Senin, 25 Januari 2010

Jangan Takut Masuk UGM


Elok Nian Tuan Ini

Kita pantas berbangga hati. Betapa tidak, Negeri ini memiliki Presiden yang tergolong produktif. Buktinya, dalam tiga tahun ini sudah tiga album yang berhasil diluncurkan. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai Presiden beliau masih juga sempat-sempatnya menggunakan waktunya untuk menciptakan lagu.

Ah, memang elok nian Presiden kita satu itu. Bukan hanya memiliki gaya tubuh yang baik ketika berbicara, fotogenik, tetapi pandai pula bersenandung dan menciptakan lagu. Memang zaman sekarang mulai banyak artis multi talenta. Bukan hanya pandai bersandiwara, tetapi juga piawai dalam bersenandung dan bahkan, menjadi politikus. Jadi tiada salah ketika seorang politisi (dalam hal ini Presiden) tidak mau kalah. Jika artis multi talenta bisa menjadi politisi, maka politisi pun bisa menjadi artis multi talenta.

Memang Indonesian Odol 2009 kemarin memang menghasilkan juara yang brillian. Setelah berhasil mengalahkan para finalis lainnya, kini beliau menunjukkan kepiawaiannya dalam dunia entertainment. Jadi tidak salah jika ajang Indonesia Odol 2009 yang menghabiskan dana trilyunan tersebut memang beda, bukan hanya polingnya tidak melalui SMS melainkan lewat kertas suara (lebih lanjut baca Bermain Odol)

Buka hanya itu, presiden kita yang satu ini pun sangat pandai. Betapa tidak dia berhasil dianugerahi Doktor dalam bidang pertanian. Selain itu dia juga paham mengenai wewenangnya sebagai Presiden. Sehingga ketika Rakyat menunggu sebuah keputusan pun dia bisa berkata, "Itu bukan wewenang saya".

Tapi, ah. Kami rakyat mana tahu hal seperti itu. Yang kami tahu Presiden adalah pemimpin (bukan manajer) tertinggi di Negara ini. Tidak tahulah kami siapa memiliki wewenang apa. Yang kami tahu adalah setiap kegagalan dari pemerintah merupakan tanggung jawab Presiden sebagaimana dia bertanggung jawab terhadap segala keberhasilannya seperti dalam kampanyenya.

Bagi kami pemimpin adalah seseorang yang menujukkan kepada kami mana yang benar dan mana yang salah serta menuntun serta mengakkan kepada kebenaran dan bukan hanya berkata itu bukan wewenangnya. Pemimpin bukan hanya manajer yang baik tetapi orang yang memberikan kepada kami visi yang jelas untuk kebaikan kami. Pemimpin adalah orang yang memberikan kepada kami rasa aman dan bukan malah curhat mengatakan dirinya juga sedang terancam.

Kami tidak butuh senandung-senandung merdu penuh balutan keindahan semu. Kami juga tidak butuh sandiwara heroik yang menyentuh. Yang kami butuh hanyalah kebenaran meski itu pahit rasanya. Yang kami inginkan adalah apa yang menjadi tujuan dan cita-cita kami. Namun, suatu saat nanti ku yakin sampai disana. Namun bukan di masa Kura-Kura Ninja beraksi.

Rabu, 06 Januari 2010

Kesatria Kegelapan berwarna hijau??


The Dark Knight


Hemm..siapa tidak mengenal film yang satu ini? Film sekuel dari Batman Begins ini laris manis dan pantas disebut sebagai salah satu film terbaik 2009. Bagaimana tidak, mata saya terpaku ke layar bioskop selama lebih dari dua jam (kayak pas nonton Transformers ma Avatar juga sih^^).

Saya tidak ingin membahas tentang film. Yang ingin saya bicarakan adalah pesan yang terkandung dalam film tersebut. Dalam film itu Batman digambarkan sebagai pahlawan yang bukan pahlawan. Bagaimana tidak di akhir cerita digambarkan bahwa masyarakat menganggap Batman sebagai seorang pembunuh dari Two-Face yang dianggap sebagai Pahlawan, dan itu memang keinginan Batman. Dalam film itu digambarkan ada dua macam pahlawan, yaitu kesatria putih dan kesatria kegelapan.

Kesatria Kegelapan adalah dia yang menegakkan kebenaran dengan suatu cara yang mungkin sangat berbeda dengan cara-cara yang seharusnya atau pada umumnya. Bahkan secara ekstrim kadang berlawanan sehingga seorang pahlawan tidak lagi dicap sebagai pahlawan bahkan mungkin sebagai kontra-pahlawan.

Ini Dunia Nyata, Bukan Film


Ada satu orang yang menurut saya pantas mendapat julukan sebagai Dark Knight di Indonesia, beliau adalah Alm KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dan sayangnya, kita baru merasa memiliki sesuatu yang berharga ketika kita kehilangan.

Mungkin apa yang dikatakan Gus Dur bukanlah sebuah kebenaran, bahkan terkadang itu adalah suatu kontra-kebenaran. Gus Dur mungkin bukan seseorang yang selalu bertindak benar, tapi tindakannya merupakan pelengkap dari sebuah kebenaran.

Kita tidak akan pernah tahu sesuatu itu hitam jika kita belum pernah melihat putih. Jangan katakan anda pernah merasakan sehat ketika anda belum pernah merasakan sakit. Bahkan kita merasakan dan bersyukur akan sebuah nikmat sehat ketika kita sedang sakit bukan?

Apa yang dikatakan Gus Dur mungkin bukanlah sesuatu kebenaran yang harus apa kita ikuti, namun apa yang dikatakannya adalah sesuatu yang memberi arti tentang sebuah kebenaran yang seharusnya kita ikuti.

Gus Dur menunjukkan bahwa ada suatu dunia lain di luar dunia yang ada di kepala kita, dan dunia itu nyata meskipun cuma minoritas. Dalam Suatu kelompok. orang-orang seperti Gus Dur ini lah yang menyebabkan kita terhindar dari suatu Groupthink dan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan (lebih lanjut silahkan ambil mata kuliah Psikologi Sosial dan Psikologi Kelompok).

Gus Dur mungkin dianggap agak gila bagi sebagian orang, tetapi beliau adalah orang yang membuat kita tetap waras dan mengajarkan pentingnya kita akan sebuah kewarasan. Di luar daripada itu, beliau adalah seorang jenius deengan pemikiran-pemikirannya. Beliau bukan orang biasa, tetapi dia adalah orang yang luar biasa. Seseorang yang bisa berpikir di luar dari apa yang biasa dipikirkan oleh orang lain dan melewati batasan kebiasaan.

dasar Manusia!!!


Manusia memang tidak pernah bersyukur atas apa yang dimilikinya. Kita baru merasakan sesuatu sangat berarti bagi kita ketika kita mulai kehilangan. Kita baru bersyukur akan nikmat kesehatan yang dianugerahkan kepada kita ketika kita sakit. Dan kita baru memahami pentingnya Gus Dur dan menghargainya ketika kita kehilangannya.

Gus Dur mungkin bukan pemberi cahaya dalam kegelapan, tetapi dialah yang menciptakan kegelapan sehingga kita dapat melihat cahaya yang tersisa dan menuju ke sana. Selamat Jalan Wahai Sang Penakluk Kebiasaan. Semoga kami disini tetap akan bisa berpikir waras tanpa kehadiranmu. Dan satu lagi: Terima Kasih :)

Minggu, 03 Januari 2010

sebuah cerita fiksi tentang pendidikan di Yogyakarta


sebuah prolog


Saya hanyalah seorang anak biasa yang tinggal di pinggiran selatan kota Jogja, bukan di daerah utara yang penduduknya relatif lebih maju daripada mereka yang di selatan sehingga wajar ketika saya sedang memberi makan burung merpati saya, teman-teman saya sedang asyik bermain beri-beri (saya tidak bisa mengucapkan kata blackberry). Ketika TK, saya nunut di sebuah TK milik yayasan Batik dimana kebetulan budhe saya menjadi kepala sek4olah. Saya menjalaninya selama tiga tahun karena kebetulan di tahun kedua saya tidak lulus UNAS TK sehingga saya terpaksa mengulanginya di tahun berikutnya.

Ketika saya beranjak memasuki SD, saya mengikuti tetangga saya dan meminta disekolahkan di sebuah SD Muhammadiyah yang baru di kemudian hari ketika saya menduduki bangku kuliah dan berkumpul kembali dengan teman SD, saya meragukan apakah itu benar SD saya dahulu memang sebuah SD Muhammadiyah.

SMP pun saya tidak jauh dari rumah. Sebuah SMP Negeri yang sederhana dengan pagar bak penjara. SMP yang angkanya jika dibalik tetap menjadi angka lain (misal 6 dibalik menjadi 9, 5 dibalik menjadi 2) di daerah pusat kerajinan perak. Saat itu pemikiran saya masih lah sederhana, maklum karena SMP pinggiran maka banyak teman saya yang jauh-jauh dari daerah-daerah pinggiran lainnya yang bersepeda ke sekolah dan menikmati kehidupan SMP yang sederhana. Ahh..itulah kehidupan orang-orang pinggiran yang cukup beruntung.

Ternyata nasib saya sebagai orang pinggiran tidak begitu berubah ketika SMA. Saya masih saja sekolah di sebuah SMA Negeri yang lagi-lagi angkanya jika dibalik akan memunculkan angka yang sama (misal 8 dibalik tetap 8, 0 dibalik tetap 0) dan tentu saja masih saja sekolah pinggiran. Namun bedanya sekolah ini lebih favorit dibanding SMP saya.

Dan ketika kuliah Alhamdulillah saya berhasil duduk di sebuah bangku kuliah di sebuah Universitas Gajah yang berada di Yogyakarta. Berada di sebuah Fakultas bergengsi yang bahkan tetangga desa saya belum paham apa itu (karena ilmu ini masih konsumsi publik menengah ke atas).

Sebuah Keheranan


Sekali lagi, saya hidup di pingiran kota yang sederhana. Ketika SD, saya belum memahami seperti apa kehidupan di Jogjakarta ini. Ketika SMP, yang ada di sekeliling saya adalah kehidupan yang membuat saya memahami mengapa Indonesia belum bisa disebut sebagai negara kaya. Namun pandangan saya tersebut kian lama kian berubah ketika saya memasuki bangku SMA dan kuliah.

Saya kan bercerita sebuah saja tentang sebuah keheranan saya. Ketika awal kuliah dan zaman FB baru muncul, saya cukup tersentak kaget ketika melihat status teman saya yang merencanakan untuk pergi ke luar negeri mengisi liburan. Mungkin itu sebuah hal yanng biasa saja tetapi bagi saya orang pinggiran ini ke luar negeri dalam kamus saya hanyalah sebatas pergi ke tanah suci merayakan ibadah haji. Dan semakin saya memahami kemana teman-teman saya pergi untuk mngisi waktu liburan tersebut semakin heran saja.

Ingatan ini terlintas ketika beberapa hari lalu dalam sebuah guyonan iseng di sebuah gubuk bernomer F2 teman saya berkata, "Bagaimana jika kita mengadakan tour ke Singapura?". Lebih heran lagi ketika teman saya yang lain menimpal,"iya kemarin teman saya habis darisana katanya tiketnya murah, gak nyampe 800rb bolak-balik".

Tidak ada yang salah dari percakapan tersebut. Mungkin saya saja yang terlalu ndeso. Tapi saya cukup shock. Saya tahu mereka cuma bercanda, tetapi gaya bahasa mereka membicarakan liburan ke luar negeri seolah biasa saja yang bagi saya yang ndeso ini sangat luar biasa.

Yeah..liburan ke luar negeri dengan kata cuma. Kalau saya bercerita kepada teman-teman SMP saya mungkin topik yang kami bicarakan masih seputar liburan ke Parangtritis.

Sebuah Kesenjangan


Yeah Indonesia tidak miskin, hanya saja tidak merata. Itulah yang saya tangkap dari orang-orang di sekitar saya. Disaat orang lain dengan mudahnya menghabiskan uang hasil kerja kerasnya untuk memanjakan dirinya, pada saat itu orang lain bahkan tidak mendapatkan uang dari hasil kerja kerasnya.

Ah tidak ada yang salah dari orang yang menjadi kaya karena kerja kerasnya, yang salah adalah orang miskin yang tidak berbuat apa-apa. Buat apa saya membicarakan orang lain yang mennghabiskan duitnya sendiri. Mungkin di era semi-individualis ini saya termasuk dalam orang yang ikut campur. Jadi tidak perlulah dibahas lebih panjang lagi.

Sebuah Saran


Jika anda adalah orang tua yang tidak ingin anaknya menjadi kuper dan tidak hanya membicarakan tentang merpati peliharannnya di Kasultanan ini, maka ada sebuah tips dan trik yang bisa dilakukan. Mulai dari hal yang sederhana yaitu memilih sekolah.

  1. Masukkan anak anda ke TK yang cukup terkenal dan favorit, biasanya didominasi oleh TK Swasta Islam

  2. Setelah lulus dari TK, sekolahkan anak anda di SD yang favorit juga. Misalnya SD Muhammadiyah Sapien

  3. Lulus dari SD masukkan SMP favorit yang berada di daerah kisaran dengan batas Selatan stadion Kridosono, batas Utara rumah sakit Panti Rapih, batas Timur Jemabatan Layang, dan batas Barat Pasar Terban

  4. untuk SMA, dari dua SMA paling favorit saya sarankan anda untuk memilih yang angkannya paling besar

  5. dan untuk kuliah anda bisa mengkuliahkan anak anda ke luar negeri atau minimal di sekolah Lereng Gunung Merapi (atau di cabang-cabangnya), jika ingin ke Sekolah Gajah pastikan anak anda memasuki fakultas dengan nominal PBS tertinggi untuk IPA dan IPS



Memang tidak murah, tetapi yah secara tidak kasat mata saya yakin anak anda akan bergaul dengan orang-orang yang saya akui dari segi intelektualitas dan ekonomi. Dan seperti pepatah Jawa ojo cedak kebo gupak atau nasehat Rasulullah barangsiapa (lha barangnya sapa?) berteman dengan penjual parfum maka akan tertular wanginya.

Sebenarnya dari sini kita mungkin bisa membuat hipotesis adanya korelasi positif antara tingkat ekonomi dan intelektualitas dalam level sekolah. Apakah benar atau tidak silahkan dibuktikan dengan penelitian. Anda bisa menggunakan teori Jer Basuki Mawa Bea sebagai dasar teori anda.

Sebuah Penipuan


Sekali lagi, ini hanyalah sebuah cerita fiksi. Jika anda mempercayai apa yang saya katakan maka anda telah tertipu. tetapi seperti film-film fiksi, saya kan memasang peringatan:

Cerita ini hanya merupakan cerita fiksis semata. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama karakter, tokoh, instansi, maupun kejadian maka itu merupakan sebuah ketidak sengajaan yang tidak ada kaitannya dengan cerita ini.

Sabtu, 02 Januari 2010

berlari (lagi)


Anakku, jadilah engkau anak yang kuat. Larilah sekencang mungkin jangan sampai engkau tertinggal di belakang. Kalau bisa kamu justru harus mendahului yang lain dan jangan sampai tertinggal

Mengapa aku harus berlari ayah?
Supaya engkau tidak tertinggal dengan yang lain.
Supaya engkau menjadi yang terdepan.

Memang mereka mau berlari kemana ayah?
Memang kenapa kalau aku tetap disini dan tidak pergi kesana?


Jika ayah pun tidak tahu mereka akan kemana mengapa aku harus mengikuti mereka?
Apakah tempat tujuan mereka jauh lebih baik dari tempat kita saat ini?


Tak ada yang tahu mereka mau kemana.
Tapi aku tahu, mereka adalah orang-orang yang tersesat.
Ketika mereka telah jauh di depan barulah mereka sadar dunia kita lebih indah dari tujuan mereka.
 
Lalu ayah menyuruhku untuk mengejar mereka supaya aku tidak tertinggal, apakah ayah menginginkanku supaya tersesat juga bersama mereka?