Disana aku bertemu kembali dengannya. Kala hujan badai menerjang perpustakaan tua, disudut lorong berisi buku-buku kumal yang seakan tidak menarik dibanding buku lain yang berjajar di rak dengan bahasa asing. Ini bukan pertama kalinya aku bertemu.
Nothing is absolute, there are always twilights between night and day, grades between good and evil, shades between black and white, subtleties between love and hate, degrees between happiness and grief, as well asa nuances between male and female. (Boediarjo, 1978)
Entahlah mungkin Tuhan sengaja menciptakan badai ini agar aku terjebak di ruangan itu untuk bertemu lagi dengannya. Bukan lelaki bukan perempuan, dia tidak berbentuk. Bulat karena pantat dan payudaranya. Namun auranya cukup untuk membuat orang terdiam. Raut mukanya menggambarkan kesedihan dan kesenangan secara bersamaan.
Sosok itu tertawa, atau mungkin menangis. Dalam dirinya semua itu sulit dibedakan. Kata-kata bijaksana yang meluncur dari mulut tersenyumnya, tatapan mata sendu seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Semua hal melebur menjadi satu. Tidak ada lagi pertentangan maupun hubungan. Tidak ada lagi derajat maupun tingkatan. Seolah memang seperti itulah seharusnya.
Sabar, Saleh, Sareh. Sugih tanpa bandha, perang tanpa bala maju, menang tanpa ngasorake, weweh tanpa kelangan.
Saat ini aku tidak lagi yakin akan bertemu dengan sosoknya di dunia ini. Jauh, jauh sekali jarak antara kita dan dirinya. Keberadaannya tidak lebih dari sebuah mitos yang tergusur oleh perkembangan zaman. Adakah aku akan jumpa lagi dengannya dalam orang-orang yang aku temui?
Dia yang berbicara dengan dewa dalam bahasa kasar, namun berbicara halus terhadap yang lebih rendah. Bahkan dia lebih merendah lagi, menjadi babu bagi majikan yang bukan siapa-siapa dibanding dirinya. Dirinya adalah tinggi yang rendah. Dewa yang jelata.
Aku adalah puing-puing masa lalu. Terkubur, bangkit untuk mepertahankan. Mengingatkan padamu tentang dirimu, dirinya. Bahwa semua satu, tak ada satu tanpa satu lainnya. Bahwa semua sama. Ingatlah Manunggaling Kawulo Gusti.
Bukan siapa-siapa tapi semua orang. Mengingatkan yang agung akan kelemahan, membisikkan keagungan bagi yang lemah. Tak akan menjadi siapa tanpa orang-orang. Bahwa sejatinya siapa ditentukan oleh orang di sekitar kita, bukan semata diri sendiri.
Dahulu dirinya muncul untuk mepertahankan kita, sebagai sebuah identitas. Melawan mereka yang menerjang, merasuk semua sendi, memukul tulang-tulang. Menang. Kini perang belum usai. Hantaman datang bertubi-tubi, tetapi kita terlalu lengah. Tak sadar akan hantaman yang ada. Akankah dirinya muncul dalam diri kita?
sumber: tembi.org |
0 comments:
Posting Komentar