Entah kenapa akhir-akhir ini kata komersialisasi sedang marak di dunia pendidikan, terlebih di kampus Gajah dimana saya kuliah. Sumber utama perhatian saaat ini tentu berkaitan dengan kebijakan kampus dalam beberapa hal misalnya pembangunan unit-unit yang menjadi semacam perusahaan di bawah kampus dan tentu saja parkir berbayar.
Namun apa sebenarnya komersialisasi. Tulisan berikut mencoba mendefinisikan komersialisasi, tentu saja menurut saya sendiri.
Ketika Komersialisasi menjadi masalah
Saya teringat sebuah kejadian di siang hari setelah kuliah. Beberapa teman saya memfotokopi materi kuliah secara kolektif. Kemudian salah satu teman saya diminta uang biaya fotokopi oleh teman saya yang lain lalu menolak karena menurutnya itu bentuk komersialisasi.
Kejadian unik tersebut membuat saya berpikir, apa sebenarnya komersiaslisasi itu sendiri. Komersialisai merupakan proses menjadikan sesuatu sebagai komoditas perdagangan. Komersiaslisasi sendiri merupakan suatu hal yang wajar dalam situasi tertentu, misalnya kita memproduksi suatu barang untuk dikomersilkan dan hasilnya kita gunakan untuk menghidupi kita.
Tetapi dalam beberapa hal komersialisasi juga menjadi suatu hal yang tabu. Misalnya dalam bidang pendidikan. Dimana anggapan masyarakat hingga saat ini pendidikan masih dalam konteks pengabdian sehingga tidak untuk dikomersilkan.
Pendidikan sebagai sesuatu yang mulia harusnya didasarkan pada semangat mengabdi, yaitu memberi dengan tulus ikhlas tanpa berharap imbalan. Namun sayangnya dunia tidak seindah kata-kata dalam novel picisan.
Komersialisasi dan biaya
Tetapi pendidikan juga dihadapkan pada dilematis bahwa dalam menjalankan proses pendidikan juga memerlukan biaya. Sebuah sinidiran seorang Guruku yang mengatakan, "Siapa bilang guru itu pahlawan tanpa tanda jasa? Gaji itu merupakan bentuk nyata dari tanda jasa".
Saat ini berapa banyak sih orang yang mau mengajar tanpa meminta bayaran? Berapa banyak dosen yang rela mengajar tanpa dibayar sepeserpun? Berapa banyak dosen dan mahasiswa yang mau melakukan penelitian jika tidak diberi insentif? Biaya pengajar itu hanya satu dari sekian biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan pendidikan. Belum lagi biaya peralatan yang tidak murah tentunya demi mengejar kualitas dan biaya-biaya lain misalnya kegiatan kemahasiswaan dan semacamnya.
Masyarakat kemudian menuntut pemerintah sebagai penyedia biaya tersebut. Namun pada prakteknya uang negara pun terbatas, terlebih ketika berhadapan dengan masyarakat yang koruptif dan enggan membayar pajak maupun retribusi objek wisata. Sehingga meskipun anggaran pendidikan sudah mencapai 20% dari APBN yang tentu saja jumlahnya juga terbatas, pendidikan masih dihadapkan dengan kurangnya dana yang tersedia untuk menyelenggarakannya.
Kita sebagai sebagian masyarakat yang dianggap pintar seharusnya menyadari hal ini. Jika kita memang paham akan hal ini tentunya kita harus bertindak cerdas, bukan hanya menuntut tetapi juga memberikan solusi dan bertindak nyata.
Redefinisi Komersialisasi
Beranjak dari kenyataan bahwa sumber daya yang ada itu terbatas dan memerlukan biaya dalam pemanfaatannya, maka saya mencoba meredefinsi komersialisasi itu sendiri. Komersialisasi saya definisikan sebagai penarikan biaya yang jumlahnya lebih dari biaya produksi dan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Jadi selama biaya yang ditarik masih sama dengan biaya produksinya atau kurang dan tidak bersifat mencari keuntungan maka saya anggap itu bukan komersialisasi.
Maka kini kita harus lebih bisa melihat dengan gambaran utuh bahwa biaya itu memang ada dan tidak dinafikkan. Persoalan utamanya adalah bagaimana biaya tersebut tidak terlalu dibebankan pada masyarakat tempat pengabdian tersebut.
Pemerintah telah melakukan beberapa upaya misalnya subsidi terhadap mahasiswa di perguruan tinggi negeri yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dari biaya yang ditarik dari mahasiswa. Jadi dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa sebenarnya biaya perkuliahan bukan merupakan bentuk komersialisasi karena biaya yang ditarik jauh lebih sedikit dari yang dikeluarkan.
Namun sekali lagi demi mengejar kualitas maka biaya itu besar adanya. Saya teringat ketika seorang satpam disekolah saya berkata, "Sebenarnya pendidikan itu bisa gratis, jika kegiatannya cuma mengajar di kelas". Maksudnya adalah biaya yang diberikan oleh pemerintah sebenarnya cukup untuk menyelenggarakan pendidikan yang pas-pasan.
Tetapi masyarakat tidak cukup puas dengan pendidikan yang pas-pasan. Mereka berharap pendidikan gratis dari pemerintah yang memiliki kualitas baik. Sebuah cita-cita luhur yang bahkan di negara maju pun hal itu sulit terwujud hingga saat ini (kalau anda cermati perguruan tinggi dan sekolah yang unggul kualitasnya di negara maju seperti AS dan Eropa pun kebanyakan merupakan instansi swasta). Namun semoga cita-cita itu bisa terwujud.
Memberantas Komersialisasi Pendidikan
Kembali kepada komersialisasi pendidikan dan cita-cita luhur, bahwa sesungguhnya pendidikan merupakan bentuk pengabdian dan tidak seharusnya menjadi sarana komersialisasi. Saya tidak akan membahas berbagai kebijakan dalam tataran universitas tetapi dalam tataran mahasiswa itu sendiri. Karena tidak disadari seringkali kita sendirilah pelaku dan oknum yang memaksa penyelenggara pendidikan menarik dana yang berlebih sehingga dianggap sebagai bentuk komersialisasi.
Misalnya dengan melakukan pemborosan dana-dana yang tidak perlu. Sadarilah bahwa setiap dana yang kita hamburkan sama halnya menghambur-hamburkan uang rakyat, suatu tindakan anggota DPR yang kita cemooh namun seringkali kita lakukan.
Mulai dari dana PKM, dana kegiatan kemahasiswaan, dan dana-dana lainnya. Mari kita jaga dan kita sadari. Jangan mencemooh anggota DPR yang studi banding ke luar negeri ketika kita menggunakan dana pendidikan untuk kegiatan yang sama (kecuali dari kantong sendiri silahkan saja). Jangan mencemooh oknum birokrat yang bertindak koruptif ketika kita masih saja menciptakan kuitansi-kuitansi fiktif. Jangan menghina pejabat yang memanfaatkan fasilitas untuk kepentingan pribadi ketika kita menghambur-hamburkan dana PKM hanya untuk konsumsi pelaksana.
Atau dengan berusaha menghemat subsidi pemerintah dengan tidak secara sengaja berlama-lama menempuh masa studi. Karena di kampus saya saja misalanya, dana subsidi per mahasiswa per semesternya bisa mencapai 3-4juta rupiah. Sebuah angka funtastis. Bayangkan berapa banyak kerupuk yang anda mampu beli dengan semua uang tersebut. Ingatlah bahwa dana yang ada tersebut juga merupakan uang rakyat yang selama ini kita bela hingga berteriak-teriak di jalanan dan membuat macet.
Kita juga harus selalu ingat tujuan utama organisasi tempat kita bernaung. Jangan sampai kita sendirilah pelaku komersialisasi tersebut. Misalnya ketika membuat seminar atau menciptakan buku maka pertanyaan pertama yang harus dipahami adalah apa tujuannya. Jika memang tujuannya adalah untuk pengabdian maka tidak perlulah menarik biaya yang tidak perlu atas alasan apapun dalam bentuk apapun misalnya tiket masuk. Begitu juga dengan kegiatan-kegiatan lainnya seharusnya sesedikit mungkin menarik biaya dan memaksimalkan biaya yang ada.
Toh katanya organisasi mahasiswa adalah organisasi nirlaba. Sama halnya dengan perguruan tinggi, maka komersialisasi dalam bentuk apapun tentu tidak sepantasnya terjadi. Salam Kesejahteraan Indonesia!
0 comments:
Posting Komentar