Ehm, sebenarnya sudah lama aku ingin menulis tentang beberapa pikiranku terhadap dunia kesehatan. Namun sayangnya niat itu selalu timbul tenggelam. Hingga akhirnya pengalaman beberapa waktu yang lalu yang membuatku banyak berurusan dengan rumah sakit dan hal-hal metafisika mendorong semangatku untuk menulis sesuatu.
Berikut adalah beberapa pikiran yang terlintas tentang dunia medis di kepalaku. Bukan untuk memberi tahu, tetapi justru mempertanyakan dan ingin mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Entah kenapa dunia kesehatan sangat erat dikaitkan dengan uang. Saya bingung harus menyebutnya sebagai berkah atau musibah. Tetapi memang kenyataan mengatakan sehat itu mahal harganya, jadi mau apa lagi.
Karena saya seorang mahasiswa, maka saya akan mulai dari pertanyaan simpel yang pernah terlintas di pikiran saya. Adakah dokter miskin? Saya tidak bermaksud menghakimi atau apa, namun pertanyaan itu juga pernah saya baca dari sebuah notes anak kedokteran.
Bukan masalah kesenjangan ekonomi atau apa, tetapi untuk menjadi dokter memang dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka wajar jika kedokteran di kampus saya termasuk salah satu prodi elit dan memang kenyataan berkata demikian.
Bukan tentang kesetaraan hak atau apa, tetapi mau bagaimana lagi. Meskipun mungkin ada beasiswa kuliah gratis atau semacamnya, toh tetap dihadapkan pada buku-buku yang mahal, peralatan yang mahal, biaya praktek yang mahal, dan sebagainya. Bukan salah pemerintah atau apa, tetapi memang kenyataan memaksa hal seperti ini terjadi. Hanya orang-orang yang memiliki rezeki yang cukup berlebih yang dapat mengaksesnya, sisanya tulang pun tidak habis dibanting untuk menjalaninya.
Stigma seperti ini juga yang menciptakan benteng psikologis kepada teman-teman yang kurang beruntung. Jangankan menjadi dokter, bermimpi pun mereka sudah bergidik membayangkan bagaimana setiap harinya keluarga mereka hanya makan dengan nasi dan garam.
Keadaan seperti ini terkadang membuat orang berpikiran tentang adanya lingkaran dokter. Anak dokter akan menjadi dokter, begitu pula anaknya, cucunya, dst. Bukan karena apa, tetapi ya memang hanya orang-orang tertentu yang memiliki peluang menjadi dokter dengan segala komponen biayanya.
Dokter tidak diperlukan? Masalah tempat dan waktu
Seorang rekan saya yang juga calon dokter (saat itu, entah sekarang apakah sudah beralih ke dunia politik) mengatakan bahwa dokter saat ini pun juga susah mencari pekerjaan. Suatu realita yang cukup aneh menurutku dimana banyak daerah di Indonesia yang belum terjangkau kesehatan.
Setelah ditelisik lebih lanjut, ternyata bukan sulit mencari pekerjaan. Tetapi yang ada adalah pekerjaan itu banyak, namun yang dibayar dan enak itu yang susah. Hal itu karena banyak lulusan terpusat mencari pekerjaan di kota-kota besar (hal ini juga sebenarnya terjadi pada jurusan ilmu-ilmu lain). Sehingga di daerah lain mungkin kekurangan, di daerah lainnya justru kelebihan.
Bagi kita yang mungkin terbiasa hidup enak ini mungkin kata-kata seperti pengabdian dan cita-cita hanya ada dalam novel-novel menyentuh hati penuh dengan bumbu romantisme. Bukan karena tidak ingin, tetapi mungkin kita memang tidak mampu.
Seekor Harimau yang biasa makan daging pun pasti tidak akan semudah itu berganti menjadi pemmakan rumput. Begitu juga kita yang hidup di kota dengan segala fasilitasnya ini tentu perlu perjuangan yang ekstra untuk beradaptasi ke daerah lain yang lebih kekurangan dokter. Celakanya kenapa kebanyakan calon dokter adalah orang-orang kota.
Namun cerita tentang pengabdian itu bukan hanya cerita roman fiksi. Saya yakin banyak orang yang mampu melewati perjuangan itu ditengah cibiran orang-orang yang iri.
Perguruan Tinggi dan Benalu
Pasien itu terbaring lemas di tempat tidurnya. Dokter mengatakan kepada keluarganya bahwa pasien tersebut harus dipindahkan segera ke rumah sakit lain yang lebih besar. Keluarga pasien pun sibuk berdiskusi mengenai keadaan tersebut."Di bawa ke Sardjito saja, disana kan rumah sakit besar dan sarananya lengkap""Tetapi di Sardjito banyak ko-ass (maaf kalo salah nulis). Kalau pasien macam kita yang kelas tiga cuma ditangai mereka.""Yaudah kalo gitu di Panti Rapih atau Bethesda"
Bagaimanapun juga, ko-ass adalah seorang calon dokter. Dokter-dokter hebat saat ini tentunya juga melalui tahapan ini dulunya. Hanya masalah waktu bagaimana dari calon berubah menjadi seorang dokter yang sangat ahli.
Tetapi entah kenapa masyarakat kurang begitu percaya terhadap mereka. Karena jika berkaitan dengan nyawa adalah sesuatu yang tidak main-main. Sesuatu yang harus ditangani oleh ahlinya dengan segera. Dan masyarakat memiliki anggapan ko-ass bukanlah dokter.
Dan sialnya, kenapa banyak ko-ass justru ditempatkan di kelas III. Dimana penghuni kelas III kebanyakan adalah masyarakat yang kurang beruntung. Tidak pahamkah bahwa isu sosial berkaitan dengan tingkat ekonomi merupakan masalah yang sensitif di negeri ini?
Mengapa harus pasien kelas III dan bukan semua kelas? Ini seperti menciptakan suatu stereotype bahwa mereka yang bayarnya kurang, tidak perlulah diurus oleh dokter sungguhan. Cukuplah menjadi bahan percobaan calon dokter. Kalau nanti dokter tersebut sudah ahli, mereka bisa merawat pasien yang bayarnya lebih banyak.
Disadari atau tidak rumor-rumo semacam ini memang beredar di masyarakat. Banyak RS yang bagus secara kualitas di Yogya ini dihindari karena keberadaan ko-ass. Padahal tanpa adanya ko-ass tentu tidak akan ada dokter-dokter. Jangan heran jika Panti Rapih dan Bethesda menjadi RS yang diakui oleh masyarakat (meski kurang memperhatikan kearifan lokal, lebih llanjut dibahas di bagian berikutnya).
Bukan masalah keberadaan ko-ass itu sendiri, namun bagaimana perguruan tinggi dan rumah sakit bisa mengatur dan memanajemen keberadaannya sehingga tidak menimbulkan kesan negatif. Saya ingat ketika adik saya harus menjalani sebuah operasi kecil di Sardjito. Bagaimana seorang anak kecil dioperasi sambil dikerubuti oleh sepuluh orang yang menganggapnya sebagai tontonan.
Di zaman ketika dokter pun bisa tertawa menonton film Patch Adam, saya heran fenomena seperti ini masih saja ada. Okelah saya pahami itu sebagai sebuah praktek pengalaman langsung yang terlalu berharga untuk dilewatkan, tetapi tentu tetap harus memahami perasaan seorang pasien. Pasien adalah seseorang yang ingin dihargai dan bukan justru dijadikan tontonan. Mengapa tidak "diakali" misalnya dengan adanya ruangan pengamatan yang menggunakan kaca satu arah di ruang operasi? Tentu itu akan lebih membuat pasien merasa dihargai dan tidak sekedar menjadi tontonan menarik.
Juga tentang penjagaan image, bagaimana mungkin seorang pasien yang sedang kebingungan akan penyakitnya juga dihadapkan kepada dokter yang juga kebingungan? Yang terjadi justru kepercayaan pasien kepada dokter atau calon dokter tersebut akan jatuh. Bagaimana agar kebingungan-kebingungan tersebut dapat ditutup dengan topeng-topeng profesionalisme.
Sangat tidak mungkin menghilangkan ko-ass dari rumah sakit. Karena mereka adalah calon-calon dokter yang tanpa mereka juga akan berarti tidak akan ada dokter. Namun yang terpenting disini adalah bagaimana melakukan manajemen agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Istirahat atau Tertawa
Meski dari pelayanan cukup profesional dibanding rumah sakit lainnya, namun saya paling benci terhadap Panti Rapih dan Bethesda. Sebenarnya hanya karena satu hal yang mungkin sepele: jam besuk.
Entah kenapa satu hal yang menurut saya sangat berharga bagi orang yang sakit adalah dibesuk. Dikunjungi orang-orangbyang peduli dengan kita untuk sekedar bertemu atau berjumpa barang sejenak, namun itu memberikan sebuah semangat dan pengharapan yang besar.
Tentu bagi mahasiswa Psikologi tidak perlu dijelaskan bagaimana besarnya pengaruh social support, semangat, efek Placebo, dsb terhadap kesehatan. Dan menurut saya itu sangat penting. Terlebih di dalam masarakat kolektiv seperti kita ini, kebutuhan akan dibesuk tentu sangat besar.
Dan penerapan jam besuk menurut hemat saya kurang tepat dan justru menghalangi konstruk budaya yang ada. Mungkin seharusnya, jam besuk di rumah sakit Indonesia lebih fleksibel dan tidak terlalu ketat. Namun pengalaman saya beberapa waktu lalu, Panti Rapih pun kini perlahan mulai menyadarinya. Peraturan tentang jam besuk sudah tidak seketat dahulu lagi dan kini relatif lebih longgar.