam Semar sebenarnya merupakan representasi dari nilai-nilai budaya masyarakat yang ada.
Nilai-nilai yang sayangnya sudah mulai kita lupakan dan kita ganti begitu saja.
Labels:
sosial
Jumat, 16 Juli 2010
pendidikan budak
Satu pertanyaan yang cukup membuat saya tersadar akan arti sebenarnya dari ilmu adalah ketika seorang adik kelas SMA bertanya kepada saya, "kuliah dimana, Mas?". Lalu saya jawab, "Psikologi". Pertanyaan berikutnya yang cukup mengagetkan saya adalah: "kalau kuliah di Psikologi nanti kerjanya jadi apa?". Jawaban saya berikutnya adalah jawaban yang membuat saya tersadar tentang apa arti dari ilmu, yaitu "saya di Psikologi UGM mau kuliah, bukan mau kerja".
Sebenarnnya pertanyaan serupa juga pernah terlintas dalam benak saya sebelumnya. Namun akhirnya saya membulatkan tekad untuk masuk Psikologi karena saya tertarik. Tidak lebih dan tidak kurang. Saya tidak ribut memikirkan nanti setelah lulus saya mau kerja apa. Saya yakin bahwa rezeki itu udah ada yang mengatur terlepas kita mau belajar apa.
Pertanyaan tersebut merupakan manifestasi dari sebuah common sense yang ada dalam masyarakat. Orang tua menyekolahkan kita di SD yang bagus agar kita jadi anak pintar. Kemudian kita masuk ke SMP yang bagus, harapannya agar nilai UAN-nya bagus dan bisa memasuki SMA yang bagus. Kita masuk SMA yang bagus juga dengan harapan agar kita bisa diterima di Universitas ternama. Kita kuliah di Universitas ternama agar bisa bekerja di sebuah perusahaan yang besar (dengan gaji yang besar pula tentunya).
Maka berarti kita belajar selama lebih dari 9tahun hanya untuk bekerja. Lebih dari sembilan tahun kita jalani hanya demi mendapatkan prasyarat mendaftar bekerja di sebuah perusahaan, yaitu: ijazah. Jika memang demikian stereotype yang ada, maka wajar jika yang lahir dari pendidikan kita hanyalah manusia-manusia yang memanifestasikan ilmunya ke dalam abjad-abjad dan angka-angka.
Mereka menuntut ilmu karena terpaksa, karena tanpa melewati fase tersebut mereka tidak akan bisa bekerja. Dunia pendidikan kita lalu dipenuhi oleh orang-orang yang menggunakan ilmu hanya untuk mendapatkan lembaran-lembaran uang. Saya tidak menyalahkan jika ada orang yang menggunakan ilmunya untuk mencari uang, tetapi bagi saya ilmu lebih dari sekedar untuk memenuhi perut. Adalah sebuah kesalahan besar jika orang-orang beranggapan jika kita menuntut ilmu selama ini hanya demi perut kita.
Transfer Pengetahuan
Pada zaman penjajahan Belanda, sekolah-sekolah didirikan untuk merekrut tenaga ahli. Sekolah-sekolah yang ada adalah sekolah pelatihan kerja. Sekolah yang paling efektif dalam hal ini adalah yang menggunakan prinsip pembelajaran transfer ilmu dari guru ke murid-muridnya agar muridnya bisa melakukan apa yang gurunya kehendaki.
Sudah berpuluh-puluh tahun Belanda angkat kaki dari negeri kita namun pendidikan masih saja seperti yang dulu. Kita masih saja menggunakan model pembelajaran dengan sistem transfer pengetahuan, bukan membentuk pengetahuan. Sistem ini hanya melahirkan budak-budak yang ahli dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu. Sistem ini tidak membentuk ilmu-ilmu dari dalam diri individu namun hanya memindahkannya.
Apa yang terjadi adalah akademisi kita hanya bisa menggunakan ilmu yang sudah ada tanpa bisa memahami dan mengembangkannnya. Jadi wajar jika akademisi kita suka menelan mentah-mentah teori yang ada tanpa pernah berusaha menciptakan dan mengembangkan teori baru. Kita memakai sebuah pengetahuan, bukan berusaha membangun pengetahuan itu sendiri.
Inilah pendidikan budak. Pendidikan yang dianggap sebagai pelatihan dalam bekerja. Pendidikan yang hanya berlandaskan pada tujuan akhir mencari nafkah. Pendidikan yang tidak mengembangkan ilmu itu sendiri dan hanya memanfaatkannya.
Ketika para siswa sibuk belajar menjelang ujian saja, maka itu berarti ilmu kita hanya akan dimanifestasikan dalam angka-angka dalam secarik kertas. Ketika mahasiswa selalu menuntut haknya untuk mengikuti ujian namun tidak pernah menuntut haknya untuk mengikuti kuliah, maka Universitas hanya akan menjadi sebuah percetakan ijazah.
Ketika kita lebih suka belajar dengan hanya duduk dan mendengarkan bukan memahami, maka itu membuktikan bahwa diri kita hanyalah seorang budak. Pertanyaannya adalah engkau budak atau bukan?
*) komik oleh Saiful Bachri
Sebenarnnya pertanyaan serupa juga pernah terlintas dalam benak saya sebelumnya. Namun akhirnya saya membulatkan tekad untuk masuk Psikologi karena saya tertarik. Tidak lebih dan tidak kurang. Saya tidak ribut memikirkan nanti setelah lulus saya mau kerja apa. Saya yakin bahwa rezeki itu udah ada yang mengatur terlepas kita mau belajar apa.
Pertanyaan tersebut merupakan manifestasi dari sebuah common sense yang ada dalam masyarakat. Orang tua menyekolahkan kita di SD yang bagus agar kita jadi anak pintar. Kemudian kita masuk ke SMP yang bagus, harapannya agar nilai UAN-nya bagus dan bisa memasuki SMA yang bagus. Kita masuk SMA yang bagus juga dengan harapan agar kita bisa diterima di Universitas ternama. Kita kuliah di Universitas ternama agar bisa bekerja di sebuah perusahaan yang besar (dengan gaji yang besar pula tentunya).
Maka berarti kita belajar selama lebih dari 9tahun hanya untuk bekerja. Lebih dari sembilan tahun kita jalani hanya demi mendapatkan prasyarat mendaftar bekerja di sebuah perusahaan, yaitu: ijazah. Jika memang demikian stereotype yang ada, maka wajar jika yang lahir dari pendidikan kita hanyalah manusia-manusia yang memanifestasikan ilmunya ke dalam abjad-abjad dan angka-angka.
Mereka menuntut ilmu karena terpaksa, karena tanpa melewati fase tersebut mereka tidak akan bisa bekerja. Dunia pendidikan kita lalu dipenuhi oleh orang-orang yang menggunakan ilmu hanya untuk mendapatkan lembaran-lembaran uang. Saya tidak menyalahkan jika ada orang yang menggunakan ilmunya untuk mencari uang, tetapi bagi saya ilmu lebih dari sekedar untuk memenuhi perut. Adalah sebuah kesalahan besar jika orang-orang beranggapan jika kita menuntut ilmu selama ini hanya demi perut kita.
Transfer Pengetahuan
Pada zaman penjajahan Belanda, sekolah-sekolah didirikan untuk merekrut tenaga ahli. Sekolah-sekolah yang ada adalah sekolah pelatihan kerja. Sekolah yang paling efektif dalam hal ini adalah yang menggunakan prinsip pembelajaran transfer ilmu dari guru ke murid-muridnya agar muridnya bisa melakukan apa yang gurunya kehendaki.
Sudah berpuluh-puluh tahun Belanda angkat kaki dari negeri kita namun pendidikan masih saja seperti yang dulu. Kita masih saja menggunakan model pembelajaran dengan sistem transfer pengetahuan, bukan membentuk pengetahuan. Sistem ini hanya melahirkan budak-budak yang ahli dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu. Sistem ini tidak membentuk ilmu-ilmu dari dalam diri individu namun hanya memindahkannya.
Apa yang terjadi adalah akademisi kita hanya bisa menggunakan ilmu yang sudah ada tanpa bisa memahami dan mengembangkannnya. Jadi wajar jika akademisi kita suka menelan mentah-mentah teori yang ada tanpa pernah berusaha menciptakan dan mengembangkan teori baru. Kita memakai sebuah pengetahuan, bukan berusaha membangun pengetahuan itu sendiri.
Inilah pendidikan budak. Pendidikan yang dianggap sebagai pelatihan dalam bekerja. Pendidikan yang hanya berlandaskan pada tujuan akhir mencari nafkah. Pendidikan yang tidak mengembangkan ilmu itu sendiri dan hanya memanfaatkannya.
Ketika para siswa sibuk belajar menjelang ujian saja, maka itu berarti ilmu kita hanya akan dimanifestasikan dalam angka-angka dalam secarik kertas. Ketika mahasiswa selalu menuntut haknya untuk mengikuti ujian namun tidak pernah menuntut haknya untuk mengikuti kuliah, maka Universitas hanya akan menjadi sebuah percetakan ijazah.
Ketika kita lebih suka belajar dengan hanya duduk dan mendengarkan bukan memahami, maka itu membuktikan bahwa diri kita hanyalah seorang budak. Pertanyaannya adalah engkau budak atau bukan?
*) komik oleh Saiful Bachri
Labels:
pendidikan
Senin, 05 Juli 2010
Keterkaitan antara Pemimpin dan Usia
Antara Leader, Manager, Pemimpin, dan Ketua
Akhir-akhir ini muncul wacana pemimpin muda dalam masyarakat. Fenomena ini makin diperkuat dengan munculnya tokoh-tokoh muda yang menduduki posisi penting dalam organisasi-organisasi di masyarakat. Sedangkan dalam masyarakat sendiri seorang pemimpin seringkali dijuluki sebagai ketua yang artinya orang yang dituakan. Bagaimana sebenarnya konsep pemimpin yang ada di masyarakat? Apakah pengaruh seorang pemimpin di masyarakat dipengaruhi juga oleh usianya? Tulisan berikut ini akan mencoba menganalisis hal tersebut.
Pendahuluan
Akhir-akhir ini muncul trend mengenai pemimpin muda di Indonesia. Sudah banyak seminar, penghargaan, pelatihan, dan topik bahasan mengenai pemimpin muda itu sendiri. Trend ini menguat pasca reformasi. Dimana masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap generasi orde baru atau biasa disebut sebagai generasi tua. Hal yang serupa juga ditemukan dalam penelitian Indigenous Psychology dari Fakultas Psikologi UGM dimana kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap politisi sangat rendah.
Oleh karena itu masyarakat kini berharap akan sebuah perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Harapan ini terutama terletak pada munculnya para pemimpin muda. Menurut Faisal Basri, kebutuhan akan pemimpin muda dikarenakan agar terciptanya sebuah harapan atau perubahan untuk Indonesia itu sendiri dan supaya tidak terikat terus menerus oleh masalah-masalah yang ada pada masa lalu (antaranews.com).
Hal senada juga diungkapkan Yuddi Chrisnandi bahwa pemimpin muda diharapkan mampu membawa sebuah perubahan karena memiliki pemikiran yang hebat (antaranews.com).
Gejala ini semakin menguat akhir-akhir ini di Indonesia. Terbukti dari munculnya beberapa tokoh pemimpin muda. Sebut saja munculnya Barrack Obama sebagai presiden Amerika Serikat yang turut berpengaruh di Indonesia (detiknews.com), Anies Baswedan sebagai rektor Universitas Paramadina, Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, dan tokoh-tokoh lainnya. Ini menunjukkan adanya trend pemimpin muda yang semakin menguat di Indonesia.
Berubahnya persyaratan calon Presiden yang sebelumnya berusia minimal 40 tahun pada tahun 2005 dan menjadi berusia minimal 35 tahun pada tahun 2008 menunjukkan adanya gejala bahwa pemimpin muda mulai diterima di masyarakat.
Masyarakat mulai beranggapan bahwa pemimpin muda justru lebih baik daripada mereka yang lebih tua. Atau minimal usia tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja seorang pemimpin. Namun aturan hukum justru berkata sebaliknya. Banyak posisi tertentu dalam pemerintahan atau perusahaan yang menerapkan usia minimal sebagai syarat utama. Sebut saja Undang-undang nomer 30 tahun 2002 tentang KPK yang menyebutkan bahwa Ketua KPK minimal berusia 40 tahun dan maksimal 65 tahun (tempointeraktif.com) dan Undang-Undang nomer 44 tahun 2008 yang mensyaratkan calon presiden minimal berusia 35 tahun (kpu.go.id).
Oleh karena itu artikel ini ingin menjawab bagaimana sebenarnya definisi pemimpin itu sendiri di Indonesia. Apakah kemampuan seorang pemimpin menurut masyarakat ditentukan juga oleh usianya itu yang akan menjadi bahasan utama artikel ini.
Implikasi teoritik
Ada banyak istilah mengenai kepemimpinan. Dalam referensi-referensi yang bersumber dari Barat, kita mengenal adanya istilah leadership. Ada juga istilah manager sebagai seorang pemimpin (biasanya dalam dunia bisnis). Di Indonesia kita menyebut itu semua sebagai kepemimpinan.
Leadership adalah proses mempengaruhi sebuah kelompok untuk dapat mencapai suatu tujuan (Hughes, Ginnet & Curpy, 2006). Leadership sendiri lebih menekankan pada bagaimana seorang leader dapat membuat orang lain terpengaruh dan melakukan sesuatu sesuai yang diharapkannya. Namun leadership ini tentu tidak semudah itu.
Sedangkan manager adalah seseorang yang mendukung, melaksanakan, dan bertanggung jawab dalam sebuah pekerjaan bersama (Schermerhorn, 2010). Manager lebih menkankan pada bagaimana sebuah pekerjaan bersama dapat terlaksana dengan baik.
Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa kebudayaan berpegaruh terhadap perbedaan gaya kepemimpinan yang efektif (House, Hanges, Javidan, Dorfman,& Gupta, 2004). Misalya saja penelitian yang dilakukan Hoffstede yang menunjukkan berbagai karakter perbedaan budaya di beberapa Negara dunia yang berpengaruh juga terhadap gaya kepemimpinan yang ada. Bisa jadi definisi mengenai kepemimpinan itu sendiri berbeda di masing-masing budaya.
Di Indonesia kita mengenal istilah kepemimpinan. Pemimpin sendiri berasal dari kata pimpin yang berarti sebuah upaya untuk membimbing dan menuntun. Pemimpin sendiri berarti orang yang memimpin (KBBI, 1989). Jadi seorang pemimpin harus mampu membimbing pengikutnya menuju suatu tujuan tertentu. Definisi ini sama dengan makna harafiah dari leader itu sendiri (McIntosh, 1952).
Selain pemimpin, di Indonesia kita juga mengenal istilah lain yaitu ketua. Ketua adalah orang yang tertua dan banyak pengalamannya (KBBI, 1989). Dalam organisasi-organisasi di masyarakat seringkali kita temui bahwa kedudukan tertinggi dipegang oleh seorang ketua. Dalam hal ini ketua memiliki fungsi yang mirip sebagai seorang leader, manager, atau pemimpin.
Tua sendiri seringkali diidentikkan dengan sifat kebijaksanaan dan pengalaman yang banyak. Kebijaksanaan sendiri didefinisikan oleh Dittman-Kohli dan Baltes (dalam Kimmel,1990) sebagai bagian dari fluid intelligent. Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk membuat sebuah penilaian yang baik terhadap hal-hal yang penting namun tidak pasti dalam hidup ini.
Definisi kebijaksanaan sendiri berbeda antara masyarakat Timur dan Barat. Di dalam masyarakat Barat kebijaksanaan lebih dikaitkan dengan kecerdasan dan alasan. Sedangkan di dalam budaya masyarakat Timur kebijaksanaan sendiri lebih dikaitkan pengetahuan langsung (pengalaman) dan arti hidup (Kimmel,1990).
Analisis teoritik dan temuan
Dari sekian banyak teori tentang kepemimpinan atau leadership, teori-teori di atas hanyalah sebagian kecil. Dari definisi tentang manager, leadership, dan kepemimpinan, tidak ada satu pun yang berkaitan dengan usia seseorang dengan kapasitasnya dalam memimpin.
Namun perlu dicermati juga bahwa konsep leadership dan manager merupakan konsep asing yang masuk ke Indonesia dan bukan hasil asli dari kebudayaan Indonesia. Begitu juga dengan konsep kepemimpinan tampaknya juga merupakan adaptasi dari konsep leadership.
Satu hal yang perlu diingat bahwa masing-masing bangsa memiliki budaya mereka sendiri. Setiap budaya ini sendiri memiliki unsur-unsur:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi
Jadi dapat dikatakan bahwa tiap-tiap kebudayaan memiliki sistem organisasi kemasyarakatan masing-masing yang bisa berbeda dan bisa juga sama. Sistem organisasi kemasyarakatan inilah yang berpengaruh tentang konsep kepemimpinan itu sendiri seperti apa.
Di Indonesia kita mengenal apa yang kita sebut sebagai ketua. Istilah ini sendiri erat kaitannya dengan konsep pemimpin. Secara harafiah ketua sendiri memiliki arti orang yang paling tua dari suatu kelompok. Dalam perkembangannya makna ini meluas menjadi orang yang dianggap paling tua atau dituakan. Makna tua sendiri pun meluas dari yang sebelumnya tua mengacu pada usia kronologis beralih ke tua dalam definisi usia sosial atau psikologis.
Dahulu konsep ketua digunakan pada konteks kelompok sosial masyarakat. Namun kini istilah ketua digunakan hampir dalam struktur keorganisasian. Bahkan dalam organisasi formal istilah ini pun masih sering dipakai. Termasuk di dalamnya lembaga tinggi Negara misalnya ketua KPK, ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua KPU, dan sebagainya.
Menjadi sebuah pertanyaan tersendiri mengapa masyarakat Indonesia menyebut orang yang paling tinggi pengaruhnya dalam sebuah kelompok dengan sebutan ketua. Bisa dikatakan bahwa masyarakat mengidentikkan konsep pemimpin mereka dengan konsep orang yang sudah tua.
Apa yang spesial dengan orang tua? Orang yang sudah tua biasa digambarkan sebagai orang yang bijaksana, emosinya stabil, dihormati, tenang, dan sebagainya. Namun orang yang sudah tua juga diidentikkan dengan lamban dalam bekerja dan tidak meluap-luap semangatnya.
Terlihat bahwa masyarakat memiliki kecenderungan untuk menyamakan konsep pemimpin mereka sebagai orang yang bijaksana, emosinya stabil (tidak berapi-api), dihormati, tenang, dan sebagainya. Bahkan seorang pemimpin tidak harus cekatan dan sigap dalam bekerja namun yang utama adalah karakteristik kebijaksanaannya dalam menghadapi suatu masalah.
Konsep ini tampaknya lebih cocok dengan fenomena sosial yang ada. Seringkali kita jumpai terutama di struktur pemerintahan atau organisasi-organisasi lain yang cenderung masih konvensional bahwa pemilihan jabatan tidak ditentukan oleh kapasitas seseorang dalam bekerja. Jabatan seseorang dinilai dari kepantasan seseorang dalam lingkungan sosialnya.
Di daerah-daerah seringkali mahasiswa yang melakukan KKN mengalami kesulitan dalam melakukan sosialisasi di masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak melihat mahasiswa dari kompetensinya melainkan dari kepantasannya dalam struktur sosial.
Begitu juga dengan fenomena Pemilu 2009 kemarin dimana calon Presiden seperti SBY lebih populer di mata masyarakat. Hal ini dikarenakan SBY dalam setiap kampanyenya selalu mencitrakan dirinya sebagai seseorang yang bijaksana dan berhati-hati dalam mengambil keputusan. Berbeda dengan JK yang mencitrakan dirinya sebagai sosok yang cekatan dan berapi-api dalam bekerja justru popularitasnya paling rendah.
Hal ini juga bisa menjelaskan mengapa fenomena pemimpin muda tidak begitu saja mudah diterima oleh masyarakat. Masyarakat lebih mengutamakan kebijaksanaan dibandingkan kompetensi dalam memilih seorang pemimpin. Kebijaksanaan inilah yang tampaknya kurang melekat dalam karakter seorang pemimpin muda.
Seorang ketua harus mampu menghadapi sebuah masalah dengan bijaksana. Berbeda dengan konsep kepemimpinan atau leadership yang menkannkan bagaimana seorang pemimpin bisa membuat orang lain terkena pengaruh darinya. Terlebih lagi dengan seorang manager yang ditekankan pada penyelesaian tugasnya.
Penutup
Dalam kebudayaan Indonesia sosok atau figur pemimpin diidentikkan dengan karakteristik atau sifat orang tua. Pemimpin diharapkan sebagai seseorang yang bijaksana dalam bertindak. Sedangkan kompetensi kerja seorang pemimpin cenderung dikesampingkan.
Inti utama dari leadership atau kepemimpinan adalah dalam hal hubungan saling mempengaruhi antara pemimpin dan pengikutnya. Dalam masyarakat Indonesia besarnya pengaruh seseorang lebih ditentukan dari kualitas hubungan sosialnya dan kemiripan dirinya dengan konsep orang tua.
Pemimpin muda sendiri mengalami hambatan besar dalam hal ini. Bagaimana masyarakat mengidentikkan pemimpin mereka dengan karakteristik orang tua tentu sangat bertentangan dengan konsep pemimpin muda. Sehingga wajar jika konsep kepemimpinan muda ini banyak mengalami ganjalan terutama di lingkungan masyarakat yang masih cenderung tradisional.
Namun perkembangan ilmu pengetahuan yang ada selama ini terus menerus mengadopsi konsep-konsep dari Barat. Dalam hal ini termasuk juga konsep kepemimpinan. Jika perkembangan ilmu masih tetap seperti ini, di masa mendatang besar kemungkinan konsep pemimpin muda perlahan tapi pasti akan diterima oleh masyarakat.
Penerimaan konsep ini sendiri juga bergantung pada pengaruh adaptasi konsep-konsep kepemimpinan Barat di masyarakat. Kemungkinan besar generasi tua saat ini akan sulit menerima konsep ini namun generasi muda yang terus-menerus diajarkan konsep-konsep adaptasi Barat ini akan mudah menerimanya.
DAFTAR PUSTAKA
_________. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Schermerhorn, J. R. 2010. Introduction to Management. Asia: John Wiley & Sons Pte Ltd.
House, R.J., Hanges, P.J., Javidan, M., Dorfman, P.W., dan Gupta, V. 2004. Culture, Leadership, and Organization: The GLOBE study of 62 societies. United States of America: Sage Publications.
Hughes, R.L., Ginnet, R.C., dan Curphy, G.J. 2006. Leadership: Enhancing the Lessons of Experience 5th edition. Singapore: McGraw-Hill.
Kimmel, Douglas C. 1990. Adulthood and Aging, an interdisciplinary develepomental view. New York: Jhon Wiley & Sons.
McIntosh, E. 1952. The Concise Oxford Dictionary of Current English. London: Oxford University Press.
http://www.antaranews.com/view/?i=1193579725&c=NAS&s=, diakses tanggal 29 Juni 2010, pukul 09.57 WIB.
http://www.antaranews.com/view/?i=1218302817&c=NAS&s=, diakses tanggal 29 Juni 2010, pukul 10.02 WIB.
http://www.detiknews.com/read/2009/01/21/133336/1072103/700/pelantikan-obama-harus-jadi-semangat-calon-pemimpin-muda-indonesia, diakses tanggal 29 Juni 2010, pukul 10.27 WIB.
http://hukumham.info/component/docman/doc_download/3-uu-no42-tahun-2008-tentang-pemilihan-umum.html, diakses tanggal 29 Juni 2010, pukul 10.33 WIB.
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=23&dir=DESC&order=date&Itemid=78&limit=5&limitstart=5, diakses tanggal 29 Juni 2010, pukul 10.41 WIB.
http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2010/05/28/brk,20100528-251015,id.html, diakses tanggal 29 Juni 2010, pukul 10.24 WIB.
*) ditulis sebagai tugas akhir mata kuliah Sosiologi Fakultas Psikologi UGM
Labels:
ilmiah
Langganan:
Postingan (Atom)