Selasa, 26 Oktober 2010

Orde Baru dan Agresivitas Masyarakat

Pasca jatuhnya rezim orde baru, terjadi perubahan dinamika sosial yang terjadi secara mencolok dalam masyarakat. Salah satu betuk kongkritnya adalah meningkatnya agresivitas dan tidak kekerasan dalam masyarakat.


Kini seringkali kita melihat berita-berita tentang kekerasan baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Seolah-olah hukum tidak lagi memiliki arti. Mulai dari aksi anarkisme demonstran, tawuran, perampokan bersenjata, hingga aksi terorisme dan separatisme. Berita-berita yang jarang kita lihat di media massa selama masa orde baru.


Sebenarnya apa yang menyebabkan meningkatnya agresifitas dan kekerasan dalam masyarakat? Menurut teori psikoanalisa menyatakan bahwa individu pada dasarnya memiliki dua insting (Aronson, Wilson, & Akert, 2007). Insting yang pertama adalah insting hidup yang disebut sebagai eros. Insting ini yang memotivasi segala bentuk tindakan prososial yang mengarah kepada kehidupan. Sedangkan insting kedua disebut sebagai thanatos mengarah kepada kematian dan kehancuran. Thanatos inilah yang menjadi sumber dari tindakan agresi dan kekerasan.


Faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat agresivitas seseorang adalah suhu udara (Jamridafrizal, 2010). Terlebih lagi di Indonesia yang merupakan negara tropis, maka potensi agresivitas di Indonesia cenderung lebih tinggi.


Jadi pada dasarnya dalam diri individu memiliki potensi untuk melakukan tindakan agresivitas dan kekerasan Namun apa yang menyebabkan meningkatnya kekerasan dan agresivitas pasca jatuhnya rezim orde baru?


Salah satu penyebab munculnya agresivitas adalah frustasi (Passer & Smith, 2007). Berbagai macam tekanan dan stress dalam hidup, terlebih lagi yang muncul dalam era modern ini yang diduga turut memicu bentuk agresi dan kekeran dalam masyarakat. Masyarakat kini semakin banyak dibebani oleh berbagai macam hal dan permasalahan. Terlebih lagi di era demokrasi ini dimana semua hal menjadi layak diperbincangkan secara tidak langsung menambah frustasi dalam diri masyarakat.


Berbeda dengan zaman orde baru dimana media dibatasi dan hanya berita-berita bernada positif yang boleh disebarluaskan, berita-berita yang muncul akhir-akhir ini hampir semuanya bernada negatif. Hal ini menambah frustasi yang ada dalam masyarakat sehingga memicu tindakan agresi (Aronson, Wilson, & Akert, 2007). Terlebih lagi jika tidak ada sarana penyaluran yang tepat.


Dalam psikoanalisis dikenal istilah catharsis (Passer & Smith, 2007) dimana penyaluran suatu bentuk agresi akan mengurangi kecenderungan kita untuk melakukan suatu bentuk agresivitas. Penyaluran energi ini dapat dilakukan dalam berbagai hal positif misalnya saja olahraga. Namun perkembangan kota akhir-akhir ini kurang memperhatikan adanya public space yang memadai. Contoh nyatanya adalah makin sedikitnya lapangan olahraga yang tersedia. Padahal keberadaan lapangan olahraga ini dapat menjadi sarana untuk mengurangi perilaku agresif dalam masyarakat.


Faktor lain yang mempengaruhi munculnya agresivitas pasca rezim orde baru adalah hilangnya kepatuhan sosial. Salah satu kunci agar tercipta sebuah kepatuhan adalah dengan adanya ketakutan (Skaff, 2010) dan juga teror (Piven, 2007). Pada masa orde baru masyarakat memiliki kepatuhan yang tinggi karena adanya ketakutan terhadap pihak yang berkuasa. Pihak pemerintah memiliki kekuatan yang dominan dalam mempengaruhi masyarakat.


Sedangkan pasca jatuhnya rezim orde baru pihak pemerintah justru menjadi bulan-bulanan oleh masyarakat. Sesuai degan teori bandul dimana suatu keadaan ekstrim berpindah ke keadaan ekstrim berikutnya yang berlawanan. Jika pada masa orde baru aparat hukum memiki kewibawaan dan kekuatan yang besar di masyarakat maka kini kewibawaan dan kekuatan itu hilang seiring tumbangnya masa orde baru. Kini masyarakat bisa melakukan tindakan agresif pada polisi tanpa adanya lagi rasa takut.


Ketidakadaan wibawa pada aparat penegak hukum ini tentu sangat berpengaruh pada munculnya ketidakpatuhan dalam masyarakat. Karena kepatuhan juga berhubungan dengan background dari pemberi perintah itu sendiri (Milgram, 1965). Pada masa orde baru pihak berwenang memiliki tingkat kebiwaan tingi sehingga masyarakat memiliki kecenderungan untuk mematuhi perintah yang ada. Berbeda dengan kondisi saat ini yang justru sebaliknya.


Agresivitas juga bisa merupakan efek dari modelling (Jamridafrizal, 2010). Bisa jadi segala bentuk agresi yang terjadi pada masyarakat saat ini merupakan bentuk modelling perilaku yang sebelum-sebelumnya. Keberhasilan mahasiswa melawan otoritas dan menumbangkan suatu rezim misalnya dapat menjadi inspirasi bagi kelompok-kelompok masyarakat lain untuk melawan otoritas.


Jadi ada berbagai faktor dan tinjauan mengenai perilaku agresi yang terjadi akhir-akhir ini dalam masyarakat. Dari pengalaman pribadi saya, kebanyakan mereka yang melakukan tindakan agresi (misal: tawuran) adalah sebagai sarana chatarsis. Berbagai macam permasalahan yang nampak menyeruak pasca masa orde baru boleh jadi menjadi penyebab semua itu. Ditambah lagi media yang terkadang kurang dewasa dalam melakukan pemberitaan serta tidak adanya sarana chatarsis yang memadai turut memperkuat potensi agresi yang sudah tinggi di masyarakat yang tinggal di daerah khatulistiwa ini. Terlebih lagi tidak adanya pihak pemegang kekuasaan yang berwibawa menyebabkan munculnya ketidakpatuhan sosial.





DAFTAR PUSTAKA
Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2007). Social Psychology. New Jersey: Pearson Education.

Jamridafrizal. (2010, september 18). Agresivitas dan kecemasan. Retrieved october 26, 2010, from Scribd: http://www.scribd.com/doc/17376693/Agresivitas-Dan-Kecemasan
Milgram, S. (1965). Some conditions of obedience and disobedience to authority. Human Relations , 57-76.

Passer, M. W., & Smith, R. E. (2007). Psychology: The Science of mind and behavior. New York: McGraw-Hill.

Piven, J. S. (2007, january 8). Terror, Sexual Arousal, and Torture: The Question of Obedience or Ecstasy among Perpetrators. Retrieved october 26, 2010, from UMass Boston: http://omega.cc.umb.edu/~sociology/journal/Vol81PDFS/25482412.pdf

Skaff, R. R. (2010, january 31). The Terror Card: Fear is the Key to Obedience. Retrieved october 2010, 2010, from Global Research: http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=17299

*) ditulis sebagai tugas mata kuliah Fenomenologi

0 comments: