Selasa, 20 Desember 2011

Orang Buta Berjalan Lurus

Seringkali kita beranggapan bahwa ketidakadilan yang sering terjadi di sekitar kita adalah karena lemahnya aparat penegak hukum. Pendapat itu mungkin benar, namun kita juga tidak bisa menutup mata begitu saja akan adanya hal-hal lain yang turut berpengaruh dalam keadaan tersebut. Aparat penegak mungkin hanya satu faktor, tapi masih ada faktor lainnya yang juga turut berpengaruh.

Sebuah dialog budaya di Taman Siswa beberapa waktu yang lalu menyadarkan saya akan hal ini. Pembicara saat itu (diantaranya Cak Nun dan Busyro Muqoddas) menjelaskan mengenai hakikat hukum itu sendiri. Hukum hanyalah garis pembatas diantara satu orang dengan orang lainnya. Dikatakan garis karena pada hakikatnya manusia tetap bisa melanggar atau melewati garis tersebut dengan kehendakanya. Namun moral berperan membimbing manusia untuk tetap berada di tempatnya dan melewati garis tersebut.

Sesempurna apapun hukum pasti ada celah yang bisa dilanggar. Meski demikian perlu dipahami juga bahwa hukum bersifat kaku. Hukum tidak mengenal toleransi-toleransi dan pengecualian-pengecualian. Hukum juga tidak memiliki kebijaksanaan karena hukum hanyalah alat. Bagian yang terpenting dari hukum itu adalah siapa penggunanya bukan hukum itu sendiri.

Ibarat kata secanggih apapun APILL di perempatan jalan tetap saja pada akhirnya kita sendiri yang akan memutuskan apakah kita akan berhenti atau menerobos. Moral sebagai pengendali diri kita lah yang pada akhirnya menentukan apa yang akan kita lakukan. Secanggih apapun hukum manusia tetap memiliki kehendak untuk menjalankannya atau melanggarnya, itu semua tergantung moral dari manusia itu sendiri.

Kesadaran dan kepatuhan hukum menjadi suatu hal yang sangat langka di negeri ini. Kita bisa menyalahkan bobroknya aparat penegak hukum dan kualitas hukum itu sendiri, tetapi pada akhornya kita juga akan tetap menatap diri kita di dalam cermin. Sejauh mana moralitas kita mengarahkan kepada kebajikan tanpa adanya hukum.

gambar: echo2me.deviantart.com

Seharusnya kita pahami bahwa kebajikan yang dilakukan karena sebuah sistem adalah kebajikan yang terendah. Kebajikan seharusnya digerakkan oleh hati, bukan karena aturan atau sanksi dan hadiah. Hal ini yang seringkali kita lupakan karena kita lebih suka menyalahkan sistem dan hukum daripada diri kita sendiri.

Hukum seharusnya dilahirkan bersamaan dengan dibangunnya kesadaran akan pentingnya hukum itu sendiri. Tanpa adanya pemahaman yang benar, hukum hanya akan dianggap sebagai pembenaran atas kepentingan penguasa, bukan kepetingan bersama. Hukum cenderung akan disepelekan meskipun itu menyangkut kepentingan kita sendiri.

Maka dari itu, jika ingin keadilan ditegakkan maka mulailah berkaca dari diri sendiri. Bagaimana bisa kita berharap orang lain melakukan sesuatu yang kita langgar? Maka sesungguhnya tanggung jawab terbesar kita ada pada apa yang kita lakukan, bukan terhadap apa yang dilakukan orang lain.

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (61:2-3)

0 comments: