Kita sering bermimpi bisa terbang dan kita berusaha untuknya dengan menciptakann sayap-sayap besi. Namun sejauh apapun mimpi dan usaha adakalanya kita harus menyadari bahwa kita bukanlah malaikat yang memiliki sayap kita sendiri, kita harus bersama untuk dapat terbang.
Ragaku remuk, pikirku pening, hatiku hancur. Dunia ini mengajarkan kita untuk yakin dan percaya bahkan pada hal-hal yang tampak mustahil sekalipun. Dan pada kenyataannya melalui kepercayaan semacam itulah yang telah mengantarkan kita pada zaman dimana tabung-tabung bersayap memenuhi langit, manusia meginjakkan kakinya di bulan, kotak ajaib penuh dengan warna warni dunia, dan juga benda pipih yang membuat manusia berbicara sendiri. Disini kita menyebutnya sebagai mimpi yang dibalut dengan tekad, dihiasi oleh harapan, serta diwujudkan oleh usaha.
Namun pada akhirnya kita harus sadar bahwa tangan dan jemari kita tidak diciptakan untuk terbang. Seberapa seringpun kita mengepakkannya tidak akan membuat kita melambung ke angkasa bak malaikat dengan sayapnya. Sejauh apapun kita meneteskan peluh pada akhirnya kita akan menyadari batasan diri kita. Ada kalanya kita akan terjatuh dan kembali ke permukaan tanah seberapapun cepatnya kita mengepakkannya.
Di waktu itu, ketika raga telah remuk mencapai batas maksimalnya, pikiran telah pening dengan segala isi dunia di kepala seukuran buah semangka dan hati telah hancur oleh kenyataan yang terlalu pahit untuk dicerna. Maka kematian seolah menawarkan kedamaian yang kita dambakan. Tenang, sunyi, dan damai. Namun haruskah kita meraih kematian ataukah kita akan hidup dengan sisa-sisa organ yang masih berbentuk? Biarlah kematian sendiri yang akan menjemput ketika raga kita telah hancur karena usahanya.
0 comments:
Posting Komentar