Jumat, 16 Juli 2010

pendidikan budak

Satu pertanyaan yang cukup membuat saya tersadar akan arti sebenarnya dari ilmu adalah ketika seorang adik kelas SMA bertanya kepada saya, "kuliah dimana, Mas?". Lalu saya jawab, "Psikologi". Pertanyaan berikutnya yang cukup mengagetkan saya adalah: "kalau kuliah di Psikologi nanti kerjanya jadi apa?". Jawaban saya berikutnya adalah jawaban yang membuat saya tersadar tentang apa arti dari ilmu, yaitu "saya di Psikologi UGM mau kuliah, bukan mau kerja".

Sebenarnnya pertanyaan serupa juga pernah terlintas dalam benak saya sebelumnya. Namun akhirnya saya membulatkan tekad untuk masuk Psikologi karena saya tertarik. Tidak lebih dan tidak kurang. Saya tidak ribut memikirkan nanti setelah lulus saya mau kerja apa. Saya yakin bahwa rezeki itu udah ada yang mengatur terlepas kita mau belajar apa.

Pertanyaan tersebut merupakan manifestasi dari sebuah common sense yang ada dalam masyarakat. Orang tua menyekolahkan kita di SD yang bagus agar kita jadi anak pintar. Kemudian kita masuk ke SMP yang bagus, harapannya agar nilai UAN-nya bagus dan bisa memasuki SMA yang bagus. Kita masuk SMA yang bagus juga dengan harapan agar kita bisa diterima di Universitas ternama. Kita kuliah di Universitas ternama agar bisa bekerja di sebuah perusahaan yang besar (dengan gaji yang besar pula tentunya).

Maka berarti kita belajar selama lebih dari 9tahun hanya untuk bekerja. Lebih dari sembilan tahun kita jalani hanya demi mendapatkan prasyarat mendaftar bekerja di sebuah perusahaan, yaitu: ijazah. Jika memang demikian stereotype yang ada, maka wajar jika yang lahir dari pendidikan kita hanyalah manusia-manusia yang memanifestasikan ilmunya ke dalam abjad-abjad dan angka-angka.

Mereka menuntut ilmu karena terpaksa, karena tanpa melewati fase tersebut mereka tidak akan bisa bekerja. Dunia pendidikan kita lalu dipenuhi oleh orang-orang yang menggunakan ilmu hanya untuk mendapatkan lembaran-lembaran uang. Saya tidak menyalahkan jika ada orang yang menggunakan ilmunya untuk mencari uang, tetapi bagi saya ilmu lebih dari sekedar untuk memenuhi perut. Adalah sebuah kesalahan besar jika orang-orang beranggapan jika kita menuntut ilmu selama ini hanya demi perut kita.

Transfer Pengetahuan
Pada zaman penjajahan Belanda, sekolah-sekolah didirikan untuk merekrut tenaga ahli. Sekolah-sekolah yang ada adalah sekolah pelatihan kerja. Sekolah yang paling efektif dalam hal ini adalah yang menggunakan prinsip pembelajaran transfer ilmu dari guru ke murid-muridnya agar muridnya bisa melakukan apa yang gurunya kehendaki.

Sudah berpuluh-puluh tahun Belanda angkat kaki dari negeri kita namun pendidikan masih saja seperti yang dulu. Kita masih saja menggunakan model pembelajaran dengan sistem transfer pengetahuan, bukan membentuk pengetahuan. Sistem ini hanya melahirkan budak-budak yang ahli dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu. Sistem ini tidak membentuk ilmu-ilmu dari dalam diri individu namun hanya memindahkannya.

Apa yang terjadi adalah akademisi kita hanya bisa menggunakan ilmu yang sudah ada tanpa bisa memahami dan mengembangkannnya. Jadi wajar jika akademisi kita suka menelan mentah-mentah teori yang ada tanpa pernah berusaha menciptakan dan mengembangkan teori baru. Kita memakai sebuah pengetahuan, bukan berusaha membangun pengetahuan itu sendiri.

Inilah pendidikan budak. Pendidikan yang dianggap sebagai pelatihan dalam bekerja. Pendidikan yang hanya berlandaskan pada tujuan akhir mencari nafkah. Pendidikan yang tidak mengembangkan ilmu itu sendiri dan hanya memanfaatkannya.

Ketika para siswa sibuk belajar menjelang ujian saja, maka itu berarti ilmu kita hanya akan dimanifestasikan dalam angka-angka dalam secarik kertas. Ketika mahasiswa selalu menuntut haknya untuk mengikuti ujian namun tidak pernah menuntut haknya untuk mengikuti kuliah, maka Universitas hanya akan menjadi sebuah percetakan ijazah.

Ketika kita lebih suka belajar dengan hanya duduk dan mendengarkan bukan memahami, maka itu membuktikan bahwa diri kita hanyalah seorang budak. Pertanyaannya adalah engkau budak atau bukan?



*) komik oleh Saiful Bachri

0 comments: