Senin, 04 April 2011

Manusia dan Hukuman

babble.com
Hukuman telah dikenal dan digunakan oleh manusia selama ratusan bahkan ribuan tahun. Bahkan dalam beberapa versi, hukuman pertama yang dialami manusia adalah ketika Adam melanggar larangan Tuhan yang menyebabkan dirinya dan Hawa dihukum dengan diusir dari surga. Hingga kini, manusia masih menerapkan hukuman dalam peradabannya. 

Hukuman sendiri telah mengalami perubahan dari yang sebelumnya hanya sebatas bentuk “pembalasan” atas perilaku yang telah diperbuat individu tersebut sebelumnya hingga kini sebagai bentuk "konsekuensi" agar manusia menghindari, mengurangi, atau menghilangkan perilaku tertentu. 

Para ilmuwan psikologi behavioris-lah yang membawa konsep hukuman dalam bentuk baru tersebut. Mereka yang rata-rata mendapatkan pengaruh kuat filsafat positivistik dari Auguste Comte kemudian berpendapat bahwa perkembangan psikologi saat itu telah melampaui fase yang yang seharusnya. Mereka berpendapat bahwa ilmuan psikologi seharusnya lebih berfokus pada hal-hal yang tampak dan dapat diobservasi secara langsung. 

Oleh karena itu Skinner dan kawan-kawan merintis kembali psikologi dari awal. Dengan asumsi bahwa dunia itu kosmos, maka dia percaya bahwa suatu perilaku akan terjadi karena ada yang mengawali dan mengakhiri. Dari pola-pola inilah nantinya diharapkan akan diketahui ilmu psikologi yang sesungguhnya dan dapat digunakan untuk memprediksi, mengetahui, memanipulasi, suatu perilaku yang akan terjadi. 

Skinner percaya bahwa pada dasarnya manusia dan hewan memiliki pola interaksi yang sama, hanya saja manusia dalam memproses suatu stimulus secara lebih kompleks (Alwisol, 2008). Kekompleksan tersebut diwujudkan oleh para behavioris dalam konsep black box. Skinner sendiri menggunakan hewan sebagai subjek penelitiannya karena lebih simple dan tidak serumit manusia. Penggunaan hewan sebagai subjek hingga kini masih sering digunakan oleh para ilmuwan behavioris. 

Namun perkembangan dunia saat ini menuntut agar ilmuwan menjadi semakin pragmatis, ilmu diharapkan untuk bisa menjawab permasalahan-permasalahan nyata secara praktis dengan ilmu-ilmu yang ada. Padahal bisa jadi ilmu-ilmu tersebut masih belum matang dan siap diaplikasikan dalam kehidupan nyata. 

Hal inilah yang digugat oleh Lerman dan Vorndran (2002) dalam artikelnya berjudul On The Status of Konwledge for Using Punishment: Implications for Treating Behavior Disorder. Mereka mempertanyakan dasar-dasar dari konsep punishment (hukuman) dari aliran behavioris. Menurut mereka konsep-konsep tersebut belum benar-benar matang dan belum siap diaplikasikan. 

Alih-alih memperdalam penelitian tentang faktor-faktor utama yang mempengaruhi, para ilmuwan saat ini justru lebih banyak meneliti berbagai bentuk prosedur dari aplikasinya dan bukan mempelajari faktor-faktornya secara mendalam. Padahal banyak dari konsep-konsep behavioris yang “belum siap” untuk diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata. 

Sebagian besar konsep-konsep behavioris dilandaskan atas penelitian dengan subjek hewan dan temuan tersebut seringkali belum direplikasikan kepada manusia dan diteliti secara mendalam. Seharusnya konsep-konsep tersebut diujikan terlebih dahulu pada manusia sebelum diaplikasikan ke dalam bentuk treatmen-treatmen perilaku. 

Punishment sendiri sebagai salah satu konsep yang lahir dari rahim para behavioris dipertanyakan efeknya secara langsung pada manusia. Mengingat tidak semua teori atau konsep yang dihasilkan dapat diaplikasikan kepada manusia. Konsep Law of Readiness dari Thorndike misalnya ketika direplikasikan pada manusia ternyata gagal. Maka pertanyaannya adalah bagaimana punishment berakibat pada manusia? 

Penelitian yang dilakukan oleh Wood (2007) merupakan sebuah contoh bahwa manusia merespon stimulus dengan lebih kompleks dibandingkan hewan. Dalam penelitiannya berjudul Exploring the Positive Punishment Effect Among Incarcerated Adult Offenders menunjukkan bahwa hukuman tidak begitu saja secara otomatis mengubah perilaku manusia seperti yang diharapkan. Penelitian ini menunjukkan adanya respon berbeda-beda dari para narapidana dalam menerima stimulus berupa hukuman ini. Pada sebagian narapidana, punishment justru menjadi semacam bentuk penguat atas perilaku kriminal yang mereka lakukan. 

Ternyata ada berbagai faktor yang mempengaruhi efektivitas punishment itu sendiri pada manusia. Salah satunya adalah seperti yang disebutkan dalam penelitiannya Prooijen, Galluci, dan Toeset (2008) adalah tentang persepsi terhadap keadilan. Mereka yang merasa tidak adil dalam mendapatkan punishment akan mengurangi efek punishment itu sendiri dan dalam kondisi tertentu justru meningtkatkan perilaku yang akan dihilangkan. Selain itu masih banyak faktor-faktor lain yang harus diteliti sebelum dapat diterapkan secara langsung. 

Ini menunjukkan bahwa banyak konsep-konsep yang lahir dari rahim para behavioris sebenarnya belum siap untuk diaplikasikan. Perlu penelitian dan kajian lebih dalam terhadap faktor-faktor dan hukum-hukum yang berlaku pada manusia. 

Dalam kaitannya dengan penggunaan konsep-konsep tersebut sebagai bentuk modifikasi perilaku pun masih mengalami tanda tanya. Selama ini memang berbagai bentuk modifikasi perilaku menggunakan pendekatan ini cukup berhasil dalam setting klinis. Namun efek jangka panjang dari penggunaannya pun jarang diteliti. 

Menurut saya modifikasi perilaku dengan pendekatan ini hanya bersifat semu. Hal ini seperti yang telah disebutkan oleh para behavioris bahwa suatu perilaku akan mengalami kemusnahan jika tidak terus menerus diperkuat, sedangkan dalam kehidupan nyata kita tidak bisa terus menerus memberikan penguatan atas suatu perilaku tertentu. 

Manusia lebih kompleks daripada hewan, dalam artian bahwa manusia memiliki akal. Drs. Martono (dosen Psikologi UGM) pernah mengatakan bahwa reward dan punishment tidak akan menghasilkan perilaku yang seperti kita harapkan, tetapi sebatas perilaku untuk mendapatkan reward itu sendiri dan menghindari punishment yang ada. Dengan akal yang ada, manusia cenderung “mengakali” prosedur yang ada dan menciptakan shortcut untuk mendapatkan reward dan menghindari punishment tanpa harus melakukan perilaku tertentu. Hal ini telah dipraktekkan oleh Uichol Kim dan membuat dirinya sadar sehingga membuat sebuah pendekatan yang disebut Indigenous Psychology

Maka sekali lagi kita terdampar dalam dilematis keilmuan klasik, antara pragmatis dan teoritis. Di satu sisi masyarakat menuntut nilai praktis dari setiap ilmu yang ada. Perlu kita akui juga bahwa banyak keberhasilan dalam penggunaan konsep punishment dalam setting tertentu. Namun di sisi lain ada tanggung jawab lain dimana kita sebagai ilmuwan untuk tidak begitu saja menggunakan konsep yang belum diuji kebenaran dan efeknya secara teoritis.


Bibliography:
Alwisol. 2008. Psikologi Kepribadian edisi revisi. Malang: UMM Press
Lerman, D. &. (2002). On The Status of Knowledge for Using Punishment: Implications for Treating Behavior Disorder. Journal of Applied Behavior Analysis , 431-464.
Prooijen, J.-W. v., Galluci, M., & Toeset, G. (2008). Procedural Justice in Punishment Systems: Inconsistent Punishment Procedures have Detrimental Effects on Cooperation. British Journal of Social Psychology , 311-324.
Wood, P. (2007). Exploring the Positive Punishment Effect Among Incarcerated Adults Offenders. American Journal of Criminal Justice , 8-22.

0 comments: