Genap sudah 8windu bangsa ini dijajah oleh Indonesia. Andai saja pada pagi di bulan puasa tepat 64 tahun yang lalu itu para pendiri Indonesia tidak berbuat ulah dengan mengibarkan rajutan benang merah dan putih itu, tentunya tidak akan jadi begini nasib kita. Lihatlah Malaysia, lihatlah Singapura, mereka bukanlah orang-orang yang suka berulah dan kini negeri mereka aman dan makmur.
Jangan heran kepada kami. Bagi kami harga diri adalah bualan orang-orang tidak berpendidikan. Yang ada hanyalah realitas dan berpikir masuk akal. Tidak perlulah kalian berkata tentang harga diri itu. Yang penting kita untung, tidak peduli dengan yang lainnya.
Maka jangan heran pula jika kami suka menjual kekayaan kami kepada asing. Bukan menjual, itu hanya sekedar investasi. Toh dalam kitab pendidikan kami mengajarkan memang seperti itulah seharusnya. Tidak perlulah kita berpikir kekayaan itu dikuasai siapa, yang penting kita untung. Daripada dikuasai kita sendiri namun merugi? Maka lebih baik kami serahkan ke asing toh nantinya kami juga bakalan kecipratan nol koma sekian persen dari jutaan trilyun tersebut, toh itu tetap saja jumlah yang besar dan tidak sanggup kami habiskan hingga anak cucu kami. Maka jangan heran pula jika kami kini berpikir untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah perseroan terbatas, karena selama 64tahun ini tampaknya Negara ini terus merugi. Mungkin bila pihak asing yang menangani bisa saja Negara ini menjadi untung kembali.
Yang penting adalah kita mendapatkan keuntungan. Itulah yang diajarkan dalam sekolah-sekolah kami yang lebih banyak berbicara tentang tangan ajaib milik Adam Smith dibanding Koperasi Hatta. Karena dalam sekolah kami, Negara-negara di Barat jauh sana bak sebuah nabi dan sauri teladan yang baik. Sebisa mungkin tirulah mereka hingga bagaimana cara mereka buang air besar.
Maka jangan heran ketika sekolah-sekolah kami kini menggunakan bahasa asing yang bahkan tidak kami mengerti. Peduli anjing tentang pendidikan, yang kami tahu pendidikan dengan bahasa Inggris itulah yang baik. Bahkan ketika perut kami sakit karena kebanyakan makan, kami pun enggan menginjakkan kaki ke klinik dimana bahasa pribumi digunakan. Pokoknya harus bahasa asing yang terdengar dalam telinga kami meskipun kami juga tidak paham maksudnya. Jadi jangan heran jika sering terjadi mal praktek akibat adanya mis komunikasi diantara pasien dan dokter.
Bagi kami, sertifikasi internasional jauh lebih berharga daripada lebel halal. Karena kau tahu? Segala sesuatu yang baik itu datangnya dari luar, dari Barat jauh sana, bukan dari diri kita sendiri. Lihatlah apa yang melekat pada diri kami. Jika kau temukan sepatu yang awet dan tahan lama, maka itu pastilah berasal dari Amerika. Sedang jika sepatumu gampang rusak, maka pastilah itu produk lokal. Suami dan istri yang baik pun adalah yang dari luar, atau minimal mereka adalah blasteran yang bukan murni darah lokal. Seperti yang kau lihat di layar tivi kami dimana blasteran Barat jauh mendominasi apa yang kami kategorikan sebagai cantik.
Seburuk-buruk penjajah adalah Indonesia. Di saat awal Negara ini menjajah kami mereka dengan bodohnya justru bekerja sama dengan kaum Timur sosialis dan bermusuhan dengan Negara-negara Barat Jauh. Bahkan mereka menolak mentah-mentah investor dari Belanda yang berniat membangun bangsa ini di akhir tahun 2605. Tak bisakah kalian melihat bahwa apa yang kalian musuhi adalah mereka yang kaya dan memiliki segalanya?
Itulah kebodohan terbesar Indonesia. Andai saja kita terima Belanda dan sekutunya untuk berinvestasi di negeri ini, tentu saat ini kita sudah seperti mereka. Tetapi kalian sibuk berteriak dengan apa yang kalian sebut sebagai harga diri. Dan lihatlah ketika kini harga diri sudah tidak lagi ngetrend maka itu semua menjadi penyesalan tiada akhir.
Nasionalisme adalah sebuah bentuk chauvinisme lain yang diperlembut. Itu semua tidak lebih dari sebuah bentuk fanatisme kelompok. Kita sekarang hidup di zaman globalisasi, Bung! Nasionalisme kini tidaklah lebih dari penghalang kehidupan sejahtera. Maka kami heran ketika masih ada saja Negara yang melindungi warganya dengan subsidi, proteksi, bea cukai dan sebagainya yang menghalangi globalisasi.
Maka cukuplah bagi kami mengenal kata Indonesia dan Nasionalisme dua kali, yaitu saat pemilu dimana para pemegang saham Negara ini menjadi dekat dengan kami dan saat tanggal 17 bulan 8. Dan cukuplah orang-orang yang bau tanah itu yang mengenang apa yang mereka sebut sebagai kemerdekaan. Biarkan mereka bertirakat pada malam sebelumnya dan menangis terharu. Bagi kami tidak ada yang perlu direnungi karena tidak ada satu pun saudara kandung kami ataupun teman kami yang mati dalam pertempuran konyol mereka. Sedangkan anak-anak kami terpaksa mengikuti upacara sebagai formalitas saja. Ah biarlah, satu atau dua tahun lagi anak-anak kami pasti tidak perlu kepanasan di pagi hari libur itu.
Romantisme perjuangan dan kejayaan masa lalu yang diajarkan dalam sejarah bangsa kami adalah sesuatu yang harus kami lupakan seiring berjalannnya waktu, bukan sesuatu yang harus kami wujudkan kembali. Karena bagi kami itu semua hanyalah tinggal utopia yang hanya akan menghambat kami untuk berpikir realistiis. Jadi wajar jika kini Pancasila telah kami gantikan dengan konsensus Washington karena bagi kami Pancasila adalah produk masa lalu yang sudah ketinggalan zaman.
Cukuplah Pancasila berada dalam arsip sejarah nasional kami, tidak lebih. Bersama dengan lagu-lagu indah tentang Indonesia yang konon katanya dari Sabang sampai Merauke. Padahal tahukah kalian bahwa Indonesia tidak lain hanyalah sebuah bentuk penjajahan Jakarta terhadap daerah-daerah lain? Pemerintah menganggap Indonesia hanyalah Jakarta, sedang daerah lain tidak lebih dari sumber pemasukan tambahan dari apa yang dapat mereka hasilkan untuk Jakarta. Maka wajarlah ketika Jakarta sibuk berburu blackberry maka kami yang berada di Timur sana menderita beri-beri karena buruknya apa yang kami makan.
Marilah kawan, sekarang sudah bukan zamannya lagi berbicara yang namanya harga diri. Salah kita sendirilah bila barang kita hilang dicuri orang. Itulah salah satu cara berpikir kami. Segala sesuatu yang baik itu datangnya dari luar. Maka kita orang-orang bodoh ini sebaiknya menurut saja lah pada Barat jauh sana. Raga kami pribumi namun pikiran kami adalah Barat jauh. Bukan dicuci otak oleh mereka, tetapi oleh industri pendidikan kalian sendiri. Enam puluh empat tahun Negara ini dijajah oleh Indonesia, dan kami yakin tidak lama lagi kami akan merdeka dari Indonesia melihat sejauh ini kami telah berhasil.
*) terinspirasi oleh 107 Tahun Bung Hatta ; Begini Inilah Kami, Bung! oleh ES ITO
0 comments:
Posting Komentar