|
sumber: kratonwedding.tumblr.com |
Beberapa waktu yang lalu terjadi sebuah hajatan besar di Kraton Ngayogyakarta. Mungkin hajatan ini lebih pantas disebut sebagai pesta rakyat. Bagaimana tidak dalam hajatan tersebut bukan hanya tuan rumah yang punya hajat, tetapi juga mayoritas warga Ngayogyakarta.
Seumur hidup saya baru dua kali saya melihat begitu banyak masyarakat berkumpul menjadi satu seperti itu. Pertama pada saat dukungan Keistimewaan DIY dan yang kedua pada saat Pawiwahan Agung kemarin, dimana malioboro dipenuhi oleh lautan manusia.
Masyarakat sebanyak itu bisa berkumpul menjadi satu merupakan sebuah kesitimewaan tersendiri. Bandingkan dengan berbagai kegiatan pengumpulan massa selama ini baik berbentuk pengajian, konser, demonstrasi, dan sebagainya belum ada yang sefantastis itu.
Terlebih lagi masyarakat hadir tidak hanya sebagai penonton ataupun tamu, tetapi juga ikut menyemarakkan hajat yang sedang dilaksanakan. Mulai dari menyumbang makanan di angkringan, janur, atau bahkan pertunjukkan kesenian. Semua tumpah ruah menjadi satu seolah tidak hanya Sultan yang memiliki hajat melainkan seluruh masyarakat Jogjakarta.
Hal ini merupakan sebuah fenomena yang menarik. Di tengah maraknya sentimen anti kekuasaan dan rasa ketidakpercayaan terhadap penguasa, Sultan sebagai sosok penguasa dengan sentimen monarki di dalamnya justru mendapatkan dukungan tersendiri bagi rakyat Yogyakarta.
Dalam era modern dimana demokrasi dan kebebasan dituhankan dan semua orang ditekan untuk menjadi setara, sebuah fenomena unik ini muncul ke permukaan. Pada akhirnya pemimpin tidak hanya sebatas pada kekuasaan semata tetapi juga bagaimana seorang pemimpin memberikan dan mendapatkan pengaruh dari masyarakat. Dalam tulisan ini saya akan membahas beberapa sudut pandang untuk memahami fenomena ini secara lebih dalam.
Kerinduan Budaya
Dalam zaman globalisasi saat ini informasi mengalir begitu derasnya. Jarak tidak lagi menjadi penghalang. Akibatnya budaya satu dan lainnya berdatangan mempengaruhi satu sama lain. Nilai, ide, gagasan, dan idealisme bercampur aduk menjadi satu. Seseorang tidak lagi bisa diketahui etnisnya hanya dari lokasi tempat tinggal.
Celakanya budaya modern Eropa-AS memiliki kekuatan media. Entah itu kapitalis, sekuler, sosialis, komunis, liberal dan sebagainya masuk ke setiap sendi kehiudpan tanpa kita sadari. Nilai-nilai pun bergeser. Masyarakat modern memiliki tuntutan tersendiri terhadap dunia.
Dalam dunia yang dikuasai nilai-nilai Eropa-AS muncul segelintir masyarakat yang justru merindukan budaya asli Indonesia. Masyarakat ini didominasi dua macam: (1) generasi tua yang memang sejak dahulu dibesarkan dengan nilai-nilai tradisional dan menjadi pelaku budaya itu sendiri serta (2) generasi muda yang memiliki ketertarikan terhadap budaya asli, mereka bukan pelaku dari budaya tersebut akan tetapi memiliki ketertarikan dan dukungan terhadap budaya tersebut.
Gejala ini dapat kita lihat dari berbagai fenomena yang muncul akhir-akhir ini. Mulai dari penggunaan simbol-simbol etnis semisal batik, surjan, dan simbol-simbol etnik lainnya. Begitu pula dengan dengan fenomena yang kita bahas saat ini.
Banyaknya dukungan masyarakat yang muncul dalam Gerakan Pro-Penetapan dan Pawiwahan Agung kemarin merupakan bentuk dari kerinduan masyarakat akan budaya asli tradisional. Sultan dan Kraton sebagai simbol yang mereka junjung untuk mengungkapkan gagasan akan pentingnya local wisdom dari kebudayaan yang selama ini justru mulai ditinggalkan.
Gagasan tradisional ini diwujudkan dalam dukungan dan penghormatan terhadap Sultan dan Kraton secara keseluruhan. Gagasan untuk kembali kepada kebudayaan awal, kebudayaan yang telah dibangun ratusan tahun oleh para pendahulu kita. Kebudayaan rasa.
Kraton sebagai Identitas
Setiap kelompok memiliki ciri khas tersendiri, ciri tersebut yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lain serta menyatukan anggota kelompok tersebut. Dalam kasus ini, Kraton dan Sultan sendiri merupakan ciri khusus yang menjadi simbol dari masyarakat Jogjakarta.
Itu sebabnya isu Pro-Penetapan muncul dengan gaung yang keras ketika Kraton dan Sultan diusik. Penyerangan terhadap simbol-simbol dan identitas kelompok sama halnya dengan menyerang anggota kelompok itu sendiri. Dalam kasus ini "penyerangan" terhadap eksistensi Kraton dan Sultan itu sendiri merupakan bentuk penyerangan terhadap masyarakat Jogjakarta.
Oleh karena itu muncul reaksi keras untuk "mempertahankan" identitas dari kelompok tersebut. Bentuk pertahanan ini muncul dalam bentuk fenomena Gerakan Pro-Penetapan. Mulai dari bendera-bendera, gerakan massa, hingga dukungan terhadap eksistensi Kraton dan Sultan itu sendiri.
Ini semua dapat dilihat sebagai upaya sekelompok masyarakat untuk mempertahankan identitas mereka. Tanpa adanya identitas dan ciri khas dari suatu kelompok, maka eksistensi kelompok itu sendiri akan turut menghilang. Maka disinilah diuji, apakah kelompok itu akan tetap berdiri dengan simbol-simbolnya atau tertelan oleh kejamnya zaman.
Lakum Dinukum Waliyadin
Perkembangan zaman telah menggeser nilai-nilai dalam suatu budaya. Pengaruh datang silih berganti dan saling mempengaruhi. Begitu pula dengan struktur masyarakat yang merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Dahulu, individu dianggap sebagai bagian dari kelompok, suati fenomena yang lumrah dalam masyarakat kolektif. Dimana individu yang satu dan lain memiliki keterikatan degan kelompok. Individu diharuskan menjunjung tinggi norma kelompok meski itu berarti mengorbankan individu itu sendiri. Orang bisa menuntut orang lain untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai kelompok.
Saat ini dimana individualisme telah ikut berpengaruh, maka individu mulai berdiri sendiri dan melepaskan diri dari kelompok. Orang tidak bisa lagi memaksa individu untuk bertingkah laku tertentu. Tas nama kebebasan dan Hak Asasi Manusia seolah semua hal boleh dilakukan. Demokrasi menjadi tameng orang untuk berbicara sesuka hati meski itu menyakiti orang lain. Atas nama demokrasi, kebebasan, dan kebenaran.
Maka disini saya hanya bermaksud menyampaikan. Orang boleh bertindak sesuai kemauannya sendiri atas nama HAM, tetapi orang juga harus bertanggung jawab terhadap tindakannya tersebut. Terlebih terhadap tindakan-tindakan yang bersinggungan dengan orang lain.
Sultan sebagai seorang manusia tentu tidak sempurna, saya yakin dalam diri pribadi Sultan banyak kekhilafan dan kesalahan. Namun Sultan sebagai sebuah simbol perrlu dipertahankan dan dijaga sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri. Sultan sebagai pemimpin memiliki hak untuk dijunjung tinggi, begitu pula sebagai yang dipimpin pun kita memiliki nilai-nilai dan norma yang harus dijunjung.
Namun dalam dunia penuh dengan logika saat ini, rasa dianggap subjektif. Perlahan ditinggalkan dan diabaikan. Padahal sejatinya manusia sejati hidup dengan rasa. Hormatilah orang lain, maka dengan demikian orang lain akan menghormati anda.