Sabtu, 03 Oktober 2009

Militer di mata saya

Bermula ketika semester satu saya mengambil mata kuliah kewarganegaraan dimana saya mendapat tugas dengan tema civil society. Dari situlah saya mengenal adanya yang disebut sebagai masyarakat sipil dan masyarakat militer. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa perlu adanya pemisahan antara masyarakat sipil dan militer.

Militer, manusia yang berbeda


Siapa yang tidak mengenal istilah-istilah koleris, sanguinis, melankolis, dan pregmatis? Sudah ribuan buku psikologi popular yang menjajakan tes-tes mainan tersebut kepada masyarakat awam. Namun tahukah anda bahwa tipe tes psikologi ini juga pernah menjadi andalan di militer pada saat perang dunia?

Ada sebuah sejarah yang menarik dimana pada saat perang dunia Negara-negara Eropa menggunakan tes ini sebagai seleksi tentara mereka. Dan mungkin anda sekalian juga bisa menebak bahwa tentu saja orang dengan tipe koleris lah yang mereka cari untuk dijadikan tentara.

Koleris aalah tipe manusia dimana secara gampangnya mereka disebut sebagai orang-orang yang gampag marah. Tentunya kita tahu bahwa tidak mungkin menggunakan orang-orang sanguinis, melankolis, dan pregmatis di dalam perang karena mereka dorongan dari dalam diri mereka untuk balas menyerang ketika mereka diserang tidak akan sebesar orang-orang tipe koleris. Kita tidak membutuhkan kegembiraan dalam berperang, kita juga tidak punya waktu untuk meratapi peperangan. Dan tentunya kita tidak bisa hanya bersabar ketika musuh menodongkan senjata kepada kita.

Oleh karena itulah ada sebuah tempat yang disebut sebagai barak militer yang salah satu fungsinya adalah menjauhkan mereka dari masyarakat sipil agar tidak terjadi konflik. Bahkan beberapa Negara seperti Amerika Serikat misalnya mereka terus menerus menciptakan perang dan tentunya salah satu tujuan lainnya adalah menyalurkan hasrat masyarakat militer agar nantinya hasrat tersebut tidak disalurkan ke negeri mereka sendiri.

Dalam masyarakat militer, perasaan marah dan kekerasan disalurkan dalam bentuk yang tepat sehingga menguntungkan mereka.

Kita sebagai warga sipil, pernahkah terpikir bahwa ada makhluk lain yang menyerupai kita dari segi jasmani. Mereka juga makhluk hidup dominan seperti kita. Akan tetapi mereka memiliki struktur kehidupan dan masyarakat yang berbeda?

Sekarang bayangkan sebuah masyarakat dimana penuh dengan orang-orang yang cenderung lebih mudah marah dan lebih dekat dengan kekerasan. Dalam masyarakat militer hal itu justru dipupuk dan diolah dengan baik. Sedangkan dalam masyarakat kita itu semua adalah hal yang tabu. Maka adalah sebuah tindakan yang bodoh ketika kita mempermasalahkan kekerasan yang terjadi di militer.

Jika kita sebagai masyarakat sipil digerakkan oleh opini masyarakat maka mereka digerakkan oleh perintah dari orang di atas mereka. Mereka tidak mengenal demokrasi seperti halnya kita memuja-mujanya, karena demokrasi hanya akan menghancurkan keteraturan dalam masyarakat mereka. Mereka tidak mengenal HAM seperti kita mengagung-agungkannya. Karena bagi mereka HAM hanyalah mainan orang-orang cengeng.

Pikiran mereka dipenuhi hanya dengan satu versi kebenaran saja: melakukan apa saja demi tanah air. Dan memang sejak kecil mereka dididik unntuk cinta kepada tanah air mereka melebihi apapun. Yang mereka tahu hanyalah menjalankan perintah sebaik-baiknya demi tanah air mereka.

Masyarakat mereka sungguh berbeda dengan kita. Sehingga menurut saya adalah konyol memaksakan pemikiran-pemikiran kita kepada mereka. Adalah bodoh memaksakan demokrasi ke dalam sistem komando. Dan bagaimana kita bisa membentuk militer yang tangguh jika sedikit-sedikit mereka berbicara tentang HAM?

Jangan berpikir itu semua tidak manusiawi dan kita mengasihani mereka. Justru merekalah yang kasihan kepada kita. Yang perlu kita lakukan adalah menghargai mereka dan memperlakukan mereka sebagaimana seharusnya.

Militer di Indonesia


Di Indonesia sendiri, terjadi perubahan yang cukup besar dalam struktur masyarakat sipil dan militer beberapa tahun terakhir ini. Dimulai dari orde baru dimana pemerintah bertumpu kepada militer. Namun pasca tumbangnya orde baru muncul sebuah phobia masyarakat sipil terhadap masyarakat militer.

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, persenjataan yang selama ini hanya dikuasai oleh masyarakat militer yang diwadahi dalam ABRI (pasca reformasimasi menjadi TNI-Polri), kini masyarakat sipil pun diberi persenjataan dengan adanya pemisahan Polri dari masyarakat militer menjadi masyarakat sipil. Sehingga kini bisa dibilang persenjataan tidak hanya dimonopoli oleh masyarakat militer namun masyarakat sipil juga berhak.

Bukan hanya itu, phobia anti orde baru dan juga ani militer tidak hanya merubah struktur persenjataan. Jika anda cermati maka militer kian lama kian dikebiri dari berbagai sektor. Pemerintah juga mulai beralih kepada polisi (masyarakat sipil) dibanding kepada TNI (masyarakat militer) karena polisi dianggap lebih ramah lingkungan.

Salah satu indikasinya adalah kasus pengeboman. Untuk mengatasi kasus ini pemerintah sampai perlu repot-repot membentuk detasemen khusus dibawah POLRI padahal dalam struktur TNI sendiri sudah ada detasemen tersendiri untuk mengatasi apa yang sekarang biasa disebut terorisme. Dan sepak terjang detasemen anti teror milik TNI tersebut juga sudah teruji di mata Internasional. Bahkan telah berhasil menduduki peringkat kedua di dunia setelah Jerman. Namun pemerintah lebih suka meanfaatkan Polisi (sipil) dan membentuk detasemen baru karena dianggap lebih ramah lingkungan.

Dan keberalihan pemerintah dari masyarakat militer ke sipil itu juga berpengaruh kepada kesejahteraan masyarakat militer kita yang kian lama kian menurun. Salah satu yang bisa kita cermati adalah jatuhnya pesawat-pesawat militer beberapa tahun terakhir ini.

Selain itu, dosen saya pernah bercerita tentang sebuah penilitian yang menarik tentang kesejahteraan TNI dan Polri. Penelitian dilakukan dengan mendata sampah-sampah dari kedua sampel masyarakat tersebut. Dan hasilnya tentu tidak mengherankan ketika ditemukan bahwa masyarakat Polri (sipil) jauh lebih sejahtera dibandingkan dengan TNI (militer). Ini menunjukkan keberkurangan perhatian pemerintah kepada masyarakat militer dan beralih kepada masyarakat sipil.

Penutup


Apa yang saya tuliskan bukanlah sesuatu yang bermaaksud menjelek-jelekkan atau membeda-bedakan antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Yang saya harapkan adalah bahwa kita menyadari adanya perbedaan antara sipil dan militer. Perbedaan tersebut hendaknya disikapi secara bijaksana. Tidak perlu ada phobia dari masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Apalagi perlakuan diskriminasi satu dengan lainnya.

Hal lai yang menjadi keprihatinan saya adalah adanya kecenderungan untuk terus mengebiri kesejahteraan masyarakat militer di Indonesia. Bagaimanapun juga mereka tetaplah manusia dan bagian dari NKRI dan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengurusinya. Bagi saya, mereka adalah para patriot sejati dibanding kita masyarakat sipil. Dan semoga seiring bertambah majunya kesejahteraan masyarakat sipil maka masyarakat militer kita kembali Berjaya menjadi macan Asia, atau bahkan macan dunia. NKRI Jayamahe!

0 comments: