Siapa tidak tahu China? Negeri tirai bambu ini secara mengejutkan mengalami pembangunan yang pesat dalam beberapa tahun belakangan. Angka pertumbuhan ekonomi mencapai 9% per tahun bahkan dimasa krisis dunia dimana pada tahun 2008 yang lalu hanya tiga negara yang masih mengalami pertumbuhan perkonomian secara positif (termasuk di dalamnya China dan Indonesia).
Raksasa ekonomi ini secara perlahan mulai menggeser perekonomian dunia yang semula berpusat pada poros Eropa-AS. Bahkan berita terbaru menyebutkan China telah menjadi mitra terbesar negara-negara Eropa mengungguli AS. Perkembangan ekonomi yang begitu pesat ini menjadikan China sebagai pusat perhatian dunia. Banyak negara mencoba belajar dari China dan mengaguminya.
Akan tetapi sebaiknya kita tidak hanya menilai seseorang dari ruang tamunya, tetapi tengoklah keranjang sampahnya. Perkembangan ekonomi yang begitu pesat ini membawa dampak yang begitu besar dalam bidang sosial-budaya yang sayangnya jarang diperhatikan oleh sebagian orang. China maju dengan bersimbah darah.
Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah peristiwa tabrak lari yang dialami seorang bocah. Parahnya dari sekian banyak orang yang melihat keadaan tersebut, hanya satu orang yang pada akhirnya menolong meski sudah terlambat. Kejadian ini mengingatkan pada peristiwa Kitty Genovese tahun 1964.
Bystander Effect
Pada bulan Maret tahun 1964, seorang wanita berumur 28 tahun ditikam dan diperkosa pada pukul tiga pagi hari. Kejadian ini berlangsung selama sekitar tiga puluh menit dan penuh dengan teriakan minta tolong. Tiga puluh delapan tetangganya yang mendengar peristiwa tersebut tidak satupun yang menelpon polisi atau membantunya.
Peristiwa ini mengejutkan kalangan ilmuwan sosial pada saat itu. Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu "tidak manusiawi" dengan membiarkan begitu saja peristiwa tersebut. Peristiwa yang bisa dikatakan mirip dengan kejadian di China baru-baru ini.
Ilmuwan psikologi mencoba menjelaskan peristiwa ini sebagai bystander effect. Para ilmuwan mencoba melakukan eksperimen dalam laboratorium untuk mengetahui gejala tersebut.Hasilnya menunjukkan ada kecenderungan yang menarik dimana semakin banyak orang asing berada dalam suatu keadaan maka akan menimbulkan kebingungan rasa pertanggungjawaban.
Sehingga apa yang terjadi pada Genovese merupakan gejala tersebut. Orang-orang merasa apa yang terjadi tersebut merupakan tanggung jawab orang lain. Orang-orang tersebut meyakini bahwa seseorang di suatu tempat atau salah satu dari mereka akan menolong orang tersebut. Celakanya ketika semua orang berpikir demikian maka pada akhirnya tidak ada satu pun orang yang akan menolong.
Kita yang Kehilangan Rasa
Banyak ilmuwan sosial mencoba memahami perilaku prososial dan altruism, ada berbagai teori yang dikemukakan untuk menjelaskannya misalnya saja adanya anggapan bahwa perilaku prososial muncul atas dasar harapan perilaku yang serupa juga akan dialami dirinya di saat membutuhkan nanti (social exchange theory).
Bagaimannapun juga saya akan lebih mengetuk pada rasa. Terlepas dari segala macam logika dan teori yang ada, apa yang kita rasakan ketika melihat kejadian tersebut? Sudah tidak adakah lagi rasa kasihan, iba, dan keinginan untuk membantu? Apakah tolong menolong tanpa pamrih hanya tinggal dongeng dari cerita masa lalu?
Apa yang terjadi di China menurut saya lebih mengerikan daripada kasus Kitty Genovese setidaknya dalam beberapa hal. Pertama, dalam kasus Genovese para bystander hanya sebatas mendengar suara sedangkan dalam kasus di China mereka melihat keadaan tersebut secara langsung. Kedua jarak antara bystander dengan kobran itu sendiri yang bahkan tidak sampai satu meter, berbeda dengan kasus Genovese dimana para bystander kebanyakan berada dalam apartemen mereka.
China yang konon katanya berasal dari kebudayaan kolektif ternyata bisa menunjukkan sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan. Fenomena ini merupakan cerminan dari kerapuhan sosial yang terjadi bersebrangan dengan kemajuan ekonomi yang dialami. Ternyata perkembangan yang terjadi di China tidak seindah apa yang ada dalam bayangan.
Terlebih berbagai spekulasi yang ada mengarah kepada ketakutan untuk menolong. Seringkali para korban justru menunutu atau menipu para penolong yang dalam istilah Jawa kita sebut sebagai Tulung Mentung. Perilaku semacam ini yang diduga kuat sebagai penyebab ketakutan untuk menolong orang asing.
Terlebih berbagai spekulasi yang ada mengarah kepada ketakutan untuk menolong. Seringkali para korban justru menunutu atau menipu para penolong yang dalam istilah Jawa kita sebut sebagai Tulung Mentung. Perilaku semacam ini yang diduga kuat sebagai penyebab ketakutan untuk menolong orang asing.
Ketika rasa sudah tidak lagi menjadi bagian dari budaya, hilanglah rasa kemanusiaan. Jika kemanusiaan merupakan sesuatu yang harus dikorbankan demi kemajuan, maka saya akan memilih untuk tetap tertinggal. Lebih baik mati sebagai manusia daripada hidup sebagai mayat.
0 comments:
Posting Komentar