Minggu, 21 April 2013

Belajar Membangun Sistem Pendidikan dari Kapitalis

Beberapa saat yang lalu Indonesia digemparkan dengan salah satu isu nasional di bidang pendidikan. Ujian nasional yang merupakan salah satu agenda tahunan yang menyangkut hajad hidup banyak orang, mengalami kesemrawutan dalam pelaksanaannya. Kesemrawutan ini terutama pada saat distribusi soal ujian yang mengalami keterlambatan hingga menyebabkan pengunduran jadwal ujian di sebelas provinsi di Indonesia Tengah.

Kesemrawutan pelaksanaan tersebut dijadikan alasan bagi sebagian pihak untuk dijadikan pembenaran sebagai penghapusan agenda serupa di tahun berikutnya. Meski demikian alasan tersebut tidaklah sepenuhnya benar, karena secara logika apabila terjadi permasalahan dalam pelaksanaan maka solusinya adalah dengan memperbaiki sistem pelaksanaan ke depannya, bukan justru menghapuskan keseluruhannya.

Ujian Nasional (ready2errupt.deviantart.com)

Bagi saya pribadi UN sebenarnya adalah manifestasi nyata dari rasa ketidakpercayaan institusi pendidikan di pusat terhadap pelaksanaan pendidikan di unit-unitnya baik di tingkat daerah maupun sekolah. Rasa ketidakpercayaan tersebut kemudian melahirkan sebuah sistem untuk menguji keberhasilan pendidikan yang dilakukan unit-unitnya melalui ujian terstandar yang langsung dari pusat.

Hal itu menunjukkan adanya kerusakan dalam sistem pendidikan kita karena tidak mampunya tiap-tiap unit untuk menerjemahkan visi dari institusi pendidikan di pusat. Oleh karena itu untuk kondisi saat ini saya percaya bahwa UN sangat membantu dalam melaksanakan kontrol terhadap pendidikan kita. Meski untuk jangka panjang sistem ini mungkin perlu ditiadakan lagi. Hanya saja ketika seluruh unit-unit pendidikan corrupt dimana dapat kita lihat siswa saling mencontek, guru tidak peduli atau bahkan membocorkan soal ujian, dan permasalahan sosial yang dilakukan pelajar begitu beragam, mungkin UN merupakan solusi jangka pendek yang sangat tepat.

Pembangunan Pendidikan
Semua orang tentu setuju bahwa pendidikan adalah kunci bagi sebuah bangsa untuk dapat maju berkembang. Terlepas perasaaan setuju tersebut karena memang dipahami sepenuhnya atau hanya pembenaran untuk menuntut pendidikan gratis dari pemerintah. Meski demikian hal tersebut telah menjadi common sense bagi masyarakat pada umumnya.

Pemerintah Indonesia pun telah menunjukkan komitmennya selama beberapa tahun terakhir dengan menghabiskan 20% dari APBN untuk bidang pendidikan. Menjadi pertanyaan tersendiri adalah apakah 20% dari APBN tersebut telah digunakan secara tepat guna dalam menunjang pencapaian visi pemerintah?

"Kualitas, kualitas, dan kualitas. Jangan hanya ditandai mana yang sudah dikerjakan tetapi bagaimana kualitas dari pekerjaan itu sendiri" (C.A. Rahmat)

Pendidikan dan Fasilitas
Apa yang menjadi faktor utama penunjang keberhasilan? Sebagian orang mengatakan bahwa fasilitas adalah kuncinya. Para penganut pemahaman ini percaya dengan menciptakan sekolah dengan fasilitasnya semewah mungkin akan meningkatkan motivasi belajar ara siswa. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa cara paling tepat menyalrkan 20% dari APBN adalah melalui pemberian fasilitas-fasilitas bagi sekolah di Indonesia.

Pendapat itu mungkin benar, namun tidak sepenuhnya tepat bagi saya. Di kota besar misalnya dimana sekolah telah memiliki fasilitas yang memadai justru malah sering kita jumpai permasalahan sosial menyangkut pelajar. Meski telah ditunjang fasilitas memadai, toh pada kenyataannya banyak siswa yang masih mencontek, membolos, tawuran, dan sebagainya.

Lain lagi jika kita berkaca ke India. Sebagai salah satu raksasa dunia, kita tentu paham bahwa pembangunan di India ditunjang oleh sumber daya manusianya. Menjadi paradoks adalah ketika kita mengetahui bahwa fasilitas pendidikan di India jauh lebih tidak nyaman dibandingkan fasilitas pendidikan di Indonesia. Namun kenyataan 

Kedua contoh diatas menunjukkan bahwa pada ahirnya fasilitas dan peningkatan kualitas pendidikan tidak selalu berbanding lurus. Saya pribadi setuju bahwa fasilitas itu penting, namun hal itu hanya menunjang sampai pada tahap tertentu. Pun fasilitas yang saya anggap menunjang disini adalah buku, perpustakaan, akses terhadap informasi, dan sebagainya alih-alih pendingin ruangan, ruangan yang indah, dan sebagainya.

Fasilitas sendiri hanya akan menunjang pembangunan pendidikan apabila terdapat keinginan yang kuat dari internal pendidik dan yang dididik untuk belajar. Tanpa adanya keinginan tersebut, fasilitas hanya akan menjadi tumpukan sampah yang teronggok begitu saja.

Sumber Daya Pengajar
Hal lain yang dianggap tidak kalah penting terkait pembangunan pendidikan adalah sumber daya dari tenaga pendidik itu sendiri. Untuk pendapat ini saya setuju seratus persen. Bagi saya tenaga pendidik adalah kunci utama yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan di Indonesia.

Salah satu program yang saya anggap luar biasa adalah Indonesia Mengajar. Program ini berhasil menyediakan guru-guru muda yang berkualitas meski hanya untuk jangka pendek. Dengan memanfaatkan semagat iddealisme para pemuda dan paket kompensasi yang cukup menarik, program ini dapat berjalan dengan sangat baik. Meski kita tentu pahami bahwa program ini lebih sekedar sebagai "bantuan" dan sangat sulit untuk diaplikasikan dalam keseluruhan sistem pendidikan di Indonesia.

Bagi saya, ada tiga kunci penting dalam meningkatkan sumber daya pengajar di Indonesia yaitu: paket kompensasi, seleksi, sistem monitoring/ controlling dan pengembangan SDM. Kunci tersebut sebenarnya tidak hanya sebatas dalam dunia pendidikan, tetapi juga di dalam organisasi secara umumnya. Hal ini juga sudah jamak diterapkan di dalam perusahaan-perusahaan maju dalam mengelola SDM mereka.

Paket Kompensasi
Paket kompensasi menjadi hal pertama yang menunjang keberhasilan dalam pembangunan sumber daya manusia. Fungsi utama dari paket kompensasi bukanlah untuk meningkatkan semangat dan motivasi, tetapi hanya sebagai "umpan" untuk menarik sumber daya-sumber daya yang kualitas untuk bergabung ke dalam sistem.

Oleh karena itu pemerintah perlu menempatkan paket remunerasi para pendidik ke dalam persentil (menurut saya) setidaknya berada di kisaran 50-65% dari keseluruhan populasi. Sehingga posisi pendidik di pasar tenaga kerja menjadi cukup menarik yang dampaknya -seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya- mampu menarik sumber daya yang berkualitas untuk bergabung ke dalam sistem. Intinya adalah bagaimana mungkin kita berharap memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas jika tidak ada yang mendaftar? Disana lah fungsi dari paket remunerasi.

Pemerintah saat ini telah mencoba membangun bagian ini dengan memberikan berbagai tunjangan kepada para tenaga pendidik yang jumlahnya tidak sedikit. Meski demikian seringkali pemberian tunjangan tersebut disalahartikan untuk mendongkrak kualitas itu sendiri. Padahal paket remunerasi sebenarnya hanyalah sebagai pancingan pertama, masih banyak hal ain yang perlu dibangun.

Sistem Seleksi
Setelah adanya paket remunerasi sebagai pancingan, maka bagian kedua yang perlu diperbaiki adalah sistem seleksi. Tujuannya adalah untuk mendapatkan sumber daya yang terbaik diantara yang ada. Jika paket kompetensi sebagai umpan, maka proses seleksi bertugas untuk memastikan bahwa kandidat yang terjaring adalah yang terbaik dan paling sesuai dengan kebutuhan.

Terbaik dalam kapasitas ini bukan diartikan sebagai yang terpandai, melainkan yang paling cocok untuk menjadi pendidik. Orang-orang yang memang memiliki passion dalam dunia pendidikan. Orang-orang yang memahami dan mengerti tentang dunia pendidikan dan memiliki visi terhadapnya. Orang-orang yang memiliki kapabilitas untuk dapat memfasilitasi orang lain dalam belajar. Orang-orang yang dapat dijadikan panutan sekaligus teman bagi anak-anak didiknya. Orang-orang yang mau bekerja 130% dari yang seharusnya.

"Bekerja itu harus 130%. Yang 100% adalah kewajiban dari gaji yang kita terima, yang 30% merupakan bentuk rasaterima kasih, rasa syukur, dan pemberian (pengabdian) kita terhadap organisasi" (L. Haryanto)

Harapannya adalah bagaimana tenaga pendidik kita nantinya diisi oleh orang-orang berkualitas dan sesuai dengan bidangnya. Bukan orang-orang yang hanya ingin bersantai dan memperoleh uang semata. Dengan sistem seleksi yang tepat, kita dapat memperoeh calon-calon pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Bukan orang-orang yang menjadikan istlah tersebut sebagai justifikasi atas penderitaan hidupnya.

Monitoring & Controlling
Setelah memastikan kita memperoleh sumber daya yang tepat, maka langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa sumber daya yang ada berjalan ke arah yang seharusnya. Disinilah perlunya sebuah sistem monitoring dan controlling terhadap kinerja para pendidik kita.

Jika setiap anak didik mendapatkan hasil evaluasi atas hasil pencapaian pendidikan mereka secara berkala, mengapa para pendidik justru tidak mendapatkan evaluasi serupa atas kinerja mereka? Pemerintah perlu menciptakan sebuah sistem evaluasi kinerja untuk mengetahui sejauh mana para pendidik mereka berhasil membangun apa yang seharusnya mereka bangun.

Sebenarnya hal tersebut bukanlah tidak mungkin. Misalnya saja saat ini kita sering menyelenggarakan evaluasi pendidikan secara kolektif dalam tingkat provinsi atau kota. Dengan analogi bahwa keberhasilan peserta didik adalah berkat kinerja dari para pendidik, maka hasil dari evaluasi belajar tersebut seharusnya juga dapat digunakan untuk menentukan pendidik mana yang berhasil mengembangkan peserta didiknya dengan baik dan mana yang tidak berhasil.

Para pendidik perlu dibuatkan key performance indicator atas setiap tugas-tugas mereka. Hal ini untuk membantu pemerintah dalam melaksanakan monitoring dan controlling terhadap kinerja para pendidik mereka. Untuk memastikan bahwa sistem pendidikan kita berjalan searah untuk mencapai visi yang sama.

Pengembangan Sumber Daya Pendidik
Hal lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana mengembangkan tenaga pendidik kita sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh sistem pendidikan kita saat ini. Apalagi dalam saat seperti sekarang ini, maka cara terbaik memperbaiki sistem pendidikan kita adalah melalui pengembangan sumber daya tenaga didik itu sendiri.

Pengembangan tersebut tidak harus selalu melalui pelatihan-pelatihan, terlebih pelatihan formal yang cenderung hanya basa-basi tanpa memberikan keahlian atau solusi praktis tertentu. Pelatihan-pelatihan perlu didesain dengan sistem praktek dan studi kasus yang menarik sehingga aplicable dalam pekerjaan sehari-hari para pendidik kita. Misalnya saja pelatihan dalam berbicara di depan publik, pelatihan dalam menyusun materi pelajaran, pelatihan penggunaan sarana/ fasilitas dalam menunjang pengajaran, dan sebagainya.

Connected Capitalism
Neville Isdel, mantan CEO Coca-Cola Company pernah mengungkapkan sebuah istilah yang disebut connected capitalism. Isdel menyoroti bagaimana lembaga-lembaga sosial seringkali gagal membangun masyarakat karena alih-alih mengembangkan masyarakat, untuk mempertahankan organisasinya agar dapat terus beroperasi pun mereka gagal.

Di sisi lain Isdel mencontohkan bagaimana banyak perusahaan justru berhasil membangun masyarakat. Selain dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan mengembangkan ekonomi masyarakat, banyak perusahaan berhasil berkontribusi kepada masyarakat daripada lembaga-lembaga sosial nirlaba lainnya. Dengan sumber daya perusahaan dan sistem yang luar biasa, perusahaan mempu mengembangkan masyarakat dengan cara mereka.

Oleh karena itu Isdel percaya bahwa dengan adanya kapitalis-kapitalis yang terhubung dengan baik dan tersistem, pengembangan masyarakat justru akan mengalami perkembangan pesat dibandingkan sistem tradisional lembaga-lembaga nirlaba saat ini.

Saya antara setuju dan tidak setuju dengan teori tentang connected capitalism tersebut, di satu sisi bukti-bukti yang diberikan Isdel adalah benar. Namun saya percaya bahwa kebenaran tersebut bukan karena kapitalisme melainkan sistem dan sumber daya yang dimiliki para kapitalis itu sendiri. Pertanyaan terbesar bagi saya adalah mengapa lembaga-lembaga sosial dan pemerintahan tidak dapat memiliki sebuah sistem dan sumber daya sebaik perusahaan-perusahaan kapitalis tersebut?

Orang seringkali anti dengan sistem kapitalis dan menutup mata akan keunggulannya. Hal ini juga yang sering menjadi justifikasi bagi lembaga-lembaga sosial dan pemerintahan untuk tidak mau belajar terhadap sistem-sistem kapitalis semacam ini.

Padahal bagi saya kebaikan itu bersifat universal. Sosialisme atau Kapitalisme hanyalah sebuah versi, mana yang lebih baik itu adalah suatu hal yang dapat diperdebatkan. Namun yang terpenting adalah mana dari sistem tersebut yang dapat kita adopsi untuk membangun kebaikan, itu yang terpenting

Uraian saya sebelumnya tentang bagaimana sistem pendidikan yang seharusnya di atas sebenarnya adalah sebuah bentuk adopsi sistem kapitalisme yang biasa dijalankan oleh perusahaan-perusahaan besar di dunia. Pertanyaan bagi saya mengapa tidak mencoba untuk menerapkan sistem yang sama ke dalam organisasi-organisasi lain di luar perusahaan.

Tidak dapat dipungkiri juga bahwa trend pemimpin politik saat ini pun mulai ke arah pemimpin-pemimpin profesional dengan latar belakang enterprenur. Beberapa lembaga pemerintahan daerah maupunpusat juga mencoba mengadopsi sistem-sistem serupa ke dalam bisnis mereka untuk meningkatkan proesionalitas mereka dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Apapun itu, asal baik tentu saja perlu kita pelajari dan kita adopsi untuk menjadikan diri kita menjadi lebih baik lagi. Jangan terlalu defense terhadap perubahan, karena perubahan itu sendiri mutlak keberadaannya. Karena kita sebagai manusia memiliki kewajiban untuk menjadi lebih baik lagi dari hari ke hari.

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati (melakukan perbaikan) supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (103:1-3)

0 comments: