Kalau saya boleh berpendapat, maka pemilu kali ini adalah pemilu yang paling menyedihkan. Bukan karena kualitas demokrasi, banyaknya kecurangan, atau alasan lainnya, hanya saja pada pemilu presiden kali ini sangat banyak black campaign maupun negative campaign yang ditujukan menyerang salah satu pasangan atau pasangan lainnya. Salah satunya yang membuat saya miris adalah terkait dengan isu agama.
Terlebih lagi, seringkali pihak yang menyebarkan negative campaign maupun black campaign berasal dari kalangan aktivis Islam garis keras dengan mengangkat isu-isu dan tema-tema yang tidak jelas sumber dan kebenarannya. Bermodalkan informasi yang tidak jelas dan cenderung berat sebelah tersebut, kemudian muncul opini-opini yang menyudutkan pihak-pihak tertentu dengan mengatasnamakan agama. Bahkan seringkali opini-opini tersebut masuk ke tataran akidah dan seolah agama tertentu mewajibkan capres tertentu. Padahal stahu saya hingga saat ini tidak ada satu pun ayat al-quran ataupun hadis yang mengarahkan umat islam untuk memilih Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK.
|
(Sumber: lensaindonesia.com) |
Yang justru ditekankan dalam hadis adalah bagaimana kita yang mengaku sebagai umat Islam dilarang untuk menjelekkan/merendahkan orang lain dengan berit yang memang benar adanya (negative campaign/ghibah) maupun berita palsu (black campaign/fitnah). Misalnya sesuai dengan surat Al-Hujurat berikut:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (49:12)
Dalam ayat tersebut, Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya untuk menjauhi prasangka dan mencari-cari kejelekan orang lain. Allah SWT menyamakan orang-orang yang melakukan negative campaign maupun black campaign sebagai seorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri (sebuah perilaku yang menjijikkan).
Maka sangat tidak antas kepada kita atau siapapun yang mengaku sebagai orang Islam, melakukan negative campaign maupun black campaign dengan alasan apapun. terlebih lagi jika tindakannya tersebut diklaim atas nama perintah agama Islam sementara di sisi lain Islam sendiri melalui Al-Quran telah menyatakan secara jelas bahwa tindakan tersebut sangat tidak disukai oleh Allah SWT.
Islam dan Politik
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia dimana mayoritas penduduknya tercatat beragama Islam, memiliki sejarah politik yang cukup panjang. Dalam hal ini kekuatan Islam yang menjadi mayoritas di negara ini berkali-kali pula diseret ke dalam kepentingan politik. Baik dari sebelum masa kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan. Imam Bonjol misalnya, melakukan perlawanan kepada Belanda dengan mengatasnamakan Islam.
Setelah masa kemerdekaan, berbagai kekuatan Islam pun unjuk gigi dalam perpolitikan Indonesia baik secara halus maupun secara kasar. Munculnya DI/TII dan NII misalnya, merupakan salah satu bentuk kemunculan kekuatan Islam dalam bentuk yang kurang halus. Secara internal pun kekuatan politik Islam cuku terlihat dari munculnya partai-partai Islam seperti Masyumi dan sebagainya.
Pada awal masa orde baru, kekuatan Islam dianggap sebagai salah satu tonggak untuk menyingkirkan faham komunis secara terang-terangan (melalui partai Komunis Indonesia). Komunis seringkali diseberangkan dengan faham Islam sehingga kekuatan Islam mau digerakkan oleh pemerintah saat itu untuk menyingkirkan komunis. Padahal belakangan mulai muncul kesadaran bahwa komunis dan Islam bukanlah faham yang bertentangan, banyak tokoh dalam partai Komunis Indonesia yang pada saat bersamaan merupakan tokoh masyarakat Islam. Itu semua hanya permainan politik saat itu untuk mendapatkan dukungan masyarakat muslim.
Pada masa orde baru pula sistem perpolitikan Indonesia dibuat lebih sederhana. Kubu muslinm disatukan ke dalam partai Persatuan Pembangunan. Meski pada kenyataannya banyak kekuatan Islam yang juga masuk ke dalam Golkar maupun Partai Demokrasi Indonesia. HMI maupun ICMI misalnya, pergerakan mereka untuk mendominasi kepengurusan Golkar terbilang cukup berhasil.
Kekuatan Islam seringkali hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan politik tertentu. Sangat jarang terlihat para politisi maupun partai politik (bahkan yang mengatasnamakan Islam) tampak untuk membela kepentingan umat. Yang ada justru Islam dijadikan kedok untuk meraih kepentingan probadi mereka. Mari kita tengok daftar politisi yang juga merupakan tokoh muslim justru terlibat dalam berbagai tindak korupsi.
Kalau saya boleh berpendapat, justru para koruptor-lah yang lebih pantas dibilang sebagai orang kafir. Koruptor adalah para pencuri, dan mencuri dilarang didalam Islam sesuai ayat berikut:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksa dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (5:38-39)
Pada saat yang bersamaan, para koruptor menunjukkan ciri sebagai orang munafik seperti dalam hadis berikut:
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat"
Maka dalam hal ini, para koruptor adalah terdakwa dengan pasal berlapis. bagi saya para koruptor tersebut sudah tidak lagi pantas disebut sebagai orang Islam, tidak peduli apakah mereka kader dari partai Islam maupun tokoh Islam darimanapun. Mereka adalah orang yang mengaku sebagai orang Islam, namun mereka menginjak-injak aturan Allah SWT secara terang-terangan.
Islamkah Kedua Kubu?
Jika kita menilik latar belakang politik kedua calon presiden, maka sesungguhnya keduanya tidak memiliki keterkaitan erat dengan kubu umat Islam. Prabowo besar dari latar belakang militer yang kemudian berkiprah dalam Golkar dan belakangan mendirikan Gerindra. Gerindra sendiri merupakan partai berhaluan sosialis yang seringkali berseberangan dengan kepentingan Islam. Sama halnya dengan PDI Perjuangan yang juga berhauluan sosialis. Terlebih lagi pada saat orde baru dimana sistem kepartaian disederhanakan menjadi tiga partai, PDI merupakan rumah bagi masyarakat non-muslim. Maka dari segi kepartaian keduanya sama-sama tidak memiliki latar belakang dukungan partai Islam.
Lain halnya dengan kedua calon wakil presiden. Hatta Rajasa berasal dari partai Amanat nasional, partai yang seringkali dianggap sebagai representatif dari umat muslim Muhammadiyah. Sedangkan Jusuf Kalla merupakan mantan ketua Himpunan Mahasiswa Islam, sebuah pergerakan islam d kalangan mahasiswa yang belakangan berhasil menguasai dominasi dalam tubuh partai Golkar. Keduanya memiliki latar belakang kepentingan politik Islam, meskipun saya berpendpat kedua organisasi tersebut pun tidak sepenuhnya menunjukkan nilai-nilai ke-Islam-an. Maka dalam hal ini kedua pasangan memiliki nilai yang sama.
Dari segi pendukung pun sama halnya, keduanya memiliki basis dukungan partai dan tokoh Islam. Di kubu Prabowo Hatta mereka memiliki dukungan dari partai-partai Islam semisal PPP, PKS, PAN, dsb. Sedangkan di kubu Jokowi JK mereka didukung oleh PKB. Meskipun belakangan kondisi akhir-akhir ini menunjukkan kedua kubu membawa gerbong kosong, artinya massa dari partai-partai tersebut akhirnya terpecah dan membela kedua kubu sesuai kehendak mereka. Sedangkan untuk tokoh Islam di luar sistem kepartaian dari kubu Prabowo Hatta muncul nama-nama seperti Said Aqil Sirodj dan Arifin Ilham. Sedangkan di kubu Jokowi JK muncul nama-nama seperti Hazim Musyadi dan Syafi'i Ma'arif. Dari segi ini, kubu Prabowo Hatta tampak memiliki dukungan lebih banyak tokoh Islam, meskipun jika kita melihat secara keseluruhan dukungan tokoh masyarakat ke Prabowo Hatta lebih banyak daripada ke Jokowi JK.
Meski demikian, fakta tersebut menunjukkan bahwa kedua pasangan sama-sama tidak memiliki track record keberpihakan kepada politik Islam dan keduanya juga sama-sama didukung oleh tokoh Islam. Maka dari itu, adanya tuduhan berupa black campaign dan negatif campaign untuk menjatuhkan keduanya dalam bentuk isu agama menurut saya sangatlah tidak beralasan. terlebih jika tuduhan tersebut justru disuarakan oleh kalangan aktivis Islam. Ibarat kata ketika Tuhan berfirman untuk tidak makan babi, kita kemudian justru memakan babi untuk berbuka puasa.
Pada akhirnya kedua pasangan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Keduanya adalah putra terbaik bangsa. Kembali kepada kita untuk menentukan siapa yang akan kita pilih. Kita cukup memilih salah satu tanpa harus merendahkan pihak lain yang berbeda. Karena keduanya sama-sama baik.