Sabtu, 17 April 2010

jurnalisme anti penguasa

Hehe..entah kenapa saya sedang senang mengkritik para jurnalis akhir-akhir ini. Setelah sebelumnya menulis the journalist can do no wrong? yang berisi tentang kekhawatiran jurnalisme yang semakin menjadi dewa tak bermoral, kini saya ingin melanjutkan kekhawatiran yang saya rasakan terhadap dunia jurnalisme di Indonesia.

Akhir-akhir ini layar televisi, komputer (yang nyambung internet), radio (gak ada layarnya tapi ada suaranya), surat kabar, dan media massa lain sibuk memberitakan bentrok berdarah yang terjadi di Koja. Saya akan membahas bentrokan ini dari sudut pandang psikologi lain waktu, namun saat ini ada sebuah cuplikan gambar yang menarik bagi saya. Yaitu cuplikan adegan satpol PP menghajar warga yang diputar di televisi berulang-ulang dengan sangat jelas.

Bukan masalah siapa yang salah, yang menarik juga adalah adanya cuplikan adegan massa yang kalap menghajar satpol PP yang tidak berdaya hingga sekarat. Namun anehnya, cuplikan adegan tersebut sengaja diburamkan.

Ada semacam kejanggalan disini. Jika memang adegan menghakimi satpol PP diburamkan karena adegan kekerasan yang takutnya nanti ditiru oleh anak-anak, tetapi mengapa adegan satpol PP memukuli warga ditampilkan dengan gamblang?

Jika kita melihat data di lapangan, ternyata sebagian korban terluka dan meninggal justru dari pihak satpol PP itu sendiri. Itu berarti ada lebih banyak adegan massa menghajar satpol PP dibanding adegan satpol PP menghajar warga. Namun mengapa yang selalu ditampilkan dan digembor-gemborkan adalah adegan satpol PP menghajar warga? Apakah karena mereka bagian dari pemerintah dan karena mereka aparat?

Media massa memang merupakan media propaganda dan kita tahu itu. Namun sebenarnya apa yang mereka propagandakan itu yang menjadi sebuah pertanyaan tersendiri.

Jika kita cermati lagi, entah mengapa media massa sangat sekali tertarik dengan isu pemerintahan, terutama isu negatifnya. Seringkali kita melihat headline berita dipenuhi dengan isu-isu negatif tentang pemerintah. Bahkan dalam berita bencana alam pun tak luput menyertakan kekurangan pemerintah.

Entah sekecil apapun itu, saya melihat kecenderungan ini memang ada. Saya sendiri mencoba berpikir mencari jawaban atas hal ini. Dalam tulisan ini saya akan bercerita tentang dua sekenario gila tentang apa yang terjadi di dunia jurnalisme saat ini yaitu jurnalisme balas dendam dan jurnalisme bayaran.

Jurnalisme Balas Dendam
Kita semua tahu bahwa pada zaman orde baru, dunia jurnalisme cukup terkekang. Salah tulis sedikit bisa-bisa kita pergi tak kembali. Media massa dikuasai pemerintah secara berlebihan. Pendapat dikekang dengan sangat kuat bahkan untuk sekedar meludah pun harus tengok kiri-kanan.

Kondisi sebaliknya terjadi ketika 1998 pasca lengsernya orde baru. Euforia Demokrasi terasa sampai kesendi-sendinya. Saatnya kini jurnalis bebas berbicara tentang apa yang selama ini mereka takut untuk dibicarakan.

Sesuai teori bandul, maka ketika suatu keadaan beralih dari ekstrim kiri maka akan berlaih menuju ekstrim kanan ibarat bandul yang diayunkan. Bagitu pula dengan jurnalisme.

Ketika sebelumnya berbicara tentang pemerintah saja dianggap sebagai sebuah hal yang tabu, maka ketika bandul dilepaskan yang terjadi adalah masa dimana jurnalis bebas mencaci maki pemerintahan.

Dan kita bisa melihat hal itu memang benar adanya pada era reformasi 1998. Hal ini tidak terjadi hanya pada dunia jurnalisme, tetapi terjadi hampir semua sektor beralih menjadi golongan anti kekuasaan.

Jika sebelumnya menyanjung pun takut salah kini mencaci maki menjadi hal yang biasa. Yang sebelumnya patuh pada aturan kini beralih menjadi tidak mau terikat peraturan. Dan sebagainya.

Yang menakutkan adalah jka semangat ini mengakar dan tertanam dengan erat di dunia jurnalisme Indonesia. Yang terjadi adalah pemberitaan dan propaganda yang tidak sehat. Propaganda tidak sehat ini tentunnya juga akan berpengaruh pada masyarakat dan menular ke berbagi sektor lain.

Jadi ada kemungkinan pola propaganda jurnalisme saat ini merupakan benntuk balas dendam atas kesewenang-wenangan penguasa pada era sebelumnya yang mengakar dan menjadi budaya hingga saat ini. Propaganda yang ada ditujukan memunculkan sentimen anti-penguasa sebagai sebuah bentuk balas dendam dari era sebelumnya.

Jurnalisme Bayaran
Prinsip utama dari ekonomi adalah keuntungan. Di Indonesia istilah kerja identik dengan uang. Inilah yang menjadi poin utama dari semua ini.

Jurnalisme dan media massa merupakan salah satu sektor pekerjaan yang ada di Indonesia. Itu juga mengapa jurnalisme dan media massa tidak bisa terlepas dari uang. Meskipun saya lebih suka ide tentang jurnalisme balas dendam yang seolah-olah penuh propaganda terselubung, tetapi tampaknya skenario ini yang lebih masuk akal.

Apa yang terjadi di dunia jurnalisme saat ini tidak lepas dari pengaruh uang. Apa yang menjadi berita bukan karena masalah propaganda ke arah mana, tetapi hanya semata-mata untuk meraih keuntungan.

Seorang teman saya yang berkecimpung di dunia jurnalistik mahasiswa pernah berkata bahwa dunia jurnalisme saat ini kehilangan idealisme dan hanya semata-mata dipandang dan digunakan sebagai sarana memperoleh keuntungan.

Jadi jikalau selama ini media massa dan dunia jurnalisme seolah-olah selalu memojokkan pemerintah sebenarnya itu hanyalah upaya untuk menjual isu yang hangat dengan menyirami minyak tanah ke api unggun. Dan boleh dibilang masyarakat saat ini memang sedang hobi mengkritik dan menjelek-jelekkan pemerintah jadi itu yang dijual.

Jika masyarakat memukuli satpol PP tentu itu akan dilihat sebelah mata, namun jika satpol PP memukuli masyarakat apalagi masih anak-anak tentu itu akan lebih menarik dan menjual. Itulah analogi yang terjadi.

Penutup
Apa yang saya tulis disini hanyalah dua buah buah skenario ngawur yang mengkritisi dunia jurnalisme di Indonesia saat ini. Saya tidak akan berkata bahwa inilah yang sesungguhnya terjadi, tetapi inilah pendapat saya. Anda boleh percaya atau tidak.

Media massa merupakan salah satu alat yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan masyarakat dan merubah peradaban saat ini. Mengutip kata-kata dalam film Spiderman, "great power, great responsibility." Kekuasaan yang besar menuntut tanggung jawab yang besar. Saya sungguh berharap bahwa media massa dapat mendidik masyarakat kita menjadi lebih baik.

0 comments: