Sabtu, 21 Mei 2011

Tantangan Reformasi

asiantribune.com
Beberapa hari yang lalu sebuah lembaga survey Indonesia mempublikasikan sebuah hasil yang mengejutkan. Orde Baru yang selama ini seringkali dihina-hina pasca reformasi ternyata menurut hasil survey justru lebih disukai masyarakat. Hasil ini menjadi tamparan keras bagi bagi masyarakat anti orde baru dan para aktivis reformasi.

Reformasi yang pada menjanjikan perubahan yang lebih baik pada prakteknya berbeda dengan pendapat masyarakat. Orde Baru justru dianggap memberikan keadaan yang lebih baik disbanding reformasi yang digadang-gadangkan selama ini. Apa penyebabnya?


BANDUL

Jika kita mau menengok kembali sejarah kita, sebenarnya hal ini bukanlah sesuatu yang baru dan luar biasa. Sejarah mencatat bagaimana masyarakat begitu membenci Presiden Soekarno ketika beliau lengser. Soekarno yang pada kala itu dianggap gagal membangun Indonesia lebih dari sekedar monument-monumen begitu dibenci masyarakat hingga menimbulkan beberapa aksi demonstrasi. Namun beberapa tahun setelah itu, Presiden Soekarno kembali dipuja-puja dan dianggap sebagai pahlawan di mata masyarakat.

Peristiwa semacam ini juga terjadi pada masa Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Maka bukan tidak mungkin hal ini juga terjadi pada Presiden Soeharto. Ibarat Bandul yang mengayun dari suatu keadaan akan beralih ke keadaan lain yang sebaliknya. Namun pada akhirnya bandul tersebut akan kembali di tengah setelah sekian lama berayun.

Begitu juga dengan Presiden Soeharto yang pada masa orde baru begitu dipuja-puja. Lalu pada masa reformasi bandul tersebut beralih ke keadaan sebaliknya dimana beliau diinjak-injak. Berikutnya seperti apa yang terjadi pada bandul keadaan ini akan terus berubah hingga pada akhirnya nanti berada di tengah atau pada posisi netral.


KETEGASAN

Salah satu kekurangan terbesar dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang paling mencolok adalah kurangnya ketegasan. Celakanya Presiden Soeharto justru terkenal karena ketegasannya. Bisa jadi inilah yang menyebabkan masyarakat justru menilai orde baru jauh lebih baik daripada masa reformasi.

Hasil survey ini bisa jadi adalah bentuk protes masyarakat untuk menuntut ketegasan dari pemimpin mereka. Masyarakat menginginkan seorang pemimpin yang tegas dalam memimpin mereka. Keinginan ini memenuhi pikiran masyarakat hingga muncul anggapan bahwa ketegasan adalah segala-galanya. Ketidaktegasan menjadi indikator utama penilaian dan mempengaruhi keseluruhan anggapan masyarakat.


KENYATAAN ATAU KEBAHAGIAAN

Masa Orde Baru seringkali dianggap juga adalah resim penuh kepalsuan. Dimana semua informasi yang ada diatur dan sebagian dimanipulasi supaya tampak menjadi lebih baik. Ini juga yang mendasari munculnya reformasi. Masyarakat menginginkan sebuah kenyataan bukan lagi tipuan-tipuan penguasa. Namun seringkali kita lupa bahwa kita justru berbahagia dibalik tipuan-tipuan tersebut dan menderita di dalam kenyataan. Lalu manakah yang lebih penting antara kebahagiaan dan kenyataan?

Sebuah penelitian menarik dilakukan oleh Raj Raghunathan, Ph.D. menunjukkan bahwa ternyata manusia lebih memilih kebahagiaan daripada kebenaran. Ini bukanlah suatu hal yang mengejutkan karena memang bagi sebagian ilmuwan psikologi menganggap tujuan utama dari perilaku manusia adalah untuk mencari kebahagiaan. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa manusia akan lebih memilih kenyataan daripada kebahagiaan setelah kebahagian tersebut tercukupi. Maka anggaplah bahwa pada masa orde baru kita memperoleh sebuah keadaan yang membahagiakan kita. Lalu orientasi kita berubah pada kebenaran. Celakanya setelah kita menemukan kebenaran yang tidak membahagiakan tersebut orientasi kita kembali beralih pada kebahagiaan itu sendiri dengan menganggap Orde Baru lebih baik.


BONGKAR

Keontjaraningrat (1974) pernah menjelaskan keadaan sosial yang terjadi pada masa revolusi. Dalam proses tersebut terjadi penjebolan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dari suatu rezim untuk kemudian digantikan dengan nilai-nilai yang baru. Namun seringkali penjebolan nilai-nilai tersebut menjadi yang utama dan pembangunan nilai-nilai baru justru terabaikan.

Reformasi sebagai revolusi ketiga dalam sejarah Indonesia juga mengalami hal demikian. Kita terlalu asik menjebol rezim orde baru sehingga lupa bahwa tujuan kita adalah membangun sebuah tatanan masyarakat baru. Reformasi tidak terjadi pada tahun 1998 tetapi jauh lebih dari itu reformasi adalah saat ini. Reformasi adalah ketika kita membangun suatu tatanan masyarakat yang baru bukan saat kita menghancurkan tatanan yang lama. Karena reformasi bukanlah apa yang kita hancurkan tetapi apa yang akan kita bangun.

3 comments:

Anonim mengatakan...

weseh..
mungkin suharto memang baik tp seperti sekam yang lama disimpan di gudang. saat pertama kali sekam disimpan begitu bagus tapi kelama-lamaan semakin menguning dan menumbuhkan banyak kutu yang justru merusak sekam tersebut.

anonim wae yo. qim

Unknown mengatakan...

Masuk pak eko

Unknown mengatakan...

Masuk pak eko