Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Masihkah ada orang beragama? Kita sebagai masyarakat Indonesia pasti secara mudah akan menjawab masih. Meskipun tentu saja ketika diharuskan menjelaskan tentang apa itu agama akan mengalami kesulitan. Tetapi apakah hal ini juga berlaku di semua negara di dunia?
Seorang teman sepulangnya pergi dari Australia untuk sebuah konferensi keagaamaan mengatakan bahwa salah jika beranggapan orang-orang eropa, australia, dan AS adalah orang-orang kristen karena mereka sebenarnya atheis. Dewasa ini di barat pertanyaan semisal “apa agamamu?” adalah sebuah pertanyaan menggelikan yang dianggap bodoh di Barat (Prama, 2007).
Agama dianggap sebagai sebuah mitos masa lalu yang tidak sesuai dengan budaya saat ini yang cenderung ke arah materialisme. Dimana segala sesuatu harus ditakar secara objektif, logis dan nyata. Sehingga hal-hal yang sifatnya subjektif dan abstrak akan ditolak kebenarannya. Intelektualitas dipandang sebagai sesuatu yang ut
Hal ini tentu memiliki dampak yang besar dalam dunia psikologi. Psikologi yang penuh berisi hal-hal abstrak berusaha dikongkritkan. Subjektivitas dihapuskan dan digantikan objektivitas. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana mendeskripsikan sesuatu yang abstrak menjadi kongkrit?
Akibatnya adalah banyak dimensi-dimensi yang hilang atau luput dalam pembahasan psikologi. Aspek religiusitas misalnya, psikologi terkadang justru meremehkannya padahal agama sangat memiliki pengaruh yang besar dalam coping (Pargament, 1997).
Tidak haya berkaitan dengan agama, aspek-aspek lain yang sifatnya abstrak dan sulit untuk dikongkritkan secara perlahan tapi pasti cenderung dihindari dan diabaikan. Perkembangan Psikologi dewasa ini cenderung lebih tertarik kepada hal-hal yang sifatnya nyata dan dapat terukur secara pasti. Sehingga banyak sekali aspek-aspek yang sebenarnya penting namun terlewatkan.
Gawatnya, hampir seluruh ilmu kita bersumber dari Psikologi Barat yang telah kehilangan aspek-aspek tersebut. Misalnya saja aspek rasa (Mawardi, 2010). Padahal dalam kebudayaan Jawa misalnya, rasa adalah sebuah dimensi yang sangat dominan berpengaruh dalam kebudayaan dan individu masyarakatnya.
Deskripsi Gejala
Di Indonesia, gejala-gejala tersebut sudah mulai nampak. Mulai dari pergeseran nilai dan budaya yang berdampak pada perubahan-perubahan perilaku di masyarakat. Masyarakat saat ini yang lebih mengutamakan kebenaran intelektual dibandingkan perasaan-perasaan.
Kritik yang disampaikan secara berlebihan. Tindakan-tindakan yang dianggap di luar batas nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati. Asertivitas yang tidak mengenal sopan santun. Objektivitas berlebihan yang mengarah kepada materialisme. Dimana segala sesuatu diukur dari sebuah bentuk nyata tanpa mempedulikan bentuk-bentuk abstrak.
Korupsi, mencuri, dan sebagainya merupakan contoh perilaku orang-orang yang kehilangan rasa dan batin mereka. Mereka mencari materi dan cenderung mengabaikan konsep-konsep abstrak semisal norma, aturan, nilai, dan sebagainya.
Contoh nyata lain misalnya kasus RUUK DIY dimana sebagian orang lebih mementingkan kemajuan ekonomi yang nyata dibandingkan aspek-aspek ketentraman dan kedamaian. Mereka yang memilih penetapan berasumsi bahwa dengan dipimpin seorang Sultan maka DIY akan lebih aman dan tentram. Sebaliknya, mereka yang berbeda pendapat mengingkan agar DIY dipimpin oleh orang yang cakap dan mampu membawa kemajuan.
Dampak sistematis berikutnya adalah agama yang mulai ditinggalkan karena tidak bisa memberikan hasil-hasil berupa materi yang nyata. Orang tidak lagi memperdulikan bentuk-bentuk rasa dan batin semisal kedamaian, ketentraman, dan sebagainya.
Pertanyaan Penelitian
Dari gambaran tersebut penulis mencoba menjawab pertanyaan mengapa dimensi-dimensi abstrak tersebut (misalnya batin dan rasa) terkadang diabaikan oleh ilmu Psikologi dewasa ini. Mengapa ilmpu Psikologi lebih tertarik kepada dimensi-dimensi yang sifatnya lebih kongkrit dan mudah untuk dideteksi dibanding dimensi-dimensi abstrak yang sebenarnya juga berpengaruh dalam perilaku manusia.
Analisis Gejala
Sebenarnya mengapa ada sebuah kecenderungan untuk memisahkan antara dunia ilmu pengetahuan yang logis empirik dengan hal-hal yang sifatnya batin seperti agama dan semacamnya? Kemungkinan hal ini disebabkan oleh trauma sejarah.
Sejarah Eropa mencatat beberapa kali terjadi konflik antara dunia pengetahuan dengan agama, dalam hal ini adalah Gereja. Eropa pernah mengalami masa kegelapan (Dark Age) di bawah kepemimpinan gereja pada masa itu. Bahkan periode-periode setelahnya sebelum munculnya renaissance banyak sekali pembatasan-pembatasan terhadap ilmu pengetahuan oleh Gereja. Apa yang terjadi pada Galileo Galilei merupakan sebuah contoh nyata dimana seringkali para ilmuwan tidak dapat mengembangkan pengetahuannya karena batasan-batasan dari Gereja.
Yang terjadi berikutnya adalah seperti dalam teori bandul dimana suatu keadaan ekstrim akan beralih ke titik ekstrim yang berlawanan. Ketika sebelumnya agama (dalam hal ini Gereja) berpengaruh kuat dan memiliki otoritas yang sangat tinggi, apa yang berikutnya terjadi justru agama mulai dihindari dan dianggap sebagai sesuatu yang kurang pantas. Sama halnya ketika pada masa Orde Baru kita mengagung-agungkan otoritas dan kekuasaan, kini di masa reformasi kita justru mencaci-makinya.
Rangkaian peristiwa tersebut menciptakan sentimen tidak percaya terhadap hal-hal yang berbau agama dan mengagung-agungkan rasionalitas. Akibatnya muncul budaya logis-empirik yang kita kenal saat ini.
Terlebih lagi dalam perkembangannya aliran positivisme yang diusung Auguste Comte (1798-1857) menjadi primadona dalam perkembangan ilmu pengetahuan berikutnya. Hal ini juga diikuti oleh ilmu Psikologi.
Psikologi yang pada dasarnya mempelajari hal-hal yang sifatnya abstrak dipaksa untuk dileburkan dengan paham positivisme dimana segala sesuatu harus bisa diterima dan dirasakan oleh inderawi kita serta anti terhadap hal-hal yang sifatnya metafisika.
Padahal psikologi banyak mengandung hal-hal abstrak yang sulit diterima oleh inderawi kita. Rasa misalnya, tidak dapat diterima oleh organ inderawi kita. Hal ini justru mengebiri ilmu psikologi itu sendiri menjadi terbatas pada hal-hal yang bisa diterima oleh inderawi kita.
Terlebih lagi dewasa ini perkembangan ilmu Psikologi berpusat pada Amerika Serikat yang merupakan pengembangan dari Willhelm Wundt (1832–1920) yang menggunakan pendekatan positivisme. Semua ini menyebabkan perkembangan Psikologi berikutnya lebih berfokus pada hal-hal yang sifatnya dapat dirasakan oleh organ inderawi kita.
Jadi wajar jika teori Psikologi dewasa ini cenderung mengabaikan konsep batin dan rasa. Menurut pendekatan behavioris misalnya. Pendekatan ini berfokus pada aturan bahwa lingkungan luar akan berpengaruh terhadap perilaku kita (Passer & Smith, 2007). Pendekatan ini lebih menekankan bahwa suatu stimulus akan direspon dengan cara tertentu oleh individu. Dari semua aliran psikologi, behavioris-lah yang paling kongkrit.
Meskipun dalam pendekatan ini dikenal pula istilah black box dimana dalam memproses suatu stimulus indvidu memiliki caranya tersendiri. Namun black box sendiri kurang begitu diperhatikan atau dibahas dalam perkembangannya karena sangat sulit untuk dikongkritkan.
Dalam konsep psikoanalisis dikenal istilah-istilah ketidak sadaran. Menurut Freud, pikiran manusia dibagi menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama disebut conscious yang berisi tentang ide, nilai dan pengetahuan yang sedang kita sadari. Preconscious yang berada di luar kesadaran dan namun dapat dengan mudah dipanggil kembali. Unconscious yang tidak dapat disadari dalam keadaan normal (Passer & Smith, 2007).
Namun dalam konsep ini juga kebatinan dan rasa tidak memperoleh porsi tersendiri. Segala tindakan merupakan dorongan alam bawah sadar (id) yang kemudian dibatasi oleh lingkungan (superego). Batasan-batasan dalam diri merupakan sebuah bentuk tekanan-tekanan yang sifatnya terpaksa yang kemudian menjadi sebuah bentuk defense mechanism (Hall & Lindzey, 1993).
Kekurangan ini bisa dijelaskan mengunakan teori Kepribadian Jen dari Francis L.K. Hsu (Fudyartanto, 2003). Menurut Hsu, manusia membutuhkan daerah isi jiwa tambahan. Dalam teorinya daerah ini digambarkan dalam lingkaran lima yaitu lingkaran lapisan kesadaran jiwa yang tidak dinyatakan. Isinya berisi pikiran-pikiran atau gagasan yang disadari namun tidak disampaikan.
Gagasan-gagasan ini tidak disampaikan karena berbagai alasan. Misalnya saja di Jawa kita mengenal istiah pakewuh atau sungkan dalam bahasa Indonesia. Bisa juga karena gagasan tersebut jika disampaikan akan menyebabkan suatu hal yang buruk. Disampaikan atau tidak suatu gagasan dipengaruhi oleh rasa. Berbebeda dengan konsep-konsep Barat yang seolah-olah semua gagasan harus disampaikan tanpa memperdulikan rasa.
Lingkaran ke lima inilah yang digambarkan sebagai konsep batin dalam kebudayaan Jawa. Batin berarti di dalam manusia itu sendiri (Subagya, 1976). Lingkaran kelima ini juga menunjukkan ciri tersendiri dimana Psikologi Timur lebih dapat mengapresiasi hal-hal yang sifatnya abstrak (misal batin) dalam teorinya.
Batin adalah sebuah keadaan sadar namun tidak dinyatakan. Bagian ini kurang mendapat bahasan dalam teori-teori Barat karena masyarakat Eropa yang cenderung asertif dimana biasa mengungkapkan segala sesuatu yang ada. Berbeda dengan masyarakat kita yang terkadang menyimpan sesuatu atau disebut dibatin (b.Jawa).
Batin ini terkadang dianggap sebagai sesuatu yang kurang rasional dan tidak logis, namun hal ini ternyata memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat terutama di daerah Asia. Batin ini memiliki kaitan erat dengan rasa.
Rasa sendiri sangat susah untuk diwujudkan dalam sesuatu yang kongrit. Misalnya saja rasa tentram, damai, dan sebagainya. Hal itu ada namun sulit untuk diwujudkan dan dijelaskan. Terlebih lagi jika kita menggunakan patokan lima indera utama dalam tubuh kita, hal itu tidak akan dirasakan oleh kelima indera tersebut. Damai tidak dirasakan oleh mata, telinga, hidung, kulit, ataupun mulut. Oleh sebab itulah rasa sulit untuk diterima dalam dunia psikologi modern.
Jadi sangat wajar jika stereotype bahwa masyarakat Timur cenderung emosional dan kurang logis dibanding masyarakat Barat. Dimana semakin logis seseorang dalam berpikir dan bertindak maka semakin beradab suatu masayarakat. Akibatnya masyarakat Timur dianggap kurang beradab dan dipandang miring oleh masyarakat Barat.
Hal ini juga berfek dalam teori-teori yang muncul, tentang tolong menolong misalnya atau yang biasa disebut sebagai prosocial behavior. Banyak ilmuwan mencoba menjelaskan mengenai munculnya fenomena ini. Salah satu penjelasan yang ditemukan adalah konsep yang disebut sebagai norm of reprocity (Aronson, Wilson, & Akert, 2007) dimana kita melakukan suatu tindakan menolong dengan harapan akan mendapat perlakuan yang sama di masa mendatang. Konsep ini dianggap sebagai sebuah jawaban logis.
Namun konsep ini justru bersinggungan dengan konsep pamrih dalam budaya Indonesia yang dianggap sebagai suatu hal yang buruk. Jika memang demikian maka konsep norm of reprocity tersebut gugur.
Lalu apa yang yang sebenarnya menyebabkan munculnya perilaku tolong menolong? Jawaban kita yang paling sederhana adalah karena kasihan. Namun jawaban semacam ini dianggap tidak logis karena kasihan sendiri adalah sesuatu yang sifatnya abstrak dan sulit diterima oleh inderawi kita.
Itu juga yang menyebabkan konsep-konsep semisal keimanan, ketentraman, dan sebagainya kurang dapat diterima oleh masyarakat ilmuwan psikologi saat ini. Hal itu dikarenakan aliran positivisme yang mengakar kuat pada perkembangan Psikologi dewasa ini dan keterbatasan definisi inderawi itu sendiri yang hanya dibatasi oleh lima indera utama.
Keimanan misalnya, adalah sebuah konsep yang tidak dapat diterima oleh organ inderawi manapun. Keimanan juga sulit dijelaskan dengan hal-hal yang logis. Bahkan mungkin keimanan justru bertolak belakang dengan logika (mustaqim, 2009).
Keterbatasan ini karena dalam pengembangannya ilmuwan Psikologi selalu dituntut untuk mengkongkritkan hal-hal abstrak terbatas pada pemahaman-pemahaman yang telah ada. Padahal pemahaman-pemahaman tersebut sifatnya masih terbatas dan sangat kurang dalam membahas dimensi-dimensi tertentu yang sifatnya abstrak.
Rekomendasi
Dari tulisan ini terlihat bahwa perkembangan Psikologi dewasa ini sangat terbatas pada dimensi-dimensi yang sifatnya kongkrit. Hal itu justru terkadang mereduksi psikologi itu sendiri yang pada awalnya merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa dan manusia itu sendiri.
Ke depan ilmu psikologi harus lebih mengangkat sesuatu secara apa adanya dan tidak bersikap anti terhadap hal-hal yang sifatnya abstrak dan tidak kongkrit. Psikologi harus bisa memahami dinamika manusia termasuk didalamnya adalah aspek rasa. Mengapa seseorang tetap melakukan suatu tindakan yang bahkan itu sifatnya tidak logis.
Sesuatu yang tidak logis tersebut jangan dipandang sebagai suatu hal yang miring namun seharusnya diterima secara apa adanya dan dianggap sebagai sebuah fakta ilmiah. Psikologi harus bisa lebih menggali aspek perasaan, terutama di bagi masyarakat Asia yang cenderung kurang rasional dan tidak logis.
Bibliography
Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2007). Social Psychology. New Jersey: Pearson Education.
Fudyartanto, K. (2003). Psikologi Kepribadian Timur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hall, C. S., & Lindzey, G. (1993). Theories of Personality (edisi terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.
Mawardi, B. (2010, oktober 23). Kita yang kehilangan "rasa". Retrieved desember 30, 2010, from kompas.com: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/23/04303119/kita.yang.kehilangan.rasa
Mustaqim, K. (2009, April 3). memahami sebuah kepercayaan. Retrieved Januari 10, 2011, from sudut pandang berbeda: http://berpikirberbeda.blogspot.com/2009/04/memahami-sebuah-kepercayaan.html
Pargament, K. I. (1997). The Psychology of Religion and Coping. New York: Guilford Press.
Passer, M. W., & Smith, R. E. (2007). Psychology: The Science of Mind and Behavior. New York: McGraw-Hill.
Prama, G. (2007). Cinta, Kedamaian, Pencerahan. Jakarta: SKH Kompas.
Subagya, R. (1976). Kepercayaan kebatinan kerohanian kejiwaan dan agama. Yogyakarta: Kanisius.