Selasa, 13 April 2010

gender dan pergeseran budaya

Gender sebagai sebuah peran sosial, tentunya tidak lepas dari konteks budaya dimana masyarakat itu hidup. Di Indonesia sendiri khususnya di Jawa, terdapat perbedaan tugas dan tuntutan terhadap laki-laki dan perempuan.

Dalam pembentukan karakter dimana laki-laki dituntut untuk superior dan bisa mengatasi semua permasalahan yang ada. Sangat tabu bagi laki-laki untuk mengeluh atau menangis (meski dalam kebudayaan Jawa sendiri mengeluh adalah suatu hal yang mendekati tabu bagi laki-laki maupun perempuan). Laki-laki boleh bertindak keras unntuk menunjukkan superioritasnya, namun disisi lain laki-laki juga dituntut untuk selalu memperlakukan wanita (dan juga orang tua/tokoh masyarakat) dengan lemah lembut. Laki-laki hanya boleh menunjukkan superioritasnya di kalangan laki-laki itu sendiri. Laki-laki sendiri memiliki tuntutan untuk bisa bertindak memuliakan perempuan.

Hal ini menunjukkan bahwa wanita memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi daripada laki-laki dalam hal tertentu. Dimana perbuatan kasar atau tidak berlaku lemah lembut terhadap wanita merupakan sebuah tindakan yang dianggap tidak terpuji oleh masyarakat sama halnya dengan orang tua atau tokoh masyarakat.

Sedangkan wanita dituntut untuk lemah lembut kepada siapa saja. Wanita dididik untuk menjadi individu yang penurut berbeda dengan laki-laki yang diperbolehkan untuk membangkang dalam kondisi-kondisi tertentu. Wanita memiliki tuntutan yang lebih dalam hal tertentu (terutama sopan santun dan adat istiadat) dibanding laki-laki dimana perempuan sebisa mungkin harus dapat memikat laki-laki dan menyenangkan laki-laki.

Setiap tuntutan psikologis yang diterima oleh laki-laki tersebut menimbulkan konsekuensi tersendiri dimana antara laki-laki dan perempuan nantinya akan saling ketergantungan satu dengan lainnya.
Dalam pembagian tugas, perempuan memiliki peran untuk mengelola nafkah (domestik) dan keluarga sedangkan laki-laki menempati peran mencari nafkah (publik). Dimana dalam keluarga, laki-laki fokus untuk mencari makan bagi keluarga dan perempuan bertugas untuk mengolah makanan dan mengasuh anak.

Pembagian ini bukan sebagai sebuah bentuk diskriminasi tapi semata-mata hanya sebatas pembagian tugas saja. Pembagian peran ini sendiri baru muncul setelah anak tumbuh agak dewasa. Pada masa anak-anak laki-laki maupun perempuan memiliki peran yang hampir sama. Dimana pada intinya anak-anak yang lebih kecil (baik laki-laki maupun perempuan) biasa membantu ibunya untuk mengurusi tugas domestik misalnya membantu memasak, mencuci, mengasuh adik, dsb. Sedangkan untuk anak yang sudah agak dewasa disini mulai tampak ada pembagian tugas tersendiri dimana perempuan lebih ke domestik dan laki-laki menuju sektor publik dengan membantu ayahnya bekerja.

Namun pembagian peran ini sendiri tidak bersifat mutlak. Dalam kasus-kasus tertentu anak laki-laki yang sudah agak dewasa tetap mengambil peran domestik dalam keluarga membantu ibunya. Atau bahkan dalam situasi tertentu anak tersebut mengambil kedua peran sekaligus.

Dalam kasus panen dan tandur misalnya dimana perempuan juga dilibatkan dalam sektor publik untuk membantu laki-laki dalam menanam dan memanen padi. Namun dalam proses secara keseluruhan tetap saja laki-laki yang harus bertanggung jawab.

Dari hal ini dapat kita lihat bahwa sebenarnya pembagian peran bersifat tidak mutlak tergantung pada kemampuan masing-masing individu dalam keluarga. Namun tetap ada tuntutan sosial dimana perempuan lebih harus bertanggung jawab dalam urusan domestik kerumahtanggaan dan laki-laki harus lebih bertanggung jawab dalam hal publik mencari nafkah.

Meskipun demikian laki-laki mendapat tuntutan tambahan yaitu sebagai kepala rumah tangga bagaimana bisa mengatur organisasi yang ada dalam rumah tangga tersebut. Konsekuensinya adalah segala ketidakberesan dalam hal rumah tangga maka yang akan mendapat hukuman dari masyarakat adalah kepala rumah tangga (laki-laki) dan laki-laki juga memiliki hak untuk menghukum anak dan istrinya. Ibarat sebuah perusahaan yang gagal maka yang akan menerima dampak dan kerugian terbesar adalah manajernya. Namun disisi lain manajer juga berhak memberi hukuman kepada pegawainya karena tidak melaksanakan perintahnya sehingga perusahaan tersebut gagal.

Hal ini sering disalah artikan bahwa laki-laki semena-mena namun jika dicermati lebih dalam sebenarnya baik laki-laki maupun perempuan sama saja akan mendapat hukuman dan laki-laki justru yang dipersalahkan paling utama dalam masyarakat.

Pembagian peran dimana laki-laki mencari nafkah dan perempuan mengelola nafkah yang ada tersebut pada akhirnya menimbulkan suatu situasi yang makin rumit. Dimana segala fasilitas yang berkaitan untuk mencari nafkah diutamakan untuk laki-laki dan segala fasilitas yang kaitannya mengelola nafkah diutamakan untuk perempuan.

Salah satu kasus yang dianggap sebagai perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh kesetaraan gender adalah kasus dari Kartini yang hingga kini menginspirasi pergerakan kaum perempuan di Indonesia. Poin utama dalam kasus ini adalah dimana Kartini sebagai seorang perempuan juga menuntut untuk sama-sama dapat memperoleh pendidikan seperti halnya kaum laki-laki.

Mengapa hal ini menjadi masalah? Karena pendidikan diasosiasikan sebagai sebuah sarana untuk memperoleh nafkah. Pada masa itu pendidikan adalah suatu hal yang sifatnya sangat terbatas. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, segala hal yang berkaitan dengan sektor publik diutamakan kepada laki-laki karena laki-laki memiliki tuntutan untuk memberi nafkah keluarganya sehingga urgensi dari perempuan untuk memperoleh pendidikan dirasa kurang. Lalu terjadilah diskriminasi dalam hal pendidikan antara laki-laki dan perempuan.

Diskriminasi ini nantinya juga merembet ke hal-hal lain. Dalam sektor industry misalnya dimana seringkali laki-laki lebih diutamakan untuk memperoleh kenaikan jabatan atau karir yang lebih cemerlang. Selain itu seringkali laki-laki diberi upah lebih tinggi daripada wanita.

Hal ini semata-mata merupakan bentuk kompleks dimana sektor publik lebih diutamakan unntuk laki-laki karena mereka memiliki tuntutan tersendiri dalam hal ini. Sedangkan perempuan yang bekerja dianggap hanya sebagai tenaga sekunder yang sifatnya membantu dalam perekonomian keluarganya.

Akan tetapi di masa sekarang ini dimana pendidikan sudah bukan lagi merupakan sesuatu yang sifatnya terbatas, diskriminasi gender semacam itu dianggap sebagai suatu hal yang keterlaluan. Dari hal inilah kemudian berangkat pemikiran mengapa laki-laki harus memerankan peran semacam itu dan perempuan harus memerankan peran semacam ini.

Pemikiran-pemikiran semacam inilah yang memulai akar permasalahan gender. Sektor publik yang dianggap sebagai kunci utama kehidupan dianggap telah dimonopoli oleh laki-laki. Perempuan mulai menuntut agar bisa memasuki sektor publik dan diperlakukan sama dengan laki-laki.

Hal ini bukan karena tuntutan budaya semata, akan tetapi juga karena tuntutan ekonomi dimana laki-laki gagal memenuhi kewajibannya untuk menafkahi keluarga seutuhnya sehingga perempuan harus ikut membantu.

Permasalahannya adalah fokus perhatian kita yang ada hanya pada masalah sektor publik dan melupakan sektor domestik. Masuknya perempuan ke dalam sektor publik tidak diimbagi dengan masuknya laki-laki dalam sektor domestik sehingga yang terjadi adalah sektor domestik menjadi terbengkalai.

Menurut tradisi yang ada, sektor domestik menjadi tanggung jawab utama perempuan. Namun disisi lain menjadi sebuah ironi tersendiri karena penyebab terbengkalainya sektor publik akibat laki-laki tidak dapat menjalankan perannya secara maksimal.

Oleh karena itu perlunya redefinisi kembali tentang peran gender dalam masyarakat modern. Mengingat peran gender yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa tradisional dimana sektor domestik siurusi sepenuhnya oleh perempuan dan sektor publik sepenuhnya menjadi tanggung jawab laki-laki sudah tidak dapat lagi diterapkan secara sepenuhnya sehingga menimbulkan sebuah permasalahan baru.

*) ditulis sebagai tugas prasyarat UTS mata kuliah Psikologi Gender dengan mengubah judul

0 comments: