Sabtu, 12 Juni 2010

kampusku yang semakin "merakyat"

Ini adalah sebuah kegalauan seorang mahasiswa yang melihat fenomena yang terjadi di kampusnya. Akhir-akhir ini muncul isu hangat tentang mulainya pemberlakuan tarif masuk UGM. Yang dimaksud tarif masuk disini bukanlah biaya kuliah, melainkan biaya yang harus dikeluarkan ketika kita mau masuk lingkungan kampus untuk kuliah.

Saya ingat sekali waktu pertama kalinya portal dipasang di depan fakultas kami. Kemudian waktu itu ada diskusi di lapangan rumput mengenai keberadaan portal tersebut. Saat itu rektorat berdalih pemasangan portal adalah untuk masalah keamanan. Selain itu rektorat berjanji bahwa mahasiswa tidak akan dikenai biaya masuk. Masalah karcis parkir pun akan segera digantikan dengan KIK untuk mengurangi pemborosan kertas.

Isuk dele, sore tempe. Ternyata proses fermentasi tidak hanya berlaku pada kedelai yang telah diberi ragi. Bahkan pikiran para cendekiawan pun turut menjamur meski tidak diberi ragi. Mungkin ini efek samping karena kita terlalu banyak makan tempe.

Pada bulan April 2010 pihak rektorat kembali melakukan sosialisasi. Kali ini tidak lagi mengangkat isu keamanan tetapi isu educopolis. Bahwa UGM haruslah ramah lingkungan alam (tetapi tidak ramah terhadap lingkungan sosial). KIK akan mulai diberlakukan pada tahun 2010 tanpa menyebut kepastian bulan dan tanggal. Ternyata seiring berjalannya waktu tujuan pun bisa berubah agar tidak ketinggalan zaman. Alangkah aneh.

Rektorat meminta masukan terhadap konsep mereka. Masukan pun diberikan, tetapi entah didengarkan atau tidak. Tiba-tiba saja bulan Mei kita dihebohkan dengan blangko KIK. Selain itu muncul informasi bahwa KIK akan diberlakukan pada bulan Juli. Muncul pertanyaan apakah nantinya seluruh mahasiswa sudah memiliki KIK pada tahun ajaran baru pada umumnya dan bulan Juli pada khususnya.

Lebih mengagetkan lagi ketika membaca Kompas (11/6/2010) dimana disebutkan bahwa mahasiswa baru angkatan 2010 ternyata tidak mendapat jatah KIK gratis dan mereka diharuskan membayar untuk masuk ke kampus mereka.

miris
Sebenarnya apa sih maunya para cendekiawan itu? Dahulu bilang masalah keamanan sekarang bilang educopolis. Dahulu bilang gratis sekarang bilang bayar.

Kalau zaman dahulu ada istilah bahwa semakin pintar seseorang maka semakin sulit kata-katanya dipahami, maka kini anda telah membuktikan kepintaran Bapak. Terbukti dari ketidakmampuan kami memahami kata-kata Bapak.

Jika memang tujuannya untuk mengusir orang-orang yang tidak berkepentingan dari lingkungan kampus UGM, saya rasa dengan keberadaan portal tanpa berbayar pun itu sudah cukup. Terbukti portal sendiri telah menjadi semacam tembok psikologis yang membuat banyak orang memutar balik kendaraannya di jalan humaniora karena adanya portal tersebut. Lalu buat apa harus meminta tarif berlebih?

Bahkan mahasiswa baru pun ikut kena getahnya. Mereka harus membayar ketika ingin kuliah di kampus mereka sendiri. Lalu apakah bisa disebut rumah kita jika kita masih harus membayar untuk tidur di kamar kita sendiri. Tampaknya mulai tahun 2010 ini UGM tidak lagi memiliki mahasiswa baru. Karena jikalau mereka memang mahasiswa UGM mengapa mereka harus membayar hanya untuk kuliah di kampus mereka sendiri?

Kalaupun ada tarif, maka saya bertanya tarif apakah itu. Jika itu memang retribusi, berarti tentu sebagian dana tersebut akan mengalir ke keuangan pemda. Namun tampaknya tidak. Berarti ini bukan retribusi.

Jika ini tarif yang dibayarkan atas suatu jasa, maka seharusnnya ada sebuah bentuk keuntungan yang diberikan kepada kita dari pemilik jasa. Misalnya saja segala bentuk kehilangan kendaraan bermotor di area kampus akan menjadi tanggung jawab pengelola. Jika memang demikian tentu luar biasa.

Asalkan saja ini bukan tarif yang sama yang dibayarkan ketika kita memasuki kompleks Pasar Kembang yang biasa disebut uang kebersihan yang tidak jelas rimbanya kemana. Jika memang demikian apa bedanya UGM yang konon katanya tempat para cendekiawan dengan kompleks Pasar Kembang yang konon katanya penuh dengan para pelacur dan freeman?

Kampus kerakyatan tidak hanya ditandai oleh warna jasnya yang konon katanya merakyat, tetapi juga dengan pikirannnya. Ketika salah seorang teman saya berkata bahwa Jogja itu Kota Parkir beberapa saat yang lalu, maka tampaknya UGM pun tidak mau ketinggalan untuk turut berpartisipasi dalam hal ini agar lebih merakyat. Maka pantaslah jika UGM menyandang gelar kampus kerakyatan.

0 comments: