|
in censor we trust (punknroll.deviantart.com) |
Beberapa pekan terakhir media elektronik sedang dihebohkan dengan beberapa pencekalan yang dilakukan oleh beberapa organisasi masyarakat di Indonesia. Menjadi semakin heboh ketika tinndakan pencekalan ini kemudian dikaitkan dengan hakikat kebebasan. Meskipun agak lucu, mengingat paham kebebasan dan demokrasi sendiri belum lama menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Indonesia setelah beberapa dekade berada di bawah pemerintahan yang bertangan besi.
Mulai dari Irshad Mandji hingga Lady Gaga sebenarnya merupakan pucuk dari fenomena yang terjadi sebenarnya di dalam masyarakat. Permaasalahan ini tidak akan selesai hanya dengan membubarkan satu atau dua ormas, tetapi lebih dari itu permasalahan ini sebenarnya berkaitan dengan nilai dan kebudayaan suatu masyarakat. Tulisan kali ini akan mencoba mengulas fenomena tersebut.
Tipikal Masyarakat Kolektif
Para ahli sepakat bahwa Indonesia merupakan contoh sebuah masyarakat yang lebih condong ke arah nilai-nilai kolektif daripada individualis. Meski demikian banyak orang yang kurang begitu paham mengenai apa sebenarnya masyarakat kolektif itu. Masyarakat kolektif memiliki sebuah sistem dan struktur masyarakat yang sangat berbeda dengan model individualis.
Di dalam masyarakat kolektif, individu dipandang sebagai bagian dari kelompok. Hal ini berbeda dengan tipikal masyarakat individualis yang lebih memandang individu sebagai sebuah entitas yang mandiri dan berdiri sendiri. Efeknya adalah bahwa setiap tindakan suatu individu dalam kelompok haruslah dilandasi pada kepentingan kelompok dan bukan kepentingan pribadi. Kewajiban individu kepada kelompok lebih ditekankan daripada hak-hak individu itu sendiri (baca:
Masyarakat Daging Babi).
Selain itu masyarakat kolektif memiliki hierarki, lain halnya dengan masyarakat yang cenderung individualis dimana semua orang dipandang setara. Masyarakat kolektif memandang masyarakat sebagai sebuah kesatuan atau kelompok, maka dari itu perlu orang-orang khusus untuk mengatur kelompok tersebut. Orang-orang khusus ini merupakan orang-orang yang dianggap paling ahli dan bijaksana di dalam kelompok tersebut. Dalam prakteknya kita jumpai tokoh masyarakat, presiden, ulama, pendeta, dan sebagainya.
Orang-orang tersebut memiliki tugas menjaga kelompok dari setiap ancaman yang ada. Termasuk diantaranya adalah ancaman ideologis berupa nilai-nilai yang dianggap berseberangan dengan nilai-nilai kelompok tersebut. Dalam menjaga kelompok, orang-orang khusus tersebut memiliki beberapa hak istimewa terhadap masyarakat lain. Termasuk diantaranya adalah sensor dan pencekalan untuk mencegah masuknya ideologi-ideologi yang dianggap bertentangan tersebut.
Apa yang dilakukan oleh beberapa organisasi masyarakat akhir-akhir ini sebenarnya merupakan sebuah cara untuk "melindungi" ideologi kelompok dari ideologi asing yang dianggap dapat mengancam. Maka disini dapat kita lihat bahwa pencekalan misalnya dilakukan oleh organisasi Islam, organisasi tersebut "merasa" memiliki hak untuk melakukan pencekalan dalam masyarakat karena karakteristiknya yang "lebih memahami" ideologi tertentu dibanding masyarakat awam. Maka sebenarnya fenomena ini adalah sebuah fenomena yang "sangat biasa" di dalam kebudayaan masyarakat kolektif.
Sudah Biasa
Sebenarnya bukan pertama kali ini pencekalan atau sensor dilakukan di Indonesia. Bahkan sebenarnya sejak awal Indonesia berdiri sensor dan pencekalan sudah sangat sering dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa berkewajiban untuk menjaga ideologi kelompok.
Pada masa Orde Lama misalnya kita temui bagaimana musik Koes Ploes yang diilhami dari band The Beatles sempat dicekal karena dianggap membawa nilai-nilai liberal Barat. Pada waktu itu Indonesia menganut paham sosialis-komunis yang kental sehingga berbagai macam bentuk "penyerangan" dari ideologi Barat dilawan oleh pemerintah.
Jika kita berpikir bahwa pencekalan dan sensor hanya dilakukan oleh masyarakat kolektif dengan ideologi sosialis-komunis maka itu salah besar. Ketika orde baru berkuasa dan kita lebih dekat dengan Barat pun pencekalan dan sensor tetap ada. Buku-buku komunis dan sosialis dibumihanguskan sebagai upaya "menjaga" ideologi bangsa yang saat itu mulai condong ke arah Barat. Bukti lain yang masih ada hingga saat ini adalah adanya aturan yang mewajibkan film asing berbahasa selain Inggris untuk di
dubbing ke dalam bahasa Indonesia. Peraturan ini sebenarnya adalah upaya film AS (liberal) pada masa itu melawan serbuan film China (komunis) di Indonesia dan cara tersebut terbukti efektif.
Pergeseran Budaya
Melihat sejarah dan karakter budaya masyarakat Indonesia pada zaman dahulu, maka menimbulkan keherana tersendiri bagi saya. Di saat banyak orang heran tentang bagaimana sebuah kebebasan dibatasi, saya justru heran mengapa hal itu menjadi sebuah masalah besar. Meski saya tidak sepenuhnya setuju, tapi bagi saya sensor dan pencekalan telah lama menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Menjadi masalah adalah ketika nilai-nilai dalam masyarakat telah mulai bergesar. Di satu sisi kita harus mengakui kepandaian strategi AS dalam perang ideologi. Bagaimana mereka memilih untuk mengekspor film dibanding komoditi lainnya yang lebih berharga. Hal ini dilakukan agar ideologi dapat bergeser dari yang semula sangat kolektiv-sosialis beralih ke individualis-liberal.
Saat ini masyarakat Indonesia pun terpecah, di satu sisi sebagian masyarakat mulai menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan persamaan derajat. Presiden, ulama, dan para ahli mulai dianggap sama dengan masyarakat lainnya dalam berpendapat. Masyarakat merasa lebih tahu apa yang disebut "baik" bagi dirinya sendiri. Namun di sisi lain sebagian masyarakat masih menganut nilai-nilai kolektiv dan hierarki sosial. Dimana masyarakat sendiri masih belum mampu berdiri sendiri tanpa sokongan "para ahli". Nilai-nilai demokrasi dan kebebasan yang dipahami pun belum sempurna. Meski masyarakat merasa dapat megatur dirinya tersendiri dan merasa lebih terdidik, namun kenyataan di lapangan bahkan banyak golongan terpelajar yang bertindak tidak terpelajar. Struktur masyarakat lama mulai rubuh tetapi belum ada konsensus mengenai struktur yang baru.
Menyikapi Lady Gaga misalnya, meski yang paling keras terdengar mengenai di jejaring sosial merupakan bentuk penyesalan tindakan FPI namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa banyak masyarakat kita yang turut mendukung sikap tersebut. Pengalaman saya bertemu dengan beberapa orang dari generasi tua misalnya setelah melihat seperti apa "wujud" dari Lady Gaga di televisi banyak yang kemudian justru merasa prihatin dan setuju terhadap tindakan FPI, MUI, PPP, dan sebagainya untuk menolak. Lain halnya dengan media jejaring sosial yang lebih banyak didominasi generasi muda yang sudah lebih "demokratis" dan hidup dengan nilai-nilai yang berbeda.
Maka disinilah toleransi akan budaya diuji. Sejauh mana masyarakat mampu memahami masyarakat lain yang hidup dengan nilai-nilai yang berbeda. Meski tentu itu bukan hal yang mudah karena bagi satu pihak menghormati adalah menuruti kehendak yang lain yang itu berlawanan dengan nilai-nilai kebebasan. Sementara di pihak lain menghormati diterjemahkan sebagai memberikan kebebasan bagis etiap orang yang itu berarti mengabaikan kebaikan kelompok.