Minggu, 28 Februari 2010

Indonesiƫ is er nog steeds

Enam puluh satu tahun yang lalu tepat pada enam pagi sirine berbunyi. Senapa berbunyi dan dimulailah kegegeran. Bukan kembang api melainkan letusan peregang nyawa, itulah yang dimainkan oleh kakek-kakek kita.

Meski negeri ini telah tak berbentuk. Di saat Sjafroedin Prawiranegara memegang tampuk kepemimpinan di pelosok hutan-hutan di Bukit Tinggi untuk melanjutkan negeri yang masih bayi ini. Dan tentara bersama Panglima Besarnya yang sedang kesakitan melakukan gerilya. Terjadilah momen yang hanya enam jam ini.

Janur kuning yang biasa menjadi simbol romantisme sepasang kekasih yang dimabuk cinta penuh dengan kebahagiaan, kini menjadi simbol romantisme perjuangan penuh darah untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesiƫ is er nog steeds (Indonesia masih ada). Bagi mereka cinta mereka pada tanah air lebih besar sehingga mereka lebih memilih menggunakan janur kuning sebagai simbol perlawanan dan bukan sekedar penghias sebuah resepsi.

Dimana ada janur kuning, di situ masih berdiri Indonesia. Janur kuning menjadi penanda bahwa mereka rakyat Indonesia yang menurut Belanda sudah tidak ada lagi apa itu Indonesia. Dunia yang selama ini sependapat kemudian menyaksikan adanya sebuah Negara yang masih kokoh berdiri bernama Indonesia di ujung Timur sana.

Dan enam puluh satu tahun pun berlalu dan kini Indonesia mulai menghilang lagi. Bukan hanya di kancah Internasional melainkan juga di hati para pemudanya. Ketika negeri ini terlalu menyedihkan untuk dibanggakan akankah kita memilih untuk memasukan negeri lain ke hati kita?

Ketika enam puluh satu tahun yang lalu mereka mengorbankan darah untuk menujukkan Indonesia di mata dunia, maukah kini kita berkorban keringat untuk melakukan hal yang sama? Ah di saat ini tidak ada bedanya antara harapan dan utopia.

Bolehkah saya berharap minimal semangat itu masih ada? Tampaknya sekali lagi pun saya dikhianati oleh harapan kosong.

Kalau begitu minimal menyempatkan waktu untuk merenungi hari ini dan itu hanya berlaku bagi segelintir orang. Atau paling tidak, sekedar meluangkan membaca tulisan berikut:

Apakah Indonesia masih ada?

Senin, 22 Februari 2010

terasing

Kakek dari kakek kakek dari kakek buyut kami telah lama tinggal disini. Kami telah tinggal disini bahkan sebelum sebuah prasasti dibuat. Orang asli atau pribumi, begitulah kalian menyebut kami.

Dan kini tidak sejengkal pun kami beranjak dari tempat tinggal leluhur kami. Tetapi kami telah terasing. Bah, macam mana pula dunia ini. Makin tidak karuan saja.

Kau tahu? Kami hidup dengan kebahagiaan kami sendiri. Kami bahagia hidup sederhana bersahaja. Namun semenjak orang-orang datang menggunakan kapal berbendera selain merah dan putih itu, ntah kenapa kami mulai terasing.

Hidup kami sederhana. Buat apa kami mengumpulkan lembaran kertas bergambar wajah yang hanya disimpan. Buat apa juga kami menjajakan harta kami untuk barang-barang baru yang sebentar lagi akan ketinggalan zaman. Tapi kau tahu? Perilaku kami ini dianggap sebuah kesalahan. Kesederhanaan dianggap sebagai kemiskinan dan ketinggalan zaman.

Kami hidup menggunakan ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Bagi kami orang pintar tidak perlulah banyak bercakap. Tanpa bercakap pun orang sudah tahu bahwa kami pintar. Tapi kini kami yang merunduk dianggap bodoh dan terbelakang. Sedangkan mereka yang pandai membual merekalah yang pandai. Semakin hebat bualan mereka semakin pandailah mereka tampak. Ckckck, memang orang bodoh tidak paham apa pula arti pandai.

Kami dahulu hidup dengan semangat saling memberi dan memahami. Tanpa berkata pun kami akan menawarkan makanan pada tamu kami yang kelaparan. Dan tamu kami pun tahu diri, dia tidak akan meminta. Karena kami akan memberinya sebelum dia berniat untuk meminta. Namun kini ketika kami bertamu bahkan dengan tulang berbalut kulit tak ada bahkan segelas air putih pun terhidang.

Mereka bilang kami tidak asertif. Apa pula itu kami tidak paham. Bagi kami adalah sesuatu hal yang memalukan untuk meminta. Lebih memalukan lagi orang-orang disebelah kami yang tidak tanggap hingga kami terpaksa meminta. Karena kami hidup dengan semangat memberi.

Tapi kini mereka yang tidak meminta tidak akan mendapatkan apa-apa. Bahkan mereka yang telah dimintai pun enggan memberikan. Dunia macam apa ini.

Kami dianggap sebagai orang-orang malas yang tidak pandai bekerja. Siapa bilang kami pemalas? Kau tahu bahwa kami rela menahan lapar dan bepergian jauh sekali hanya untuk bertemu teman kami? Ah kami tidak malas. Hanya saja kita memiliki ketertarikan berbeda. Engkau bersemangat dalam bekerja, dan kami bersemangat dalam menyambung persaudaraan. Bagi kami kalian lah para pemalas, kalian malas sekali menjalin persaudaraan.

Terserah kalian mau menganggap apa kami. Kalian boleh menilai kami sekumpulan pemalas, golongan rakyat miskin, orang-orang polos, tukang becak, masayarakat desa, dan sebagainya. Kalian ini memang budak perut. Memandang kami hanya dari apa yang kami makan.

Tapi sungguh entah berada dimana kami saat ini. Kaki kami tidak beranjak namun sekeliling kami telah berubah. Kami bagai orang asing yang berada di dunia yang salah. Kami yang salah, atau dunia yang salah?

Kalian bilang peradaban kami tertinggal 100 tahun dari kalian. Siapa bilang? Peradaban kami jauh lebih maju 100 tahun dari kalian. Peradaban kami adalah peradaban hati, bukan peradaban perut macam kalian.

Selasa, 09 Februari 2010

Pendidikan Hari Ini

Tadi siang saya bertemu kembali dengan teman-teman SMA saya yang tersebar dari beberapa jurusan. Kemudian kami sedikit mengobrol kesana kemari. Akhirnya saya jadi makin tergelitik untuk menulis sesuatu tentang apa yang terjadi di dunia pendidikan. Emh..oke mari saya bahas satu per satu.

Fluid Intellegent lawan Cryztallized Intellegent

Salah satu Teori tentang Intellegent adalah yang membagi menjadi dua yaitu Fluid Intellegent dan Cryztallized IntellegentCryztallized Intellegent adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki. Sedangkan Fluid Intellegent adalah kemampuan untuk memecahkan atau mengatasi situasi dimana pengalaman atau pengetahuan sebelumnya tidak membantu dalam mengatasi masalah tersebut (Passer&Smith, 2007).

Menurut saya, sistem pendidikan yang ada saat ini adalah sistem untuk mengembangkan Cryztallized Intellegent. Padahal sistem pendidikan yang banyak dianut di negara maju saat ini adalah sistem yang lebih mengembangkan Fluid Intellegent.

Contoh nyatanya adalah adanya keluhan dari Dekan Matematika ITB bahwa mata pelajaran Matematika di Indonesia kurang menekankan pada pengunaan logika. Hal ini yang menyebabkan siswa Indonesia mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal Olimpiade karena soal-soal tersebut berbasis pada pemecahan masalah penggunaan logika (Kompas).


Kalo kita cermati lebih mendalam lagi, sistem pendidikan yang dianut Indonesia lebih mengarah pada Teacher Centered Learning dan pengulangan. Kelemahan dari sistem Teacher Centered Learning adalah pada dimana sistem ini hanya bersifat menstransfer pengetahuan yang sudah ada dari guru kepada siswa dan kurang terbuka terhadap perkembangan baru. Jadi bisa dikatakan sistem ini hanya akan mengembangkan Cryztallized Intellegent siswa itu sendiri.

Siswa tidak diajarkan untuk membentuk pengetahuan mereka sendiri namun menerima dan memahami pengetahuan yang sudah ada. efeknya adalah siswa kurang terlatih untuk menciptakan suatu pengetahuan baru dan hanya terbatas pada penguasaan dan pemahaman pengetahuan lama. Sehingga kecerdasan mereka terbatas hanya apda apa yang telah ditransfer kepada mereka dan kurang bisa menghadapi masalah-masalah baru.

Lebih celakanya lagi pengetahuan yang ditransfer kepada mereka adalah pengetahuan yang telah tertinggal oleh zaman beberapa tahun yang lalu sehingga mereka hanya memiliki pemahaman tentang sesuatu yang lama yang tidak dapat mereka gunakan untuk mengatasi masalah-masalah baru.

Merubah Haluan ke Arah yang Salah

Gantunglah cita-citamu setinggi mungkin. Intinya, jika kita memiliki keinginan atau sebuah mimpi, maka bermimpilah yang besar. Saat ini makin banyak masyarakat yang prihatin akan keadaan pendidikan di Negeri ini. Sehingga mereka menginginkan adanya perubahan dalam sistem pendidikan kita.

Namun sayangnya, perubahan yang mereka cita-citakan adalah pendidikan yang berbasis pangsa pasar. Bahasa mudahnya adalah perguruan diharapkan mencetak lulusan sesuai dengan kebutuhan perusahaan-perusahaan. Itulah celakanya.

Dunia pendidikan bukan hanya sebatas bagaimana ilmu untuk mencari uang. Apalagi sebatas menjadi pegawai. Itu kesalahan yang sangat fatal.

Lihat saja bagaimana daerah-daerah berusaha untuk menyekolahkan putra daerah mereka ke perguruan tinggi di kota-kota besar untuk kemudian kembali ke daerahnya. Namun apa yang terjadi? Bagaimana mungkin mereka membangun daerah mereka sementara selama ini mereka hanya diajari bagaimana bekerja di sebuah perusahaan besar.

Jika mereka bekerja di Ekonomi ya mereka diajari bagaimana mengelola keungan perusahaan, mereka belajar di Psikologi ya mereka diajari menjadi HRD perusahaan. Merka yang sekolah di pertanian punmulain enggan turun ke sawah. Padahal di daerah mereka tidak ada perusahaan besar jadi mereka tidak tahu bagaimana bisa mereka bekerja di daerah mereka?

Sehingga secara tidak kasat mata kita akan melihat adanya aliran SDM dari daerah ke kota. Dan jangan berharap setelah menempuh perguruan tinggi mereka akan kembali ke daerah, yang terjadi adalah justru sebaliknya mereka akan menetap atau pindah ke kota yang lebih besar lagi.

Polemik Ujian Akhir

Salah satu masalah yang cukup ngetredn akhir-akhir ini di dunia pendidikan adalah masalah ujian akhir. Secara pribadi saya melihat UAN bukanlah solusi yang terbaik untuk memperbaiki masalah pendidikan. Namun di sisi lain saya melihat untuk saat ini mungkin UAN masih diperlukan.

Jika dibaratkan, kuda adalah pendidikan, maka UAN adalah cambuknya. Sekarang kita lihat secara jujur, jikalau UAN itu tidak ada apakah siswa-siswa mau belajar?

Namun sekali lagi, kuda yang dicambuk memang akan berlari. Akan tetapi kuda tersebut lari tak terarah. Hasilnya adalah jika tidak diarahkan dengan baik maka hanya kan lari ke arah jurang.

Memang UAN semakin membuat siswa untuk belajar, akan tetapi seperti yang kita lihat mereka kini hanya terfokus untuk belajar bagaimana menghadapi soal UAN dan bisa lulus. Sehingga intisari dari ilmu yang sesungguhnya malah tidak didapatkan. Sehingga bimbingan belajar pun laris manis. Dan itulah yang terjadi saat ini.

Prolog

Mungkin ini sebuah akhir, namun ini hanya sebuah akhir dari tulisan dan bukan sebuah akhir dari koreksi dunia pendidikan kita dan akhir dari perbaikan. Bagaimanapun juga masih banyak yang harus kita benahi bersama di Negeri ini. Ini bukan hanya PR pemerintah tetapi merupakan PR bersama. Karena pendidikan merupakan kewajiban Negara dan bukan kewajiban pemerintah.

Jumat, 05 Februari 2010

nasionalisme instan

Bukan negerinya, melainkan orang-orang yang mendiami negeri ini. Mereka adalah orang-orang instan. Tentu saja bukan berarti orang-orang ini berada dalam bungkusan dan siap dimasukkan ke dalam air panas agar matang. Tetapi instan sudah melekat dalam hati dan pikiran kami.

Mungkin ini karena apa yang kami makan. Meskipun mie bukan makanan pokok kami, tetapi kami adalah negara konsumer mie instan terbesar di dunia. Bahkan salah satu produk mie instan dari negeri kami sangat terkenal dan digemari di dunia. Jadi wajar jika pikiran kami pun ingin yang serba instan.

Mulai dari tontonan kami: sinetron instan, artis instan, politikus instan, pokoknya segala sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang dapat terwujud secara tiba-tiba itulah yang kami gemari. Tentu saja tidak heran jika artis dan politikus dadakan menjamur bak di musim hujan. Sekali lagi, ini negeri orang instan.

Bahkan pemimpin kami pun pemimpin instan. Presiden yang menggunakan jinggle mie instan sebagai theme song kampanyenya itulah yang dekat di hati kami. Presiden yang yakin bahwa mie instan yang dimakannya dicampur dengan singkong dan tidak hanya dari gandum.

Kalau kami tidak suka dengan pemimpin kami, tinggal gulingkan saja. Toh tak perlu susah-susah cari pengganti karena masih banyak pemimpin instan lainnya. Jadi wajar jika hampir semua dari lima presiden kami terdahulu (tidak termasuk dua yang dilupakan) jatuh dari kursi empuknya dengan terguling kecuali Sang Srikandi, itupun karena kami tidak enak hati padanya. Bukankah kita harus berlaku lemah lembut pada wanita?

Perilaku kami pun instan, coba lihat betapa kami suka dengan korupsi karena itu instan. Kekayaan instan tanpa perlu susah-susah bekerja sedikit demi sedikit, itu yang kami suka. Lihatlah bagaimana kami lebih suka memberi uang kepada mafia hukum jalanan ketika kami melanggar aturan lalu lintas. Karena kami ingin menyelesaikan masalah ini dengan instan, tanpa perlu repot-repot.

Begitu pula kami dalam mengelola ekonomi negara ini. BUMN merugi? Jual saja jadikan perseroan. SKKK kurang ahli dalam mengelola keamanan? Pakai saja jasa swasta.  Bahkan negara ini tak lebih dari sebuah perusahaan besar.

Lihatlah bagaimana kami belajar. Kami menjadi pintar hanya dengan semalam. Dan lusa, kami sudah lupa. Benar-benar instan pula lah kepandaian kami ini. Tidak heran juga bimbingan belajar dan les privat menjadi populer di dunia pendidikan. Meski mereka hanya mengajari kami bagaimana mengerjakan soal dan bukannnya mengajari kami ilmunya, tapi kami anggap itu jauh lebih penting dan lebih berguna.

Ketika rumah dan harta kami hancur karena musibah, maka yang kami lakukan hanyalah menunggu bantuan instan dari pemerintah. Dan berharap bantuan tersebut jika direbus dengan air mendidih akan segera menjadi rumah dan harta benda baru bagi kamu. Lihat kan? Betapa instan pemikiran kami.

Siapa bilang negeri ini bukan negeri instan? Bah,  pendahulu kami mendamba negeri yang elok yang dibangun dengan keringat, bukan negeri yang direbus dengan air matang. Tapi kami adalah manusia instan. Mungkin gandum tidak tumbuh di negeri ini tetapi instan telah menjadi nama tengah kami.