Selasa, 15 Februari 2011

Arus Massa dan Proyeksi Otoritas

Rabu 14 April 2010 terjadi bentrokan berdarah di Tanjung Priok. Puluhan kendaraan dibakar oleh massa. Tercatat 134 orang luka dan tiga orang tewas dalam bentrokan antara massa dengan aparat Satpol PP tersebut (VivaNews, 2010). Bentrokan itu dipicu masalah salah paham tentang rencana pembangunan di daerah sekitar makam tersebut.

Selain itu masih banyak lagi bentrokan antar massa yang sering terjadi di Indonesia. Sebut saja bentrokan antar supporter, bentrokan antar warga, dan sebagainya. Bahkan juga sering sekali terjadi perkelahian antar sekolah.

Bentrokan itu sebenarnya dipicu hal-hal yang sepele, namun entah mengapa massa sangat mudah terpengaruh. Satu pemantik kecil saja langsung dapat menyebabkan suatu bentrokan.

Pada masa reformasi 1998 dahulu kita sering mendengar istilah provokator. Provokator didefinisikan sebagai orang yang melakukan provokasi. Sedangkan provokasi itu sendiri berarti perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasut; pancingan (Pusat Bahasa, 2008).

Provokator biasa muncul dalam massa yang sedang kacau balau. Dengan hasutannya, seorang provokator dapat membuat massa melakukan suatu tindakan tertentu yang mungkin tindakan tersebut bahkan tidak disetujui oleh individu-individu dalam massa tersebut.

Pertanyaannya adalah bagaimana seseorang sapat mempengaruhi banyak orang sekaligus untuk melakukan suatu tindakan tertentu dalam waktu yang singkat? Tulisan ini akan mencoba membahas fenomena tersebut dengan menggunakan pendekatan Psikologis.

Proyeksi Otoritas 
Dalam pendekatan Psikoanalisis dari Sigmund Freud dikenal istilah proyeksi. Proyeksi merupakan sebuah bentuk defense mechanism yang berfungsi menstabilkan diri kita dari tekanan-tekanan yang ada. Proyeksi merupakan bentuk pelampiasan-pelampiasan secara tidak sadar sebagai proses defensive.

Konsep ini mendapat perluasan dari Bellak yang kemudian mengemukakan konsep apperceptive distortion. Apersepsi merupakan sebuah bentuk persepsi yang dikaitkan dengan pengalaman dan subjektivitas individu. Jadi secara umum distorsi apersepsi dijelaskan sebagai intepretasi secara subjektif yang menyimpang dari kenyataan.

Kembali pada kasus massa tersebut, Freud berpendapat bahwa setiap individu akan mengintrojeksikan massa atau kelompok sebagai faktor transitory di salam ego dan super ego sehingga individu tersebut melihat dari kacamata massa. Dalam keadaan suatu individu berada dalam suatu kelompok massa, maka segala perbuatan yang dilakukan oleh massa dilihat sebagai suatu kebenaran yang sesungguhnya. Massa dianggap sebagai figur otoritas yang harus dituruti dan diikuti.

Konsep ini mirip dengan apa yang terjadi dalam kasus hipnotis, dimana menurut Ferenczi orang yang kesadarannya menurun akan menganggap penghipnotis sebagai figur otoritas dalam hal ini sosok ibu. Sehingga segala macam suggesti yang ada akan dianggap sebagai seorang perintah ibu kepada anaknya yang harus diikuti.

Apa yang terjadi dalam massa adalah suggesti atau provokasi yang ada dianggap sebagai sebuah pendapat massa yang dianggap sebagai kebenaran bagi individu dalam massa tersebut dan dituruti. Hal itu dikarenakan massa dianggap sebagai figur otoritas dari individu yang ada.

Padahal pendapat massa tersebut bisa jadi hanya pendapat seseorang. Orang yang mempengaruhi dan pendapatnya dianggap sebagai pendapat massa inilah yang dianggap sebagai provokator.

Jadi dari konsep ini dijelaskan bahwa massa dapat bertindak anarkis dan tidak manusiawi dikarenakan adanya proyeksi bahwa massa dianggap sebagai figur otoritas oleh individu yang harus diikuti. Padahal pendapat massa belum tentu benar. Karena massa memiliki otoritas maka massa dapat memaksa suatu individu untuk melakukan apa yang dianggap benar oleh massa tersebut.

Maka wajar jika di Indonesia hasutan massa sangat mudah terjadi. Berbagai bentrokan dan perkelahian begitu mudah terjadi karena massa dianggap sebagai figur otoritas. Terlebih lagi Indonesia memiliki Power Distance yang tinggi (Hofstede) dimana pemegang otoritas cenderung sangat dituruti dan diikuti. Berbeda dengan negara yang memiliki Poer Distance rendah dimana figur otoritas tidak begitu penting untuk diikuti.

Pendekatan Lain 
Fenomena ini juga sering terjadi tidak hanya dalam massa, tetapi bahkan juga dalam kelompok kecil. Sebuah pendapat dianggap sebagai kebenaran bersama padahal bisa jadi masing-masing individu dalam kelompok tersebut tidak setuju dengan pendapat tersebut.

Konsep tersebut biasa disebut sebagai groupthink, yaitu sebuah pemikiran yang menganggap bahwa kohesivitas dan solidaritas kelompok dianggap lebih utama daripada kebenaran itu sendiri (Aronson, Wilson, & Akert, 2007). sehingga pendapat kelompok akan selalu dituruti meski tidak sesuai dengan kebenaran.

Menggunakan konsep ini, tindakan massa yang terkadang beringas dan di luar batas diakibatkan karena individu merasa bahwa kohesivitas kelompok lebih utama, sehingga apapun tindakan kelompok harus diikuti agar kelompok tetap utuh dan tidak terpecah meskipun individu itu sendiri tidak setuju terhadapnya.

Fenomena ini juga dijelaskan dalam konsep deindividuation. Deindividuation adalah hilangnya konsep perilaku normal ketika individu tidak dapat diidentifikasi. Ketika seseorang berada dalam massa maka tidak lagi akan dilihat sebagai seorang individu melainkan massa itu sendiri, sehingga individu merasa lebih bebas melakukan apapun karena tidak diketahui oleh orang lain. Oleh karena itu individu tersebut menjadi seolah lepas kontrol dan melakukan berbagai perbuatan yang di luar batas-batas kewajaran.

Kesimpulan 
Ketika seorang individu berada di dalam massa atau sekelompok orang, maka terkadang akan bertindak sesuai dengan keinginan massa tersebut. Hal itu karena massa dianggap sebagai figur otoritas yang harus dituruti.

Selain itu terkadang timbul pemikiran bahwa kepentingan dan keutuhan kelompok harus diutamakan, sehingga tindakan kelompok tetap akan diikuti meski individu itu sendiri tidak setuju akan hal tersebut. Terlebih lagi ketika berada di dalam massa identitas individu tersebut akan terhapus dan tergantikan oleh identitas massa sehingga individu lebih bebas dalam bertindak.

Bibliography 

Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2007). Social Psychology. New Jersey: Pearson Education.

Hofstede, G. (n.d.). Geert Hofstede™ Cultural Dimensions. Retrieved januari 18, 2011, from ITIM International: http://www.geert-hofstede.com/hofstede_indonesia.shtml

Pusat Bahasa. (2008). Provokasi. Retrieved Januari 18, 2011, from Kamus Besar Bahasa Indonesia: http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

VivaNews. (2010, April 15). Korban Tewas Bentrok Makam Mbah Priok Jadi Tiga Orang. Retrieved Januari 18, 2011, from TvOne: http://jabodetabek.tvone.co.id/berita/view/36733/2010/04/15/korban_tewas_bentrok_makam_mbah_priok_jadi_tiga_orang/

0 comments: